Kamis, 29 Agustus 2013

Pledoi SH.II ( Bagian.1)

Gambar ketika Sultan Hamid.II
memasuki ruang sidang Mahkamah Agung
Tanggal : 25 Maret 1953
Pengantar :

Perjalanan kehidupan bernegara Indonesia tak pernah lepas dari konflik antar-faksi. Masing-masing pihak mencoba untuk berkuasa dan mendesakkan pahamnya dalam suatu susunan negara yang tunggal dan seragam.

Perseteruan antar-faksi ini, di antaranya, mewujud pada periode 1950-an. Di berbagai daerah muncul pergolakan yang menentang pemusatan kekuasaan. Banyak daerah bergejolak karena sumber daya alamnya dikuras dan dibawa keluar habis-habisan. Mengutip Audrey R. Kahin dan George McT Kahin (1997), pergolakan ini tak hanya bermotifkan pada alasan ekonomi, tetapi juga harga diri.

Pergolakan yang terjadi pada periode tersebut merupakan ekspresi kekecewaan atas kondisi yang dilahirkan dari suatu bentuk negara yang terpusat. Namun, di sisi lain, pergolakan juga berasal dari faksi-faksi yang ingin mendesakkan pahamnya dalam suatu bentuk negara yang sudah bersusun tunggal itu.

Meski demikian, pergolakan pada 1950-an itu bukanlah yang pertama. Genealoginya dapat dilihat pada pasca diserahkannya kedaulatan Kerajaan Belanda dan Negara Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Saat itu, faksi-faksi yang berbentuk negara-negara dan daerah-daerah otonom bersepakat secara hukum untuk menciptakan negara dengan bentuk federal atau bondstaat. Akan tetapi, negara yang disepakati secara bersama-sama tersebut kemudian dibubarkan.

 Republik Indonesia Serikat diganti dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau eenheidsstaat yang seragam dan terpusat pada 17 Agustus 1950.
Pembubaran yang sekaligus peleburan seluruh negara-negara bagian dan daerah-daerah otonom kepada salah satu faksi, yakni Republik Indonesia, pun mendapat tentangan. Tindakan itu dinilai sebagai upaya meruntuhkan prinsip kesetaraan (equal) melalui pelebaran sayap kekuasaan dan perluasan wilayah salah satu faksi.

Nasib banyak wilayah komunitas pun kemudian menjadi dikuasai, bergantung, dan ditentukan oleh satu wilayah komunitas. Hanya saja, pihak federalis yang mencoba mempertahankan prinsip equal kemudian patah. Mereka yang melawan dituduh sebagai pemberontak.

Salah satu korban konflik politik pada 1950, dalam transisi perubahan negara serikat ke negara kesatuan, adalah Sultan Hamid II. Dia dituduh sebagai “dalang” makar/pemberontakan dari aksi Westerling di Bandung pada 23 Januari 1950, dan “niat” membunuh tiga orang Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat pada 24 Januari 1950 yang telah dibatalkannya sebelum peristiwa berlangsung. Tuduhan perbuatan yang tak diketahuinya itu, dan tak terbukti di pengadilan (1953), kemudian menjadikannya ‘pesakitan’ dalam vonis selama sepuluh tahun penjara oleh pemerintahan otokratik Soekarno.

Sultan Hamid II adalah Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), sebuah Daerah Otonom (1947-1950), yang juga Sultan ke-7 dari Kesultanan Pontianak (1945-1978). Dia jugalah yang merancang lambang negara Republik Indonesia Serikat: Elang Rajawali – Garuda Pancasila. Lambang tersebut dirancang ketika dia menjabat sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio Republik Indonesia Serikat.

Pada 5 April 1950, Sultan Hamid II ditangkap oleh Menteri Pertahanan Republik Indonesia Serikat, Sultan Hamengku Buwono IX, atas perintah Jaksa Agung Republik Indonesia Serikat, Tirtawinata. Akan tetapi, pengadilan atas tuduhan “makar/pemberontakan” yang dikenakan kepadanya baru digelar tiga tahun kemudian, 25 Februari 1953. Saat dia berada di dalam penjara inilah bentuk negara berubah.

