By : SAY Qadrie
Melacak akar sejarah Segeram :
Melacak akar sejarah Segeram :
Lintasan Sejarah Segeram
Rekonstruksi Peradaban Awal Segeram
Dari Catatan Kesultanan Pontianak : 17 Agustus 1787 M,
Dalam catatan dokumen tua Kesultanan Pontianak, ber angka tahun 1857 M, dengan kode dokumen : NanGq 1857 ditulis oleh Pangeran Bendahara Syarif Ja"far bin Sultan Hamid.I, ( bertahta 1855 - 1872 M) bin Sultan Osman, bin Sultan Abdurahman, bin Habib Husein Tuan Besar Mempawah,
Se zaman dengan kekuasaan Sultan Mahmud Shah III 1761–1812 ,
Se zaman, Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah 1812–1819, Sultan Hussein Shah (Tengku Long) 1819–1835 , serta Sultan Ali 1835–1877 di Johor dan Riau Lingga, yang saat itu terbagi menjadi 2 kerajaan, yaitu kerajaan Johor di Singapura dan Kerajaan Riau - Lingga di Daik Lingga.
>> Riwayat hijrahnya Pangeran Syarif Ali Alidrus
ke Sabamban 1787 M sbb :
Pangeran Ali Alidrus dan perjalanan beliau bersama keluarga Algadri serta berdirinya kesultanan Sabamban Banjar 17 Agustus 1787 M, sekarang Kalsel, dan alur beliau :
Sultan Pangeran Ali Alidrus bin Sultan Abdurahman Alidrus ,
Ibunda Ali Alidrus adalah Syarifah Fatimah binti Sultan Abdurrahman Alkadrie dari istri Utien Candra MIDI binti Opu Daeng Manambon (Syech Abu Bakar Adeni Qaulan Jajirah , Aden adalah salah satu nama kampung di Yaman)
Ali Alidrus yang saat itu sempat terjadi salah faham dengan keluarga beliau dalam keluarga Kesultanan Kubu, atau ada hal lain, kemudian memutuskan untuk hijrah.
Ketika berangkat beliau diantar dan dikawal oleh :
1.Sayyid Abdullah alqadri bin Abu bakar bin Habeb Husein, ( Makam di Lombok )
2.Sayyid Ibrahim bin abu bakar bin Habeb Husein, ( Makam Kpg.Segeram )
3.Sayyid Abdurrahman bin abu bakar bin Habeb Husein ( Makam Kpg. Segeram )
4.dan Sayyid Jamalullail bin abu bakar bin Habeb Husein(Makam Kpg. Segeram )
Selain mengantarkan kerabat mereka ini, para keturunan Sayyid Abubakar mungkin sempat menetap cukup lama di Banjar, mereka kemudian berpencar. Sayyid Ali Alidrus merupakan pangkat keponakan mereka juga, karena ibu Syarif Ali adalah misanan mereka,
Setelah Ali Alidrus * cucu Sultan Abdurrahman dari putri nya" menetap di Sabamban Banjarmasin Kalsel, : Sayyid Abdullah bin Abubakar kemudian berlayar dan menetap di Lombok hingga wafat pada tahun 1856 M,
sementara 3 saudaranya Sayyid Ibrahim bin Abubakar, Sayyid Jamalullail bin Abubakar serta Sayyid abdurahman bin Abubakar, bisa jadi ditugaskan ke perairan pulau tujuh, Natuna sekarang, dalam dokumen NanGq 1857 di sebut sebagai pulau Segara yang sekarang disebut Segeram,
Kelihatanya mereka bertiga ditugaskan sebagai Pengintai di Natuna saat itu, karena posisi Natuna atau pulau tujuh merupakan pintu gerbang masuk ke Kesultanan Pontianak yang berada pada posisi timur dari Natuna saat ini, dan sebelah barat dari muara sungai kapuas Kesultanan Pontianak.
