Senin, 24 Januari 2011

Sultan Pontianak ke.II. Syarif Kasim

By : SAY Qadrie
Pustaka Kadriah

Sultan Pontianak  ke II, : 
Syarif Kasem ibni Sultan Abdurrahman Alkadrie



Pangeran Sayyid Syarif Abdul Hamid 
bin Sultan Abdurrahman Pontianak
Keramat Angke Jakarta





Sultan Syarif Kasim Al-kadrie, : 1808 – 1819.


Lahir di Mempawah pada tahun 1766 M . 
Nama Ibu : Utien Chandramidi binti Opu Daeng Manambong
( Syed Sech Abubakar Al Adeni Qaulan Jazirah Al Hasani ) 

      Ditunjuk sebagai Panembahan Mempawah  pada 17 Juni 1787M.

      Pada saat wafat ayahnya Sultan Abdurrahman : 28 Pebruari 1808 M, 
      Beliau menduduki tahta karena adiknya Sultan Usman masih kecil. 

      Sultan Syarif Kasim wafat pada : 25 Pebruari 1819 M, 
      Setelah  11 tahun bertahta di usia :  53 tahun

Narasi : 

    Ketika penguasa kesultanan Pontianak, sultan Syarif Abdurrahman, merasa bahwa saat - saat terakhir dari hidupnya telah dekat, beliau meminta kaum kerabatnya, pembesar-pembesar kesultanan serta para pemuka masyarakat untuk berkumpul.


     Dalam kesempatan itu sultan meminta agar mereka menerima den mengakui puteranya, Syarif Kassim, yang sejak penaklukan Mempawah di tahun 1787 diangkat sebagai Panembahan Mempawah; untuk menggantikannya sebagai sultan. Para kerabat dan pembesar-pembesar kerajaan itu sesungguhnya merasa enggan untuk menerima Syarif Kassim sebagai pengganti ayahandanya.


     Keengganan ini didasarkan pada alasan bahwa meski Syarif Kassim cerdas, berpengalaman dan memiliki pengetahuan luas (hal yang juga dikagumi oleh orang-orang Belanda dan Inggris yang mengenalnya), namun tabiat serta perilakunya yang; kasar dan suka bertindak ugal-ugalan; mereka pandang bisa memberi citra negatif pada diri seorang calon raja. Mereka lebih suka menerima saudara tirinya, Syarif Usman, sebagai sultan, karena budi dan perilakunya yang baik.


   Namun mereka tidak memiliki keberanian untuk menyanggah kehendak sultan, lagi pula Syarif Usman telah menyatakan penolakannya, sebagai tanda penghormatannya kepada saudaranya yang lebih tua. Usman hanya bersedia untuk diangkat sebagai Pangeran Ratu.


    Maka sepeninggal ayahandanya, Syarif Kassim pun segera dinobatkan sebagai sultan Pontianak yang kedua (1808), lebih pula karena pemerintah Belanda pun segera memberikan persetujuannya.


Syarif Kassim memang telah dikenal secara lugs di kalangan para pejabat Belanda, termasuk mereka yang berada di pusat pemerintahan di Batavia.


    Sejak usia muda, ayahanda nya, sultan Syarif Abdurrahman, telah memberi tugas padanye untuk menjalankan misi diplomatik, baik ke Batavia maupun ke kerajaan -kerajaan lain di Nusantara.


   Tentang kemampuan sultan Pontianak yang kedua ini , seorang pejabat pemerintahan Belanda di Batavia dalam laporannya kepada atasannya, menulis bahwa : 


“.... Sultan ini (Kassim) adalah orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas, lebih luas dibandingkan dengan sesama raja Melayu …"


    Pernyataan ini juga diperkuat dengan apa yang dilaporkan oleh Elout, salah seorang anggota Komisi Jenderal, yang bertugas mempersiapkan kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia (1816).


   Sebagaimana ditulis oleh Van der Kemp (BKI 1920:117-161),

   Elout antara lain menuturkan bahwa:  


     "Ketika ayahandanya mengirimkannya ke Jawa dalam misi diplomatik nya, ia masih amat muda. Ia banyak memperhatikan dan banyak belajar dari berbagai hal.  