Kemudian, Jaksa Agung Negara Kesatuan Republik Indonesia, R. Soeprapto (yang menggantikan Jaksa Agung Republik Indonesia Serikat, Tirtawinata), menuntut Sultan Pontianak ini dengan hukuman 18 tahun penjara. Sementara itu, Mahkamah Agung Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ketua Mr. Wirjono Prodjodikoro menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dipotong masa tahanan (tiga tahun).

Akan tetapi, pasal-pasal yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II, yang juga merupakan Ketua Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) atau Majelis Permusyawaratan Negara-negara Federal di Kepulauan Melayu/Kepulauan Indian, tak terbukti di pengadilan. Fakta mengatakan bahwa dia tak bersalah secara hukum. Tak pelak, aroma politik dari pihak kontra federal lebih kentara ketimbang pertimbangan hukum.

Dalam kasus “makar/pemberontakan” yang dituduhkan kepadanya, Sultan Hamid II membantah melalui Nota Pembelaan (Pleidooi) yang dibuat dan dibacakannya sendiri di depan sidang pengadilan Mahkamah Agung Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 25 Maret 1953.

 Pleidoi ini terpisah dengan pleidoi yang juga dibuat oleh Pembela atau Kuasa Hukumnya, yakni Mr. Surjadi.

Pleidoi Sultan Hamid II ini menjadi sebuah naskah sejarah penting dalam menilik bagaimana proses perubahan negara Republik Indonesia Serikat (RIS) ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Berikut adalah Pleidoi Sultan Hamid II pada sidang Mahkamah Agung, 25 Maret 1953. Pleidoi ini ditampilkan secara utuh dari buku Peristiwa Sultan Hamid II oleh Persatuan Djaksa-djaksa (Persadja) (1953). Adapun ejaan dalam pleidoi ini telah diubah dari ejaan lama ke ejaan yang sudah disempurnakan (EYD).


PLEDOI (PEMBELAAN) SULTAN HAMID.II
pada sidang MA,  atas tuduhan makar terhadap Negara

Berikut adalah Pleidoi Sultan Hamid II pada sidang Mahkamah Agung, 25 Maret 1953. Pleidoi ini ditampilkan secara utuh dari buku Peristiwa Sultan Hamid II oleh Persatuan Djaksa-djaksa (Persadja) (1953). Adapun ejaan dalam pleidoi ini telah diubah dari ejaan lama ke ejaan yang sudah disempurnakan (EYD).
——————————————————————
Saudara Ketua,
Perkenankanlah saya mulai pembelaan saya dengan mengucapkan sebanyak-banyak terima kasih disertai rasa hormat kepada Mahkamah Agung atas caranya Mahka­mah Agung memimpin pemeriksaan perkara saya ini yang menimbulkan suasana yang jernih selama berjalannya pemeriksaan.

Oleh karena rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan kesungguhan yang ditunjukkan oleh Mahkamah Agung selama pemeriksaan perkara ini berjalan, maka dari permulaan pada saya timbul rasa aman dan keyakinan, bahwa perkara saya ini ada pada tangan para hakim yang luhur budinya dan yang telah banyak sekali berpengalaman pula. Dan oleh karenanya buat selama-lamanya kesan yang sebaik-baiknya akan tetap tinggal pada saya, bagaimanapun juga hasil pemeriksaan ini.

Saudara Ketua,
Dari permulaan saya telah menyangkal, bahwa saya telah berbuat salah sebagai dituduhkan pada saya sub primair, subsidair, dan subsidair lagi. Saya hanya mengakui telah melakukan perbuatan tersebut dalam lebih subsidair lagi, dengan mengajukan hal-hal yang dapat membebaskan saya.

Untuk menjaga salah paham, dikemukakan di sini, bahwa apabila saya katakan bebas, ialah hanya dipandang dari sudut ilmu hukum pidana. Ditinjau dari sudut moril, saya sendirilah yang pertama-tama akan mengakui dosa saya.

Meskipun saya mengetahui, bahwa tak akan terjadi apa-apa atas perintah saya, saya rasa selama hidup akan saya sesalkan, bahwa saya telah sampai lupa begitu jauh hingga memerintahkan untuk membunuh tiga orang sesama manusia.

Saudara Ketua,
Pembelaan mengenai segi yuridis saya percayakan kepada pembela saya. Akan tetapi menurut keyakinan saya tidak mungkin untuk meninjau perkara ini hanya dari sudut juridis saja.

