Sultan Ke empat, :
Syarif Hamid.I. Ibni Sultan Usman Alqadrie
By : SAY Qadrie
Pustaka Kadriah
Sultan ke empat :
Syarif Hamid.I. Ibni Sultan Usman Alqadrie
Lukisan Raden Saleh
Sultan ke empat,Syarif Hamid.I. Ibni Sultan Usman Alqadrie
3.4. Sultan Syarif Hamid Alqadrie (1855 - 1872).
Syarif Hamid Alqadrie, lahir 1802, putera tertua Sultan Syarif Usman bin Syarif Abdurrahman Alqadrie, dari isterinya Syarifah Zahara, menggantikan ayahdanya pada April 1855 sebagai Sultan Qadriah Pontianak Keempat, wafat 22 Agustus 1872.
Sezaman dengan kelahiran Syarif Tue, Abdullah bin Yahya , bin Yusuf bin Sayyid Abubakar Panglima Laksamana pertama Kesultanan Pontianak. Abdullah lahir pada 1802 M, di Kampung Segeram Pulau Tujuh, Natuna sekarang.
Dari ayah bernama Sayyid Syarif Yahya Maulana Alkadri
Keturunan Syarif Tue Abdullah bin Yahya berkembang di Loloan Bali Barat.
Semasa pemerintahan Sultan Hamid I, naik tahta 1855 M, usia 53 tahun, dan sebagai kelanjutan dari masa kekuasaan ayahdanya, wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda semakin luas, sebaliknya wilayah kekuasaan Kesultanan Pontianak menjadi berkurang,
Karena pada tahun 1856 Belanda mengadakan kembali perjanjian dengan Sultan Syarif Hamid, perjanjian mana masih tetap sangat merugikan rakyat dan kesultanan.
Disamping meluasnya wilayah kekuasaan Kolonial Belanda, ada sesuatu kontradiktif yang tampaknya dibuat oleh Pemerintahan Batavia.
Residen Borneo Barat, menurut catatan Rahman (2000:123), melalui Keputusannya 4 Januari 1857, memasukkan kembali distrik Cina di Mandor (sekarang Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak) ke dalam wilayah Kesultanan Pontianak.
Alasan formal dari penyerahan itu adalah sebagai imbalan atas “kebijaksanaan” Sultan Usman yang “tidak berfihak” atas kasus kekacauan kongsi cina di Mandor pada 1850.
Motivasi penyerahan itu sebenarnya lebih disebabkan oleh kesulitan Pemerintah Kolonialisme Belanda menghadapi perlawanan anggota sub kelompok etnis Dayak, anggota komunitas dan kongsi Cina terhadap Belanda yang sewenang-wenang menanam kuku kolonialismenya dan memonopoli dalam pengeksploitasian pertambangan emas di Mandor dan Monterado (sekarang terletak di Kabupaten Bengkayang).
Awal mula kedatangan Bangsa Barat
Kawasan sebelah barat Sungai Kapuas Kecil yaitu seberang sungai dari Kesultanan ini, yang secara de facto dan de jure dikuasai Belanda, semakin berkembang dan telah menjadi pusat perdagangan dan pusat pemerintahan residen Belanda di Kalbar.
Taktik Belanda seperti ini, yang dimulainya sejak Pemerintahan Sultan Kasim, dilaksanakan terus dalam rangka memperkecil pengaruh Kesultanan Qadriah Pontianak serta mengucilkan Sultan Hamid.
Untuk mengatasi kesulitan keuangan sebagai akibat dari perjanjian yang diterapkan Belanda hanya memberi penggajian kepada sultan, petugas kesultanan dan kerabatnya, Sultan Hamid menerapkan suatu pendekatan “kekeluargaan” terhadap petani kelapa di Sungai Kakap sehingga ia banyak memperoleh keuntungan dari sub sektor ini yang justru dianggap “merugikan” Belanda.
Karena itu Belanda mendirikan semacam Persatuan Petani Kelapa diketuai oleh Syarif Abdurrahman untuk mengatur keserasian antara hukum kesultanan dengan hukum kolonial Belanda.
