Keturunan dan Manuskrip
By SAY Qadrie
Pustaka Sejarah
Titah
DYMM Allayarham Tuanku Sultan Syarif Abubakar,
bin Mahmud, bin Sultan Muhammad Alkadri
Sultan Kesultanan Pontianak. VIII.
##, Pengantar:
Menulis biografi seorang tokoh,
Sejak dahulu dirasakan penting manfaatnya. Biografi berarti kumpulan informasi mengenai kehidupan dan kegiatan tokoh dari berbagai bidang yang dianggap penting dan memegang peranan di dalam proses pembangunan masyarakat di suatu wilayah.
Biografi dari salah satu tokoh yang telah mendahului kita perlu ditulis karena beliau telah mengorbankan jiwa raganya untuk generasi sesudah beliau. Mungkin generasi sekarang masih mengenal beliau, namun generasi sesudah kita mungkin tidak mengenal lagi. Makin lama makin kabur jasa beliau dalam ingatan generasi-generasi sesudah kita dan akhirnya mereka akan melupakannya. Jika itu terjadi, alangkah sayangnya.
Melupakan seseorang yang telah berbuat baik bagi kita merupakan sesuatu yang menunjukkan kekurangan dalam sikap baik kita jika tidak mau mengatakan kekurangan dalam moral kita. Sebagai bangsa yang baik kita harus mengenal terima kasih, harus tidak melupakannya, harus tetap mengenangnya karena beliau sebagai cermin kehidupan baik kita. Semuanya itu merupakan kewajiban kita sebagai penghormatan kepadanya (Soebantardjo, 1983: 31).
================================================
#, - SEJARAH ABDULLAH BIN YAHYA ( Syarif Tue ) LOLOAN. BALI,-#
Tulisan Berbahasa Inggris
Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri (The
Old Syarif) is a figure from Pontianak,
who was very opposing to the Dutch
government colonial.
Since the signing of cooperative work between the Dutch
and Sultan Pontianak on 5 July 1779,* (** tahun ini masih perlu penelitian lanjut.) the Old Syarif rebelled and he escaped to
Jembrana in the west of Bali.
On his arrival in Jembrana, the Old Syarif and
his followers approached the king of Jembrana.
They were well accepted by the
King and they were even given a place for their settlement in around of river
Ijo, which later this place is called Kampung Loloan.
Since then the Old Syarif
gave support to Jembrana kingdom, as well as in the politics, economics and
spreading of Islam religion. The Old Syarif was very wise and helpful, so as a
figure in Kampung Loloan he was very admired by society. Keyword: Biography - History Figure
Dari Kanan :
AMI YASSIN BIN ZAIN BIN USMAN BIN ZAIN
BIN USMAN BIN SYARIF TUA ,
SEBELAH NYA ABANG NYA yg tertua
(ALAHYARHAM) Ammi MUSTHOFA,
bersama dua anak kemenakan nya
##, Ulasan Penulis :
#, 1847 M : Prasasti Loloan, hari senin, 1 Zulhijjah 1268 Hijriah
#, 1847 M : Prasasti Loloan menyebutkan tentang penyerahan sebidang tanah dan sebuah kitab suci Al Quran untuk di gunakan sebagai Masjid dengan disaksikan oleh Syarif Abdullah bin Yahya, Syarif Tua. Prasasti loloan, ini yang menyebutkan Tahun: 1847 Masehi, bertepatan dengan hari senin, 1 Zulhijjah 1268 Hijriah.adalah bukti otentik tentang hal ini. Analisa waktu mendarat, masa hidup dan wafat nya beliau, diambil dari sini.
#, 1809 M : - Gusti Putu Seloka berkuasa,: (1809–1835)
#, 1827 - 1835 M : Antara masa inilah perkiraan Kedatangan Syarif Abdullah bin Yahya, di Loloan : Bandingkan juga dengan masa pemerintahan Sultan Osman Pontianak , (1819 – 1855).,
#, 1809 M : - Gusti Putu Seloka berkuasa,: (1809–1835)
#, 1827 - 1835 M : Antara masa inilah perkiraan Kedatangan Syarif Abdullah bin Yahya, di Loloan : Bandingkan juga dengan masa pemerintahan Sultan Osman Pontianak , (1819 – 1855).,
#, - Gusti Putu Seloka berkuasa,: (1809–1835 M )
Dengan menggunakan 4 armada kapal, dan banyak pengikut nya, di usia antara 25 tahun sampai 40 tahun. Beliau hidup se zaman dengan : Gusti Putu Seloka, Gusti Ngurah Made Pasekan (wali negara c. 1840-1849), dan Gusti Putu Ngurah Sloka (1849–1855; wafat 1876) [anak Gusti Putu Sloka], Gusti Alit Mas (wali negara c. 1835-1840), : Gusti Putu Dorok (wali negara c. 1835-1840) [cicit Gusti Ngurah Batu]*,
* lihat : Raja raja penguasa Jembrana, pada bagian akhir blog ini.
#, - ( 1802 M - 1858 M,) :
Jika dihubungkan dengan sejarah kehidupan Habib Husein, berdirinya kota Pontianak, Sultan Abdurrahman, Sultan Kasim, Sultan Yusuf, di Istana Kadriah Pontianak, dapat disimpulkan bahwa Syarif Abdullah bin Yahya diperkirakan lahir pada sekitar tahun : 1802 M, dan pada tahun 1858 M , Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri (Syarif Tua) Cucu dari Syarif Yusuf ini, menutup mata untuk selamanya. Jasad beliau dimakamkan di areal pemakaman Loloan Timur. Dalam kompleks mesjid Baitul Qadim, Loloan, Bali Barat. (Reken, dalam shaleh saidi, 2002: 60-68).
Diperkirakan Syarif Tua mendarat di Bali, di masa pemerintahan Sultan Syarif Usman bertahta di Pontianak. Syarif Abdullah bin Yahya, menginjakkan kaki pertama kali, di Loloan, Jembrana, Bali Barat, sekarang.
Usia beliau pada saat itu diperkirakan, antara 25 hingga 40 tahunan.
Diperkirakan Syarif Tua mendarat di Bali, di masa pemerintahan Sultan Syarif Usman bertahta di Pontianak. Syarif Abdullah bin Yahya, menginjakkan kaki pertama kali, di Loloan, Jembrana, Bali Barat, sekarang.
Usia beliau pada saat itu diperkirakan, antara 25 hingga 40 tahunan.
Sementara moyang nya, Syarif Abubakar : yang merupakan saudara Sultan Abdurrahman ibni Almarhum Habib Husein, Mempawah, keliatan nya setelah membantu membuka hutan, bahkan masa sebelum membuka hutan, beliau melanglang buana ke berbagai daerah yang ada di Nusantara i
Tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa Abubakar bin Habib Husein, meninggal di waktu kecil, atau wafat tidak meninggalkan keturunan, karena dalam catatan kami, jelas disebutkan beliau ini memiliki istri bernama Syarifah Aminah wanita yang berasal dari Trengganu, tanah Melayu. Terbukti banyak anak keturunannya yang menyebar di berbagai tempat, hingga saat ini.
Pendapat ini diperkuat Habib Syaikhon Assegaf, Pasuruan, bahwa keturunan ini ada, hingga hari ini. Dan tercatat di beberapa kitab nasab tua. 2022
Itulah kenapa ketika dipaksakan nasab mereka tidak bisa tersambung, ke garis nasab : Syarif Abubakar bin Sultan Abdurrahman, bergelar Pangeran Laksamana Muda ( Panglima Laksamana II ), yang kemudian ditugakan ke negri Tibet
Atau Abubakar bin Sultan Kasim, atau Abubakar bin Sultan Usman
Penjelasan HS Yasin mengenai Leluhur mereka
Argumen yang mengatakan bahwa semua kerabat dimakamkan di Batulayang, juga tidak dapat diterima, karena sangat banyak ditemukan makam tua, diluar Batulayang, seperti di Kampung Mariana, Pontianak. Gang Sempit, dan di dekat mesjid Baiturrahman Pontianak, juga ada makam tua.
Kalimantan Barat wilayah yang sangat luas, dan tempat pemakaman, bukan hanya Batulayang. Kakek saya ( penulis ) di makamkan di Desa Sei Belanga, sekitar 30 km dari kota Pontianak, arah ke Sei Pinyuh. Beliau bernama : Syarif Muhammad, bin Ibrahim, bin Abubakar
Secara garis nasab vertikal,: Syarif tua, Abdullah bin Yahya di Loloan, merupakan pangkat cucu kemenakan, dari Sultan Abdurrahman, ( putra Nyai Tua ), dari saudara Sultan, yang bernama Abubakar bin Habib Husein, ( putra Nyai Tengah), merupakan moyang nya Syarif Tua.
Perlu di ketahui, di zaman Sultan Usman, Sultan Pontianak ke,3,: Belanda kembali membuat perjanjian baru, yang sangat merugikan hak - hak kesultanan. Barangkali inilah yang jadi pemicu perlawanan Syarif Abdullah bin Yahya, kepada VOC. Bisa jadi beliau kemudian angkat senjata, dan merampas kapal asing, kemudian berlayar ke arah timur Kalimantan, dan akhirnya mendarat di Loloan, Bali, Jembrana ini.
Saat mendarat ini, usia beliau diperkirakan antara 25 sampai 40 tahun, atau sekitar. itu. Asumsi ini diambil dari angka Prasasti loloan, yang menyebutkan Tahun: 1847 Masehi, bertepatan dengan hari senin, 1 Zulhijjah 1268 Hijriah. Yang di buat mungkin setelah Syarif Tue menetap di loloan antara : 2 hingga 5 tahun disitu. Dan mendapatkan hibah tanah untuk pembangunan mesjid Baitul Qadim Loloan.
Faktor usia sangat penting di pertimbangkan mengingat zaman itu senioritas memegang peranan. Hal lain nya, mengingat banyak nya pengikut dalam rombongan beliau, yang menggunakan 4 armada kapal perang, ketika mendarat di Loloan. Disamping tentunya darah kebangsawanan yang mengalir ditubuhnya.
Perlu di ketahui, di zaman Sultan Usman, Sultan Pontianak ke,3,: Belanda kembali membuat perjanjian baru, yang sangat merugikan hak - hak kesultanan. Barangkali inilah yang jadi pemicu perlawanan Syarif Abdullah bin Yahya, kepada VOC. Bisa jadi beliau kemudian angkat senjata, dan merampas kapal asing, kemudian berlayar ke arah timur Kalimantan, dan akhirnya mendarat di Loloan, Bali, Jembrana ini.
Faktor usia sangat penting di pertimbangkan mengingat zaman itu senioritas memegang peranan. Hal lain nya, mengingat banyak nya pengikut dalam rombongan beliau, yang menggunakan 4 armada kapal perang, ketika mendarat di Loloan. Disamping tentunya darah kebangsawanan yang mengalir ditubuhnya.
Syarif Tua, karena kekerabatan yang masih sangat dekat dengan Sultan Abdurrahman, ada yang beranggapan bahwa beliau ini, saudara kandung Sultan, padahal bukan.
Yang benar diperkirakan adalah, beliau ini, pangkat cucu kemenakan Sultan Abdurrahman, dari adik Sultan bernama Panglima Laksamana Tua, Abubakar, Ncek Panglime Ribot, Harimau Wakkar, bin Habib Husein Tuan Besar Mempawah., Saudara satu ayah, Sultan Abdurrahman.
(Bandingkan antara tahun lahir, mendarat, dan wafat nya)
Satu hal yang kami ingin tegaskan, bahwa Sultan Abdurrahman bukanlah Sultan yang datang dari negeri arab, merimba hutan, kemudian menjadi Sultan!. Beliau adalah putra daerah, karena Ibu beliau, Nyai Tua, Utin Kabanat , wanita asli kelahiran Matan Tanjungpura. ( Ketapang, Sekarang ) bukan pendatang, tapi asli penghuni Borneo, yang lahir dan besar di situ.
Jadi Kesultanan Pontianak, bukan kesultanan pendatang Arab Yaman, tapi Kesultanan yang didirikan Pribumi, Borneo Asli. Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa Kesultanan Pontianak adalah Kesultanan Arab Yaman, sama sekali tidak berdasar.
Haji Syarif Yasin Al Qadri,
Sesepuh Loloan, Bali, Jembrana
A. PENDAHULUAN
Menulis biografi seorang tokoh, sejak
dahulu dirasakan penting manfaatnya. Biografi berarti kumpulan informasi
mengenai kehidupan dan kegiatan tokoh dari berbagai bidang yang dianggap
penting dan memegang peranan di dalam proses pembangunan masyarakat di suatu
wilayah.
Biografi dari salah satu tokoh yang telah mendahului kita perlu
ditulis karena beliau telah mengorbankan jiwa raganya untuk generasi sesudah
beliau.
Mungkin generasi sekarang masih mengenal beliau, namun generasi sesudah
kita mungkin tidak mengenal lagi. Makin lama makin kabur jasa beliau dalam
ingatan generasi-generasi sesudah kita dan akhirnya mereka akan melupakannya.
Jika itu terjadi, alangkah sayangnya.
Melupakan seseorang yang telah berbuat
baik bagi kita merupakan sesuatu yang menunjukkan kekurangan dalam sikap baik
kita jika tidak mau mengatakan kekurangan dalam moral kita.
Sebagai bangsa yang
baik kita harus mengenal terima kasih, harus tidak melupakannya, harus tetap
mengenangnya karena beliau sebagai cermin kehidupan baik kita. Semuanya itu
merupakan kewajiban kita sebagai penghormatan kepadanya (Soebantardjo, 1983:
31).
Tokoh sejarah juga mempunyai arti dan
nilai penting bagi kehidupan bangsa dan negara. Perlu dikenal dan dihayati
nilai-nilai pengabdiannya, inovasi, responsivitas, kepemimpinan, sikap
keterbukaan, kreativitas, kewibawaan, dan integritas kepribadian dalam
pembangunan bidang sosial, dan budaya bangsa. Dengan penulisan biografi Syarif
Abdullah Bin Yahya Al Qodri (Syarif Tua) diharapkan dapat menjadi sarana
peningkatan pengetahuan masyarakat dalam rangka pembangunan mental bangsa,
pembinaan persatuan bangsa, dan membangkitkan kebanggaan nasional.
B. KEADAAN HISTORIS JEMBRANA
Daerah Jembrana pada mulanya hanyalah
merupakan hutan belantara dari ujung timur wilayahnya sampai ujung barat dan
banyak dihuni oleh binatang buas, sehingga tidak seorangpun manusia yang berani
masuk ke daerah itu apalagi sampai tinggal menetap di sana.
Perkembangan selanjutnya datanglah orang-orang buangan yang berasal dari Bali timur dan orang yang melakukan migrasi ke daerah Jembrana dengan tujuan untuk mempertahankan hidupnya di daerah yang baru dengan bekerja keras. Selain itu ada juga masyarakat yang berasal dari Pulau Jawa. Mereka pada umumnya mengembil tempat pemukiman di daerah pesisir pantai karena sebagian besar mata pencaharian mereka adalah hidup sebagai nelayan.