Perintah untuk menyerbu sidang Dewan Menteri dan untuk membunuh tiga pejabat tinggi itu hanya merupakan suatu reaksi belaka terhadap kejadian-kejadian dari luar yang mempengaruhi jiwa dan alam pikiran saya pada waktu itu. Oleh karena kejadian-kejadian tadi berhubungan erat dengan, bahkan timbul karena perkembangan politik dari sebelum dan sesudah penyerahan kedaulatan, perbuatan saya tadi hanya akan dapat dimengerti, apabila di-proyektir atas semua itu.

Dari sebab itu saya rasa perlu sekali, apabila saya di sini dengan secara singkat memberikan gambaran mengenai perkembangan politik dalam Negara kita dari mulai menyerahnya Jepang tanpa syarat hingga terjadi perbuatan yang sekarang dituduhkan kepada saya.

Saya akan mulai dengan bulan Agustus 1945. Dalam bulan ini saya dikeluarkan dari tawanan Jepang, sesudah ± 3,5 tahun menjadi tawanan perang. Saya waktu itu masih memangku jabatan opsir KNIL secara aktif. Sampai saat itu saya belum pernah memperhatikan soal-soal politik. Kecuali keadaan, bahwa saya sebagai opsir dilarang turut campur politik, perhatian saya sendiri hanya tertarik oleh soal-soal di lapangan kemiliteran dan teknik kemiliteran.

Baru sesudah saya keluar dari tawanan, saya mendengar tentang telah terjadinya pembunuhan secara besar-besaran yang dilakukan oleh Jepang di kalangan rakyat Kalimantan Barat. Saya mendengar, bahwa juga ayah saya dan semua saudara lelaki saya telah terbunuh. Dapatlah dimengerti, bahwa saya dengan sendirinya dan dengan senang hati menggunakan kesempatan yang diberikan kepada saya oleh Lt. G.G. van Mook untuk terbang ke Pontianak.

Atas permintaan rakyatlah, maka saya di dalam bulan Oktober 1945 dilantik sebagai Sultan ke-VII dari Pontianak. Dalam kedudukan saya sebagai kepala swapraja dengan langsung saya dapat berhubungan dengan rakyat. Hingga waktu itu saya hanya mendengar saja tentang adanya cita-cita untuk mencapai kemerdekaan. Akan tetapi sesudah hubungan langsung dengan rakyat Kalimantan Barat, mengertilah saya, bahwa juga di daerah saya cita-cita kemerdekaan itu memang telah meresap di hati sanubari rakyat.

Saudara Ketua,
Dengan demikian dapat dimengerti, bahwa juga dalam hati saya mulai menyala api kemerdekaan. Jika tidak demikian, saya bukan seorang manusia yang mempunyai harga diri dan terutama bukan seorang Indonesia.

Pada permulaan 1946 saya kembali ke Jakarta untuk rnengadakan pembicaraan dengan pemerintah pada waktu itu. Di samping itu besar pula hasrat saya untuk berjumpa dengan Perdana Menteri RI pada waktu itu, ialah Sutan Sjahrir, guna belajar kenal dengan beliau. Kehendak saya itu dapat terlaksana. Dan dari pembica­raan dengan beliau itu saya mendapat kesan yang sangat menyenangkan dan yang tak akan saya lupakan.
Ketika Tuan van Mook menawarkan kepada saya untuk mengikuti pembicaraan di Hoge Veluwe, dengan tak berpikir panjang tawaran itu saya terima dan pergilah saya.

Saudara Ketua,
Itulah tadi gambaran mulainya menyala api kemerdekaan dalam kalbu saya. Hasrat untuk mencapai kemerdekaan buat nusa dan bangsa, keinginan untuk mempunyai pemerintah sendiri yang berdaulat, makin lama makin besar.

Dalam pada itu dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi nusa dan bangsa, timbullah pula keyakinan saya, bahwa bentuk federalisme itulah yang paling baik bagi negara kita. Bukan tempatnya di sini untuk menguraikan dengan panjang lebar alasan-alasan bagi keyakinan saya itu. Guna kepentingan perkara ini sudah cukup kiranya dengan mengemukakan keyakinan itu. Sebab baik secara langsung ataupun tidak, keyakinan itulah antara lain yang menyebabkan timbulnya perkara yang sekarang diperiksa ini.

