Senin, 24 Januari 2011

Sayyid Husein Tuan Besar Mempawah : Biografi & Genealogy

VERSI UMUM ; YANG DIKETAHUI PARA SEJARAWAN 

SEJARAH HIDUP & DA'WAH.II ;  DARI  MATAN HINGGA  MEMPAWAH
HABIB HUSEIN TUAN BESAR MEMPAWAH  : 1708 - 1771 M  63 tahun

By : SAY Qadrie 
Pustaka Sejarah 


Mesjid  Raya Sultan Abdurrahman Ibni Habib Husein 
Pontianak Timur 



Pengantar : 

      Fam Alqadri muncul kembali ketika Sayid Husein Hijrah dari Yaman ke Indonesia bersama  4 orang Sahabat beliau, dari beliau ini, yang menikahi 12 wanita, dan melanjutkan keturunannya dengan 42 anak laki - laki

     Sayid Husein  bin Ahmad Alqadrie Jamalulai., lahir Tariem Yaman.,  1127 H - 1706 M dan wafat 3 Julhijah 1184 H - 1763 M., ibunda beliau bernams Siti Zahara., dan Makam beliau di Kampung Pedalaman Mempawah., sekarang berada di desa Sejegi Kampung Pedalaman Mempawah.,

       Dalam catatan Maktab NanGq 1857., beliau anak bungsu atau anak kelima dari 5 bersaudara 

1. Aqil bin Ahmad
2. Alwi bin Ahmad
3. Fatimah binti Ahmad
4. Zahara binti Ahmad   

5. Sayid Husein Alqadri Jamalulai.,    secara silsilah beliau keturunan yang ke 34 dari Rasullullah. SAW., saat ini, 2022  keturunan Sayid Husein  mencapai keturunan terpendek 39 hingga terpanjang 46 untuk kelahiran baru., hal ini karena faktor usia menyebabkan nasab mereka berbeda., ada yang berumur panjang dan ada yang menikah muda antara umur 14., sehingga nasab mereka menjadi panjang. 

,     Hal ini di sebabkan informasi keturunan Sayid Husein Alqadri sangat terbatas., hanya datang dari Yaman., singgah di Aceh., Batavia., Sulawesi dan terakhir masuk di kalimantan barat tepatnya di Matan
Istri - istri Sayid Husein Alqadri Jamalulai bin Ahmad :

1. Istri  Pertama di Yaman bernama Zahara mempunyai keturunan / anak tunggal  : 
1.1. Sayid Aqil Jamalulai (saat itu Alqadri di tekan dan tidak boleh di gunakan)


2. Istri kedua Khodijah., di Yaman berketurunan / anak  16 :

2.1. Jamalulail al jamalullail
2.2. Husein Jamalulai
2.3. Saleh Jamalullail
2.4. Abu Bakar Jamalullail
2.5. Alwi Jamalullail
2.6. Nijamudien Jamalullail
2.7. Husayin jamalullail
2.8. Fagih Jamalullail
2.9. Abdurahman Jamalullail
2.10. Abdul Hamid Jamalullail
2.11. Salim Jamalullail
2.12. Abdullah Jamalullail
2.13. Umar Jamalullail
2.14. Usman Jamalullail
2.15. Kasim Jamalullail
2.16. Muhammad Aminurrullah Jamalullail

     Fam yang di gunakan Jamalulai dan bukan Alqadri., jumlah anak beliau di Yaman ada 17 dari 2 orang istri. Mereka dengan ihklas di tinggalkan karena ada Misi yang  Besar (Yaitu hijrah dari Yaman ke negeri Benua melayu dengan maksud untuk tempat yang aman untuk menghidupkan Fam Alqadrie)
 
    Setelah mendapat  restu keluarga, beliau bertiga  langsung  berlayar  ke Bangladesh melalui  pesisir  agar  lebih aman., untuk menjemput teman  beliau., 

===============





Sejarah Hidup Habib Husein Tuan Besar Mempawah
Periode Matan dan Mempawah 




 Makam Habib Husein Al Qadri 
di Sejegi -
 Mempawah Timur



SEJARAH  HIDUP
Habib Husein bin Ahmad  
bin Husein, bin Muhammad Al Qadri 
Tuan Besar Mempawah 
Makam Sejegi - Mempawah Timur
Kalimantan Barat
Indonesia



Sayyid Syarif Habib  Husein Al-Qadri.

Menurut catatan sejarah :
(Haji Yahya, 1999: 224; 
Alqadrie, 1979; 
Rahman, 2000:13-14; 
Sahar, 1982:12), 



##, - Asal Usul dan Latar Belakang


         Kesultanan Pontianak di sebut dengan Kesultanan Kadriah, Karena ia didirikan oleh dinasti Al-Qadrie. Pendiri kesultanan ini adalah Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, putera Sayyed Hussein Al-Qadrie, atau Habib Hussein Al-Qadrie[3]. Kesultanan ini pada khususnya dan kesultanan-kesultanan lainnya di kawasan Kalbar tidak dapat dipisahkan dari 2 (dua) figur tersebut di atas.


            Habib Hussein bin Habib Ahmad Al-Qadrie dilahirkan di dan berasal dari kota kecil bernama Trim, atau Tarim Hadralmaut, yang sekarang dikenal dengan Yaman Selatan pada tahun 1706 atau 1708.M

Hussein di besarkan, dididik orang tuanya secara Islam sampai berumur 18 tahun. Ia melanjutkan memperdalam tidak saja ilmu Islam, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, dari guru nya: 


 Sayyid Muhammad Hamid di Kulandi Al-Mukalla, 

          salah satu kota besar di Yaman Selatan, selama lebih dari 4 (empat) tahun, sehingga ia memiliki pengetahuan agama dan umum serta wawasan luar negeri yang cukup mendalam. 


