By : SAY Qadrie
Istana Kesultanan Tayan
Pertumbuhan dan
Perkembangan Kota Putussibau
Pada masa sekarang merupakan Ibukota
Kabupaten Kapuas Hulu yang berada di wilayah propinsi Kalimantan Barat.
Keberadaan Kota Putussibau tidak terlepas dari adanya pemerintahan tradisional
zaman dahulu hingga pemerintah modern sesudah masuknya Bangsa Belanda dalam
bentuk pemerintahan Koloni Belanda.
Putussibau sendiri merupakan satu nama daerah
atau tempat di antara beberapa nama daerah yang ada di wilayah Kabupaten Kapuas
Hulu.Di antara nama daerah di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, selain Kota
Putussibau yang sejak zaman dahulu adalah Embaloh, Kalis, Suhaid, Selimbau,
Silat, Bunut dan lain-lain.
Nama-nama daerah itu zaman dahulu adalah
nama-nama kerajaan yang ada di wilayah Kapuas Hulu. Namun sekarang daerah
tersebut telah menyatu mejadi bagian yang integral dari NKRI, khususnya sejak
terbentuknya Pemerintahan Administrati pada tahun 1953 berdasarkan UU Darurat
No 3 Tahun 1953. Pada perkambangannya daerah-daerah tersebut menjadi
wilayah-wilayah kecamatan sebagai bagian dari Kabupaten Kapuas Hulu.
1.Asal Mula Kata Putussibau
Nama Putussibau menurut cerita rakyat yang
berkembang di Kota Putussibau berasal dari gabungan kata “putus” (memutus atau
memotong) dan ‘Sibau” (nama sungai yang membelah kota Putussibau).
Sungai Sibau
dinamakan demikian karena daerah di kiri kanan yang dilalui sungai Subau banyak
terdapat pohon/kayu Sibau yang buahnya seperti buah rambutan. Selain Sungai
Sibau, Kota Putusibau juga dialiri Sungai Kapuas yang merupaan sungai terpanjang
di Indonesia.
Wilayah Kabupaten Kapuas Hulu sendiri dinamakan demikian karena di kabupaten inilah yang menjadi hulu Sungai Kapuas.
Sungai Kapuas yang melewati Kota Putussibau
telah memutus aliran Sungai Sibau yang membelah Kota Putussibau sehingga dikatakan
Putussibau.Menurut versi cerita rakyat lainnya, bahwa munculnya nama Putussibau
berasal dari kata “Sibau” yang merupakan jenis pohon/kayu Sibau yang buahnya
seperti buah rambutan.
Daun pohon ini dapat digunakan sebagai bahan
pewarna pada tikar. Diceritakan dahulu kala ada pohon Sibau yang tumbuh besar
ditepi sungai. Pohon Sibau tersebut tumbang menghalangi aliran sungai, dan dari
peristiwa itulah masyarakat menamakan daerah itu dengan nama putussibau.
2.Asal
Mula Penduduk Putussibau
Pada mulanya penduduk yang mendiami Kota Putussibau
adalah orang Dayak Kantu’ dan Dayak Taman. Daya Kantu’ berasal dari daerah
Sanggau yang berimigrasi ke timur. Orang-orang Dayak Kantu’ tinggal di sebelah
selatan Kota Putussibau.
Sedangkan orang Dayak Taman tinggal di daerah
hilir di kampong Teluk Barat.
Setelah berimigrasi ke Putussibau, banyak dayak
Taman yang memeluk agama Islam. Selain dua suku tersebut, ada pula Suku Kayan
yang menetap di daerah Kedamin.
Suku Kayan ini juga banyak yang memeluk Islam.
Sebelum
kedatangan Bangsa Belanda, suku-suku Dayak ini membentuk pemerintahan
tradisional sendiri yang mengatur wilayahnya masing-masing.
Pada abad ke-19
Masehi mereka termasuk dalam wilayah Kerajaan Selimbau.
B.MasaPenjajahan
1.Kondisi Sosial Politik Zaman Belanda
Belanda datang pertama kali ke wilayah
Kapuas Hulu di Kerajaan Selimbau pada tahun 1847, dengan pemerintahan Abbas
Surya Negara.
Orang
Belanda yang datang ke kerajaan Selimbau tersebut adalah Asisten Residen
Sintang bernama Cettersia. Dia datang dengan maksud meminta izin kepada Raja
Selimbau untuk menebang kayu di daerah Kenerak.
Kayu
tersebut oleh Belanda untuk mendirikan benteng di daerah Sintang.
Permohonan
tersebut dikabulkan oleh Raja Selimbau dengan perjanjiannya adalah bahwa
seandainya jumlah kayu yang dibutuhan banyak maka mereka diperbolehkan bekerja lebih lama
di Kenerak.