Klik Disini Baca :
Klarifikasi Jalur Nasab Alkadri Bali
Sultan Syarif Hamid I Bin Sultan Syarif Usman Alkadrie Jamalullail
Sultan Ke IV Kesultanan Qadriah Pontianak (12 April 1855 M - 22 Agustus 1872 M) Berkuasa,17 Tahun
Lahir : Pontianak, 27 Jumadil Kubro 1223 H - 1802 M
Wafat : Pontianak, 22 Agustus 1872 M
Dalam Usia : 70 Tahun
Makam : Komplek Pemakaman Kesultanan Qadriah Pontianak Batu Layang Jl. Khatulistiwa Siantan Hulu Kota Pontianak Kalbar
Nama Ayah Kandung : Sultan Syarif Usman Alkadrie Jamalullail
Nama Ibu Kandung : Ratu Sepuh Syarifah Zahara Binti Thaha Bin Abdullah Tumenggung Banten Bin Panglima Laksamana I Syarif Abu Bakar' Alkadxri bin Sayyid Husein Mempawah
Jumlah Istri : 6 Permaisuri
Istri Yang di Sepuhkan : Maha Ratu Suri Syarifah Fatimah Binti Sultan Syarif Kasim Alkadrie Jamalullail dari ibu Ratu Minah
Status Istri ke : 2 Sultan Syarif Hamid I Alkadrie Jamalullail
Jumlah Anak : 19 anak laki-laki dan 3 anak perempuan dari 6 Ibu Kandung
SETELAH NAIK TAHTA : 12 April 1855 M
Sultan Syarif Hamid I Alkadrie Jamalullail termasuk salah satu Sultan yang sangat tegas dalam memimpin Setelah Ayahnya meninggal dunia Seperti Sultan - Sultan sebelumnya melaksanakan Belasungkawa hingga 10) hari beliau juga melaksanakan Belasungkawa Tahlilan, Tahmid hingga Hataman Alquran juga berlangsung hingga 100 hari
Hari kerja pertama Sultan Syarif Hamid I Alkadrie Jamalullail Adalah memasang Pagar Keliling Kesultanan sehingga hanya ada empat pintu masuk Menuju Kesultanan
1. Pintu Gerbang utama
2. Pintu Gerbang belakang Istanah
3. Pintu gerbang samping kiri para sesepuh Istanah
4. Pintu gerbang kanan para keluarga Istanah, Para Ratu dan selain itu beliau juga mendirikan bangunan Pribadi di luar Istanah (Rumah Pribadi di belakang Istanah khusus untuk anak dan istrinya sebagai pendamping setiap hari Sultan yaitu Ratu Suri
Beliau juga membangun Rumah - rumah keluarga Sultan di belakang Masjid Kesultanan Qadriah Pontianak, membangun Rumah - rumah Pangeran dan Panglima di pemukiman Kampung Arab serta Surau untuk para pangeran dan Panglima termasuk membangun Kantor Maktab NANGQ 1857 di Kampung Arab
Pada saat Pangeran Bendahara Syarif Ja'far Bin Sultan Syarif Hamid I Alkadrie Jamalullail di Nobatkan sebagai Pengurus NANGQ 1857, 12 April 1857 M, tanggal tersebut di sengaja di pilih Sultan Syarif Hamid I Alkadrie Jamalullail
Selain itu beliau juga menanda tangani Kontrak Kerjasama dengan pihak Residen Belanda yaitu Residence Rembang Het Hoopd Wasterasffeling Van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo,) tertanggal : 11 Juni 1856 M yang isinya :
1. Pembukaan jalur udara untuk penerbangan Jakarta Pontianak melalui Landasan (Sekarang menjadi Bandara Adisucipto Pontianak) dengan menggunakan pesawat IYU KEBAL (setelah Indonesia merdeka Pesawat ini di ambil alih TNI 1949 M kemudian di sebut Pesawat Herkules buatan pertama Belanda 1853 M di sebut juga pesawat perintis 45)
2. Membangun jalur darat dari landasan perintis Untuk keluar masuk barang dengan kendaraan bertenaga uap dan batu bara sebagai bahan bakarnya
3. Memperluas pertambangan emas Loteva Landak - Mentradro yang pajak penghasilanya di setor 60 % kepada Belanda
Walaupun penghasilan pajak Kesultanan sangat kecil tetapi Sultan memiliki banyak cara untuk mensiasatinya, sehingga beliau memutuskan untuk merehab makam batu Layang agar di bangun Rumah pendopo dan tempat ibadah, agar siapa saja yang berziarah bisa terlindungan dari panas dan hujan Karena kondisi makam yang sudah mulai rapuh sehingga makam Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie dan istri Ratu Sepuh Kesumasari di buat ruangan khusus sehingga agak sempit