    Sultan ini kini berusia lima puluh tahun, - ( Lebih tepatnya 42 tahun pada 1808 M, sebab lahir  1766 M . Penulis  ) ; - ia memiliki pengalaman luas, dan setiap hari ia membaca dan belajar tentang banyak hal. Anda bisa berbicara mengenai berbagai hal dengannya, dan bahkan sangat sering hal-hal yang baru dan penemuan--penemuan baru tidaklah asing baginya...."    




Stempel Sultan Kasim 



Sultan Kasem 

    Sikapnya yang bersahabat dengan pemerintahan East Indian Company yang berkuasa di Indonesia (1811 - 1816) secara tidak langsung telah menyelamatkan kesultanan Pontianak dari rongrongan Inggris, padahal pada saat yang bersamaan Inggris bertindak keras terhadap kesultanan Sambas,


   Dengan mengirimkan pasukan-pasukan Sepoy yang membakar habis ibukota kesultanan itu (1912), sebagai tindakan balas dendam atas perampasan kapal dagang EIC "Commerce" oleh armada kesultanan Sambas di penghujung abad XVIII. Padahal, kapal-kapal bersenjata kesultanan Pontianak pun pernah juga mengganggu lalu lintas kapal-kapal dagang Inggris yang berlayar dari Sukadana.


          Diplomasi yang cerdik juga dilakukan oleh Sultan Syarif Kassim terhadap negara-negara tetangganya. 


     Ia misalnya mempersilakan putera dari Gusti Jamiril, Panembahan Mempawah yang dilengserkannya dalam penaklukan Mempawah (1787), untuk kembali ke Mempawah dari tempat dimana selama itu ia bersama kaum kerabatnya menyingkir; serta mengangkatnya kembali sebagai panembahan untuk menggantikannya, ketika ia diangkat menjadi sultan Pontianak (1808).


          Menyadari bahwa perekonomian kesultanan Pontianak sebagian besar tergantung pada kelancaran pasokan produk-produk daerah-daerah hulu sungai Kapuas, Syarif Kassim tidak merasa risih untuk menjalin hubungan persahabatan dengan-kerajaan Sanggau yang dahulu pernah dikalahkan ayahanda nya. (Archipel 1:291).


         Kearifan diplomatik serupa juga ditunjukkannya terhadap panembahan kerajaan Matan, yang semasa masih menjadi penguasa di Sukadana, pernah diserang oleh kesultanan Pontianak bersama-sama armada VOC.


      Panembahan kerajaan Matan diundangnya untuk berkunjung ke Pontianak, dimana ia diterima dengan segala kehormatan.


   Sekali pun kesultanan Pontianak (sebagaimana halnya dengan kerajaan-kerajatan lain di Nusantara) telah terpaksa ataupun dipaksa untuk menerima dan mengakui pertuanan (overlordship) kerajaan Belanda atas mereka,

Namun para sejarawan modern memberikan penilaian khusus terhadap kasus tunduknya kesultanan Pontianak kepada Belanda.




Logo dan Surat Sultan Kasim

 Kesultanan Pontianak, menurut kajian para sejarawan itu,: 


     Bukan tunduk karena dikalahkan oleh kekuatan militer Belanda, tidak pula melalui penghancuran dari dalam oleh intrik-intrik istana yang diotaki Belanda; akan tetapi kesultanan Pontianak mengakhiri dan menerima kehadiran Belanda untuk membantu menjamin dan mengukuhkan eksistensinya sebagai sebuah kerajaan, mengingat bahwa ketika kesultanan ini berdiri, ia tidak memiliki "modal" wilayah yang benar-benar menjadi miliknya.


  Kesultanan Pontianak berdiri di atas daerah yang sesungguhnya milik kerajaan Landak ( yang ketika itu tunduk kepada kekuasaan kesultanan Banten ), meskipun daerah itu tidak pernah diurus oleh yang empunya.


    Inilah yang mendorong pendiri kesultanan Pontianak berusaha mendapatkan dukungan dan pengakuan dari pihak Belanda (VOC) yang oleh Syarif Abdurrahman dianggap sebagai kekuatan yang mampu menandingi Banten ketika itu. 