Sedangkan para migran yang datang dari Bali timur pada umumnya hidup dengan mata pencaharian sebagai petani baik kebun maupun sawah (Puspawati, 1990: 25-27).
Perkembangan selanjutnya datanglah orang-orang buangan yang berasal dari Bali timur dan orang yang melakukan migrasi ke daerah Jembrana dengan tujuan untuk mempertahankan hidupnya di daerah yang baru dengan bekerja keras. Selain itu ada juga masyarakat yang berasal dari Pulau Jawa. Mereka pada umumnya mengembil tempat pemukiman di daerah pesisir pantai karena sebagian besar mata pencaharian mereka adalah hidup sebagai nelayan.
Sedangkan para migran yang datang dari Bali timur pada umumnya hidup dengan mata pencaharian sebagai petani baik kebun maupun sawah (Puspawati, 1990: 25-27).
Asal-usul dari daerah Jembrana erat
kaitannya dengan nama Jambu Ratna dan Jaran Rana. Kedua nama ini masing-masing
mempunyai kisah tersendiri. Nama Jembrana erat kaitannya dengan nama sebuah
istana (puri) yang dibangun oleh I Gusti Ngurah Jembrana, keturunan I Gusti
Agung Nyoman Alangkajeng (Raja Mengwi III).
Dokument tua di Jembrana
Selesai istana dibangun, kemudian diberi nama Puri Gede Jembrana dan daerah tempat istana dibangun dinamakan Jambu Rana kemudian disebut Jembrana. Ada juga yang menyebutkan bahwa Jembrana berasal dari nama seekor kuda yang bernama Jaran Rana. Istilah Jaran Rana ini erat kaitannya dengan terjadinya peperangan antara Pecangakan dengan Bakungan yang berawal dengan kuda yang bernama Jaran Rana (Buda, 1990: 21-23)
.
Diangkatnya Gajah Mada menjadi Maha
Patih di Majapahit oleh Prabhu Wisnuwardana tahun 1331 M, maka ketika itu Gajah
Mada mengucapkan sumpahnya di hadapan para bangsawan, bahwa beliau tiada akan
makan “Palapa” (rempah-rempah) sebelum seluruh kepulauan Nusantara dapat
dikuasainya atau dipersatukan di bawah Kerajaan Majapahit.
Pada waktu itu Bali Aga masih merdeka penuh, dan Raja Majapahit kurang senang mendengar perbuatan Dalem Bedahulu (Bedulu) yang disangka menentang atau merusak agama di Bali dan tidak mau takluk kepada Majapahit. Alasan inilah yang dipakai untuk menaklukkan Bali (Nyoka, 1990: 3).
Pada waktu itu Bali Aga masih merdeka penuh, dan Raja Majapahit kurang senang mendengar perbuatan Dalem Bedahulu (Bedulu) yang disangka menentang atau merusak agama di Bali dan tidak mau takluk kepada Majapahit. Alasan inilah yang dipakai untuk menaklukkan Bali (Nyoka, 1990: 3).
1343 M. : Dalem Bedahulu yang bergelar Sri Astasura Ratna Bhumi Banten (Raja Bali), Setelah ditaklukkan Majapahit
Bali mengalami perubahan setelah diambil
alih dari tangan Dalem Bedahulu yang bergelar Sri Astasura Ratna Bhumi Banten
(Raja Bali) oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit pada tahun 1343 M.
Keadaan
Pulau Bali bertahun-tahun masih penuh kekacauan dan terjadi pembrontakan di
sana-sini. Masih banyak juga orang-orang yang tidak mau tunduk kepada
majapahit. Untuk mengatasi hal ini Patih Gajah Mada mohon kepada Dhanghyang
Kepakisan agar beliau berkenan memberikan seorang putranya untuk diangkat
menjadi Adipati di Bali
Sultan Hamid .II - Pidato HUT - RI ke 4
sebagai Penguasa Bali dari trah Majapahit.
Beliau memberikan putranya yang bungsu bernama Sri Kresna Wangbang Kepakisan dan dilantik menjadi Adipati, abiseka Dalem Ketut Kresna Kepakisan, berkedudukan di Samprangan pada tahun 1352 M.
Kedatangan
Dalem Ketut Kresna Kepakisan di Bali didampingi oleh 11 para Arya, yaitu: Arya
Kanuruhan, Arya Wangbang, Arya Demung, Arya Kepakisan, Arya Tumenggung, Arya
Kenceng, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Munguri, Arya Pangalasan dan Arya
Kutawaringin (Anak Agung Ktut Agung, 1991: 12., S. Swarsi, dkk, 1998/1999:
27-30).
Dalem Ketut Kresna Kepakisan beristana
di Samprangan, sedangkan Patih Baginda di Nyuhaya, sehingga terkenal sebutan I
Gusti Nyuhaya di masyarakat.
Adapun para menteri yang lainnya diberikan tempat
kedudukan masing-masing, Arya Kutawaringin di Klungkung, Arya Kenceng di
Tabanan, Arya Belog di Kaba-Kaba, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belentong di
Pacung, Arya Sentong di Carang sari, Arya Kanuruhan di Tangkas, Arya Kriyan
Punta di Mambal, Arya Jrudeh di Tamukti, Kriyan Tumenggung di Patemon, Arya
Demung Wang Bang Kediri di Kretalangu, Arya Sura Wang Bang Lasem di Sukahet,
Arya Wang Bang Mataram
Tidak menetap di suatu tempat dan boleh dimana saja, Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem, Arya Gajah Para dan adiknya yaitu Arya Getas bertempat di Toy anyar. Begitulah asal mulanya, dan seluruh penempatan ini atas perintah Patih Gajah Mada (I B Rai Putra, 1991: 10-11).
Keluarga Besar, Pecahan Sayyid Abubakar
Panglima Laksamana Tua,
Tidak menetap di suatu tempat dan boleh dimana saja, Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem, Arya Gajah Para dan adiknya yaitu Arya Getas bertempat di Toy anyar. Begitulah asal mulanya, dan seluruh penempatan ini atas perintah Patih Gajah Mada (I B Rai Putra, 1991: 10-11).
Arya Malel Cengkrong di tempatkan di
Jembrana adalah arya dari Pejarakan merupakan pasukan berkuda Majapahit.
Setelah Arya Malel Cengkrong wafat, digantikan oleh keturunannya yakni I Gusti
Ngurah Gde Pecangakan, I Gusti Ngurah Bakungan dan I Gusti Ngurah Pancoran.
##, Jaran Rana, Kuda Putih Penyebab Petaka
I
Gusti Ngurah Bakungan mendirikan istana di daerah Gilimanuk Cekik yang bernama
Puri Bakungan, sedangkan I Gusti Ngurah Pecangakan mendirikan istana yang
bernama Puri Pecangakan dan I Gusti Ngurah Pancoran menjabat Manca agung di
Pacangakan.
Awalnya kedua kerajaan ini hidup
berdampingan dengan damai, namun akhirnya mengalami persaingan karena
disebabkan oleh seekor kuda. I Gusti Ngurah Gde Pecangakan memiliki kuda putih
yang bernama Jaran Rana. I Gusti Ngurah Bakungan ingin sekali memiliki kuda
putih tersebut.
Akhirnya terjadi peperangan antara Bakungan dengan Pecangakan yang berawal dari upacara adat Dewa Yadnya di Puri Bakungan.
Nasab di Loloan
Syarif Abdullah bin Yahya Maulana Al Qadri, bin Yusuf, bin Abubakar
( Panglima Laksamana Tua, EncekPanglime Ribut, Harimau Wakkar )
Akhirnya terjadi peperangan antara Bakungan dengan Pecangakan yang berawal dari upacara adat Dewa Yadnya di Puri Bakungan.
--, I Gusti Ngurah Gde
Pecangakan diundang untuk menghadiri upacara, namun undangan ini dianggap
prasangka buruk dan beliau berpesan kepada I Gusti Ngurah Pancoran dan segenap
keluarga puri, “Apabila kudaku kembali ke istana (puri) bermandikan darah tanpa
aku datang, itu berarti aku telah tertipu dan terbunuh oleh adik Bakungan,"
Para istri supaya melakukan bunuh diri (dharma satya) dan segenap harta benda (raja brana) disembunyikan di dalam tanah puri. Arya Pancoran harus menuntut balas dan menghancurkan habis-habisan istana/puri dan isi Bakungan”.
Para istri supaya melakukan bunuh diri (dharma satya) dan segenap harta benda (raja brana) disembunyikan di dalam tanah puri. Arya Pancoran harus menuntut balas dan menghancurkan habis-habisan istana/puri dan isi Bakungan”.
Setelah pesan disampaikan, rombongan I
Gusti Ngurah Pecangakan beragkat ke Bakungan dan sampai disana diterima dengan
baik.
Keesokan harinya diadakan penyembelihan ternak sapi, kerbau dan babi
untuk perlengkapan upacara. Kuda putih kesayangan I Gusti Ngurah Gde Pecangakan
menjadi liar dan lepas dari kandangnya.
Kejadian ini dilaporkan dan
diperintahkan untuk segera mengejarnya namun tidak berhasil.
Sultan Abubakar Allahyarham
Kuda putih yang
melarikan diri dari Bakungan tiba di Pecangakan sehingga mengejutkan keluarga
puri dan seluruh rakyatnya.
Karena teringat dengan pesan yang disampaikan oleh
I Gusti Ngurah Gde Pecangakan, maka para istri melakukan bunuh diri (satya) dan
harta benda disimpad di dalam sumur puri.
I Gusti Ngurah Pasncoran dengan
pasukannya berangkat ke Bakungan untuk menuntut balas dan menghancurkan Puri
Bakungan, namun tidak menemukan mayat I Gusti Ngurah Gde Pecangakan.
Akhirnya diputuskan untuk kembali pulang ke Pecangakan, dan setelah tiba di Pecangakan I Gusti Ngurah Pancoran kaget karena I Gusti Ngurah Gde Pecangakan masih hidup, lalu diceritrakan hal yang mereka lakukan di Bakungan.
Akhirnya diputuskan untuk kembali pulang ke Pecangakan, dan setelah tiba di Pecangakan I Gusti Ngurah Pancoran kaget karena I Gusti Ngurah Gde Pecangakan masih hidup, lalu diceritrakan hal yang mereka lakukan di Bakungan.
Akhirnya I Gusti Ngurah
Bakungan murka dan menantang perang tanding dengan I Gusti Ngurah Gde
Pecangakan di sebuah pulau kecil di sebuah sungai yang disebut pulau kembar.
Dalam perang tanding itu keduanya sama-sama tewas.
Dalam perang tanding itu keduanya sama-sama tewas.
Para arya, brahmana dan
rakyat yang masih hidup menamakan daerah/negeri Bakungan dan Pecangakan yang
telah musnah disebabkan oleh kuda putih bernama Jaran Rana dengan nama Jembrana
(Buda, 1990: 24-26). Bahkan Danghyang Nirartha dalam perjalanannya ke Bali dari
Pulau Jawa menyebutkan daerah Bali barat yang dikunjunginya dengan nama
Jembrana (Toetoer Lambangkawi, No. 1339/Va: 1-2).
Ada lagi ceritra yang beredar di
masyarakat bahwa Jembrana berasal dari Jimbar Wana yang diartikan sebagai
berikut;
Jimbar artinya besar, Wana artinya hutan.
Jimbaran Wana artinya hutan
yang besar. Dari cerita-cerita itulah kemudian kata-kata Jaranbana menjadi
Jembrana. Begitu pula kata-kata Jimbar Wana menjadi Jembrana. Meskipun cerita
dongeng ini telah lama tersebar di antara desa-desa yang ada dengan versi yang
berbeda-beda, namun kenyataannya cerita ini masih tetap hidup di kalangan
masyarakat Jembrana sampai saat ini (Jayus, 1993: 1-2).
a. Asal-Usul Nama Negara.
#, Menurut kakek A. Damanhuri bernama Harun yang juga sebagai guru penari di puri Negara.
Kota Negara yang ada sekarang ini
termasuk wilayah swapraja Jembrana sejak masa pemerintahan Sunda Kecil, begitu
pula pada masa pemerintahan Bali dan Nusa Tenggara (Raka, 1955: 101).
Nama
Negara berdasarkan kisah di masa lampau atau berdasarkan legenda yang berkembang
di masyarakat ada dua versi yakni: Negara berasal dari kata Naga Ru yang
artinya Naga Dua, menurut penuturan kakek A. Damanhuri bernama Harun yang juga
sebagai guru penari di puri Negara.
Beliau wafat pada tahun 1952 dengan usia 125 tahun menuturkan bahwa, beliau berkali-kali menyaksikan bilamana terjadi air banjir besar di Sungai Ijo Gading terlihat dua buah cahaya seperti lampu terapung mengikuti arus menuju muara. Konon cahaya itu adalah dua ekor ular naga, menuju hutan Gunung Sembulungan (timur Kota Muncar Banyuwangi)
. Kisah tersebut sangat memasyarakat dikalangan umat Hindu dan Muslim Jembrana, sehingga kisah tersebut merasuk ke dalam jiwa para seniman Jembrana, terbukti bila para seniman Jembrana melukis atau mengukir pada alat-alat kesenian tidak luput dari lukisan atau ukiran berupa dua ekor naga sebagai penghiasnya.
Beliau wafat pada tahun 1952 dengan usia 125 tahun menuturkan bahwa, beliau berkali-kali menyaksikan bilamana terjadi air banjir besar di Sungai Ijo Gading terlihat dua buah cahaya seperti lampu terapung mengikuti arus menuju muara. Konon cahaya itu adalah dua ekor ular naga, menuju hutan Gunung Sembulungan (timur Kota Muncar Banyuwangi)
. Kisah tersebut sangat memasyarakat dikalangan umat Hindu dan Muslim Jembrana, sehingga kisah tersebut merasuk ke dalam jiwa para seniman Jembrana, terbukti bila para seniman Jembrana melukis atau mengukir pada alat-alat kesenian tidak luput dari lukisan atau ukiran berupa dua ekor naga sebagai penghiasnya.
Negara juga berasal dari kata Negari
yang dikaitkan dengan sebutan kota yang dibangun pada tahun 1679 di atas
kawasan Negara, yang kini disebut kota lama. Orang-orang suku bugis dan Melayu
yang datang ke Jembrana memasuki kawasan Negara mulai tahun 1653-1669, secara
umum menggunakan bahasa melayu yang hingga kini disebut bahasa Loloan
. Oleh karena itu maka sebuah kota menurut orang-orang Melayu disebut Negari, sehingga Puri Agung yang dibangun oleh kerajaan Jembrana, letaknya kira-kira 1 Km sebelah utara kota selesai dibangun pada tahun 1803 diresmikan dengan nama Puri Agung Negari. Semakin lama kota semakin ramai dan bertambah maju, sehingga Puri Agung Negari berubah namanya menjadi Puri Agung Negara yang kemudian menjadi Kota Negara (Damanhuri, 1993: 1-2). Ada juga yang menyebutkan bahwa Negara berasal dari kata Sansekerta yang artinya Kota (Parwata, 1994: 19).