Hal ini juga dikaitkan dengan mulai terjadinya persaingan sengit antara Belanda dengan Inggris sehubungan penguasaan atas Singapura, Johor, Riau, dsk .
Perlu diketahui bahwa Kesultanan Pontianak ditabalkan oleh Raja Haji Fisabillillah, Yang Dipertuan Muda, Riau - Lingga, pada tahun 1778 M, sehingga tidak tertutup kemungkinan ada hubungan diplomatik antara Kesultanan Pontianak dengan Kesultanan Riau Lingga dan Kesultanan Johor Singapura saat itu.
Sebutan Panglima Paku Alam bagi Sayyid Ibrahim bin Abubakar ini, karena bangunan pertama yang beliau tancapkan dengan paku beton bekas peninggalan Portugis, di segara itu, beiau juga dikenal dengan Sebutan Panglima Hitam karena beliau pelaut yang unggul sehingga terik nya panas di lautan Natuna membuat badan beliau menjadi sedikit gelap,
Selain itu juga di jelaskan sebutan Panglima Hitam karena samurai beliau berwana hitam pekat dan juga di jelaskan sebutan Panglima Hitam karena paku beton yang di tancapkan berkarat hitam, beliau tercatat wafat di Segara, pada tahun 1857 M dan dijelaskan makam beliau terbuat dari karang laut
Dua Saudara beliau juga bergelar Panglima, ya"ni :
Panglima Ribot untuk Sayyid Abdurrahman, dan
Panglima Laksamana Karang Tanjung, untuk Sayyid Jamalullail.
Diperkirakan mereka masuk ke pulau tujuh sekitar akhir abad ke 17 dan awal abad ke 18. menggunakan perahu layar dan bermukim di Segara, atau Segeram ini.
Mereka ini memang keturunan Panglima.
Ayah mereka, Sayyid Abubakar bin Habib Husein pada tahun 1778 M, dilantik oleh saudaranya, Sultan Abdurrahman Pontianak, sebagai Panglima Laksamana Nusantara, meski kemudian mengundurkan diri pada : 1779 M, karena satu dan lain hal. Akan tetapi Jabatan Panglima ini turun temurun disematkan kepada anak cucu beliau.
Hanya Panglima Laksamana II, yang ditugaskan ke Tibet oleh Sultan Abdurrahman, yang bukan keturunan ini. Beliau adalah putra langsung Sultan Abdurrahman. Dari 101 keturunan Sultan Abdurrahman Pontianak, hanya satu inilah yang bernama : Abubakar. Keturunan beliau hidup dan menetap di Tibet, tak ditemukan satupun yang pulang ke Nusantara ini.
Panglima Laksamana III, Sayyid Abubakar bin Abdullah, dan Panglima Laksmana IV, Sayyid Abubakar bin Abdillah, merupakan keturunan Sayyid Abubakar Panglima Laksamana Nusantara ini, atau Tuan Abu, bin Habib Husein Al Qadri, saudara satu ayah dari Sultan Abdurrahman, Sultan Pontianak Pertama.
Penetrasi Inggris ke Nusantara :
Ketika ekspedisi Raffles tiba di Singapura pada 29 Januari 1819 ia menemukan sebuah pemukiman Melayu kecil di muara Sungai Singapura yang dipimpin oleh seorang Temenggong Abdul Rahman.
Meskipun pulau itu secara nominal diperintah oleh kesultanan, situasi politik di sana sangat suram. Sultan yang berkuasa, Tengku Abdul Rahman, berada di bawah pengaruh Belanda dan Bugis. Oleh karena itu, dia tidak akan pernah setuju dengan pangkalan Inggris di Singapura.
Namun, Tengku Abdul Rahman menjadi penguasa hanya karena kakak laki-lakinya, Tengku Hussein atau Tengku Long, pergi ke Pahang untuk menikah, sehingga ketika ayah mereka meninggal pada tahun 1812, Tengku Hussain tidak berada di tempat.