        Upaya-upaya diplomatik yang dilakukannya, khususnya dengan mengutus puteranya ( Pangeran Syarif Kasim ) untuk melobi pejabat-pejabat VOC di Batavia berbuah dengan kunjungan Nicolaas Kloek ke Pontianak untuk melakukan investigasi atas permasalahan yang ada (1778), 


       Dan setahun kemudian oleh kunjungan "Residen Willem Adriaan Palm,(1779)" yang membuat akta pengukuhan pada : 5 Juli 1779 M, atas kesultanan Pontianak, dan sekaligus juga pengakuan kesultanan Pontianak atas pertuanan Kerajaan Belanda.



Ketika VOC Kompeni Dagang yang Jadi Penjajah



##, Versi lainnya : Sultan Syarif Kasim Al-kadrie, : 1808 – 1819.


  Sultan Syarif Kasim, yang lahir 1767 adalah putera tertua Sultan Abdurrahman dengan Utin Candramidi. Sebelum menjadi Sultan Pontianak Kedua, 1808 – 1819, ia diangkat oleh ( Belanda  ) ayahnya sebagai Panembahan Mempawah 1787 - 1790 yang dikehendaki oleh Batavia.


   Pengangkatan ini dimaksud untuk mengisi kekosongan sementara. karena Gusti Jamiril, Panembahan Adijaya Kusuma Negara, mengungsi, bersama panglima perangnya, Tan Kapi, untuk menghindari peperangan dengan tentara Batavia yang dipimpin oleh Mayor Ambral dan Kapten Salpitsin.


     Kerajaan Mempawah dalam rentang waktu tersebut berada dibawah Kesultanan Pontianak, dan baru sekitar tahun 1854, kekuasaan pemerintahan kerajaan Mempawah pulih kembali.


Kompeni Belanda semakin kuat menusukkan kuku-kuku kekuasaannya di tubuh Kesultanan Pontianak dan Mempawah.


       Hal ini terbukti tidak saja dari campur tangan Batavia di bawah Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting dalam pengangkatan Syarif Kasim sebagai Panembahan Mempawah, tetapi juga dari terselenggaranya perjanjian yang dipaksakan pada 27 Agustus 1787 antara VOC dengan Syarif Kasim sebagai penguasa Kesultanan Mempawah (Rahman, 2000:109-110).


Perjanjian yang berat sebelah itu ternyata telah memperkuat kekuasaan imperalisme Belanda terhadap Kesultanan Pontianak dan Mempawah, dan sekaligus memperlemah kedudukan Sultan di kedua  kesultanan itu.


         Kekecewaan Sultan Syarif Abdurrahman terhadap puteranya, Syarif Kasim, bertambah disebabkan oleh beberapa hal :


(1) usaha campur tangan Belanda terhadap Kesultanan Mempawah yang ternyata dipermulus jalannya oleh Syarif Kasim, tidak lain adalah strategi politik kolonial Belanda untuk mengadu domba Syarif Abdurrahman dengan puteranya;


 (2) Syarif Kasim, berdasarkan sumber Belanda (Rahman, 2000:110) diduga telah membunuh seorang Kapten kapal Inggeris, seorang nakhoda Jung Cina dan beberapa orang lainnya tanpa alasan jelas;


 (3) Tindakan kekerasan  lainnya terhadap lawan-lawan politiknya.


    Tindakan negatif itu menyebabkan Syarif Kasim tidak diterima di Pontianak dan tidak mendapat restu dari Sultan Syarif Abdurrahman untuk mewarisi tahta Kesultanan Pontianak menggantikannya.


  Sebaliknya, Syarif Abdurrahman telah berencana menunjuk Syarif Usman Alqadrie, putera dari isterinya bernama Nyai Kusumasari, sebagai Pangeran Ratu, calon Sultan Pontianak, untuk menggantinya nanti.



Logo dan Stempel Sultan Kasim



 Peristiwa Pengibaran Bendera :  9 Agustus 1818. 

  
   Ketika ayahnya mangkat, fihak istana, keluarga besar kesultanan Qadriah dan rakyat Pontianak, dengan penuh perasaan berat dan kekhawatiran, terpaksa menyetujui tradisi kerajaan menerima Syarif Kasim untuk menjalankan kekuasaan sebagai Sultan untuk sementara waktu, dengan pertimbangan:


1) Syarif Usman masih kecil dan merasa belum mampu menjalankan tugasnya sebagai Sultan;


2) Ia sangat menghargai saudaranya, Syarif Kasim, yang lebih tua darinya;


3) Syarif Kasim berjanji hanya akan menjabat sebagai Sultan selama 10 tahun, dan selama itu ia akan melunasi hutang ayahnya.