. Oleh karena itu maka sebuah kota menurut orang-orang Melayu disebut Negari, sehingga Puri Agung yang dibangun oleh kerajaan Jembrana, letaknya kira-kira 1 Km sebelah utara kota selesai dibangun pada tahun 1803 diresmikan dengan nama Puri Agung Negari. Semakin lama kota semakin ramai dan bertambah maju, sehingga Puri Agung Negari berubah namanya menjadi Puri Agung Negara yang kemudian menjadi Kota Negara (Damanhuri, 1993: 1-2). Ada juga yang menyebutkan bahwa Negara berasal dari kata Sansekerta yang artinya Kota (Parwata, 1994: 19).
Pernyataan Ahli Sejarah Bali,
Menurut Achmad Damanhuri,
Menyebutkan
bahwa sejak diresmikannya kota lama oleh penguasa I Gusti Ngurah Pancoran pada
tahun 1679 merupakan indikasi dan sekaligus merupakan batu pijakan bagi awalnya
sejarah lahirnya Kota Negara sebagai Ibu Kota Kabupaten Daerah Tingkat II
Jembrana. Sedangkan menurut Ida Pedanda Gede Sigaran dan I Ketut Serung
mengemukakan bahwa Kota Negara lahir pada Purnamaning Kasa, tanggal 27 Juni
1800.
Lahirnya kota Negara identik dengan berdirinya istana raja, di mana letak istana raja di sanalah letak pusat pemerintahan dan sekaligus menjadi ibu kota kerajaan. Penentuan angka tahun tersebut didasarkan pada pendirian Puri agung Negeri oleh Anak Agung Putu Seloko yang terletak satu kilo meter sebelah utara bandar Pancoran, dan pada saat itu juga raja Anak Agung Putu Seloko berpindah dari Puri Gede Jembrana ke Puri Agung Negeri sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Jembrana.
Lahirnya kota Negara identik dengan berdirinya istana raja, di mana letak istana raja di sanalah letak pusat pemerintahan dan sekaligus menjadi ibu kota kerajaan. Penentuan angka tahun tersebut didasarkan pada pendirian Puri agung Negeri oleh Anak Agung Putu Seloko yang terletak satu kilo meter sebelah utara bandar Pancoran, dan pada saat itu juga raja Anak Agung Putu Seloko berpindah dari Puri Gede Jembrana ke Puri Agung Negeri sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Jembrana.
Berdasarkan data arsip, identifikasi
mengenai hari, tanggal, bulan dan tahun kelahiran kota, dalam hal ini kelahiran
Kota Negara telah ditemukan dalam Staatsblad van Nederlandsch-indie No. 175 tahun
1895 mengenai nama-nama ibu kota (hoofdplaatsen) afdeeling-afdeeling Buleleng
dan Jembrana.
Staatsblad-staatsblad sebelumnya sama sekali belum pernah menyebutkan adanya perkataan hoofdplaat (ibu kota) terhadap Negara secara resmi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan sumber resmi yang diundangkan dan diterbitkan oleh Pemerintah Dalam Negeri atas nama Ratu, dengan perwakilannya Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, dapat disebut sebagai fakta lahirnya Ibu Kota Negara. Dinyatakan mulai berlakunya sejak ditetapkan di Buitenzorg tanggal 15 Agustus 1895, hari Kamis Paing, wuku Prangbakat (Tim Penulis, 1997: 55-59).
Staatsblad-staatsblad sebelumnya sama sekali belum pernah menyebutkan adanya perkataan hoofdplaat (ibu kota) terhadap Negara secara resmi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan sumber resmi yang diundangkan dan diterbitkan oleh Pemerintah Dalam Negeri atas nama Ratu, dengan perwakilannya Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, dapat disebut sebagai fakta lahirnya Ibu Kota Negara. Dinyatakan mulai berlakunya sejak ditetapkan di Buitenzorg tanggal 15 Agustus 1895, hari Kamis Paing, wuku Prangbakat (Tim Penulis, 1997: 55-59).
Demikianlah dikisahkan asal-usul nama
daerah yang terletak diujung barat pulau Bali yang sampai kini masih tetap
disebut Jembrana dengan Ibu Kotanya Negara.
Mesjid Agung "Baitul Qodim"di Loloan, Jembrana, Bali
Dibangun oleh Syarif Abdullah bin Yahya Maulana Al Qadri,
bin Yusuf, bin Abubakar
keturunan Habib Husein Langsung,
dari Sayyid Abubakar,
saudara Sultan Abdurrahman Pontianak.
b. Masuknya Suku Pendatang di Jembrana.
Mengenai kapan masuknya orang-orang
asing ke Bali, khususnya di Jembrana belum dapat dipastikan karena
sumber-sumber yang mendukung belum ditemukan. Sumber lokal menyebutkan bahwa
kedatangan orang asing yang pertama di Jembrana adalah orang Bugis pada
pertengahan abad 17. Mereka datang dari Makasar sewaktu terjadi peperangan
antara kerajaan di Sulawesi Selatan.
Pada saat itu juga datang pasukan Belanda (VOC) untuk merebut daerah Makasar, dan berhasil merebutnya setelah diadakan perjanjian Bongaya pada tahun 1667.
Pada saat itu juga datang pasukan Belanda (VOC) untuk merebut daerah Makasar, dan berhasil merebutnya setelah diadakan perjanjian Bongaya pada tahun 1667.
Abad ke-16 di Sulawesi Selatan telah ada
beberapa kerajaan yang berdiri sendiri seperti Kerajaan Gowa-tallo, Wajo, Bone,
Luwu dan Sopeng. Persaingan antar kerajaan terjadi terutama kerajaan Gowa
dengan kerajaan Bugis (Wajo, Luwu, Bone, dan Sopeng).
Peperangan antar kerajaan terjadi karena perebutan kekuasaan di Sulawesi Selatan. Dalam peperangan Gowa selalu unggul dibandingkan dengan Bone, sehingga Bone bersekutu dengan Wajo dan Sopeng. Persatuan tiga kerajaan Bugis (Wajo, Bone dan Sopeng) disebut Tellumpoccoe (Buda, 1990: 43-44).
Peperangan antar kerajaan terjadi karena perebutan kekuasaan di Sulawesi Selatan. Dalam peperangan Gowa selalu unggul dibandingkan dengan Bone, sehingga Bone bersekutu dengan Wajo dan Sopeng. Persatuan tiga kerajaan Bugis (Wajo, Bone dan Sopeng) disebut Tellumpoccoe (Buda, 1990: 43-44).
Gerakan peng-Islaman yang diserukan
kerajaan Gowa ditolak oleh persekutuan kerajaan Bugis, sehingga terjadi
peperangan di Sulawesi Selatan. Satu persatu kerajaan Bugis dapat ditaklukkan
seperti Sopeng dapat ditundukkan pada tahun 1609, Wajo ditundukkan tahun 1610
dan Kerajaan Bone dapat ditaklukkan pada tahun 1611. Gerakan peng-Islaman di
Sulawesi selatan baru dianggap selesai setelah Kerajaan Bone menerima Islam
sebagai agama resmi kerajaan.
Gamis biru:
Sayyid Muqarrabin bin Abdurrahman, ( Ranai , Riau )
keturunan pecahan Muhammad bin Yusuf bin Abubakar ,
bin tuan besar MEMPAWAH Alhabib Hussain Alqadrie.
Sejak perjanjian Bongaya dilaksanakan di
Sulawesi Selatan tahun 1667,
Terdapat orang-orang Bugis yang bermigrasi ke
Jawa. Pelarian orang-orang Bugis ini membawa dendam kepada Belanda, begitu pula
Belanda berusaha menghancurkan orang-orang Bugis yang dianggap membahayakan
kekuasaan pemerintah Belanda. Orang-orang Bugis mengembara sambil memberikan
bantuan kepada para musuh-musuh kompeni (VOC).
Sayid Muqarabin dan kakak nya Syarifah Istiqomah bin/ binti :
SAYID ABDURRAHMAN BIN MAHMUD BIN HASAN
BIN MUHAMMAD BIN YUSSUF BIN LAKSAMANA TUA ABUBAKAR
BIN HABIB HUSAIN TUAN BESAR MEMPAWAH
Di Bali pengaruh kekuatan Belanda pada
abad ke-17 dan 18 belum begitu nampak
Sehingga pelarian orang-orang Bugis dari
Sulawesi Selatan dengan aman dapat berlabuh di pantai-pantai pulau Bali. Di
Bali mula-mula mereka mendarat di tiga tempat yakni di pantai Lingga di
Buleleng, Serangan di Badung dan Air Kuning di Jembrana.
Pendaratan orang-orang Bugis di pantai
Lingga Buleleng terjadi karena menyerahnya Raja Hasanudin kepada Belanda dan
pada tahun 1667 terpaksa Makasar diserahkan.
Sejak itulah banyak orang-orang
Bugis dan Mandar yang melarikan diri ke selatan yang antara lain ke Bali di
antaranya ada yang bertempat tinggal di pantai Lingga Buleleng.
Karena
orang-orang ini dianggap bajak laut oleh Belanda dan oleh penduduk Buleleng
sehingga Aji Mampa dan pengiringnya terpaksa meninggalkan pantai Lingga menuju
ketimur dan menetap di sebuah kampung Bugis (Ginarsa dalam Saidi, dkk, 2002:
73-77).
Sultan Hamid.II - Pidato KMB.II
Masuknya orang-orang Bugis di Serangan-
Badung, ditinjau dari sudut ekonomi terjadi karena adanya hubungan dagang
antara orang-orang Bugis dari Sulawesi Selatan dengan orang-orang Bali yang
bertempat tinggal dalam wilayah kerajaan Badung sejak abad ke-17.
Dari hubungan
dagang akhirnya meningkat kepada hubungan yang bersifat persahabatan di antara
orang-orang Bugis tersebut dengan pihak kerajaan Badung. Bukti-bukti yang
menunjukkan hubungan baik tersebut adalah sewaktu kerajaan Badung memerlukan
prajurit-prajurit andalan yang sangat dibutuhkan pada waktu menggempur Mengwi.
Penyerbuan terhadap Mengwi dilakukan oleh kerajaan Badung dengan menggabungkan pasukannya sendiri ditambah dengan pasukan Bugis serta Raden Sastroningrat dengan pengikut-pengikutnya. Dengan pasukan gabungan ini akhirnya kemenangan dapat tercapai.
Penyerbuan terhadap Mengwi dilakukan oleh kerajaan Badung dengan menggabungkan pasukannya sendiri ditambah dengan pasukan Bugis serta Raden Sastroningrat dengan pengikut-pengikutnya. Dengan pasukan gabungan ini akhirnya kemenangan dapat tercapai.
Bukti lain yang juga menunjukkan
hubungan baik antara kerajaan dengan orang-orang Bugis ketika daerah Jembrana
sebagai pusat kekuatan orang-orang Bugis di Bali menjadi vazal kerajaan Badung,
maka menempatkan seorang Kepala orang-orang Bugis di Jembrana yaitu Kapten
Patimi sebagai wakil . Jadi Kapten Patimi ini di samping diangkat sebagai
wakilnya juga bertindak sebagai syah bandar.
Hubungan baik ini sekarang dilanjutkan terus dan tidak jarang juga raja membantu keperluan orang-orang Bugis tersebut, dan jika orang-orang Bugis ini berkunjung ke Puri Pemecutan mereka menghadap tidak sebagai halnya rakyat menghadap kepada raja, melainkan menghadap raja sebagai layaknya seorang sahabat yang berkunjung kepada sahabatnya.
Hubungan baik ini sekarang dilanjutkan terus dan tidak jarang juga raja membantu keperluan orang-orang Bugis tersebut, dan jika orang-orang Bugis ini berkunjung ke Puri Pemecutan mereka menghadap tidak sebagai halnya rakyat menghadap kepada raja, melainkan menghadap raja sebagai layaknya seorang sahabat yang berkunjung kepada sahabatnya.
Mesjid yang ada di Pulau Serangan yang termasuk Mesjid pertama dan
tertua di Badung dibangun dengan biaya kerajaan, termasuk juga pembelian marmer
yang dipasang pada Mesjid tersebut adalah merupakan barang perdagangan import
dari India yang masuk lewat Singapura.
SAYID HASSAN BIN ABDILLAH BIN ALI BIN HASYIM
BIN USMAN BIN SYARIF TUE ABDULLAH BIN YAHYA
BIN YUSUF BIN ABUBAKAR LAKSAMANA TUA TUNKU NCEK PANGLIME RIBOT
BIN HABIB HUSAIN ALQADRI TUAN BESAR MEMPAWAH
( Kaca Mata ) bersama Hb.Thaufik Assegaf
(Pecahan dari : saudara Yahya dan Qasim)
bin Yussuf bin Abubakar bin Habib Hussain Alqadri
Masuknya pengaruh orang-orang Bugis di
Air Kuning Jembrana
sudah terjadi pada abad ke-16.
Pada zaman itu terjadi
peperangan antara kerajan-kerajaan di Sulawesai Selatan, yang disambung dengan
peperangan melawan tentara Belanda hingga abad ke-19.
Akibat dari peperangan
ini sehingga mereka pindah ke daerah-daerah pantai timur dan utara Sumatra,
pantai barat dan selatan Kalimantan (orang Bugis Pegatan), Banten (Jawa Barat),
Pasuruan (Jawa Timur), Badung Bali dan yang terakhir di Air Kuning Jembrana.
Pendaratan di Air Kuning dipimpin oleh Daeng Nachoda sekitar tahun 1669 dan masuk kuala Perancak.
Pendaratan di Air Kuning dipimpin oleh Daeng Nachoda sekitar tahun 1669 dan masuk kuala Perancak.
Mereka berhasil mendarat dengan mempergunakan perahu
perang jenis “Lambo dan Pinisi” yang berisikan senjata api, meriam-meriam serta
senjata tombak, badik dan keris. Rombongan ini menetap sementara disebuah
tempat yang mereka namakan Kampung Bali. Sebuah sumur air tawar yang jernih
hingga kini masih ada disebut oleh warga sekitar dengan nama Sumur Bajo yang
terletak ditepi kuala Perancak sebelah barat.
Akhirnya mereka mengetahui bahwa daerah yang mereka tempati bernama Jembrana. Mereka diberi izin oleh penguasa daerah Jembrana (marga Arya Pancoran) untuk menetap di Pancoran.
Akhirnya mereka mengetahui bahwa daerah yang mereka tempati bernama Jembrana. Mereka diberi izin oleh penguasa daerah Jembrana (marga Arya Pancoran) untuk menetap di Pancoran.
Tempat
pendatang dari Bugis ini terkenal dengan nama pelabuhan Bandar Pancoran
(pelabuhan lama di Loloan Barat) (Suwita, dalam Depdikbud RI, 1997: 173).
Kompleks Pemakaman
Syarif Abdullah bin Yahya Maulana Al Qadri,
bin Yusuf, bin Abubakar
Beliau merupakan keturunan Habib Husein Langsung,
dari Abubakar,
saudara Sultan Abdurrahman Pontianak.
Setelah pertengahan abad ke-18,
Disusul
pula oleh orang-orang dari Kalimantan Barat (Pontianak). Di Kalimantan Barat
terdapat koloni atau perkampungan orang-orang Bugis yang berasal dari Sulawesi
Selatan.