Setelah
perjanjian disetujui oleh kedua belah pihak,
Cettersia kemudian menyuruh tukang
kayu Cina dan satu orang Melayu Bugis bernama Wak Cindarok. Kayu-kayu hasil
tebangan tersebut diangkut melalui sungai Kenera, Kendali, Raya, Kenepai,
Gebong, Rigi, Riau, Lemeda, Marsida, Kemelian, Subang, dan Kemayung.
Pada
tanggal 15 November 1823 (11 Rabiul Awal 1239 H),
Pada masa pemerintahan
Pangeran Soema, pemerintahan koloni Hindia Belanda mengakui kedaulatan Kerajaan
Selimbau yang menguasai tanah negeri Silat.
Kemudian
Kerajaan Selimbau mendirikan negeri baru yang diberi nama Nanga Bunut dan
mengangkat Abang Berita sebagai rajanya dengan gelar Raden Suta.
Sejak pangeran Muhammad Abbas Negara berkuasa, terjadi konflik antara Kerajaan Selimbau dengan Kerajaan Sintang.
Pada tahun 1838 M,
Kerajaan Sintang melakukan
penyerangan terhadap Kerajaan Selimbau.
Kerajaan Sintang dipimpin oleh Pangeran
Adipati Moh Jamaluddin meyerang Kerajaan Selimbau pada tanggal 7 Ramadhan 1259
H.
Kerajaan Selimbau meminta bantuan kepada Kerajaan Pontianak yang dipimpin
oleh Sultan Syarif Usman bin Sultan Syarif Abdulrahman Al Kadri.
Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda juga
turut campur dalam peperangan itu karena pihak Belanda mempunyai perjanjian
dengan Kerajaan Pontianak dalam masalah keamanan dan peperangan.
Selain berkonflik dengan Kerajaan Sintang, Kerajaan Selimbau juga sempat berperang dengan Kerajaan Sekadau di daerah Sungai Ketungau.
Pada
tanggal 15 Desember 1847,
Pangeran Muh Abbas Surya Negara mendapat pengakuan
dari pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memimpin tanah Kapuas Hulu yang
wilayahnya sampai ke hulu negeri Silat.
Pada
pemerintahan Pangeran Abbas inilah Kerajaan Selimbau mengalami zaman keemasan
dan mempunyai daerah kekuasaan yang sangat luas sampai ke daerah Batang Aik
Serawak Malaysia.
Panembahan Haji Muda Muh Saleh Pakunegara mendapat pengakuan
kedaulatan oleh pemerintahan colonial Belanda di Batavia sebagai
penguasa Kerajaan Selimbau.
Ia diangkat menjadi raja ke-23 pada tanggal 28
Februari 1882 M.
Panembahan H. Gusti Muh Usman menjadi raja terakhir Kerajaan
Selimbau yang ke 25, beliau dinobatkan oleh pemerintahan Belanda pada tahun
1912 M. Pada
masanya ini Kerajaan Selimbau mengalami penderitaan karena harus membayar pajak
tinggi.
Beliau meninggal tahun 1923 M.
Selama kedudukan Gusti Muhammad Usman,
Pemerintahan Belanda melakukaan beberapa perjanjian:
1) Tanggal 15 November 1823 M
Dengan Pangeran Soama.
Isi perjanjian adalah
pengakuan pemerintahan Belanda atas kedaulatan Kerajaan Selimbau yang menguasai
tanah negeri Kapuas Hulu dan negeri Silat.
2)
Tanggal 5 Desember 1847 M,
Dengan Pangeran Muh Abbas Surya Negara.
Isi
perjanjiannya adalah pengauan pemerintah Belanda atas kedaulatan Kerajaan
Selimbau di tanah Kapuas hulu yang kekuasaannya sampai ke Hulu NegeriSilat.
3) Tanggal 27 Maret 1855 M,
dengan Pangeran Muh Abbas Surya Negara.
Isi
perjanjiannya adalah pengauan pemerintahan Belanda atas kedaulatan Kerjaan
Selimbau di Tanah Kapuas Hulu. Daerah yang telah ditaklukkan oleh Pangran Muh
Abbas meliputi: Dayak Batang Lumpur yang tinggal di Suriyang, Tangit, Sumpak,
Semenuk, dan Lanja.
4)
Tanggal 28 Februari 1880 M,
Dengan Pangeran Haji Muda Agung Muh Saleh
Pakunegara.2.
Perlawanan Terhadap Bangsa Belanda
Perlawanan yang dilakukan oleh rayat Putussibau terhadap pemerintahan Belanda di antaranya dilaukan oleh Djarading Abdurrahman yang berasal dari Suku Dayak Iban yang memeluk Islam.
Pada masa mudanya Ajarading pernah sekolah
sampai kelas V SD. Melalui pendidian tersebut beliau mulai mengerti akan
kondisi bangsanya yang sedang di jajah Belanda.