Sekitar bulan Oktober 1856 M : Perjanjian LOTEVA I
Etnis Cina yang berada di Mandor tidak mau memperkerjakan Etnis Suku daya Pedalaman dalam hal penggalian emas, sehingga membuat warga suku pedalaman menjadi murka, maka terjadilah Demonstrasi pertama di mana mereka menggerakan Mangku Merah untuk mengusir Cina, akan tetapi atas permintaan keturunan Panglima Mangku Merah Syarif Abdullah dan Sultan Hamid I Alkadrie Ahir Demontrasi tersebut di hentikan dengan perjanjian :
1. Warga asli pedalaman diijinkan ikut menggali dengan sistim upah
2. Tanah - tanah milik warga yang di gali wajib adanya ganti rugi
3. Pihak pemilik galian emas harus membayar adat sesuai dengan luas tanah yang di gali
4. Menghentikan monopoli kerja kesukuan
Untuk selanjutnya perjanjian ini di sebut ""Perjanjian Loteva Satu" (Oktober 1856 M) yang berhasil di selesaikan Sultan Syarif Hamid I Alkadri Jamalullail atas bantuan keturunan Panglima Mangku Merah Syarif Abdullah Alkadrie Jamalullail yang bernama :
Wan Ahmad dan beliau di kenal dengan nama (Wan Ahmad Tutong) yang artinya (Penengah antara Warga Pedalaman dengan Cina)
PERHATIAN TERHADAP KELUARGA / KAUM KERABAT DAN RAKYAT NYA
Antara bulan November - Desember 1856 M - 1857 M
Sultan Syarif Hamid I Alkadrie Jamalullail termasuk Sultan yang perduli dengan keluarga sekalipun atas permintaan ibunya Ratu.Suri Syarifah Zahara Binti Thaha Bin Abdullah Tumenggung Banten bin Panglima Laksamana I Syarif Abu Bakar' Alkadxri Jamalullail dan istrinya Ratu Sepuh Syarifah Fatimah Binti Sultan Syarif Kasim Alkadrie Jamalullai, ...
Untuk mengirim bantuan di Pulau Tujuh Natuna tepatnya di Segeram
Karena banyak keluarga ibunya dan keluarga dari istrinya Pangeran Syarif Hasan Bin Sultan Syarif Kasim Alkadrie Jamalullail yang menikah dengan salah satu keturunan Wan Hamid Jamalullail
Bagi warga Segeram di sebut Musim Kelambu (makan tidur) dan musim Selimut (hanya diam di rumah) Sebab pada musim ini alamnya pancaroba Sehingga laut mengamuk sampai daratan Natuna Segeram Banjir, pada musim ini nelayan tidak bisa melaut, tukang kebun tidak bisa berkebun karena air laut naik sehingga dataran rendah Segeram Banjir hingga lebih dari 1 bulan
Atas permintaan ibunya dan istrinya di awal bulan Oktober 1856 M
Sultan Syarif Hamid I Alkadrie Jamalullail telah mengirim bantuan ke Pulau Tujuh Natuna untuk keperluan keluarga Alkadri Jamalullail termasuk masyarakat Segeram saat itu
Kemudian pada tanggal 4 Januari 1857 M
Melalui Distrik Residen Rembang Het Hoopd Wasterasffeling Van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) Belanda mengeluarkan Surat Keputusan yang memadukan Distrik Cina Mentradro Ke dalam Wilayah Kesultanan Qadriah Pontianak yang juga di setujui oleh Sultan Syarif Hamid I Alkadrie Jamalullail
Sehingga Kekuasaan Kesultanan Qadriah Pontianak mencakup wilayah Bengkayang sampai Perbatasan wilayah Malaysia Serikin, menurut Sultan Syarif Hamid I Alkadrie Jamalullail sekalipun pajak hanya di dapatkan 35 % dengan jangkauan wilayah yang luas maka pajak penghasilan akan semakin meningkat
Kebijakan tersebut merupakan lanjutan dari Sultan Syarif Usman Alkadrie Jamalullail yang di prakarsai anaknya Pangeran Jaya Syarif Abdullah Alkadrie Jamalullail yang menuntut Belanda tentang pajak yang hanya di terima 30 % Supaya pajak tersebut bisa meningkat salah satunya adalah memperluas wilayah kekuasaan