Di bawah pimpinan Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry orang-orang Bugis
dapat merebut sebuah kapal Perancis dan sebuah kapal Inggris di Pantai
Kalimantan Timur tahun 1770 dan 1771. ** Perlu data pembanding
Karena Syarif Abdulah tidak setuju dengan
perjanjian yang dibuat oleh Belanda tahun 1779M, ( Satu tahun setelah Abdurrahman dilantik sebagai Sultan ?) dengan kerajaan Pontianak, maka
mereka bersama anak buahnya meninggalkan negerinya menuju ke Bali dan mendarat
di Air Kuning Jembrana
Di Air Kuning mereka bertemu dengan orang Bugis yang dipimpin oleh Haji Shihabuddin yang telah lebih dahulu menetap di sana.
Di Air Kuning mereka bertemu dengan orang Bugis yang dipimpin oleh Haji Shihabuddin yang telah lebih dahulu menetap di sana.
Atas
bantuan pemuka orang Bugis di Air Kuning Syarif Abdullah dan anak buahnya
diantar menghadap kepada Raja Jembrana dan akhirnya mereka diijinkan mendiami
daerah di sebelah kiri dan kanan Sungai ijogading.
Tempat pemukiman mereka ini
kemudian diberi nama Loloan yang terletak di sebelah utara Bandar Pancoran
(Buda, 1990: 49-51).
Kedudukan orang-orang asing yang
beragama Islam bertambah kuat dengan kedatangan Encik Yaqub, orang Melayu dari
Trengganu mewakapkan sebuah Al Qur’an dan sebidang tanah sawah di Merta Sari
untuk pembiayaan dan pemeliharaan Mesjid Loloan.
Pewakapan ini terjadi pada
masa Pak Mahbubah menjadi penghulu, Pak Mustika sebagai Pembekel, disaksikan
oleh Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodry dan khatif ( dikenal sebagai Moyang Khatif ) adalah Abaa Abdullah Hamna.
Tanah wakaf di Mertasari adalah seluas 0,45 ha, selain itu terdapat juga di
Desa sembati seluas 0,90 ha, di Subak Tugtug seluas 1,05 ha, di Subak Cupel
1,25 ha, dan 1,50 ha terletak di Desa Sang Jangkrik (Buda, 1990: 51-52).
Suku pendatang lainnya adalah
orang-orang Jawa,
Madura, Sasak Cina dan Eropa.
Latar belakang mereka
beremigrasi ke Bali khususnya ke Jembrana belum ada sumber yang membicarakan
hal ini. Namun mereka ini pernah menetap atau setidak-tidaknya pernah menyinggahi
Jembrana di masa lampau yang kini anak-anak cucunya di antara mereka masih ada
di Jembrana. Hubungan Jawa dan Madura dengan Bali di satu pihak, dan hubungan
Bali dan Lombok di pihak lain sudah terjadi di masa lampau.
Hal ini tidak mustahil akan dapat mendorong persebaran orang-orang Jawa, Madura, Sasak maupun orang asing lainnya yang berada di Lombok maupun yang ada di Pulau Jawa. Persebaran terjadi setelah perhubungan laut semakin lancar karena perdagangan di Jembrana semakin terbuka dan ramai.
Hal ini tidak mustahil akan dapat mendorong persebaran orang-orang Jawa, Madura, Sasak maupun orang asing lainnya yang berada di Lombok maupun yang ada di Pulau Jawa. Persebaran terjadi setelah perhubungan laut semakin lancar karena perdagangan di Jembrana semakin terbuka dan ramai.
Penyebrangan orang Jawa, Madura dan
Sasak ke Bali nampak pula dilakukan melalui saluran ekspedisi militer atau
peperangan. Dalam ekspedisi Militer Belanda ke Bali tahun 1846 diikutsertakan
pasukan dari Madura sebanyak 500 orang, dalam pertempuran di Jagaraga tahun
1849 juga didatangkan tenaga kasar dari Jawa Timur sebanyak 2000 orang yang
terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura.
Setelah memperoleh kemenangan di Jagaraga,
(Keturunan Saudara dari: abdullloh bin yahya)
Sy Abdulatief bin Yahya
foto almarhum Ami Hasan bin Abdulloh bin Abdulatief bin Yahya
bin Yussuf bin Abubakar
bin Hb Hussin Tuan Besar Mempawah
bersama Habib Hud bin Muhammad Algadri
(jalur Syarif Tue Abdulloh bin Yahya)
Sei Pinyuh & Mempawah
Setelah memperoleh kemenangan di Jagaraga,
Di bawah pimpinan Jendral Michiels Belanda melanjutkan ekspedisinya
menuju ke Karangasem. Di Karangasem Belanda memperoleh bantuan dari pasukan
Lombok sebanyak 4000 orang. Fakta-fakta tersebut dapat menggambarkan bahwa baik
orang-orang Jawa, Madura maupun orang Lombok (Sasak) kerap meninggalkan
pulaunya untuk melawat ke daerah lain seperti Bali dalam rangka peperangan
(Buda, 1990: 56-59).
Orang-orang Eropa datang karena tertarik
karena kemajuan dan kemakmuran daerah Jembrana. Mula-mula mereka datang sebagai
pelancong dari banyuwangi. Pada tahun 1860 De Mey Van Gerwen datang di Jembrana
untuk memohon tanah Indra Loka kepada I Gusti Made Pasekan.
Setelah dikabulkan
pada tanggal 17 januari 1861 mereka menetap di tanah perkebunan Indra Loka
untuk memulai usaha pertanian. Pada tahun 1863 De Mey Van Gerwen menetapkan
tanah Indra Loka bernama Candi Kuning.
Sayyid Hasan bin Abdillah
Pada abad ke-19 hubungan perniagaan
bertambah ramai,
Terkenal dengan pengiriman ternak sapi dan kerbau ke Jawa.
Perniagaan selain dilakukan oleh orang-orang Bugis, juga nampak dilakukan oleh
orang-orang Cina dan Madura yang keluar masuk dari dan ke pelabuhan Loloan.
Menurut laporan Raden Sosrowidjojo dalam perjalannya ke Bali khususnya di
Jembrana menyebutkan bahwa pada tahun 1871 sudah terdapat orang-orang Cina yang
menetap di Loloan.
Sebagai bukti orang Cina pernah menetap di Jembrana diperkuat dengan adanya peninggalan batu nisan tertulis pada kuburan orang Cina di Jembrana memakai angka tahun 1883. Jadi informasi ini memperkuat bahwa orang-orang Cina sudah menetap di Jembrana pada abad ke-19 (Buda, 1990: 61-62).
Sebagai bukti orang Cina pernah menetap di Jembrana diperkuat dengan adanya peninggalan batu nisan tertulis pada kuburan orang Cina di Jembrana memakai angka tahun 1883. Jadi informasi ini memperkuat bahwa orang-orang Cina sudah menetap di Jembrana pada abad ke-19 (Buda, 1990: 61-62).
Sayid Hasan bin Abdillah, bersama
Sayid Hud bin Muhammad Alqadri .
( Loloan, Jembrana, Bali)
c. Datang nya Ulama-Ulama Besar di Jembrana.
Pada tahun 1669 :
Telah datang empat ulama
besar yang menyampaikan ajaran Islam. Mulanya mereka memberikan dakwah di Air
Kuning selama dua tahun.
Ulama-ulama tersebut adalah;
1. Pertama, Shofi
Sirojuddin, datang dari Betawi berkebangsaan Melayu asalnya dari Serawak
Malaysia Timur. Mereka akhirnya bermukim di Loloan Timur sampai akhir hayatnya. Orang Bugis menyebutkan Oding, sedang orang-orang memberi gelar Lebai, dan
dikenal dengan nama Buyut Lebai.
2. Kedua, Syeh Ahmad Fauzir, beliau berasal dari
Jawa Timur berkebangsaan Aden Yaman. Beliau melakukan dakwah ajaran Islam di
Loloan. Beliau mempunyai putra yang bernama Syeh dato Ibrahim yang lahir di
Loloan Timur dan menjadi ulama besar di Banyuwangi, serta dikenal sebagai orang
keramat.
3. Ketiga, H. Syihabuddin, beliau datang dari Buleleng dan tergolong suku
Bugis. Beliau memberikan dakwah Islam dan menetap di desa Air Kuning. Dengan
dakwah-dakwah yang disampaikan beliau, maka memperkuat iman dan ajaran Islam di
Jembrana.
4. Keempat, Haji Yasin, adalah salah seorang ulama besar yang datang
dari Buleleng. Beliau juga ikut memperkuat ajaran Islam di Jembrana. Beliau
adalah keturunan orang Bugis dan sering berdakwah di Loloan Barat (Damanhuri,
1993: 5-6).
C. PENGABDIAN SYARIF ABDULLAH BIN YAHYA
AL QODRI
(SYARIF TUA) DI JEMBRANA 1802 – 1858
a. Asal-Usul Keluarga.
Menurut I Wayan Reken, :
Bahwa Syarif
Abdullah bin Yahya Al Qodri berasal dari Pontianak, ayahnya adalah seorang
Ulama Arab yang termasyur. ibunya putri Raja di Matan. Ayahnya menjadi Kadi Agung.(**Yang dimaksud mungkin Habib Husin Bin Ahmad, tuan besar Mempawah, ayah Sultan Abdurrahman Alqadrie, Pendiri kerajaan Pontianak, Kalimantan Barat,
Karena sesuatu hal maka ia pindah ke Mampawah.
Pada tahun 1770,M ( Habib Husin) mangkat dan meninggalkan putra Syarif Abdurrahman dari perkawinannya dengan Ibunda Raja Matan.( ?) * 1771 Masehi, di Mempawah
Syarif Abdurrahman menikah dengan putri
Raja Mampawah, bernama Utin Chandramidi binti Opu Daeng Manambon, Raja Mempawah.
Sedangkan Syarif Abdulah bin Yahya Al Qodri :
SY..RASIDY BIN HASAN BIN ABDULLOH BIN ABDULATIEF BIN YAHYA
BIN YUSUF BIN ABU BAKAR
BIN HABIB HUSSAIN ALQADRIE MEMPAWAH
Sedangkan Syarif Abdulah bin Yahya Al Qodri :
Menikah dengan putri
Sultan Banjarmasin yang bernama Fatimah. (**catatan penulis : Jika Syarif Abdullah Saudara Sultan Abdurrahman, maka bin atau nama ayah nya haruslah : Habib Husin, jadi Abdullah bin Husin, dan bukan bin YAHYA,: Penulis Blog)
Pada tahun 1771 Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri di pantai timur Kalimantan dekat Pasir mereka merampas sebuah kapal milik Prancis dan sebuah kapal Inggris. Kejadian ini membuat situasi menjadi panas sehingga mertuanya yaitu Sultan Banjarmasin menyuruhnya pergi.(?) * Perlu pengkajian mendalam, sebab dalam catatan sejarah kesultanan Pontianak, yang merampas kapal ini adalah Pangeran Nur Alam, Abdurrahman yang kemudian menjadi Sultan Pertama kerajaan Pontianak : Penulis blog)
Pada tahun 1772( ?)* ( sebenarnya : 1771, 23 Oktober 1771 M, diperingati sebagai hari jadi kota Pontianak, sampai hari ini ),= didirikan Kerajaan Pontianak oleh Syarif Abdurrahman dan Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri bersama kawan-kawannya serta dibantu oleh orang-orang Bugis yang berkampung di Pontianak kurang lebih jumlahnya 400 orang. Orang-orang Bugis ini berasal dari Sulawesi.( ?) * Perlu penelitian mendalam
Negara yang baru dibentuk maju dengan pesat dan banyak dikunjungi oleh orang-orang untuk kegiatan perdagangan. Oleh karena itu kerajaan Pontianak menjadi hal yang menarik bagi oang-orang asing terutama bagi Kompeni Belanda (dan Reken, 1979: 10-11).
Kerajaan
Pontianak ini dipimpin oleh Abdul Rahman bin Husin Al Qodri sebagai Sultannya,
sedangkan Abdullah bin Yahya Al Qodri ( lebih tepatnya Abubakar saudara Sultan dimaksud ) adalah sebagai wakilnya, dan dibantu oleh
seorang bangsa Melayu asal Kedah sebagai Panglima Perang Kesultanan, yang
bernama Dato Ahmad Muntahal.(?)
Baru saja pemerintahan Kerajaan
Pontianak berlangsung 8 tahun, timbullah rasa iri atau ingin menguasai dari
pemerintah Belanda (VOC) terhadap kemajuan yang dicapai Pontianak terutama di
bidang perdagangan.
Sultan Pontianak Abdurrahman bin Husin Al Qodri yang baru saja menduduki singasana kesultanan, mendadak mendapat tekanan atau teror dari pemerintahan Kompeni Belanda. Sultan dipaksa untuk mau bekerjasama dengan Belanda terutama di bidang perdagangan di negeri Pontianak. Karena Belanda memaksa dengan kekerasan, akhirnya dengan sangat terpaksa Sultan Pontianak menandatangani kerjasama di bidang perdagangan dengan Belanda.
Sultan Pontianak Abdurrahman bin Husin Al Qodri yang baru saja menduduki singasana kesultanan, mendadak mendapat tekanan atau teror dari pemerintahan Kompeni Belanda. Sultan dipaksa untuk mau bekerjasama dengan Belanda terutama di bidang perdagangan di negeri Pontianak. Karena Belanda memaksa dengan kekerasan, akhirnya dengan sangat terpaksa Sultan Pontianak menandatangani kerjasama di bidang perdagangan dengan Belanda.
Sejak ikut campurnya Belanda di dalam
Kerajaan Pontianak mengakibatkan terjadinya perpecahan di dalam kerajaan. Pada
tanggal 5 Juli 1779 (** satu tahun setelah kesultanan berdiri, Abdurrahman dinobatkan sebagai sultan Pontianak tahun : 1778.M )
Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Pontianak
Syarif Abdurraman (Jabar, 2008: 10-13).
Hal ini dipandang perlu dilakukan oleh Belanda untuk menghindarkan terjadinya peperangan-peperangan, Kompeni mengadakan pendekatan dengan kontrak, di mana Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman mengakui Kompeni sebagai tuannya.
Tunduknya atau pengakuan Sultan
Pontianak kepada Kompeni ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Kompeni. Hal ini
terbukti pada waktu Kompeni menghadapi Mampawah, Sultan Pontianak membantu
Kompeni untuk membinasakan kerajaan Mampawah dan Sukadana yang berlangsung pada
tahun 1786-1787.
Dengan demikian segala perniagaan beralih ke Pontianak (Reken, dalam Shaleh Saidi, 2002: 52-53 dan Reken, tanpa tahun: 10-11).
Dengan demikian segala perniagaan beralih ke Pontianak (Reken, dalam Shaleh Saidi, 2002: 52-53 dan Reken, tanpa tahun: 10-11).