Saudara Ketua,
Sesudah Konperensi Malino dan konperensi-konperensi yang diadakan sesudah itu, yang mengakibatkan terlahirnya beberapa negara, terbentuklah apa yang dinamakan Voorlopige Federale Regering, ialah pada tanggal 9 Maret 1948. Mungkin ada pentingnya, apabila di sini dinyatakan, bahwa saya telah menolak tawaran untuk turut serta dalam pemerintahan yang baru dibentuk itu. Pertimbangan saya ialah, bahwa saya tidak mau turut pemerintahan di Indonesia yang tidak berdaulat.

Dalam bulan Mei 1948 dipanggillah konperensi BFO. Konferensi ini sebenarnya hanya merupakan studieconferensi dengan tujuan mempelajari segala sesuatu yang berkenaan dengan penyerahan kedaulatan.

Maksud dan tujuan VFR ini mendapat rintangan dengan dibentuknya Bijeenkomst Federaal Overleg atas inisiatif negara Indonesia Timur. Maksud pembentukan BFO tidak lain daripada untuk mencari jalan semata-mata bagaimana kita dapat keluar dari kesulitan-kesulitan politik antara RI dan negeri Belanda yang kelihatannya sukar untuk dipecahkan. Tujuan BFO yang terpenting, ialah mempercepat penyerahan kedaulatan.

Saudara Ketua,
BFO telah banyak dicerca. Akan tetapi saya yakin, bahwa BFO merupakan salah satu faktor yang penting bagi penyerahan kedaulatan sebelum akhir tahun 1949. Untuk menggambarkan kedudukan BFO dalam perjuangan merebut kemerdekaan, marilah saya ulangi perkataan Dr. van Mook dalam bukunya Indonesie, tiederland en de Wereld, halaman 221:
“De delegatie van het BFO vond echter bij de nieuwe minister en bet nieuwe kabinet in Nederland reeds dadelijk zodanige instemming, dat op 16 Agustus zander verder overleg met de VFR ofde landvoogd zijn stehel werd aanvaard, Ook de daarop volgnde behandeling met bet complete BFO, dat na de kroningsfeesten naar tiederland overkwam, geschiedde met practised vrijwel volledige uitscbakeling van de Indonesische Regering, ook al bevond de landvoogd met een zevental secretirssen van zih torn eveneens in Den Haag.

“Na mijn overhaeste terugkeer in verband met decommunistiscbe opstand, welke in de Republiek op 19 September was uitgebrokrn, bleef de verhouding ongewijzigd en toen ik bij voortduring moest ervaren, dat VFR en landvoogd buiten de verdure voorbereiding van het interim-ontwerp gelaten warden en zelfs omterent de genomen beslissingen veel sbneller door de pers dan door enkele mmmiere stukken warden ingelicht, meende ik aan deze voor de positie de Vertegenwoordiger van de Kroon onwaardige toetstand een einde te moeten maken door op 11 Oktober met ingang van 1 November mijn onstlag te vragen.”

(Terjemahan: Delegasi BFO berpendapat untuk segera memperoleh persetujuan dari menteri dan kabinet yang baru di Belanda sehingga pada tanggal 16 Agustus tanpa perundingan lebih lanjut dengan VFR atau Wali Negara maka asal-usulnya akan langsung diterima. Juga penanganan lebih lanjut dari BFO secara lengkap yang akan dilakukan setelah peringatan hari besar Kerajaan Belanda tanpa mengikutsertakan pemerintah Indonesia seperti halnya yang sudah pernah dilakukan oleh Wali Negara dengan tujuh orang sekretarisnya di Den Haag.
Sesudah saya mengembalikan lagi kekuasaan saya sehubungan dengan pemberontakan komunis pada tanggal 19 September di Indonesia maka hubungan tetap berjalan dengan baik dan saya dapat mengambil pelajaran berharga bahwa VFR dan Wali Negara tidak tahu menahu mengenai permasalahannya dan dalam mengambil keputusan untuk menerangkan berbagai hal yang masih kabur kalah cepat dengan pers. Oleh sebab itu saya sebagai wakil dari ratu Belanda harus menyelesaikan keadaan yang penuh dengan ketidakpastian ini pada tanggal 11 Oktober oleh karena pada tanggal 1 Nopember saya sudah mengajukan permohonan untuk berhenti dari jabatan saya.)