Tengku Abdul Rahman diangkat oleh Yam Tuan Muda Riau, Raja Ja”afar karena menurutnya , dalam tradisi Melayu, seseorang harus berada di sisi sultan yang sekarat untuk dianggap sebagai penguasa baru. Namun hal itu harus diputuskan oleh Bendehara sebagai "penjaga adat".[18]
Tengku Hussein sebagai Sultan Johor : 1819 - 1835 M
Pada tanggal 6 Februari 1819.
Dengan bantuan Temenggong Abdul Rahman, Raffles berhasil menyelundupkan Hussein, yang saat itu tinggal di pengasingan di salah satu Kepulauan Riau, kembali ke Singapura. Sultan Hussein dari Singapura meninggal pada tahun 1835.
Pada tahun 1852 Tengku Ali, pewaris tahta Johor, putra Tengku Hussein , memutuskan untuk mengembalikan Johor[30] ke bekas Kerajaan Johor-Riau dengan memberi penghormatan kepada Sultan Mahmud Muzaffar, sepupunya putra dari Sultan Abdul Rahman sebagai Raja Lingga di Lingga.
Selama tiga tahun Kerajaan Johor menjadi satu lagi, kecuali Singapura yang diserahkan kepada Inggris.
Khawatir dengan keadaan itu, Inggris memanggil Tengku Ali kembali ke Singapura dengan ancaman pembatalan pensiunnya. Di Singapura, beliau sering dikunjungi oleh Sultan Mahmud Muzaffar, dan hubungan mereka terjalin dengan baik,
Menurut dokumen korespondensi antara Tengku Hussain dan saudaranya, Abdul Rahman , dulu dia pergi ke Singapura karena khawatir akan keselamatan putranya. Sayangnya dia ditangkap oleh Raffles dan dipaksa untuk membuat kesepakatan.[20]
Kesepakatan mereka menyatakan bahwa Inggris akan mengakui Tengku Hussein sebagai "penguasa sah" "Johor", Sebagai imbalan nya, Tengku Hussein akan mengizinkan Raffles untuk mendirikan pos perdagangan di Singapura.
Perjanjian ini diratifikasi pada tanggal 6 Februari 1819.
Belanda sangat tidak senang dengan tindakan Raffles saat itu. Itulah kenapa Belanda mendukung Abdul Rahman menjadi Sultan di Riau Lingga kemudian. Ketegangan antara Belanda dan Inggris atas Singapura berlangsung sampai tahun 1824, ketika mereka menandatangani Perjanjian Anglo-Belanda.
Sultan Abdul Rahman sebagai Raja Lingga :
Dilantik November 1822
Posisi Temenggong Abdul Rahman, di sisi lain, diperkuat karena dengan kerjasamanya Inggris berhasil menguasai Johor dan Singapura secara de facto;
Dengan dukungan Belanda ia juga memperoleh suara Raja Ja'afar.[22] Sementara itu, di Lingga, Sultan Abdul Rahman dilantik sebagai sultan Lingga pada November 1822, lengkap dengan regalia kerajaan.[23] Sultan Abdul Rahman yang telah mengabdikan dirinya pada agama menjadi puas dengan lingkup pengaruh politiknya di Lingga, di mana keluarganya tetap mempertahankan rumah tangganya di bawah arahan administratif Raja Ja'afar yang memerintah di bawah naungan Belanda.
Sultan Sulaiman Badrul Syah
Selama perjalanan ke Singapura, sultan Johor Riau Lingga terakhir, Sultan Mahmud Muzaffar, digulingkan oleh bangsawan Bugis pada tahun 1857.[34]sultan baru kemudian dinobatkan, Sulaiman Badrul Syah,[35] sultan Kerajaan Riau-Lingga "baru" yang dibangun di atas sisa-sisa Riau dari Kerajaan Johor.