Menurut I Wayan Reken, :
Dalam tulisannya
Sejarah Perkembangan Islam di Bali Khususnya di Jembrana, menyebutkan bahwa
Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman Al Qodri kata nya bersaudara dengan Syarif
Abdullah bin Yahya Al Qodri. (**Perlu penelitian, tentang siapa sebenarnya Syarif Abdullah bin Yahya Alqadrie ini, Penulis blog)
Hal ini menurut Bapak H. S. Yasin Al Qadri:
Hal ini menurut Bapak H. S. Yasin Al Qadri:
" Tidak
benar bahwa Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri adalah adiknya / saudara Sultan
Pontianak Syarif Abdurrahman Al Qodri. Syarif Abdullah adalah memang benar ada
hubungan darah dengan Syarif Abdurrahman, namun jauh di bawah dan bukan
bersaudara"
Masjid "Baitul Qodim" Loloan, Jembrana, Bali Barat
Setelah menetap di Jembrana, : Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri,: sebagian menyebutkan beliau lahir di Banjarmasin, pada tahun : 1754 M, dan wafat di Loloan pada tahun : 1858M, dalam usia : 104 tahun,- menikahi perempuan setempat bernama : Syarifah Fatimah, dikenal dengan : Si Punce ( dari kata Puan Encik ) : berubah karena dialek lokal, yang berasal dari Jembrana.
Dari pernikahan nya ini beliau mempunyai lima anak yakni:
1.Syarif Usman bin Abdullah bin Yahya Maulana Al Qadry (laki-laki),
2. Syarif Muhammad bin Abdullah bin Yahya Maulana Al Qadry (laki-laki),
3. Syarif Husin /atau, Hasan ? bin Abdullah bin Yahya Maulana Alqadry (laki-laki),
4. Syarifah Zainah, binti Abdullah bin Yahya, dipanggil : Bu Ami Agil (perempuan),
5. Syarifah Kalsum, binti Abdullah bin Yahya , mungkin karena anak bungsu dipanggil , Sarifah Encu (perempuan). Encu, atau Ucu, adalah panggilan anak bungsu di Pontianak, pengaruh Bugis.
Keturunan Yahya Maulana Al Qadry ,
bin Yusuf bin Abubakar, diantara nya :
1. Syarif Abdullah bin Yahya Maulana Al Qadry
2. Syarif Abdul Latif bin Yahya Maulana Al Qadry
3. Syarif Abdul Rozak bin Yahya Maulana Al Qadry
4. Syarif Muhammad Thohir bin Yahya Maulana Al Qadry
5.Syarif Sulaiman bin Yahya Maulana Al Qadry
##, -- Buku yang ditulis Sayyid Syech ibnu Ahmad bin Muhammad bin Umar bin Shihab, pada tahun : 1940 M - 1358 H, yang diterbitkan Rabithah Alawiyah, Judul : "Penjelasan Hasil Sensus Keturunan Bangsawan Arab, " - "Bayanu Natijatil Ihsha"i," mencatat bahwa di Jembrana, sekitar tahun : 1937 M, ada: 54 orang keturunan Al Qadry yang masih hidup. Berupa angka statistik. Akan tetapi tidak dijelaskan dalam buku tersebut asal - usul nya, --
Pernyataan H. S. Yasin Al Qadri : ( Lahir di Loloan, : 9 Pebruari 1945M - 76 tahun 2021M) Generasi ke : 5 ( lima ) dari Syarif Abdullah bin Yahya, : di perkuat oleh pernyataan H. Husein Jabar bahwa Syarif Abdurrahman (Sultan
Pontianak) tidak mungkin bersaudara dengan Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri.
H. Husein Jabar menjelaskan Sultan Pontianak Kalimantan Barat yang berkuasa sejak 1771-1808 M, namanya Sayid Abdul Rahman bin Husin bin Ahmad Al Qodri.
Ayahnya yaitu Husin bin Ahmad Al Qodri pada tahun 1735 M datang
dari Hadramaut di Matan
. Selanjutnya Sayid Husin Al Qodri menikah dengan Putri keluarga Matan, yang hanya disebut Ibunda di Matan .(** Lengkapnya bernama : Nyai Tua /Utin Kabanat, Nyai Tengah dan Nyai Bungsu ) Dari pernikahan tersebut lahirlah putra nya yang bernama Abdul Rahman. Setelah beberapa lama tinggal di Matan, maka Sayid Husin Al Qodri beserta keluarga nya pindah ke Mampawa.
Di Mampawa Sayid Husin diangkat sebagai pejabat penting yaitu menjadi Sekretaris Negeri, sampai ia menutup usianya di sana.
. Selanjutnya Sayid Husin Al Qodri menikah dengan Putri keluarga Matan, yang hanya disebut Ibunda di Matan .(** Lengkapnya bernama : Nyai Tua /Utin Kabanat, Nyai Tengah dan Nyai Bungsu ) Dari pernikahan tersebut lahirlah putra nya yang bernama Abdul Rahman. Setelah beberapa lama tinggal di Matan, maka Sayid Husin Al Qodri beserta keluarga nya pindah ke Mampawa.
Di Mampawa Sayid Husin diangkat sebagai pejabat penting yaitu menjadi Sekretaris Negeri, sampai ia menutup usianya di sana.
Sedangkan nama Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri
menurut H. Husin Jabar, secara otentik telah tersurat di dalam
Prasasti Loloan, bertahun : 1847 M, atau bertepatan : Senin, 1 Dzulhijjah 1268 H.
Dari sinilah diketahui identitasnya masing-masing. :
Abulrahman
(Sultan Pontianak) itu bin Husin Al Qodri.
Sedangkan Abdullah itu adalah bin
Yahya Al Qodri.
Untuk lebih jelasnya akan digambarkan silsilah keluarga mereka masing masing:
Habib Husein bin Ahmad bin Husein bin Mohammad Al Qadry ( Gelar Tuan Besar Mempawah,) Mufti agama Islam di kerajaan Opu Daeng Manambon di Mempawah, Kalimantan Barat, dimakamkan di Sejegi, Kota Mempawah Hilir, 65 Km dari kota Pontianak.
Memiliki Putra :
1) . Syarif Abdul Rahman bin Habib Husein Al Qadry :Ibu Nyai Tua, Sultan Pertama Pontianak, 1771 - 1808 M
2). Syarif Ahmad bin Habib Husein Al Qadry , Ibu Nyai Bungsu, Gelar : Tuanku Bendahara
3). Syarif Abubakar bin Habib Husein Al Qadry , Ibu Nyai Tengah, Gelar : Panglima Laksamana Tua , Harimau Wakkar, Ncek Panglime Ribot , salah satu saudara Abdurrahman yang ikut membuka hutan
4). Syarif Muhammad bin Habib Husein Al Qadry , Ibu Nyai Tengah, Gelar : Tuanku Witar
5) . Syarif Alwi bin Habib Husein Al Qadry ,: Ibu Nyai Tua, Gelar : Tuanku Syarif Bujang , makam di Mempawah
6). Syarif Ali bin Habib Husein Al Qadry, Ibu Nyai Bungsu, Gelar : Panglime Dolar
7) . Syarif Ahmad.II. bin Habib Husein Al Qadry, Ibu Nyai Piring , Gelar tidak diketahui
SAYID ABDURRAHMAN BIN MAHMUD BIN HASAN BIN MUHAMMAD
BIN YUSSUF BIN LAKSAMANA TUA ABUBAKAR
BIN HABIB HUSSAIN TUAN BESAR MEMPAWAH (berserta istri ) RANAI RIAU
Dilihat dari silsilah Syarif Abdullah
bin Yahya Al Qodri di atas, maka beliau adalah termasuk dari kalangan keluarga
yang terpandang atau seorang tokoh yang mempunyai karisma secara turun temurun.
Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa munculnya seorang pemimpin dalam hal ini Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadri sebagai seorang tokoh yang baik. Secara garis keturunan memang Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri adalah keturunan yang memiliki bakat-bakat menjadi seorang pemimpin.
Lingkungan keluarga pada masa itu yang penuh dengan gejolak atau menghadapi bangsa penjajah Belanda maka beliau sudah biasa hidup dilingkungan kekerasan. Hal ini membentuk karakter atau pribadi Syarif Abdullah yang tegar, penuh semangat dan tidak mau ditundukkan, dijajah oleh bangsa Belanda.
Oleh karena itu beliau tidak puas pada waktu Sultan Pontianak Syarif Abdrrahman mau menyerahkan kedaulatan negerinya kepada Kompeni Belanda pada tahun 1799. atau 1779?
Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa munculnya seorang pemimpin dalam hal ini Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadri sebagai seorang tokoh yang baik. Secara garis keturunan memang Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri adalah keturunan yang memiliki bakat-bakat menjadi seorang pemimpin.
Lingkungan keluarga pada masa itu yang penuh dengan gejolak atau menghadapi bangsa penjajah Belanda maka beliau sudah biasa hidup dilingkungan kekerasan. Hal ini membentuk karakter atau pribadi Syarif Abdullah yang tegar, penuh semangat dan tidak mau ditundukkan, dijajah oleh bangsa Belanda.
Oleh karena itu beliau tidak puas pada waktu Sultan Pontianak Syarif Abdrrahman mau menyerahkan kedaulatan negerinya kepada Kompeni Belanda pada tahun 1799. atau 1779?
Kesepakatan
bekerjasama ini yang ditandai dengan penandatanganan traktat dengan Belanda,
membuat Syarif Abdullah murka serta memutuskan membrontak kepada Belanda dan
melarikan diri untuk mencari daerah baru yang belum banyak dipengaruhi oleh
Belanda. Karena beliau adalah tokoh yang sangat dihormati sehingga beberapa
anak buahnya yang setia ikut bersamanya."
b. Syarif Tue Tiba di Kampung Loloan,
(sebenarnya) sekitar tahun : 1830 - 1835 M.
Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry
menggunakan empat perahu perang dengan muatan persenjataan lengkap seperti
meriam, badik, tombak dan keris. Mereka berhasil mendarat di air Kuning
(Jembrana) dan bertemu dengan orang Bugis yang telah lama menetap di sana yang
dipimpin oleh Haji Shihabuddin.
Haji Shihabuddin memberikan ijin kepada mereka untuk masuk ke Kuala Perancak dan berlabuh di pelabuhan darurat Air Kuning.
Atas bantuan pemuka orang Bugis ini Syarif Abdullah bersama rombongannya diantar menghadap kepada Raja Jembrana Anak Agung Putu Seloka (Raja ketiga yang memerintah dari tahun 1795-1842).** Dapat dijadikan patokan dasar waktu mendaratnya Syarif Abdullah bin Yahya
Raja Jembrana mengijinkan Syarif Abdullah beserta rombongannya untuk tetap tinggal dan bermukim di sebelah kiri dan kanan Sungai Ijo gading seluas 80 hektar (sekarang Loloan Barat dan Loloan Timur). Oleh raja mereka ditugaskan menjadi Laskar Keamanan Rakyat dari negeri Jembrana yang menjaga keamanan kerajaan Jembrana beserta rakyatnya (Sumerta, dkk, 2000: 9-10).
Haji Shihabuddin memberikan ijin kepada mereka untuk masuk ke Kuala Perancak dan berlabuh di pelabuhan darurat Air Kuning.
Atas bantuan pemuka orang Bugis ini Syarif Abdullah bersama rombongannya diantar menghadap kepada Raja Jembrana Anak Agung Putu Seloka (Raja ketiga yang memerintah dari tahun 1795-1842).** Dapat dijadikan patokan dasar waktu mendaratnya Syarif Abdullah bin Yahya
Kanan sarung MERAH :
SAYID ALI RIDHO BIN YASSIN BIN ZAIN BIN USMAN BIN ZAIN BIN USMAN
BIN SYARIF TUE ABDULLOH BIN YAHYA
BIN YUSSUF
BIN ABU BAKAR LAKSAMANA TUE
BIN HABIN HUSSAIN ALQADRIE TUAN BESAR MEMPAWAH
bersama HB SECHON ASSEGAF
Raja Jembrana mengijinkan Syarif Abdullah beserta rombongannya untuk tetap tinggal dan bermukim di sebelah kiri dan kanan Sungai Ijo gading seluas 80 hektar (sekarang Loloan Barat dan Loloan Timur). Oleh raja mereka ditugaskan menjadi Laskar Keamanan Rakyat dari negeri Jembrana yang menjaga keamanan kerajaan Jembrana beserta rakyatnya (Sumerta, dkk, 2000: 9-10).
Di dalam perkembanganya desa Loloan
terbagi menjadi dua bagian yaitu, Loloan Timur dengan mayoritas penduduknya
beragama Islam, merupakan tempat penduduk yang tertua di Loloan. Loloan Timur
tidak membagi desanya atas kampung-kampung hanya ada bagian Selatan, Tengah dan
Utara.
Akan tetapi ada juga kampung yang diberi nama Kampung Sabo (karena banyak pohon sawo), Kampung Merta Sari yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, karena letaknya di desa Merta sari, dan sebuah perkampungan yang berisi suku Madura dan Jawa yang disebut Kampung Baru terletak di batas Utara Desa loloan Timur.
Sedangkan Loloan Barat, merupakan gabungan dari beberapa kampung yaitu Kampung Terusan terdapat di paling ujung Selatan desa dan kampung Loloan (dulu) di bagian Barat Sungai Ijo Gading dan kampung yang lainnya (Panitia Pelaksana KKL, 1996: 12-16).
Akan tetapi ada juga kampung yang diberi nama Kampung Sabo (karena banyak pohon sawo), Kampung Merta Sari yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, karena letaknya di desa Merta sari, dan sebuah perkampungan yang berisi suku Madura dan Jawa yang disebut Kampung Baru terletak di batas Utara Desa loloan Timur.
Sedangkan Loloan Barat, merupakan gabungan dari beberapa kampung yaitu Kampung Terusan terdapat di paling ujung Selatan desa dan kampung Loloan (dulu) di bagian Barat Sungai Ijo Gading dan kampung yang lainnya (Panitia Pelaksana KKL, 1996: 12-16).
Kelurahan Loloan Timur Kecamatan Negara,
Jembrana merupakan salah satu potret desa yang mampu menjaga kerukunan beragama
di tengah-tengah penduduk yang majemuk. Keberadaan Loloan Timur yang lokasinya
berada di tengah-tengah Kota Negara, dengan ketinggian 300 meter dari permukaan
laut, memiliki luas wilayah 4.340 ha.
Jumlah penduduknya tahun 2008 adalah 6.055 orang
dengan perincian laki-laki 2.965 orang dan 3.090 orang perempuan (Laporan Bulanan Desa/Kelurahan tahun 2008).
Di sini terlihat keberhasilan diterapkan kerukunan antar umat beragama dari generasi ke generasi hingga sekarang. Kondisi yang kondusif tersebut sangat didukung oleh pengertian warga Loloan timur dalam hidup bermasyarakat.
Walaupun mereka berbeda keyakinan, semangat untuk tetap bersatu dan membangun kerukunan bermasyarakat tetap tinggi. Kerukunan seperti itu bukan saja terjadi pada umat Hindu dan Islam, tetapi juga dengan umat Protestan, Katolik dan Budha. Kerukunan yang terjalin antar umat beragama dapat terlihat dari adanya saling bantu dalam berbagai kegiatan.
Jumlah penduduknya tahun 2008 adalah 6.055 orang
dengan perincian laki-laki 2.965 orang dan 3.090 orang perempuan (Laporan Bulanan Desa/Kelurahan tahun 2008).
