Senin, 24 Januari 2011

Sultan Pontianak ke.II. Syarif Kasim

By : SAY Qadrie
Pustaka Kadriah

Sultan ke II, : Syarif Kasim ibni Sultan Abdurrahman Alqadrie


Pangeran Sayyid Syarif Abdul Hamid 
bin Sultan Abdurrahman Pontianak
Keramat Angke Jakarta


Sepintas Kesultanan Kadriah pada masa pemerintahan SULTAN SYARIF KASSIM  (1808 - 1819): SANG DIPLOMAT

Oleh Soedarto


  Tentang kemampuan sultan Pontianak yang kedua ini , seorang pejabat pemerintahan Belanda di Batavia dalam laporannya kepada atasannya, menulis bahwa : 

“.... Sultan ini (Kassim) adalah orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas, lebih luas dibandingkan dengan sesama raja Melayu …"

Pernyataan ini juga diperkuat dengan apa yang dilaporkan oleh Elout, salah seorang anggota Komisi Jenderal, yang bertugas mempersiapkan kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia (1816).

          Sebagaimana ditulis oleh Van der Kemp (BKI 1920:117-161), Elout antara lain menuturkan bahwa:  "Ketika ayahandanya mengirimkannya ke Jawa dalam misi diplomatik nya, ia masih amat muda. Ia banyak memperhatikan dan banyak belajar dari berbagai hal.  

             Sultan ini kini berusia lima puluh tahun; ia memiliki pengalaman luas, dan setiap hari ia membaca dan belajar tentang banyak hal. Anda bisa berbicara mengenai berbagai hal dengannya, dan bahkan sangat sering hal-hal yang baru dan penemuan--penemuan baru tidaklah asing baginya...."    



Stempel Sultan Kasim 


        Sikapnya yang bersahabat dengan pemerintahan East Indian Company yang berkuasa di Indonesia (1811 - 1816) secara tidak langsung telah menyelamatkan kesultanan Pontianak dari rongrongan Inggris, padahal pada saat yang bersamaan Inggris bertindak keras terhadap kesultanan Sambas,

      Dengan mengirimkan pasukan-pasukan Sepoy yang membakar habis ibukota kesultanan itu (1912), sebagai tindakan balas dendam atas perampasan kapal dagang EIC "Commerce" oleh armada kesultanan Sambas di penghujung abad XVIII. Padahal, kapal-kapal bersenjata kesultanan Pontianak pun pernah juga mengganggu lalu lintas kapal-kapal dagang Inggris yang berlayar dari Sukadana.

          Diplomasi yang cerdik juga dilakukan oleh Sultan Syarif Kassim terhadap negara-negara tetangganya. 

     Ia misalnya mempersilakan putera dari Gusti Jamiril, Panembahan Mempawah yang dilengserkannya dalam penaklukan Mempawah (1787), untuk kembali ke Mempawah dari tempat dimana selama itu ia bersama kaum kerabatnya menyingkir; serta mengangkatnya kembali sebagai panembahan untuk menggantikannya, ketika ia diangkat menjadi sultan Pontianak (1808).

          Menyadari bahwa perekonomian kesultanan Pontianak sebagian besar tergantung pada kelancaran pasokan produk-produk daerah-daerah hulu sungai Kapuas, Syarif Kassim tidak merasa risih untuk menjalin hubungan persahabatan dengan-kerajaan Sanggau yang dahulu pernah dikalahkan ayahanda nya. (Archipel 1:291).

         Kearifan diplomatik serupa juga ditunjukkannya terhadap panembahan kerajaan Matan, yang semasa masih menjadi penguasa di Sukadana, pernah diserang oleh kesultanan Pontianak bersama-sama armada VOC.

Panembahan kerajaan Matan diundangnya untuk berkunjung ke Pontianak, dimana ia diterima dengan segala kehormatan.

          Sekali pun kesultanan Pontianak (sebagaimana halnya dengan kerajaan-kerajatan lain di Nusantara) telah terpaksa ataupun dipaksa untuk menerima dan mengakui pertuanan (overlordship) kerajaan Belanda atas mereka,

 namun para sejarawan modern memberikan penilaian khusus terhadap kasus tunduknya kesultanan Pontianak kepada Belanda.


Logo dan Surat Sultan Kasim

 Kesultanan Pontianak, menurut kajian para sejarawan itu,: 

              Bukan tunduk karena dikalahkan oleh kekuatan militer Belanda, tidak pula melalui penghancuran dari dalam oleh intrik-intrik istana yang diotaki Belanda; akan tetapi kesultanan Pontianak mengakhiri dan menerima kehadiran Belanda untuk membantu menjamin dan mengukuhkan eksistensinya sebagai sebuah kerajaan, mengingat bahwa ketika kesultanan ini berdiri, ia tidak memiliki "modal" wilayah yang benar-benar menjadi miliknya.

      Kesultanan Pontianak berdiri di atas daerah yang sesungguhnya milik kerajaan Landak (yang ketika itu tunduk kepada kekuasaan kesultanan Banten), meskipun daerah itu tidak pernah diurus oleh yang empunya.