Sultan menandatangani perjanjian dengan Belanda.[35] Dalam perjanjian itu ia setuju untuk mengakui kekuasaan pemerintah Belanda antara lain. Dengan coretan pena, ia memecah Kerajaan Johor menjadi dua bagian besar dan menyerahkan kedaulatan sebagian wilayahnya kepada Belanda. Ini juga menandai berakhirnya Kesultanan Johor-Riau yang asli, yang merupakan turunan dari Kesultanan Melaka.
Pembagian ini tetap sampai sekarang sebagai perbatasan Malaysia-Indonesia
Ditempat lain, Temenggong Daeng Ibrahim dari Johor menandatangani perjanjian dengan Bendahara Tun Mutahir dari Pahang pada tahun 1861.[36] Perjanjian itu mengakui wilayah Johor (daratan), temenggong dan hak keturunannya untuk memerintah, saling melindungi dan saling mengakui Pahang dan Johor.
Dengan ditandatanganinya perjanjian ini, sisa-sisa kesultanan menjadi dua negara merdeka, Johor dan Pahang, seperti sekarang ini. Kesultanan Johor lama (Kekaisaran Johor) dengan demikian dipecah menjadi :
Pahang, Singapura, Lingga / Riau dan daratan Johor.
Oral History Segeram
Syahdan zaman kekuasaan Sultan Alaudin Riayat Shah menduduki tahta kesultanan Johor, (1528-1564), beliau karena malu, membuang putrinya Tengku Fathimah ke pulau Srindit.
Kami temukan juga nama Sultan Alaudin Riayat Shah sebagai penguasa Aceh, (nama lengkap: Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil; meninggal tahun 1605) adalah sultan Kesultanan Aceh yang ke-10,
Sultan Alaudin Riayat Shah, yang berkuasa antara tahun 1596/1589–1604.[1] Era pemerintahannya menjadi salah satu era penting dalam sejarah di wilayah Asia Tenggara karena pada masa itu untuk pertama kalinya wilayah perairan Selat Malaka kedatangan tiga kekuatan asing dari Eropa: Belanda, Inggris dan Prancis.
Belum jelas apakah Sultan Alaudin Johor, atau Sultan Alaudin Aceh, yang membuang putrinya Tengku Fathimah ke pulau Srindit ini, karena masa kekuasan mereka dapat dikatakan se zaman.
Alkisah, .........
Kemudian terdamparlah seorang pemuda dari Fathani, Thailand dikenal dengan nama Demang Megat. Mereka kemudian menikah dan membentuk peradaban di Natuna ini. Demang Megat bergelar Orang Kaya Dina Mahkota yang menikahiTengku Fathimah kemudian membangun Perkampungan pertama yang mereka dirikan dan bangun dibuat dari kayu Bungur, dan diberi nama : Mahligai.
Karena di pulau ini banyak terdapat kayu bungur,
Pulau ini kemudian disebut Pulau Bunguran.
Tempat dimana mereka pertama kali mendirikan perkampungan di duga adalah Kampung Segeram yang sekarang terancam punah, karena eksodus penghuninya, kurangnya sarana dan prasarana, kondisi jalan yang parah, pelabuhan yang tidak memadai, sulitnya akses darat, dan dikerdilkan menjadi hanya setingkat Rukun Warga alias RW.
Rupanya nasib malang tak henti merundung Segeram, yang hampir dilupakan oleh anak cucu mereka sendiri yang saat ini menikmati kemerdekaan dan status Kabupaten 20 tahun terakhir, bahkan ada kabar akan dimekarkan menjadi Provinsi.
Bagaimana nasib Segeram ke depan? Entahlah !!
------------------------------------
Khazanah Rujukan dan Bacaan :
https://www.iphedia.com/2019/12/kerajaan-melayu-kerajaan-tertua-di.html
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/sejarah-kerajaan-riau-lingga-kepulauan-riau/
I Tsing atau I Ching (pinyin Yì Jìng) tahun 634-713 : Dari 2 buku , yakni Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) dan Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang).
