Senin, 24 Januari 2011

Kesultanan Kadriah , dalam Persektif

Syarif Ibrahim Alqadrie[2]


KESULTANAN QADARIYAH PONTIANAK:

PERSPEKTIF SEJARAH DAN SOSIOLOGI POLITIK[1]




Sultan Hamid.II. bin Sultan Mohammad Al Kadrie



Penulis :


Syarif Ibrahim Alqadrie


       Tulisan ini diharapkan dapat mengungkapkan fenomena keunikan Kesultanan Pontianak, pendiri pertama, latar belakang atau asal usul pendiri tersebut, dan 8 (delapan) generasi sultan yang pernah berkuasa dengan karakter masing-masing.


 Selain itu tulisan ini diharapkan juga dapat menguraikan pengaruh besar dan disusul dengan merosotnya pengaruh tersebut dalam waktu relatif pendek, serta factor-faktor utama penyebab berkembang dan merosotnya pengaruh tersebut, serta pola tingkah laku politik local dan nasional kaitannya dengan kesultanan tersebut.


Syarif Ibrahim Alqadrie


1. Pendahuluan.


      Kesultanan Pontianak (Pontianak Sultanate) merupakan satu-satunya kesultanan termuda di kawasan Nusantara, bahkan di dunia, khususnya termuda di Kalimantan Barat (Kalbar) (Alqadrie, 1979:12). Kesultanan didirikan oleh dinasti campuran antara Arab, Melayu, Bugis dan Dayak ini, dan menjadi termuda di dunia, artinya termuda berdirinya dibandingkan dengan kesultanan lain di dunia. Mengapa demikian?


      Kesultanan ini didirikan pada tanggal 23 Oktober 1771 bersamaan 12 hari bulan Rajab tahun 1185 (Rahman, dkk., 2000). Ia didirikan relatif lebih akhir dibanding dengan kelahiran kesultanan lainnya tidak hanya di Kalbar, tetapi juga di kawasan lainnya di Nusantara, karena tidak ada kerajaan atau kesultanan lainnya, selain kesultanan Pontianak, yang berdiri pada periode/tarikh yang sama dengan atau lebih akhir dari/setelah tanggal kelahiran kesultanan Pontianak (Alqadrie, 1979:35).


Selain terbungsu, kehidupan pemerintahan kesultanan ini hanya berlangsung relatif singkat, 179 tahun, dan hanya diperintah oleh 8 (delapan) generasi sultan dari dinasti Al-Qadrie, sejak kelahirannya 1771 sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan RI 1945.


 Setelah itu, kesultanan ini tidak lebih dari sekedar warisan budaya yang tidak mempunyai kekuasaan politik apapun lagi .



Sultan Muhammad,  Ayah Sultan Hamid.II


   Kesultanan termuda ini memiliki keunikan (uniqueness) sebagai warisan sejarah Nusantara, karena walaupun kesultanan ini lahir lebih akhir atau paling bungsu, tetapi ia telah menjadi pemersatu, “unggul” dan memimpin kesultanan lainnya di kawasan Kalimantan bagian barat, diperhitungkan oleh kesultanan lainnya di kawasan regional -- di Nusantara, seperti Riau, Siak, Tambelan, Siantan, Palembang, Banjar, Paser (Rahman, dkk. 2000: 4; Alqadrie, 1979), Malaka, Johor, dan Trengganu, serta Banten dan Demak (Iskandar, dkk., 1987:58-59,60-62).


     Keunikan lain terletak pada letak geografisnya yang sangat strategis dan menguntungkan dari segi baik ekonomi dan social budaya maupun pertahanan dan keamanan (Hankam). 


Hal ini dimungkinkan oleh letak dan kedudukannya yang tidak terlalu jauh tidak hanya dari perairan laut dan selat, yaitu Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Natuna -- ketiga jalur transportasi tersebut menghubungkan kesultanan ini masing-masing dengan Batavia, Demak, kesultanan lainnya di utara Jawa, Banjarmasin, Kutai dan Paser; Palembang, Riau; dan Deli (sekarang dikenal dengan Medan),


 Malaka (sekarang Singapura), dan Johor (sekarang menjadi sebuah kota penting di Malaysia Barat dekat Singapura dan Kuala Lumpur). Letaknya juga tidak terlalu jauh dari kawasan pedalaman yang menghubungkannya dengan kesultanan lain di pedalaman dekat (interior valley) dan perhuluan/ pedalaman jauh (interior upland).


    Letaknya strategis ini memungkinkan kesultanan ini mampu bertindak sebagai kekuatan pengawas (controlling power) dalam hal pengumpulan/ pemasukan pajak dan pungutan lainnya, di satu fihak, serta penertiban di bidang Hankam, di lain fihak, terhadap penggunaan transportasi lalu lintas perairan di situ untuk tujuan perdagangan maupun kegiatan militer.