          Sampai akhir kekuasaannya, Sultan Syarif Kasim tidak juga dapat memenuhi janjinya melunasi hutang ayahnya, bahkan ia banyak berhutang kepada pedagang Cina, kesultanan lainnya dan Kompeni Belanda, serta melakukan beberapa kesalahan lain.


Kesalahan paling fatal adalah : 


       --, Bahwa Belanda dapat menanamkan pengaruh kolonialismenya lebih dalam di Kalbar pada umumnya dan di Pontianak pada khususnya, karena atas permintaannya, berdasarkan catatan Rahman (2000:112), Pemerintah Kolonial Belanda menugaskan *Komisaris Broek Holts* bersama sejumlah serdadunya untuk datang ke Pontianak untuk melindungi keamanannya,--


Kesalahan-kesalahan seperti itu harus dibayar mahal.


Peristiwa Pengibaran Bendera  : 9 Agustus 1818. 


          Secara resmi Belanda berkuasa kembali di Pontianak sesudah pemerintahan Kolonial Inggeris di bawah Thomas Stanford Raffles, yang ditandai dengan berkibarnya kembali bendera Belanda di Pontianak pada : 9 Agustus 1818. 


    Syarif Kasim menandatangani perjanjian baru, yang sangat merugikan dan mengikat rakyat dan Kesultanan Pontianak, dengan Belanda di bawah Komisaris Nahuys pada 12 Januari 1819,


        Dan di bawah Gubernur Jenderal Du Bus, Belanda membangun lagi benteng di Pontianak bernama Marianne’s Oord[11] (Rahman, 2000:112-113). Taktik Belanda mengikat para sultan di Kesultanan Pontianak ternyata berhasil, dan ini tampaknya, menurut Alvin So (1990: … - …) dan Gunder Frank, 1989),
 ----    Merupakan realisasi awal dari keserakahan Barat,


        Dalam hal ini Belanda, untuk menciptakan ketergantungan kerajaan-kerajaan di timur yang sekarang dikenal dengan negara sedang berkembang (NSB) dengan menarik surplus ekonomi dari kawasan ini melalui hubungan eksploitatif. 


Akan tetapi, tidak sedikit keluarga besar kesultanan tidak setuju dengan “ketundukan” seperti itu terhadap Belanda, dan mereka yang “membangkang” meninggalkan istana dan membangun pemukiman sendiri bernama Kampung Luar (Alqadrie, 1984:84).




Biodata Sultan Syarif Kasim 
ibni Sultan Syarif  Abdurrahman : 1766 - 1819 M


 Dari the Al - Kadry Pontianak 
Genealogy Dynasty berbahasa Inggris -



Sultan Syarif Kasem, 

       Lahir di Mempawah tahun 1766 M 

      Ditunjuk sebagai Panembahan Mempawah  pada 17 Juni 1787M.

      Pada saat wafat ayahnya Sultan Abdurrahman : 28 Pebruari 1808 M, beliau menduduki tahta karena adiknya Sultan Usman masih kecil. 

      Sultan Syarif Kasim wafat pada : 25 Pebruari 1819 M



ERA SULTAN SYARIF KASEM  -  SULTAN KE II



     Pada tahun 1808 itu, Syarif Kasim diangkat menjadi Sultan Kadriah Pontianak namun dengan kesepakatan bahwa ia hanya menjabat selama sepuluh tahun sambil menunggu Syarif Usman beranjak dewasa. Perjanjian itu diingkari karena pada kenyataannya Syarif Kasim berkuasa sampai akhir hayatnya, yakni hingga tahun 1819.


   Sultan Syarif Kasim Alqadrie 1808 – 1819 M


   Naik tahta menggantikan Syarif Abdurahman Alqadrie, 
  Ia  menandatangani kontrak politik dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tanggal 12 Januari 1819. Dimasa akhir pemerintahan nya. 