Djarading
mulai terjun dalam pergeraan setelah bertemu dengan Gusti Sulung Lelanang,
bersamanya Djalading terjun dalam organisasi Serikat Rakyat. Dalam organisasi
ini djarading mengadakan propaganda di kalangan Suku Dayak dan membantu
menerbitkan Surat Kabar Halilintar di Pontianak
Pada
tahun 1925.
Djaranding kemudian dibuang oleh pemerintah Belanda ke Bevon Digul
Papua Barat pada tahun 1927 karena ativitasnya dianggap menentang pemerintahan Belanda.
3.Kondisi
Sosial Ekonomi Zaman Jepang
Jepang masuk ke Kapuas Hulu pada tahun 1942 dengan
membuka pertambangan Batu Bara di bagian hulu Sungai Tebaung dan Sungai
Mentebah.
Dengan mempeerjakan orang pribumi, dengan jam kerja 8 jam/hari.
Pada
masa pendudukan Jepang di Kalimantan Barat antara tahun 1942-1945 wilayah
Kapuas Hulu dipimpin oleh;
Abang Oesman (1942-1943),
K. Kastuki (1943-1944),
dan Honggo (1944-1945)
4.
Perlawanan Terhadap Bangsa Jepang
Pada masa Jepang berkuasa di Kalbar antara
tahun 1942-1945, wilayah Kapuas Hulu juga termasuk dikuasainya. Pada awalnya
kedatangan Jepang mendatangkan harapan akan membebasan rakyat dari penjajahan
Belanda.
Namun kenyataannya Jepang malah tidak lebih baik dari Belanda.
Banyak
sumber daya alam dan manusia dimanfaatkan oleh Jepang untuk kepentingan Jepang
sendiri.
Rakyat Putussibau benar-benar dieksploitasi
guna kepentingan bangsa Jepang dengan tanoa diberi imbalan yang memadai. Melihat
ketimpangan ini, maka banyak rakyat yang melakukan perlawanan terhadap Jepang.
Demi mempertahankan kedudukannya di Kalbar khususnya Putussibau,
Jepang melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap membahayakan kedudukan Jepang.
C. MasaKemerdekaan
1.
Situasi Setelah Kemerdekaan
Pada masa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia
tanggal 17 Agustus 1945,
wilayah Kapuas Hulu dipimpin oleh:
Abang A. Gani
(1945-1947),
A. V. Dahler (1947-1949),
Pd Abubakar Ariadiningrat (1949-1949),
J.A. Schoohiem (1949-1950),
Oesman Yahya (1950-1951),
dan A, Salam
(1951-1951).
Wilayah Kapuas Hulu kemudian bergabung ke dalam Daerah Istimewa
Kalimantan Barat (DIKB) yang dipimpin oleh Sultan Hamid II.
2.Pembentukan
Kabupaten Kapuas Hulu
Pada zaman Jepang seluruh daerah Kalimantan berada di
bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang Borneo Menseibu Coka yang berpusat di
Banjar MAsin.
Sedangkan
untuk Kalimantan Barat berstatus “Minseibu Syuu”.
Berdasaran keputusan gabungan
kerajaan-kerajaan Borneo Barat pada tanggal 22 Oktober 1946 Nomor 20L,
wilayah
Kalimantan Barat terbagi ke dalam 12 Swapraja dan 3 Neo-Swapraja:
Swapraja Sambas, Pontianak, Mempawah, Landak,
Kubu, Matan, Sukadana, Simpang, Sanggau, Sekadau, Tayan, dan Sintang.
Sedangkan Neo Swapraja:
Meliau, Nanga Pinoh, dan Kapuas Hulu.
Presiden
Kalimantan Barat melalui Surat Keputusan Nomor 161 tanggal 10 Mei 1948
membentuk suatu ikatan federasi dengan nama daerah Kelimantan Barat.
Untuk
mendukung federasi ini,
Belanda mengeluarkan Besluit Luitenant Gouverneur
Kenderal Nomor 8 tanggal 2 Maret 1948 yang isinya adalah pengakuan status
Kalimantan Barat sebagai daerah Istimewa dengan pemerintahan sendiri beserta
sebuah Dewan Kalimantan Barat.
Pada
masa republic Indonesia Serikat (RIS), daerah Kalimantan berstatus
Sebagai daerah bagian yang terdiri dari satuan-satuan kenegaraan seperti Daya Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banjar.
Dengan
adanya tuntutan rakyat,
Maka DIKB yang dipandang sebagai peninggalan pemerintah
Belanda,
Berdasarkan keputusan Dewan Kalimantan Barat tanggal 7 Mei 1950,
Dengan masing-masing No 235/R dan 235/R menyatakan bahwa:
Baik badan pemerintah
harian DIKB maupun pejabat kepala pusat PIS yang diwakili oleh seorang pejabat
berpangkat Presiden.