Maka ketika Sultan Syarif Hamid I Alkadri Jamalullail berkuasa usaha memperluas wilayah kekuasaan terus di lakukan, selain menguntungkan pihak Residen Rembang VOC Batavia Jakarta juga menguntungkan pihak Kesultanan Qadriah Pontianak
Selain itu strategi yang di jalankan Sultan Syarif Hamid I Alkadri Jamalullail agar tidak terjadi konplik antar etnis, maka Beliau banyak mengangkat suku pedalaman menjadi pasukan bahkan ada yang di nikahi oleh Sultan Syarif Hamid I Alkadrie Jamalullail istri tersebut adalah Mariana dari suku daya Pedalaman Mentradro dari pernikahan ini beliau memperoleh :
2 anak laki-laki, salah satunya adalah :
Pangeran Mangku Syarif Herlangga Alkadri Jamalullail yang kemudian juga menikahi orang pedalaman Mentradro dari etnis Daya
Distrik Cina Mentradro yang di kuasai merupakan wilayah penghasil Emas cabang dari Loteva di Mandor
Di jaman ayahnya Sultan Syarif Usman Alkadrie Jamalullail Distrik Mandor pernah di serang Belanda1850 M, tetapi Sultan Syarif Usman Alkadrie Jamalullail tidak ikut campur atas peristiwa tersebut, sehingga Kesultanan Qadriah Pontianak di Percaya dan mengambil wilayah Mandor, Semakin, hingga Darit sebagai wilayah kekuasaan Kesultanan Qadriah Pontianak, yang sebelumnya wilayah ini di kuasai Kesultanan Landak,
Pada tanggal 12 Maret 1857 M : Pembangunan 12 titik Pasar Rakyat
Sehingga Kesultanan Qadriah Pontianak menjadi Kesultanan yang terluas di Kalimantan Barat (Borneo Barat) Pada tanggal 12 Maret 1857 M, melalui Distrik Cina Mentradro, Mandor dan Darit, Sultan Syarif Hamid I Alkadrie Jamalullail meminta agar wilayah tersebut di bangun pasar Rakyat Maka di putuskan pembangunan pasar rakyat yang di Danai oleh Distrik Cina Mentradro, Mandor Loteva membangun pasar Rakyat di antaranya:
1. Pasar Jungkat
2. Pasar Purun
3. Pasar Peniraman
4. Pasar Sungai Pinyuh
5. Pasar Anjungan
6. Pasar Mandor
7. Pasar Senakin
8. Pasar Darit
9. Pasar Toho
10. Pasar Karangan
11. Pasar Mentradro
12. Pasar Bengkayang
Pasar tersebut di isi umumnya di isi oleh pedagang - pedagang Cina Sehingga meningkatkan pajak Residen VOC Batavia Belanda di Jakarta sekaligus meningkatkan pajak Kesultanan Qadriah Pontianak
PENEGAKAN KEMBALI HUKUM ISLAM DAN WAFAT NYA,
Sultan Syarif Hamid I Alkadrie Jamalullail termasuk Sultan yang sangat tegas ketika di jaman ayahnya hukum Islam di ganti dengan hukum kolonial (Perdata Pidana) maka di jaman Sultan Syarif Hamid I Alkadrie Jamalullail hukum Islam di tegakan kembali, dengan alasan untuk melindungi rakyatnya dari tekanan yang berlebihan dari pihak Residen Belanda. Namun beliau memberi alasan yang tepat sehingga pihak Belanda tidak berkeberatan sehingga hukum Islam di tegakan kembali
Beliau wafat karena sakit secara tiba - tiba, (Pitam)
Ahirnya pada tanggal 22 Agustus 1872 M,
Menurut beberapa informasi beliau wafat pada hari Isnin setelah selesai mengerjakan Sholat subuh di Masjid Kesultanan Qadriah Pontianak, dalam perjalanan pulang menuju Istanah tiba - tiba sesak napas dan pagi sekitar pukul 05.30 WIB beliau berpulang Kerahmatullah
Demikian Manaqib Singkat Sultan Syarif Hamid I Alkadrie Jamalullail dan Untuk selanjutnya anak tertua beliau Pangeran Perdana Agung Syarif Yusuf Alkadri Jamalullail di nobatkan sebagai Sultan yang ke V
Sumber :
MAKTAB NANGQ 1857
Dewan Pimpinan Pusat Pontianak
Kantor Pemeliharaan Dan Statistik Sejarah Ahlulbait
Pangeran Bendahara Syarif Ja'far Bin Sultan Syarif Hamid I Alkadrie