   Isi dari kontrak politik antara Sultan Syarif Kasim Alkadrie dan Komisaris Nahuys van Burgst dari pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda itu antara lain:


1. Kekuasaan atas pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak dilaksanakan oleh Sultan bersama-sama dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Sultan Kadriah Pontianak akan mendapatkan perlindungan seperlu nya dari Belanda.


2. Sebagai biaya perlindungan dari Belanda kepada Sultan maka ditetapkan bahwa semua penghasilan Kesultanan Kadriah Pontianak dan Belanda dibagi sama rata di antara kedua belah pihak tersebut.


3. Hasil pajak impor dan ekspor, penjualan candu, hasil monopoli garam, pajak dari kaum Tionghoa, dan lain-lain akan diatur oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.


4. Pengadilan untuk orang Eropa dan Tionghoa ada di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda, sedangkan pengadilan untuk orang pribumi tetap berada di bawah Sultan.


5. Belanda berhak membangun tangsi tentara untuk melindungi pasukan Belanda yang ada di Pontianak.



Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Kasim Alkadrie (1808 – 1819), 


       Kesultanan Kadriah Pontianak semakin tergantung kepada pihak-pihak asing, yakni Belanda dan kemudian Inggris yang berkuasa di Hindia (Indonesia) sejak tahun 1811. 


Ketika Belanda kembali menguasai Nusantara, termasuk Pontianak, 

Sultan Syarif Kasim Alqadrie memperkenankan Gubernur Jenderal Hindia Belanda - LPJ Burggraaf du Bus de Gisignies (1826 -1830) - ( Mungkin maksudnya zaman Sultan Syarif Usman ?  Karena era Sultan Kasem berakhir pada 25 Februari 1819 M ) -  Mendirikan sebuah benteng Belanda di Pontianak yang diberi nama Marianne’s Oord, yakni nama putri Raja Negeri Belanda, Raja Willem I.


     Inilah asal-muasal nama kampung Mariana 
     yang terletak di depan pelabuhan Pontianak sekarang. 


Flash Back Sejarah  : 


*Sayyid Abubakar bin Sayyid Husein Alkadri, 

Panglima Laksamana Pertama Kesultanan Pontianak, 

Dilantik pada hari kelima,  oleh Sultan Abdurrahman 

Setelah Abdurrahman 4 hari ditabalkan sebagai Sultan pada 1778  


Pengunduran diri Panglima Laksamana I : 

 

--  Pada Tanggal :  5 Juli 1779  M,  jauh sebelum kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda - LPJ Burggraaf du Bus de Gisignies (1826-1830) ke Pontianak, 


 * Panglima Laksamana Sayyid Abubakar bin Sayyid Husein  Alkadri,  


Setelah menelaah dengan seksama isi perjanjian antara Sultan Abdurrahman dengan Willem Adrian Palm  pada 5 Juli 1779 M 


Beliau kemudian menyampaikan permintaan PENSIUN DINI kepada Sultan., 

 

   Panglima Laksamana I Syarif Abu Bakar bin Sayyid Husein Al-Kadri Jamalulai., kemudian mulai membuka Hutan., diseberang  Istana Kesultanan, yang saat itu masih berupa rimba belantara dan belum berpenghuni manusia. Di daerah itu banyak dihuni burung merak, sehingga dikenal sekarang sebagai  Gang Merak 


Hutan yang beliau buka saat itu berada pertengahan antara sungai Kapuas yang sudah banyak di lalui pelayaran dari pedagang - pedagang yang masuk dari berbagai negeri (sekarang menjadi Pelabuhan Pontianak)


Di daerah aliran sungai tanpa nama., yang kemudian oleh Panglima Laksamana I Syarif Abu Bakar bin Sayyid Husein Al-Kadri Jamalullail., diberi nama aliran "Sungai Jawei""


Nama ini beliau ambil dari nama istri Sultan Pontianak yang Berkebangsaan belanda "Lia Van Heden" binti Van Heden Werjawei "(Jawei ). Dinikahi Sultan semasa kunjungan ke Belanda pada tahun 1778 M, tak berapa lama setelah  Beliau dinobatkan sebagai Sultan Pontianak.  ( Sekarang menjadi Sungai Jawi )


 - Dengan maksud untuk mengenang sumber pangkal melemahnya Kesultanan Pontianak kerena membuat perjanjian dengan Belanda, diwakili "Residen Rembang Willem Adrian Palm"  pada : 5 Juli 1779 M -

Sumber :  ( - Maktab NanGq 1857 - Pangeran Bendahara Syarif Jafar  bin Sultan Hamid I, merujuk dari catatan Pangeran Bendahara Syarif Ahmad bin Sultan Abdurrahman -  )



     Benteng Marianne’s Oord kemudian menjadi markas tentara Belanda dan sering disebut sebagai Benteng du Bus.