Catatan tua dari Tuan Witar
( Syarif Muhammad bin Habib Husein Mempawah )
Di sini terlihat keberhasilan diterapkan kerukunan antar umat beragama dari generasi ke generasi hingga sekarang. Kondisi yang kondusif tersebut sangat didukung oleh pengertian warga Loloan timur dalam hidup bermasyarakat.
Walaupun mereka berbeda keyakinan, semangat untuk tetap bersatu dan membangun kerukunan bermasyarakat tetap tinggi. Kerukunan seperti itu bukan saja terjadi pada umat Hindu dan Islam, tetapi juga dengan umat Protestan, Katolik dan Budha. Kerukunan yang terjalin antar umat beragama dapat terlihat dari adanya saling bantu dalam berbagai kegiatan.
Rasa persaudaraan juga terlihat pada
saat menjelang hadirnya hari-hari besar agama.
Di samping saling bersilahturahmi di antara umat yang berbeda agama, juga terlihat keterlibatan dalam melaksanakan aktivitas untuk upacara keagamaan. Sebagai suatu contoh, pada saat hari raya Nyepi bagi umat Hindu pembuatan ogoh-ogoh bukan saja dilakukan oleh warga umat Hindu, pemuda dari umat Islam pun membaur menjadi satu larut dalam kerja hingga sampai saat mengusung ogoh-ogoh di hari Pengrupukan, petang hari menjelang Nyepi
. Pembauran keragaman dalam bingkai kesatuan wilayah inilah yang menjadi modal dalam membangun sehingga daerah ini menjadi maju. Keterikatan historis merupakan perekat kerukunan umat beragama di Kelurahan Loloan. Mereka menyadari ikatan-ikatan historis yang terjadi sejak jaman kerajaan perlu dilestarikan demi terwujudnya keharmonisan antar umat beragama (Kantor Informasi Komunikasi dan Pelayanan Umum Kab. Jembrana, 2002; 10-20).
Di samping saling bersilahturahmi di antara umat yang berbeda agama, juga terlihat keterlibatan dalam melaksanakan aktivitas untuk upacara keagamaan. Sebagai suatu contoh, pada saat hari raya Nyepi bagi umat Hindu pembuatan ogoh-ogoh bukan saja dilakukan oleh warga umat Hindu, pemuda dari umat Islam pun membaur menjadi satu larut dalam kerja hingga sampai saat mengusung ogoh-ogoh di hari Pengrupukan, petang hari menjelang Nyepi
. Pembauran keragaman dalam bingkai kesatuan wilayah inilah yang menjadi modal dalam membangun sehingga daerah ini menjadi maju. Keterikatan historis merupakan perekat kerukunan umat beragama di Kelurahan Loloan. Mereka menyadari ikatan-ikatan historis yang terjadi sejak jaman kerajaan perlu dilestarikan demi terwujudnya keharmonisan antar umat beragama (Kantor Informasi Komunikasi dan Pelayanan Umum Kab. Jembrana, 2002; 10-20).
Khaul Syarif Abdullah bin Yahya Maulana Al Qadry ( Syarif Tua), 1436 Hijriah
Dari kanan baju gamis putih :
Ami Yasin bin Zain AlQadri,
Sebelahnya Hb Abdurrahman ba'abud ,
selanjutnya ust Abdurrahman Aljufri ,
Sayyid Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Ba'abud
Dalam rangka haul Syarif tue
c. Mengabdikan Hidup nya di Jembrana.
Setelah Syarif Abdullah bin Yahya Al
Qodri berada di Jembrana dengan bantuan Syah Bandar beliau diantar ke daerah
yang sedang di bangun bernama Negara, maka terkenanglah beliau akan pembangunan
kota Pontianak yang dirintisnya dulu. Besarlah hasrat beliau untuk menemui raja
di Puri Jembrana untuk menyampaikan rasa hormat beliau dan mengulurkan tangan
persahabatan dalam perdamaian.
Mengingat Blambangan telah dikuasai oleh Kompeni Belanda, uluran tangan persahabatan diterima hangat oleh Raja Jembrana Anak Agung Putu Seloka pendiri kota Negara. Memerintah sekitar tahun : 1809 M : Gusti Putu Sloka (1809–1835) [anak Gusti Putu Andul] dari Dynasti Mengwi.
Salah satu syarat dari undang-undang kerajaan
menetapkan bahwa semua meriam-meriam, perahu-perahu eskadron Sarif Abdullah bin
Yahya Al Qodri harus dijual kepada kerajaan sebagaimana telah berlaku pada
perahu-perahu Bugis/Makasar terdahulu.
Syarat tersebut ditolak secara halus oleh Syarif Abdullah, serta berkesanggupan kehadapan raja untuk membela kerajaan Jembrana melawan musuh ataupun Kompeni Belanda.
Beliaupun sanggup menurunkan meriam-meriamnya ke daratan, di manapun beliau diberi ijin bermukim tetap dalam memajukan pembangunan dan perniagaan kerajaan.
Setelah raja berunding dengan segenap pegawai bawahannya maka diputuskan perkenan mendiami kanan kiri tebing Sungai Loloan seluas kira-kira 80 ha, sebelah utara Bandar Pancoran
Meriam-meriam kemudian diturunkan,
Mengingat Blambangan telah dikuasai oleh Kompeni Belanda, uluran tangan persahabatan diterima hangat oleh Raja Jembrana Anak Agung Putu Seloka pendiri kota Negara. Memerintah sekitar tahun : 1809 M : Gusti Putu Sloka (1809–1835) [anak Gusti Putu Andul] dari Dynasti Mengwi.
Syarat tersebut ditolak secara halus oleh Syarif Abdullah, serta berkesanggupan kehadapan raja untuk membela kerajaan Jembrana melawan musuh ataupun Kompeni Belanda.
Data - data yang terkumpul mengenai keturunan Habib Husein
Beliaupun sanggup menurunkan meriam-meriamnya ke daratan, di manapun beliau diberi ijin bermukim tetap dalam memajukan pembangunan dan perniagaan kerajaan.
Setelah raja berunding dengan segenap pegawai bawahannya maka diputuskan perkenan mendiami kanan kiri tebing Sungai Loloan seluas kira-kira 80 ha, sebelah utara Bandar Pancoran
Meriam-meriam kemudian diturunkan,
Syarif Abdullah beserta anak buah nya segera
membangun perkampungan darurat untuk seluruh rombongan di sebelah Timur Sungai
Ijo Gading yang sekarang dikenal dengan Loloan Timur.
Atas perkenan Raja Jembrana syarif Abdullah
bersama-sama anak buah nya membangun sebuah benteng Islam diberi nama - Benteng
Fathimah- (sesuai dengan nama istri Syarif Abdullah ).* Catatan : Belum jelas apakah ini berhubungan dengan keturunan AlQadry di Banjar atau tidak, masih di selidiki.
Perahu-perahu perangnya dirubah menjadi perahu-perahu perniagaan yang kemudian menjelajahi lautan sampai ke Singapura, Dataran tanah Melayu. Lambat laun Bandar Loloan makin ramai berkat persatuan umat muslimin.
Pada tahun 1803 :
Perahu-perahu perangnya dirubah menjadi perahu-perahu perniagaan yang kemudian menjelajahi lautan sampai ke Singapura, Dataran tanah Melayu. Lambat laun Bandar Loloan makin ramai berkat persatuan umat muslimin.
Pada tahun 1803 :
Pembangunan kota oleh Raja Anak Agung Putu Seloka.
Selesailah pembangunan kota Negara. Loloan Timur dan Loloan Barat adalah desa administratif konsesi umat Islam di Kerajaan Jembrana dan empat desa yakni Merta Sari, Lelateng, Banjar Tengah, dan Baler Bale Agung adalah desa administratif berbentuk Desa Adat Bali Hindu (Reken, tanpa tahun: 11-12., dan Damanhuri, 1993: 13-14).
Raja Anak Agung Putu Seloka mempunyai
dua orang putra yaitu<:
yang sulung bernama Anak Agung Putu Ngurah menempati Puri Agung di Negara,
putranya yang ke dua bernama Anak Agung Putu Raka menempati Puri gde Jembrana
yang sulung bernama Anak Agung Putu Ngurah menempati Puri Agung di Negara,
putranya yang ke dua bernama Anak Agung Putu Raka menempati Puri gde Jembrana
Tahun 1828 : Peperangan kedua Jembrana Vs Buleleng
Sedangkan di Puri Anom bertempat Anak Agung Made Rai. Tahun 1828 terjadi peperangan yang kedua kalinya antara Jembrana dengan Raja Buleleng Anak agung Gde Karangasem yang tertarik dengan kemakmuran kerajaan Jembrana.
Raja Anak Agung Putu Seloka bersama adiknya Anak Agung Ngurah Made Bengkol dan beberapa pengiringnya mengungsi dengan perahu Bugis ke Banyuwangi (sekarang bernama Kampung Bali).
Setelah raja selamat sampai di Banyuwangi anak Agung Made Bengkol kembali ke Jembrana. Dalam peperangan pasukan Jembrana dipimpin oleh I Gusti Ngurah Gde dari Jero Pancoran yang didukung oleh pasukan Islam.
Panglima perang Buleleng Anak Agung Gde Karang beserta prajuritnya gugur dalam pertempuran, akhirnya mundur kembali ke Buleleng.
Kemudian adik panglima perang Buleleng yang bernama Anak Agung Made Karang menyerang dari arah laut, sedangkan dari arah pegunungan pasukan Buleleng menyerbu Puri Jembrana dengan siasat menjepit dari arah muka dan belakang.
Karena begitu kuatnya musuh akhirnya dalam perang tanding di Bajo/Awen panglima I Gusti Ngurah Gde bersama Anak Agung Made Bengkol gugur, dan akhirnya Puri Gde Jembrana dapat direbut.
Namun Puri Agung Negara tidak berani didekati karena banyak prajurit yang tertembak mati. Anak Agung Gde Karang kembali memerintahkan anak buahnya mundur ke Buleleng.
Sampai tahun 1832, ==
Selama empat tahun Jembrana mengalami kekosongan pemerintahan akibat peperangan dengan Buleleng, maka Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri (karena anak tertua dari keluarganya maka disebut Syarif Tua oleh kaum kerabat dan pengikutnya dan diikuti penduduk setempat )
dan Panglima Tahal memperkuat posisi pertahanan Islam di sekitar Benteng Fathimah berpedoman pada prinsip agama yang sedang dikembangkan melalui perwakilan dan berdagang, lebih bersifat asimilatif dari pada revolusioner dan bukan sekali-kali untuk menaklukkan.
Jika pemuka Islam Syarif Abdullah beserta Panglima Tahal menghendaki dan menyalahgunakan kesempatan sewaktu kerajaan Jembrana dalam keadaan pemerintahan kosong selama empat tahun, maka pastilah pengaruh Islam dan syarif abdullah bisa menguasai Jembrana
Akan tetapi Syarif Abdullah adalah orang yang sangat bijaksana dan lurus hatinya, terutama setia memegang teguh janji persahabatan dengan kerajaan Jembrana beserta rakyatnya. Bahkan umat muslim selalu membantu rakyat yang sengsara karena peperangan dan membinasakan musuh-musuh kerajaan Jembrana.
Raja Buleleng menginginkan
perdamaian dengan Raja Jembrana yang masih di banyuwang. Raja Jembrana Anak
Agung Putu Seloka menerima perdamaian ini dan kembali memerintah menempati Puri
Agung Negara.
Saat itu semakin eratlah persatuan rakyat Muslim dengan rakyat Hindu.
Saat itu semakin eratlah persatuan rakyat Muslim dengan rakyat Hindu.
Tahun 1842 M :
Suksesi Putu Seloka kepada Anak Agung Putu Ngurah.
Karena Raja Anak Agung Putu Seloka sudah tua maka pada tahun 1842 digantikan oleh putranya yang sulung Anak Agung Putu Ngurah menjadi Raja Jembrana bertempat di Puri Agung Negara dan putra keduanya Anak Agung Putu Raka menjadi wakil raja bertempat di Puri Gde Jembrana
Sedangkan kemenakannya Anak Agung Made Rai diangkat menjadi kepala perang kerajaan bertempat tinggal di Puri Anom Jembrana (Reken, dalam Shaleh Saidi, 2002: 55-57).
Setelah menjadi Regentschap di bawah
Residensi Banyuwangi,
Kerajaan Jembrana dikendalikan oleh tiga bersaudara.
Hubungan perniagaan Banyuwang-Jembrana makin ramai. Pada saat itu datanglah Alim Ulama dari Jawa untuk meninjau perkembangan Agama Islam di Jembrana. Dengan penuh kebijaksanaan Syarif Tua dan Sekh Fausie seorang Ulama dari Banyuwangi memajukan perkembangan Islam.
Mereka adalah tabib-tabib kenamaan yang tak jemu-jemunya masuk ke daerah pedesaan, mendatangi orang yang sedang sakit dan membutuhkan pertolongan.
Beliau mengajarkan hikmah falsafah Islam tanpa pilih kasih. Pengobatan yang beliau berikan cuma-cuma tanpa suatu imbalan jasa, maka bersimpatilah rakyat jelata terhadapnya.
Maka makin percayalah rakyat akan kebenaran Agama Islam terutama di pedesaan-pedesaan pantai Ketapang-Kombing (asal kata orang “mebading”) artinya kaum beragama Hindu Bali beralih ke agama Islam.
C. Peperangan Zaman Raja Anak Agung Putu Ngurah
( Putra Raja Pertama : Gusti Putu Seloka,
yang melanjutkan pemerintahan Jembrana)
Pada Tahun : 1855 M : Peperangan antara Syarif Tue, Panglima Tahal, dan I Gusti Ngurah Made Pasekan, : melawan : Raja Anak Agung Putu Ngurah :
#, Sebab musabab peperangan, :
Raja Anak Agung Putu Ngurah adalah pelanjut dynansi Mengwi berikutnya. Beliau menaruh curiga kepada kegiatan Syarif Tua, sehingga dengan cara halus melarang orang-orang Bali Hindu beralih agama lain dengan perantara Ida Pedanda Agung , berdasarkan Hukum Adat Istiadat yang berlaku.
Syarif Tua sadar betapa tabiat Tuanku Raja, jauh berbeda dengan ayahnya waktu berkuasa. Sering terjadi penindasan, penganiayaan, kerja rodi, bea syahbandar terlalu besar dan terjadi persaingan dalam kalangan kerajaan.
Dengan segala kerendahan hati Syarif Tua menemui raja Anak Agung Putu Ngurah untuk menyadarkan betapa berbahayanya hawa nafsu dan kekuasaan itu. Namun raja tidak memperhatikan nasehat yang disampaikan.
Tanggal : 13 Oktober 1855 No. 85 Stanblat dokument Belanda :
Protes rakyat kepada Raja Putu Ngurah yang dianggap semena - mena,
Seorang Punggawa bernama I Gusti Ngurah
Made Pasekan yang sejak lama menaruh kecewa terhadap raja, bersahabat dengan
Syarif Tua dan seluruh umat Muslimin. Diam-diam dia melayangkan surat gugatan
kepada Komisarisw Hindia Belanda tanggal 13 Oktober 1855 No. 85 di Residensi
Banyuwangi.