Sejarah Kerajaan Islam di Sumatera Pada gramedia.com diakses 19 Juni 2021
Kerajaan Jambi, Kerajaan Islam yang dikhianati VOC Pada merdeka.com 24 Maret 2016
Kesultanan Jambi: Sejarah, Wilayah, Dan Perkembangan Pada dgraft.com 28 Desember 2020
Datuk Paduka Berhala Pangeran Turki Yang Mengislamkan Jambi Pada historyofcirebon 16 Oktober 2018
Datuk Paduka Berhala, Anak Raja Turki yang Persunting Putri Pinang Masak Pada melayupedia.com 30 Desember 2021
Sultan Thaha, Pejuang Jambi yang Tak Lelah Melawan Belanda Pada sindonews.com 6 Juli 2015
Thaha Syaifuddin: Masa Muda, Kepemimpinan, dan Akhir Hidup Pada kompas.com 14 Juni 2021
Orang Kayo Hitam, Penguasa Jambi yang Tak Bisa Ditaklukkan Raja Jawa Pada sindonews.com 29 Juni 2015.
Kisah Orang Kayo Hitam dan Keris Siginjai yang Melegenda, Hingga Terbunuhnya Pembuat Keris Sakti Pada tribunnews.com 2 Januari 2019.
Gallop 2019, hlm. 239.
Andaya 1993, hlm. 318.
Andaya 1993, hlm. 319.
Andaya 1993, hlm. 322.
Gallop 2019, hlm. 240.
Andaya 1993, hlm. 315.
Gallop 2019, hlm. 241.
Gallop 2019, hlm. 242.
Profil Pahlawan Nasional Sultan Thaha Syaifuddin di merdeka.com
Gallop 2019, hlm. 243.
Gallop 2019, hlm. 244.
Sultan Thaha, Melawan Belanda hingga Darah Penghabisan Pada koransulindo.com 21 Juli 2020
Raden Abdurrahman Dinobatkan Sebagai Sultan Jambi Pada kerajaannusantara.com 19 Maret 2019
"Raden Abdurrahman, Cicit Sultan Thaha Meninggal Dunia dan Dimakamkan pada Makam Raja-raja". Tribunjambi.com. Diakses tanggal 2022-02-01.
Daftar Pustaka
Arifullah, Mohd. (2015). "Hegemoni Islam dalam Evolusi Epistemologi Budaya Melayu Jambi" (PDF). Kontekstualita. 30 (1): 124-137.
Andaya, Barbara Watson (1993). To Live as Brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries (dalam bahasa Inggris). University of Hawaii Press. ISBN 9780824814892.
Brown, Iem (2009). The Territories of Indonesia. London: Routledge. hlm. 268. ISBN 9781857432152.
Gallop, Annabel Teh (2019). Malay Seals from the Islamic World of Southeast Asia: content, form, context, catalogue (dalam bahasa Inggris). Lontar Foundation in association with British Library. ISBN 9789813250864.
Locher-Scholten, Elsbeth (2004). Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830–1907 (dalam bahasa Inggris). Cornell University Press. ISBN 9781501719387. Lihat pula edisi Bahasa Indonesia: Locher-Scholten, Elsbeth (2008). Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. KITLV. ISBN 9789791079150.
Janowski, Monica; Kerlogue, Fiona (2007). Kinship and Food in South East Asia. Copenhagen: NIAS Press. hlm. 68. ISBN 9788791114939.
Mukti, Zubir (1987). Sejarah Peranan Hukum Adat dan Adat Istiadat Jambi. Muara Bungo.
Asiah, Nur. (2019). Ensiklopedia Kerajaan Indonesia Jilid 3. Jakarta: Mediantara Semesta.
Profesor Zainal Kling, pakar sejarah Islam dari Universitas Malaya, Malaysia,
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, etc. Ensiklopedi Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
https://en.wikipedia.org/wiki/Johor_Sultanate
https://historia.id/kuno/articles/mencari-penghuni-awal-natuna-P4n7Z/page/1
https://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Alauddin_Riayat_Syah