   Pada tanggal 25 Februari 1819 Sultan Syarif Kasim Alqadrie wafat dan dikebumikan di Batu Layang. Terjadi ketegangan perihal siapa yang berhak menjadi Sultan Kadriah Pontianak selanjutnya. 


     Di satu pihak, Syarif Usman Alqadrie dianggap paling layak menduduki tahta Kesultanan Kadriah Pontianak. Namun di sisi lain, putra Sultan Syarif Kasim Alqadrie yang bernama Syarif Abubakar Alqadrie juga menginginkan singgasana tersebut. 

     Di sinilah campur tangan Belanda kembali berperan. 

     Sesuai kesepakatan sebelum Sultan Syarif Kasim Alkadrie dinobatkan dulu, 
Belanda kemudian menunjuk Syarif Usman Alqadrie sebagai Sultan Kadriah Pontianak ketiga. Untuk meminimalisir konflik, Belanda memberi gelar Syarif Abubakar Alqadrie sebagai Pangeran Muda dan kepadanya diberi tunjangan 6000 gulden setiap tahun.


 Nama - nama Istri  Sultan Syarif Kasim Alqadrie ( 1766  – 1819 M ) 53 tahun

1. Uwan Salma keturunan Arab

2. Ratu Pesa  keturunan Bugis

3. Inche Baida Keturunan Bugis

4. Inche Pipa keturunan Bugis

5. Inche Lima.I. Keturunan Bugis

6. Inche Naima keturunan Bugis

7. Inche Lima.II  dari Brunei 

8.Inche Muna dari keturunan Melayu

9. Kadriah




 Keturunan Sultan Syarif Kasem :  15 Anak, 9 Istri


1.  Anak pertama wafat kecil   ( ibu Uwan Salma ) 

2.. Syarif Abubakar bin Sultan Syarif Kasim Alkadri  - Putra 

     ( Wan Tabu ) Gelar : Pangeran Muda, lahir tahun 1781.M 
       Wafat pada 1867 M, usia hidup 86 tahun.(Ibu Inche Baida)

2.1.  Abdul Rahman bin Abubakar : 1809 - 1873 ( Pangeran Bendahara ) Cucu

2.1.1.Kasim bin Abdurrahman bin Abubakar : 1839 - 1868 M Cicit
2.1.2.Husein bin Abdurrahman bin Abubakar Cicit


2.1.2. Syarif Husein bin Abubakar bin Sultan Kasim ( Wan Husnan ) Cucu



3. Syarif Ahmad bin Sultan Kasim ( Ibu Inche Pipa ) Anak

4. Syarif Muhammad Zain bin Sultan Kasim ( Ibu Inche Pipa ) Anak

5. Syarif Umar bin Sultan Kasim ( Ibu Inche Pipa ) Anak 

6. Syarif Abdul Rahman bin Sultan Kasim ( Ibu Inche Pipa ) Anak 

7. Syarif Ali bin Sultan Kasim ( Ibu Inche Lima ) Anak

Dan 8 anak perempuan yang tidak kami cantumkan disini. 

======


Klik Disini  Baca: >>




Referensi : 


Drs. H. Soedarto
Pemerhati Sejarah dan Pendidikan Pontianak
Versi cetak muat di harian Borneo Tribune, tanggal 6 Oktober 2007
https://blogs.bl.uk/asian-and-african/2015/11/royal-malay-letters-and-seals-from-pontianak.html
https://bl.academia.edu/AnnabelGallop
https://yusrinfaidz.blogspot.com/2021/10/warkah-sultan-pontianak-i.html
- The Al - Kadry Pontianak Genealogy Dynasty berbahasa Inggris ) 
_ Berbagai sumber lain nya,