Isi surat tersebut adalah rakyat Jembrana merasa sangat keberatan
atas ulah Raja Jembrana I Gusti Agung Putu Ngurah.
Surat ini dilanjutkan oleh Residen Banyuwangi ke hadapan Gubernur Jenderal di Betawi Bersamaan dengan ini terjadi perpecahan di Jembrana,
Surat ini dilanjutkan oleh Residen Banyuwangi ke hadapan Gubernur Jenderal di Betawi Bersamaan dengan ini terjadi perpecahan di Jembrana,
Pihak Pertama: --, Punggawa Jembrana I Gusti Ngurah Made Pasekan bersatu dengan Syarif Tua beserta umat Islam nya termasuk Datuk Panglima Tahal, dan prajurit-prajurit Pan Kelab beserta rakyat Bali yang berpihak kepada nya.
Pihak Kedua, :--, Raja Jembrana, Ida Anak Agung Putu Raka dikawal oleh bala tentara I Gusti Agung Made Rai dan seluruh Ksatria yang berpihak. Jika dilihat dari kekuatan, pihak kerajaan jauh lebih kuat.
Syarif Tua mengumpulkan seluruh umat Muslim dari pedesaan-pedesaan ke benteng Fathimah, Loloan Timur, begitu juga di sekitar Puri Negara dan Jembrana telah penuh sesak dengan pengawalan pasukan yang siaga perang.
Peperangan tidak bisa dihindari, dimana I Gusti Agung Made Rai mencabut keris “Tastas” pusaka kerajaan dan I Gusti Made Pasekan mencabut keris pusaka Buleleng “Ki tunjung Tutus”.
Di lapangan Puri Jembrana dan Puri Negara penuh
sesak oleh prajurit pembela kerajaan.
Peperangan tahun : 1855 M :
Jalan nya Peperangan antara Syarif Tue, Panglima Tahal, dan I Gusti Ngurah Made Pasekan, : Melawan : Raja Anak Agung Putu Ngurah :
#,1849–1855 M ; - ( Gusti Putu Ngurah Sloka (1849–1855; wafat 1876) [anak Gusti Putu Sloka] penguasa Jembrana kedua. Setelah diserahkan tahta oleh ayah nya yang besahabat dengan syarif Tue, yaitu : Gusti Putu Seloka, penguasa Jembrana pertama dari dynasti Mengwi.
Raja Anak Agung Putu Ngurah , raja kedua ini, sangat berbeda kebijakan nya dengan sang ayah sebelum nya. Setelah kalah perang pada tahun : 1855 M, Ia beserta keluarga nya akhirnya mengungsi ke Purwakarta. Jawa Barat.
Bendera Kedah Lama
Karena tidak ditemukan jalan keluar,
peperangan tidak dapat di hindarkan lagi.
Syarif Tue, Datuk Tahal ( Panglima Perang Syarif Tue, bukan Panglima Perang Sultan Abdurrahman Pontianak ) dan I Gusti ngurah Pasekan merapatkan barisan dan memobilisasi dukungan guna berhadapan dengan pihak kerajaan yang telah melakukan kezaliman ini.
Tiba-tiba berdentumlah meriam-meriam
Syarif Tua dari Benteng Fathimah di Loloan Timur,!
Begitu juga meriam-meriam Pan
Kelab dari dekat arah Desa Pemedilan. Pasukan syarif Tua juga dibantu oleh
Panglima Datuk Tahal yang terdiri dari orang - orang Bugis, Jawa, Madura, dan ummat Islam lain nya di zaman itu.
Pertempuran sangat sengit, terjadi, .....
Di Benteng Fathimah,
Syarif Tua
mengibarkan bendera Pusaka berwarna Hijau bertuliskan kalimat Syahadat dan
Panji-panji berwarna hitam bergambar harimau berhuruf arab hadiah Sultan kedah
dahulu yang berisikan ayat Suci Al-Qur’an.( **Perhatikan bahwa beliau pernah berlayar ke negeri Kedah ? Tanah Melayu yang dekat dengan Trengganu ? )
Karena gempuran-gempuran dari Benteng Fatimah sehingga Puri jatuh.
Karena gempuran-gempuran dari Benteng Fatimah sehingga Puri jatuh.
Pada malam hari Syarif Tua melakukan
siasat kurungan terhadap Puri Negara dengan laskar pilihan. Masing-masing
membawa meriam tiruan dari batang-batang pepaya yang dicat warna hitam untuk
menakut-nakuti prajurit kerajaan, seraya meminta suaka perundingan dengan
tuanku Raja Anak Agung Putu Ngurah.
Syarif Tua selaku utusan umat Islam di Jembrana di kawal oleh panglima Datuk Tahal.
Syarif Tua membuka pembicaraan:
Syarif Tua selaku utusan umat Islam di Jembrana di kawal oleh panglima Datuk Tahal.
Syarif Tua membuka pembicaraan:
“Maaf Paduka Tuanku Yang Mulia,
Kami selaku utusan umat Islam dan rakyat, memohon membuka musyawarah perihal kekuasaan yang mulia yang di ambang pintu keruntuhan. Sesungguh nya kami terlarang membunuh orang-orang yang menyerah kalah.
Demikianlah ajaran agama kami.
Kami mengangkat senjata bukan untuk merebut kekuasaan, melainkan untuk menyebarkan agama sambil berniaga dan menolak sekeras- keras nya perbuatan-perbuatan dholim yang menghambat agama kami.
Demi nama Allah kami menasehatkan berangkatlah besok pagi-pagi sebelum fajar dengan segenap keluarga menyelamatkan diri untuk meminta perlindungan Hukum kepada Gubernur Hindia Belanda" : pungkas syarif tua,
Tuanku Raja terdiam bingung menghayati pembicaraan Syarif Tua sambil menimbang-nimbang, dan diputuskan Raja beserta keluarganya meninggalkan Puri Negara menuju Buleleng.
Raja juga memerintahkan kepada Hulubalang-hulubalang supaya peperangan dihentikan, karena kekuasaan kerajaan telah diserahkan secara damai kepada Syarif Tua dan punggawa I Gusti Ngurah Made Pasekan.
Keesokan hari nya Raja beserta keluarganya dan Anak Agung Made Rai menuju Buleleng.
Di Jembrana : Raja I Gusti Agung Putu
Ngurah dengan kemauannya sendiri melepaskan hak kerajaan kepada Gouvernement
Hindia Belanda, kemudian menjadi Landschap Gouvernement di bawah seorang
Regent, bertitel Raja :
dijabat oleh I Gusti Ngurah Made Pasekan.
Tahun 1857 ,== Se zaman Sultan Hamid II di Pontianak , 1855
Anak agung Putu Ngurah dan keluarga nya
mengungsi ke Purwakarta (Jawa Barat).
Masa kekuasaan : I Gusti Made Pasekan,
Masa itu adalah masa keemasan perkembangan Islam dan perniagaan di
sekitar Bandar Loloan.
Keramaian berada di pusat pasar Loloan Barat berdekatan dengan pelabuhan yang perahu-perahu tersebut melalui Kuala Perancak, Tanjung Tangis mengangkut jemaah haji kemudian naik kapal dari pelabuhan Surabaya.
Keramaian berada di pusat pasar Loloan Barat berdekatan dengan pelabuhan yang perahu-perahu tersebut melalui Kuala Perancak, Tanjung Tangis mengangkut jemaah haji kemudian naik kapal dari pelabuhan Surabaya.
Perkembangan pedesaan muslim meluas
hingga ke Tegal Badeng, Rening dan Pabuahan, dan orang-orang muslim di Air
Kuning membuka hutan di Air Sumbul. Dibuat pula sebuah jalan yang langsung
menghubungkan Jembrana-Loloan Timur atas perintah Tuan Komisaris
Benteng
Fathimah yang megah itu terpaksa dibongkar karena terkena jalur jalan. Selain
itu tanah benteng juga dipergunakan untuk perumahan.
##, Tahun : ( 1802 - 1858,) : Syarif Tue wafat
Pada tahun 1858 M , Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri (Syarif Tua) Cucu dari Syarif Yusuf ini, menutup mata untuk selamanya. jasad beliau dimakamkan di areal pemakaman Loloan Timur. Dalam kompleks mesjid Baitul Qadim, Loloan, Bali Barat. (Reken, dalam shaleh
saidi, 2002: 60-68).
Demikianlah pengabdian yang
dipersembahkan oleh Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri (Syarif Tua)
D. PENUTUP
Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri (Syarif
Tua) adalah salah seorang tokoh yang berasal dari Pontianak. Beliau bersama
anak buah nya berkelana sampai di Loloan-Jembrana
karena berbeda pandangan dengan Sultan yang berkuasa di Pontianak yang mau bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Mungkin itulah pemicu perlawanan nya.
Kesepakatan untuk menandatangani kerjasama antara pemerintah Belanda dengan Syarif Abdurrahman dilakukan pada tanggal 5 Juli 1779, sehingga sejak itu Sultan Pontianak mengakui Kompeni sebagai sekutu nya.----* Catatan : Memang benar ada nya. Akan tetapi pada masa pemerintahan Sultan Syarif Osman, juga terjadi penanda tanganan kesepakatan kembali, antara Kesultanan Pontianak dengan Belanda. Mungkin dimasa ini gerakan Syarif Abdullah bin Yahya di mulai.----
Karena terus dikejar-kejar Syarif Tua memutuskan untuk pindah ke daerah-daerah yang belum dikuasai oleh pengaruh Belanda. Rombongan Syarif Tua berlayar hingga sampai di Nusa Tenggara Barat dan terus ke barat sampai di Air Kuning-Jembrana pada tahun 1799.* Diperkirakan antara : 1820 - 1835 M, lebih tepatnya.
karena berbeda pandangan dengan Sultan yang berkuasa di Pontianak yang mau bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Mungkin itulah pemicu perlawanan nya.
Kesepakatan untuk menandatangani kerjasama antara pemerintah Belanda dengan Syarif Abdurrahman dilakukan pada tanggal 5 Juli 1779, sehingga sejak itu Sultan Pontianak mengakui Kompeni sebagai sekutu nya.----* Catatan : Memang benar ada nya. Akan tetapi pada masa pemerintahan Sultan Syarif Osman, juga terjadi penanda tanganan kesepakatan kembali, antara Kesultanan Pontianak dengan Belanda. Mungkin dimasa ini gerakan Syarif Abdullah bin Yahya di mulai.----
Karena terus dikejar-kejar Syarif Tua memutuskan untuk pindah ke daerah-daerah yang belum dikuasai oleh pengaruh Belanda. Rombongan Syarif Tua berlayar hingga sampai di Nusa Tenggara Barat dan terus ke barat sampai di Air Kuning-Jembrana pada tahun 1799.* Diperkirakan antara : 1820 - 1835 M, lebih tepatnya.
Beliau disambut dengan baik oleh
penduduk yang sudah lama tinggal di sana yang berasal dari suku Bugis bernama
Haji Shihabuddin, serta diantar menghadap kepada :
Raja Jembrana Anak Agung Putu Seloka. ( Berkuasa : Gusti Putu Sloka (1809–1835) [anak Gusti Putu Andul] *Perhatikan, disini terlihat tahun kekuasaan yang menunjukkan bahwa pada tahun 1799, beliau belum bertahta?
Setelah menghadap raja,:
Syarif Tua diijinkan menetap di Jembrana dan
diberikan tempat bermukim di kiri dan kanan Sungai Ijo Gading seluas 80 ha
dengan syarat Syarif Tua bersedia melakukan kerjasama dan membantu kerajaan
Jembrana dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Setelah menetap di Loloan, Syarif Tua
merubah perahu-perahu perangnya menjadi perahu-perahu perniagaan dan beliau
menjelajahi laut sampai ke Singapura dan Tanah Melayu Malaisia. Lambat laun
Bandar Pancoran menjadi ramai berkat bantuan umat Muslim sehingga Jembrana
menjadi salah satu kerajaan yang sangat ramai karena perniagaannya.
Untuk memperkuat pertahanan Kerajaan Jembrana, Syarif Tua membangun sebuah benteng pertahanan yang kuat dengan nama Benteng Fathimah. Beliau beserta laskar Muslimnya selalu ikut membantu di dalam peperangan-peperangan melawan musuh-musuh Kerajaan Jembrana.
Untuk memperkuat pertahanan Kerajaan Jembrana, Syarif Tua membangun sebuah benteng pertahanan yang kuat dengan nama Benteng Fathimah. Beliau beserta laskar Muslimnya selalu ikut membantu di dalam peperangan-peperangan melawan musuh-musuh Kerajaan Jembrana.
Kelurahan Loloan Jembrana adalah salah
satu potret desa yang mampu menjaga kerukunan antar umat beragama di
tengah-tengah penduduknya yang majemuk baik Islam, Hindu, Protestan, Katolik
dan Bhuda.
Keberhasilan kerukunan antar umat disini diwariskan secara turun-temurun sampai saat ini terutama dalam kehidupan sehari-hari. Pembauran keragaman dalam bingkai kesatuan wilayah inilah yang menjadi modal dalam pembangunan Loloan dan Jembrana. Keterikatan historis merupakan perekat antar umat beragama, dan hal ini perlu disadari dan dilestarikan untuk menjaga kebersamaan dalam membangun Jembrana. Jangan sampai perbedaan menjadi penghambat dalam segala hal khususnya dalam pembangunan di segala bidang.
Keberhasilan kerukunan antar umat disini diwariskan secara turun-temurun sampai saat ini terutama dalam kehidupan sehari-hari. Pembauran keragaman dalam bingkai kesatuan wilayah inilah yang menjadi modal dalam pembangunan Loloan dan Jembrana. Keterikatan historis merupakan perekat antar umat beragama, dan hal ini perlu disadari dan dilestarikan untuk menjaga kebersamaan dalam membangun Jembrana. Jangan sampai perbedaan menjadi penghambat dalam segala hal khususnya dalam pembangunan di segala bidang.
----------------------
DAFTAR PUSTAKA
Agung, A.A. Gde Putra. 2001.“Teknik
Penulisan Biografi”. Makalah disampaikan Pada Forum Evaluasi dan Pembahasan
Proposal Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Denpasar bekerjasama dengan
Fakultas Sastra Universitas Udayana dan UNHI di Denpasar, 20 Pebruari.
Agung, Anak Agung Ktut. 1991. Kupu-Kupu
Kuning yang Terbang di Selat Lombok: Lintasan Sejarah Kerajaan karangasem 1660
– 1950. Denpasar: PT. Upada Sastra.
Buda, I Made. 1990. “Hubungan Antar
Etnik di Jembrana 1856 – 1942”. Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar
(Skripsi).
Damanhuri, A. 1993. “Sejarah Kelahiran
Kota Negara”. Makalah Seminar yang disampaikan dalam seminar lahirnya Kota
Negara.
Damanhuri, H. Achmad. 1993. “Sejarah
Kelahiran Kabupaten Jembrana”. Makalah diajukan untuk Bahan Seminar Sejarah
Lahirnya Kabupaten Jembrana dan Kota Negara.