Selain itu, letak kesultanan Pontianak yang strategis secara interen di kawasan Kalbar sendiri -- pada simpang tiga antara Sungai Kapuas Kecil dengan Sungai Landak -- letak mana memiliki nilai positif dari segi geopolitis, menyebabkan pendiri kesultanan ini -- Syarif Abdurrahman bin Habib Hussein Alqadrie -- disebut sebagai ahli Maritim (Maritime specialist) (Alqadrie, 1979:9) yang memungkin serangan militer ke jantung kesultanan ini, walaupun melalui dua jalur -- Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak -- dapat dimentahkan.


     Letak geografis seperti itu memungkinkan Kesultanan Pontianak memiliki keuntungan dalam segi geopolitis dan geostrategis baik ke luar berkaitan dengan terciptanya hubungan akrab, saling menghormati dan saling menguntungkan dengan kesultanan-kesultanan lain di Nusantara di luar kawasan apa yang dikenal sekarang dengan Kalbar, maupun ke dalam berkaitan dengan diakuinya kesultanan ini secara implicit sebagai kekuatan hegemonis di kawasan yang disebut sekarang dengan Kalbar.


      Pengakuan seperti ini lebih diperlancar dari hasil tiga strategi yang dilakukan oleh para Sultan Pontianak terhadap para kesultanan atau panembahan di kawasan ini yaitu: 


(1) penguasaan, 


(2) pengembangan ikatan kekeluargaan melalui perkawinan, pengangkatan keluarga/anak, dan 


(3) peningkatan kewibawaan lewat pendalaman agama pada mana para penguasa dan kerabat Kesultanan Pontianak dianggap memiliki pengetahuan agama Islam lebih mendalam.



     Menghadapi pertahanan tangguh dari letak geografisnya yang strategis, Kompeni Belanda menggunakan tiga taktik non-militer yaitu :


(1) taktik penguasaan konvensional tradisional melalui perundingan yang mengikat,


(2) taktik adu domba atau pecah belah (devide et impera), dan


(3) taktik penguasaan “moderen” melalui pengembangan kawasan di bagian lain dari kawasan kesultanan sebagai kekuatan pesaing (competing power) untuk memperlemah pusat pemerintahan kesultanan.



Dengan taktik tersebut, kesultanan ini berangsur-angsur surut dan hampir kehilangan pengaruh dan kontrol terhadap kesultanan lainnya di Kalimantan.
.







EKSPANSI KESULTANAN PONTIANAK 

PERANG SUKADANA ,  I ;  1780  M

PERANG SUKADANA, II ;   1786  M


     Pada masa penerus dari sultan Muhammad Zainuddin, bandar Sukadana sempat kembali bangkit dari masa krisisnya, namun hal tersebut tidak berlangsung lama sebab dari tahun 1780 dan 1786 terjadi dua kali serangan dari Kesultanan pontianak di masa itu.


     Berdasarkan dari catatan Muller dan sumber literatur yang lainnya,  sultan Syarif Abdulrahman melakukan serangan yang pertama namun ia gagal.  motivasinya menyerang bandar Sukadana adalah ingin merebut posisi bandar perdagangan,  yang mana saat itu bandar pelabuhan pontianak sudah mulai di bangun,


   Maka ketika ia melihat Sukadana kembali berkembang yang juga di tandai  dengan datangnya orang orang dari luar untuk berniaga serta bertempat tinggal,  maka timbul ke khawatiran jika Sukadana akan menjadi bandar pesaing bagi Pontianak, maka ia memutuskan untuk menyerang Sukadana.


    Setelah serangan pertama dari sultan Abdurrahman berhasil di gagalkan,  ia kembali menyerang kedua kalinya,  namun pada kesempatan berikutnya sultan Syarif Abdulrahman berhasil melakukan negosiasi dengan kerajaan lain serta orang orang eropa.


     Maka kurang lebih 2000 pasukan di kerahkan oleh sultan Syarif Abdulrahman pada tahun 1786, ia menyerang dengan kekuatan penuh bandar Sukadana,  hingga akhirnya bandar Sukadana benar benar hancur dan porak poranda.


    Pada saat penyerangan yang ke dua ini, 


Sukadana tidak mampu lagi menahan gempuran, dari armada perang sultan Syarief Abdulrahman yang lengkap dengan senjata perangnya. Para kerabat raja pada malam penyerangan itu juga melarikan diri, dan rakyat yang ada di sukadana pada masa itu, juga ikut mengsungsi dan mengosongkan kota sukadana.


      Maka hingga saat ini cerita tutur yang masih sering melekat di hati masyarakat adalah bila Sukadana dulu pernah menjadi sebuah “padang tekukur”. Maksud padang tekukur adalah tempat yang sepi akibat dari peristiwa penyerangan tersebut.


    Sukadana menjadi kota mati yang benar benar kosong dan tidak berpenghuni, hingga akhirnya pada tahun 1827, dinasti Sukadana baru atau New Brussel yang di pimpin oleh Tengku Akil yang di pertuan syah menjadi raja di Sukadana.


Namun pada masa itu Pontianak sudah maju pesat sehingga bandar pelabuhan Sukadana yang kembali di bangun sudah tidak mampu lagi menyalip laju perkembangan dari kota Pontianak.



https://kerajaansimpangmatan.blogspot.com/2022/01/setelah-tau-sejarah-ini-harusnya.html