    Inilah yang mendorong pendiri kesultanan Pontianak berusaha mendapatkan dukungan dan pengakuan dari pihak Belanda (VOC) yang oleh Syarif Abdurrahman dianggap sebagai kekuatan yang mampu menandingi Banten ketika itu. 

        Upaya-upaya diplomatik yang dilakukannya, khususnya dengan mengutus puteranya( Pangeran Syarif Kasim ) untuk melobi pejabat-pejabat VOC di Batavia berbuah dengan kunjungan Nicolaas Kloek ke Pontianak untuk melakukan investigasi atas permasalahan yang ada (1778), 

       Dan setahun kemudian oleh kunjungan residen Willem Adriaan Palm,(1779) yang membuat akta pengukuhan atas kesultanan Pontianak, dan sekaligus juga pengakuan kesultanan Pontianak atas pertuanan kerajaan Belanda.



Ketika VOC Kompeni Dagang yang Jadi Penjajah



##, Versi lainya : Sultan Syarif Kasim Al-Qadrie, : 1808 – 1819.


          Sultan Syarif Kasim, yang lahir 1767 adalah putera tertua Sultan Abdurrahman dengan Utin Candramidi. Sebelum menjadi Sultan Pontianak Kedua, 1808 – 1819, ia diangkat oleh ayahnya sebagai Panembahan Mempawah 1787 - 1790 yang dikehendaki oleh Batavia.

       Pengangkatan ini dimaksud untuk mengisi kekosongan sementara. karena Gusti Jamiril, Panembahan Adijaya Kusuma Negara, mengungsi bersama panglima perangnya, Tan Kapi, untuk menghindari peperangan dengan tentara Batavia yang dipimpin oleh Mayor Ambral dan Kapten Salpitsin.

     Kerajaan Mempawah dalam rentang waktu tersebut berada dibawah Kesultanan Pontianak, dan baru sekitar tahun 1854, kekuasaan pemerintahan kerajaan Mempawah pulih kembali.

Kompeni Belanda semakin kuat menusukkan kuku-kuku kekuasaannya di tubuh Kesultanan Pontianak dan Mempawah.

       Hal ini terbukti tidak saja dari campur tangan Batavia di bawah Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting dalam pengangkatan Syarif Kasim sebagai Panembahan Mempawah, tetapi juga dari terselenggaranya perjanjian yang dipaksakan pada 27 Agustus 1787 antara VOC dengan Syarif Kasim sebagai penguasa Kesultanan Mempawah (Rahman, 2000:109-110).

Perjanjian yang berat sebelah itu ternyata telah memperkuat kekuasaan imperalisme Belanda terhadap Kesultanan Pontianak dan Mempawah, dan sekaligus memperlemah kedudukan Sultan di kedua  kesultanan itu.

         Rasa tidak senang dan kekecewaan Sultan Syarif Abdurrahman terhadap puteranya, Syarif Kasim, bertambah besar dan disebabkan oleh beberapa hal:

(1) usaha campur tangan Belanda terhadap Kesultanan Mempawah yang ternyata dipermulus jalannya oleh Syarif Kasim, tidak lain adalah strategi politik kolonial Belanda untuk mengadu domba Syarif Abdurrahman dengan puteranya;

 (2) Syarif Kasim, berdasarkan sumber Belanda (Rahman, 2000:110) diduga telah membunuh seorang Kapten kapal Inggeris, seorang nakhoda Jung Cina dan beberapa orang lainnya tanpa alasan jelas;

 (3) dan tindakan kekerasan dan tercela lainnya terhadap lawan-lawan politiknya.

Tindakan negatif itu menyebabkan Syarif Kasim tidak diterima di Pontianak dan tidak mendapat restu dari Sultan Syarif Abdurrahman untuk mewaris tahta Kesultanan Pontianak menggantikannya.

 Sebaliknya, Syarif Abdurrahman telah berencana menunjuk Syarif Usman Alqadrie, putera dari isterinya bernama Nyai Kusumasari, sebagai Pangeran Ratu, calon Sultan Pontianak, untuk menggantinya.



Logo dan Stempel Sultan Kasim



 Peristiwa Pengibaran Bendera :  9 Agustus 1818. 

  
         Ketika ayahnya mangkat, fihak istana, keluarga besar kesultanan Qadriah dan rakyat Pontianak, dengan penuh perasaan berat dan kekhawatiran, terpaksa menyetujui tradisi kerajaan menerima Syarif Kasim untuk menjalankan kekuasaan sebagai Sultan untuk sementara waktu, dengan pertimbangan:

1) Syarif Usman masih kecil dan merasa belum mampu menjalankan tugasnya sebagai Sultan;

2) Ia sangat menghargai saudaranya, Syarif Kasim, yang lebih tua darinya;

3) Syarif Kasim berjanji hanya akan menjabat sebagai Sultan selama 10 tahun, dan selama itu ia akan melunasi hutang ayahnya.

          Sampai akhir kekuasaannya, Sultan Syarif Kasim tidak juga dapat memenuhi janjinya melunasi hutang ayahnya, bahkan ia banyak berhutang kepada pedagang Cina, kesultanan lainnya dan Kompeni Belanda, serta melakukan beberapa kesalahan lain.