Ginarsa, Ketut, Suparman Hs. 2002. “Umat
Islam di Buleleng”. Dalam Shaleh Saidi, Yahya Anshori (penynting). Sejarah
Keberadaan Umat Islam di Bali. Denpasar: Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali.
Jayus, I Nyoman, I Ketut Suwentra. 1993.
“Babad Tanah Jembrana”. Makalah diajukan untuk Seminar Sejarah Lahirnya
Kabupaten Jembrana dan Kota Negara.
Kada, Thomas. 1982. Kepemimpinan Dalam
Teori dan Praktek Serta Masalah-Masalahnya. Kupang: FKIP Undana.
Kantor Informasi Komunikasi dan
Pelayanan Umum Kab. Jembrana. 2002. Feature Mozaik Jembrana. Jembrana: Seksi
Humas Kantor Inkom dan Yanum Kab. Jembrana.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kelurahan Loloan Timur. 2008. Laporan
Bulanan Desa/Kelurahan. Negara.
Nyoka.1990. Sejarah Bali. Denpasar:
Penerbit dan Toko Buku RIA.
Panitia Pelaksana Kuliah Kerja Lapangan.
1996. “Laporan Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 1996 Jurusan Pendidikan
Sejarah”. Jakarta: Fakultas Pendidikan ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Jakarta.
Parisada Hindu Dharma. 1975. Pemargan
Danghyang Nirartha di Bali (Dwi Jendra Tatwa/Riwayat Danghyang Nirartha).
Denpasar: Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung.
Parwata, I Putu. 1994. “Sejarah Kota
Negara 1958 – 1992”. Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar (Skripsi).
Puspawati, Ni Nyoman Suhendra. 1990.
“Perkembangan Kesenian Jegog, Kendang Mebarung, Bungbung Gebyog dan Atraksi
Makepung di Kabupaten Jembrana Tahun 1944 – 1979”. Fakultas Sastra Universitas
Udayana (Skripsi).
Putra, Ida Bagus Rai. 1991. Babad Dalem.
Denpasar: PT. Upada Sastra.
Raka, I Gusti Gede. 1955. Monografi
Pulau Bali. Djakarta: Bagian Publikasi Pusat DJawatan Pertanian Rakjat.
Reken, I Wayan. 2002. Sejarah Keberadaan
Umat Islam di Bali. Denpasar: MUI Bali.
Sjafei, Suwadji. 1984. Pemikiran
Biografi dan Kesejarahan, Suatu Kumpulan Prasaran pada Berbagai Lokakarya Jilid
III. Jakarta: Depdikbud Ditjarahnitra, Proyek IDSN.
Soebantardjo, R. M.1983. Pemikiran
Biografi dan Kesejarahan, Suatu Kumpulan Prasaran pada Berbagai Lokakarya,
Jilid I. Jakarta: Depdikbud Proyek IDSN.
Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa
Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sumerta, I Made, dkk. 2000. Tatakrama
Suku Bangsa Loloan di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali. Denpasar: Depdiknas,
Proyek P2NB Daerah Bali.
Suprayogo, Imam.1988.“Patron Klien Dalam
Kepemimpinan”. Seluk Beluk Perubahan Sosial. Surabaya: Usaha nasional.
Suryawati, Cok Istri. 2003. “Biografi
Tokoh Pejuang I Nyoman Mantik”. Dalam Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai
Tradisional, Edisi Kesebelas No. 11/III/2003. Denpasar: BKSNT Denpasar.
Suwita, I Putu Gede. 1997. “Loloan
Bandar Laut, dan Hubungan Antara Budaya”. Dalam Depdikbud RI. Kongres Nasional
Sejarah 1996 Sub Tema Dinamika Sosial Ekonomi III. Jakarta: Depdikbud RI.
Swarsi, S. dkk. 1998/1999. “Sejarah
Kerajaan Tradisional Bali (Kerajaan Karangasem)”. Denpasar: Depdikbud, Proyek
Iventarisasi dan dokumentasi Sejarah Nasional.
Tim Penulis. 1997. “Sejarah Jembrana dan
Lahirnya Ibukota Negara”. Jembrana: Bagian Pemerintahan Pemda Tinkkat II
Kabupaten Jembrana.
Toetoer Lambangkawi (transkripsi).
Koleksi Gedong Kirtya Singaraja, No. 1339/Va.
Wirawan, A.A.B., Dian Arriegalung. 2002.
Umat Islam di Badung”. Dalam Saleh Saidi, Yahya Anshori. Sejarah Keberadaan
Umat Islam di Bali. Denpasar: Majelis Umat Islam Bali.
Referensi tambahan :
Biografi Sayyid Yahya Al Qadri, Biografi Abdullah bin Yahya, Sultan Osman Pontianak, Sultan Kasim Pontianak, Syarif Tue dalam PDF, Sejarah Loloan , Bandar Pancoran Jembrana, Sejarah Jembrana
Kampung Loloan , Toleransi di loloan , Syarif Tua PDF, Silsilah Alqadri Loloan hal.304, Awal mula Muslim di Bali, Between harmony and discrimantion, Merawat Pluralisme, Muslim di Bali hal. 300
=======================================================
Raja-raja Jembrana
secara Kronologi dan masa pemerintahan :
Artikel utama: Kerajaan Jembrana
Wangsa Agung Widya
1700 M : Gusti Agung Basangtamiang (abad ke-17) [anak Patih Agung Gelgel Gusti Agung Widya]
1700 M : Gusti Brangbangmurti [anak Gusti Agung Basangtamiang]
1700 M : Gusti Gede Giri (c. 1700) [anak Gusti Brangbangmurti]
1730 M : Gusti Ngurah Tapa [anak Gusti Gede Giri]
1740 M : Gusti Made Yasa [saudara Gusti Ngurah Tapa]
1750 M : Gusti Gede Andul (paruh pertama abad ke-18) [anak Gusti Made Yasa]
Wangsa Mengwi
Artikel utama: Kerajaan Badung
1760 M : Gusti Ngurah Agung Jembrana (pertengahan abad ke-18) [cucu Gusti Agung Sakti dari Mengwi]
1766 M : Gusti Ngurah Batu (wali negara ?-1766) [anak Gusti Ngurah Agung Jembrana]
1766 M : Gusti Gede Jembrana (1766-?) [kemenakan Gusti Ngurah Batu]
1775 M : Gusti Putu Andul (sebelum 1797-1809) [anak Gusti Gede Jembrana]
1805 M : Gusti Rahi (wali negara untuk Badung, fl. 1805)
1808 M : Kapitan Patimi (wali negara, keturunan Bugis, c. 1805-1808)
1814 M : Gusti Wayahan Pasekan (wali negara c. 1812-1814)
1814 M : Gusti Made Pasekan (wali negara c. 1812-1814) [saudara Gusti Wayahan Pasekan]
1835 M : Gusti Putu Sloka (1809–1835) [anak Gusti Putu Andul]
Tanggal : 15 Agustus 1895,: Kota Negare di resmikan berdiri nya, oleh pemerintah Hindia Belanda diterbitkan oleh Gubernur Hindia Belanda di batavia. ibu kota dari wilayah Jembrana sekarang.
Lahirnya kota Negara identik dengan berdirinya istana raja,:
Di mana letak istana raja di sanalah letak pusat pemerintahan dan sekaligus menjadi ibu kota kerajaan. Penentuan angka tahun tersebut didasarkan pada pendirian Puri agung Negeri oleh Anak Agung Putu Seloko yang terletak satu kilo meter sebelah utara bandar Pancoran, dan pada saat itu juga raja Anak Agung Putu Seloko berpindah dari Puri Gede Jembrana ke Puri Agung Negeri sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Jembrana.
Berdasarkan data arsip, identifikasi mengenai hari, tanggal, bulan dan tahun kelahiran kota, dalam hal ini kelahiran Kota Negara telah ditemukan dalam Staatsblad van Nederlandsch-indie No. 175 tahun 1895 mengenai nama-nama ibu kota (hoofdplaatsen) afdeeling-afdeeling Buleleng dan Jembrana.
Staatsblad-staatsblad sebelumnya sama sekali belum pernah menyebutkan adanya perkataan hoofdplaat (ibu kota) terhadap Negara secara resmi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan sumber resmi yang diundangkan dan diterbitkan oleh Pemerintah Dalam Negeri atas nama Ratu, dengan perwakilannya Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, dapat disebut sebagai fakta lahirnya Ibu Kota Negara.
Dinyatakan mulai berlakunya sejak ditetapkan di Buitenzorg tanggal 15 Agustus 1895, hari Kamis Paing, wuku Prang bakat (Tim Penulis, 1997: 55-59).
Demikianlah dikisahkan asal-usul nama daerah yang terletak diujung barat pulau Bali yang sampai kini masih tetap disebut Jembrana dengan Ibu Kotanya Negara.
#, 1827 - 1835 M :
Perkiraan Kedatangan
Syarif Abdullah bin Yahya, di Loloan :
Diperkirakan pada masa inilah Syarif Abdullah bin Yahya, Loloan baru mendarat di Jembrana. Dengan menggunakan 4 armada kapal, dan banyak pengikut nya, di usia antara 25 tahun atau 40 tahun.
Beliau hidup se zaman dengan :
1835 M : Gusti Putu Sloka (1809–1835) [anak Gusti Putu Andul] Gusti Ngurah Made Pasekan (wali negara c. 1840-1849), dan Gusti Putu Ngurah Sloka (1849–1855; wafat 1876) [anak Gusti Putu Sloka]
Prasasti loloan, yang menyebutkan Tahun: 1847 Masehi, bertepatan dengan hari senin, 1 Zulhijjah 1268 Hijriah. adalah bukti otentik tentang hal ini.
Preiode Perkiraan masa kehidupan dan pengabdian nya antara Tahun :
##, Syarif Tue , Syarif Abdullah bin Yahya Maulana Al Qadry di tanah Jembrana,##
( Lahir 1802,-- Mendarat di Loloan 1827 - - mengabdi selama 31 tahun, -- dan wafat 1858,) :
1840 M : Gusti Putu Dorok (wali negara c. 1835-1840) [cicit Gusti Ngurah Batu]
1849 M : Gusti Made Penarungan (wali negara c. 1840-1849)
1849 M : Gusti Ngurah Made Pasekan (wali negara c. 1840-1849)
1882 M : Di bawah perlindungan Belanda 1843-1882
1855 M : Gusti Putu Ngurah Sloka (1849–1855; wafat 1876) [anak Gusti Putu Sloka]
1866 M : Gusti Ngurah Made Pasekan (patih 1849-1855; raja 1855-1866)
1882 M : Anak Agung Made Rai (regent 1867-1882; wafat 1905) [cucu Gusti Putu Andul]
1882 M : Jembrana di bawah pemerintahan langsung Belanda 1882-1929
1929 M : Anak Agung Bagus Negara (1929–1950; wafat 1967) [cucu Anak Agung Made Rai]
1950 M : Jembrana bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia 1950
##, Di rangkum dari : https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Raja_Bali
---------
Daftar pustaka :
1. C.C. Berg, De middeljavaansche historische traditie. Santpoort 1927.
2. A.J. Bernet Kempers, Monumental Bali; Introduction to Balinese Archaeology & Guide to the Monuments. Berkeley & Singapore 1991. ISBN 0-945971-16-8.
3. Helen Creese, 'Balinese babad as historical sources; A reinterpretation of the fall of Gelgel', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 147 1991.
4. A.A. Gde Darta et al., Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan. Denpasar 1996. ISBN 979-649-021-8.
5. Mahaudiana, Babad Manggis Gianyar. Gianyar 1968.
6. S.O. Robson, 'The Ancient Capital of Bali', Archipel 16 1978.
7. Henk Schulte Nordholt, Macht, mensen en middelen; Patronen en dynamiek in de Balische politiek ca. 1700-1840. Doctoraalscriptie, Amsterdam 1980.
8. Henk Schulte Nordholt, The Spell of Power; A History of Balinese Politics. Leiden 1996. ISBN 90-6718-090-4.
9. I Nyoman Suada et al., Selayang Pandang Tokoh-Tokoh Puri Agung Kesiman (Abad XIX-XX), Denpasar, 1999.
10. Anak Agung A. Sudira, Mengenal Kawitan Warga Mahagotra Tirtha Arum, Denpasar, 1992.
11. Truhart P., Regents of Nations. Systematic Chronology of States and Their Political Representatives in Past and Present. A Biographical Reference Book, Part 3: Asia & Pacific Oceania, München 2003, s. 1239-1244, ISBN 3-598-21545-2.
12. Adrian Vickers, The Desiring Prince; A Study of the Kidung Malat as Text. PhD Thesis Sydney 1986.
13. Margaret J. Wiener, Visible and Invisible Realms; Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. Chicago & London 1995. ISBN 0-226-88580-1.
Daftar pustaka :
1. C.C. Berg, De middeljavaansche historische traditie. Santpoort 1927.
2. A.J. Bernet Kempers, Monumental Bali; Introduction to Balinese Archaeology & Guide to the Monuments. Berkeley & Singapore 1991. ISBN 0-945971-16-8.
3. Helen Creese, 'Balinese babad as historical sources; A reinterpretation of the fall of Gelgel', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 147 1991.
4. A.A. Gde Darta et al., Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan. Denpasar 1996. ISBN 979-649-021-8.
5. Mahaudiana, Babad Manggis Gianyar. Gianyar 1968.
6. S.O. Robson, 'The Ancient Capital of Bali', Archipel 16 1978.
7. Henk Schulte Nordholt, Macht, mensen en middelen; Patronen en dynamiek in de Balische politiek ca. 1700-1840. Doctoraalscriptie, Amsterdam 1980.
8. Henk Schulte Nordholt, The Spell of Power; A History of Balinese Politics. Leiden 1996. ISBN 90-6718-090-4.
9. I Nyoman Suada et al., Selayang Pandang Tokoh-Tokoh Puri Agung Kesiman (Abad XIX-XX), Denpasar, 1999.
10. Anak Agung A. Sudira, Mengenal Kawitan Warga Mahagotra Tirtha Arum, Denpasar, 1992.
11. Truhart P., Regents of Nations. Systematic Chronology of States and Their Political Representatives in Past and Present. A Biographical Reference Book, Part 3: Asia & Pacific Oceania, München 2003, s. 1239-1244, ISBN 3-598-21545-2.
12. Adrian Vickers, The Desiring Prince; A Study of the Kidung Malat as Text. PhD Thesis Sydney 1986.
13. Margaret J. Wiener, Visible and Invisible Realms; Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. Chicago & London 1995. ISBN 0-226-88580-1.
Prosesi Pemakaman :
DYMM Allahyarham Sultan Syarif Abubakar Alkadri,
bin Almarhum Pangeran Syarif Mahmud,
bin Almarhum Sultan Syarif Muhammad Alkadri
Tahun: 2017, di Batulayang - Pontianak
* Muhammad bin Yusuf bin Muhammad , bin Salim , bin Qasim ,
bin Yusuf , bin Abubakar laksamana Tua, Bin Habib Husein Mempawah :
ada di pontianak dan masih hidup 2020