Dari kenyataan terurai di atas sudah jelas kiranya, bahwa BFO itu tidak saja bukan ciptaan dari VFR, akan tetapi malahan merupakan salah satu faktor yang penting untuk perginya Dr. van Mook.

Saudara Ketua,
Saya kira, di sinilah tempatnya untuk menyinggung dengan sepatah dua patah perkataan keterangan Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, yang dibacakan di sidang. Saya berbuat ini sebenarnya dengan sangat berkeberatan hati, karena beliau tidak hadir di sini untuk dapat membantah keterangan saya, di mana perlu. Akan tetapi, apa yang saya akan kemukakan itu kebenarannya akan dikuatkan oleh anggota-anggota BFO yang lainnya.
Maka adalah benar, bahwa pada ketika pembentukan BFO, yang didirikannya atas inisiatif Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, timbul kerenggangan antara beliau dengan saya. Tetapi yang demikian itu, tidak oleh karena perselisihan paham politik. Yang menjadi sebab, ialah soal pengangkatan Ketua BFO. Dalam pemilihan Ide Anak Agung Gde Agung tak terpilih, yang dipilih orang yang saya calonkan, ialah Mr. Bahriun dari Sumatera Timur. Dan sesudah Mr. Bahriun meninggal dunia sayalah yang dipilih menjadi ketua.

Apa yang selanjutnya dimaksud oleh Mr. Ide Anak Agung Gde Agung dengan keterangannya, bahwa saya di bawah pengaruh Dr. Beel, saya tidak dapat mengertinya, dari sebab itu tak tahulah saya bagaimana saya harus membantahnya.
Akan tetapi harus saya sangkal sekeras-kerasnya dakwaan, bahwa saya dulu menaruh keberatan terhadap kembalinya pemimpin-pemimpin RI dari Bangka ke Jogja.
Sebagai bukti dari sebaliknya, dapatlah dibaca surat dari Dr. Beel kepada saya tanggal 1 Pebruari 1949 yang bunyinya sebagai berikut:
In aansluiting aan het door U met de Directeur van mijn Kabinet Hoogheid mede te delen, dat de Regering van Indonesie bereid is de Heren Soekarno c.s. in de gelegenheid te stellen in voile vrijheid op een nader vast te stellen plaats onderling van gedachten te wisselen.

De Regering is, zoali ik U reeds eerder mondeling mede heb gedeeld, eveneens bereid mede te werken tot het scheppen van een gelegenheid voor een vrije gedachtenwisseling tussen de afgevaardigden van de Bijeenkomst voor Federal Overleg, c.q. de BFO in zijn geheel enerzijds en de in de eerste alinea van deze brief bedoelde heren anderzijds, voor zover zij door U mochten zijn of warden uitgenodigd.
Zou dit overleg tot zodanige resultaten leiden, dat op korte termijn kan warden overgegaan tot de instelling ener Federate Interim Regering, zo zal het uit de aard der zaak mogelijk zijn het vraagstuk van de algehele bewegingsvrijheid van hen, die thans aan zekere beperkingen zijn onderwopen, te bezien in het licht van de alsdan heersende omstandigheden.

(Terjemahan: Seperti yang sudah disepakati antara anda dengan Direktur Kabinet kami yang terhormat, bahwa pemerintah Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Tuan Soekarno dan kawan-kawannya menyatakan bersedia untuk berunding secara terbuka.
Mengenai tempat pelaksanaan perundingan itu akan ditentukan lebih lanjut. Seperti yang sudah kami sampaikan kepada anda secara lisan sebelumnya bahwa pemerintah kami bersedia untuk bertemu dan mengadakan perundingan dengan mengundang utusan-utusan dari pihak Negara Federal (BFO) dan Tuan-tuan yang sudah kami sebutkan namanya diatas.
Apabila dalam perundingan nanti dihasilkan sebagai keputusan maka dalam waktu singkat segera akan dibentuk Pemerintahan Federal Sementara. Hal ini dimaksud untuk memberikan kesempatan secara penuh kepada mereka untuk menyelesaikan semua permasalahan sehingga akan dapat tercipta situasi dan keadaan yang sepenuhnya dapat dikendalikan.)

bersambung ke bagian.2