Kesalahan paling fatal adalah : 

       --, Bahwa Belanda dapat menanamkan pengaruh kolonialismenya lebih dalam di Kalbar pada umumnya dan di Pontianak pada khususnya, karena atas permintaannya, berdasarkan catatan Rahman (2000:112), Pemerintah Kolonial Belanda menugaskan *Komisaris Broek Holts* bersama sejumlah serdadunya untuk datang ke Pontianak untuk melindungi keamanannya,--

Kesalahan-kesalahan seperti itu harus dibayar mahal.

          Secara resmi Belanda berkuasa kembali di Pontianak sesudah pemerintahan Kolonial Inggeris di bawah Thomas Stanford Raffles, yang ditandai dengan berkibarnya kembali bendera Belanda di Pontianak pada : 9 Agustus 1818. 

Syarif Kasim menandatangani perjanjian baru, yang sangat merugikan dan mengikat rakyat dan Kesultanan Pontianak, dengan Belanda di bawah Komisaris Nahuys pada 12 Januari 1819,

        Dan di bawah Gubernur Jenderal Du Bus, Belanda membangun lagi benteng di Pontianak bernama Marianne’s Oord[11] (Rahman, 2000:112-113). Taktik Belanda mengikat para sultan di Kesultanan Pontianak ternyata berhasil, dan ini tampaknya, menurut Alvin So (1990: … - …) dan Gunder Frank, 1989), merupakan realisasi awal dari keserakahan Barat,

        Dalam hal ini Belanda, untuk menciptakan ketergantungan kerajaan-kerajaan di timur yang sekarang dikenal dengan negara sedang berkembang (NSB) dengan menarik surplus ekonomi dari kawasan ini melalui hubungan eksploitatif. 

Akan tetapi, tidak sedikit keluarga besar kesultanan tidak setuju dengan “ketundukan” seperti itu terhadap Belanda, dan mereka yang “membangkang” meninggalkan istana dan membangun pemukiman sendiri bernama Kampung Luar (Alqadrie, 1984:84).



Biodata Sultan Syarif Kasim 
ibni Sultan Syarif  Abdurrahman : 1766 - 1819 
      ( dari the Al - Kadry Pontianak 
Genealogy Dynasty berbahasa Inggris ) 


        Lahir di Mempawah tahun 1766 M ditunjuk sebagai Panembahan Mempawah  pada 17 Juni 1787M. Pada saat wafat ayahnya Sultan Abdurrahman : 28 Pebruari 1808M, beliau menduduki tahta karena adiknya Sultan Usman masih kecil. 

 Sultan Syarif Kasim wafat pada : 25 Pebruari 1819 M



>>  Nama - nama Istri : 

1. Uwan Salma keturunan Arab

2. Ratu Pesa  keturunan Bugis

3. Inche Baida Keturunan Bugis

4. Inche Pipa keturunan Bugis

5. Inche Lima.I. keturunan Bugis

6. Inche Naima keturunan Bugis

7. Inche Lima.II   dari Brunei 

8.Inche Muna dari keturunan Melayu

9. Kadriah




> Keturunan Sultan Syarif Kasim : 


1. Anak pertama wafat kecil   ( ibu Uwan Salma ) 

2.. Syarif Abubakar bin Sultan Syarif Kasim 
( Wan Tabu ) Gelar : Pangeran Muda,lahir tahun 1781.M dan Wafat pada 1867 M usia hidup 86 tahun.(Ibu Inche Baida)

2.1.  Abdul Rahman bin Abubakar : 1809 - 1873 ( Pangeran Bendahara )

2.1.1.Kasim bin Abdurrahman bin Abubakar : 1839 - 1868 M
2.1.2.Husein bin Abdurrahman bin Abubakar


2.2.Syarif Husein bin Syarif Abubakar bin Sultan Kasim (Wan Husnan) 



3. Syarif Ahmad bin Sultan Kasim ( Ibu Inche Pipa )

4. Syarif Muhammad Zain bin Sultan Kasim ( Ibu Inche Pipa )

5. Syarif Umar bin Sultan Kasim ( Ibu Inche Pipa ) 

6. Syarif Abdul Rahman bin Sultan Kasim ( Ibu Inche Pipa ) 

7. Syarif Ali bin Sultan Kasim ( Ibu Inche Lima ) 

Dan 8 anak perempuan yang tidak kami cantumkan disini. 





Referensi : 

Drs. H. Soedarto
Pemerhati Sejarah dan Pendidikan Pontianak
Versi cetak muat di harian Borneo Tribune, tanggal 6 Oktober 2007
https://blogs.bl.uk/asian-and-african/2015/11/royal-malay-letters-and-seals-from-pontianak.html
https://bl.academia.edu/AnnabelGallop
https://yusrinfaidz.blogspot.com/2021/10/warkah-sultan-pontianak-i.html
- The Al - Kadry Pontianak Genealogy Dynasty berbahasa Inggris ) 
_ Berbagai sumber lain nya,