         Ia juga belajar ilmu pelayaran dan perdagangan, dan bergabung dengan usaha pelayaran dagang di sekitar Teluk Persia sampai ke Kalkuta dan di pantai Barat Afrika.

Dari pengalaman nya tersebut, Hussein muda terdorong untuk menambah pengalaman nya dengan berlayar lebih jauh lagi ke negeri Timur dimana terdapat banyak kerajaan Islam. 


Keinginan nya itu diperkuat oleh 3 (tiga) orang rekannya satu perguruan yaitu:

 1. Sayid Abubakar Alaydrus,
 2. Sayid Umar Bachsan Assegaf dan
 3. Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Qudsi  (Haji Yahaya, 1999:224).


           Keinginan mereka untuk melakukan perjalanan bukan saja untuk berdagang sepanjang pelayaran yang dapat digunakan untuk biaya perantauan mereka, tetapi lebih pada motivasi untuk menyebarkan agama Islam (uchuwa Islamiyah) dengan menjadi mubalig dan penyebar agama Islam.

Hal menarik dari para perantau Arab tersebut, menurut Alwi Shahab (2000:7) adalah bahwa mereka datang ke Indonesia tanpa membawa wanita -- kebanyakan mereka perjaka (unmarried men). 


           Sesampai di kawasan Nusantara[4] mereka menikah dengan wanita-wanita setempat, menyebut penduduk setempat (pribumi/bumi putera) sebagai achwal -- saudara dari ibu mereka -- dan mereka berperan di sektor perdagangan, sector lain dalam bidang ekonomi dan penyebaran agama Islam.




##, Pengembaraan di Nusantara


Setelah hampir satu tahun berlayar, 
Sampailah mereka di Aceh 
dan bermukim di daerah ini hampir satu tahun. 


Menurut Haji Yahaya (1999:224) dan Rahman ( 2004: 16)


          Berdasarkan kesepakatan mereka, Sayid Abu Bakar Alaydrus tetap tinggal di Aceh sampai akhir hayatnya, sebagai guru agama, imam besar dan diberi gelar Tuan Besar Aceh; 

        Sayid Umar Bachsan Assegaff  meneruskan perjalanan ke Kesultanan Siak dan menetap di sana sampai ia wafat, juga diangkat sebagai seorang ulama ulung dan mendapat gelar Tuan Besar Siak,

         Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Al-Qudsi melanjutkan perjalanan ke kawasan Semenanjung Malaka dan akhirnya menetap di Kesultanan Trengganu sampai akhir hayat nya, diberi gelar  Datuk Marang.

        Sesuai dengan petunjuk guru nya agar ia mencari tempat pemukiman di sebelah timur negeri yang subur penuh dengan pepohonan menghijau, Hussein Al-Qadrie meninggalkan Aceh menyelusuri Pantai Timur Sumatera melalui beberapa kerajaan Islam yang didengarnya dari para pedagang lainnya.


          Kerajaan dimaksud adalah kesultanan Islam di Semenanjung Malaka, Siak, Riau, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Mataram dan di Jawa Timur, serta negeri Betawi atau Batavia yang menjadi pusat perdagangan VOC (Rahman, dkk., 2000; Haji Yahaya, 1999:224-225; cari Sejarah Indonesia lain nya). 


        Akhirnya ia sampai di Betawi dan berada di sana lebih dari 7 (tujuh) bulan untuk melakukan syiar Islam bersama dengan para sayyid -- pedagang dan perantau Arab lainnya -- yang berada di situ.


Selama di Batavia 

     Habib Hussein sering mengikuti pelayaran pulang pergi ke Cirebon, Pekalongan dan Semarang. 


        Ia menyaksikan perkembangan Agama Islam di kawasan pantai utara Pulau Jawa, lalu memutuskan untuk menetap di Semarang bersama dengan Syech Salam Hambal -- seorang pedagang dan ulama yang juga berasal dari Arab -- yang mengajak nya menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat. 




Makam Opu Daeng Celak



 ##, Menyeberang ke Borneo, 


     Setelah dua tahun berada di Semarang, Habib Hussein masih ingin melanjutkan perjalanan ke kawasan yang dipesankan oleh gurunya untuk mencari pemukiman yang cocok untuk tempat tinggal keturunannya -- kawasan yang subur dengan hutan lebat menghijau.

Kawasan tersebut adalah pantai barat Kalimantan sebagaimana diceriterakan oleh         Syech Salam kepadanya yaitu Matan, Sukadana -- dua kesultanan Islam yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Ketapang/Kayong -- dan Mempawah -- sebuah kesultanan Islam tertua di Kalbar dan menjadi cikal bakal berdirinya Kesultanan Pontianak,


      Dengan dukungan moril dan material dari dan dihantar oleh Syech Salam Hambal, Hussein Al-Qadrie dalam umur 23 tahun melanjutkan perjalanan ke Matan.  Di sini ia diterima penduduk setempat, disenangi oleh murid-murid nya dan mendapat simpati dari keluarga Kerajaan, sehingga Habib Hussein Al-Qadrie diangkat sebagai tokoh penting, yaitu Hakim atau Qadhi dalam peradilan di Kerajaan Matan.  




##, Menikah di Matan Borneo


          Dari perkawinan nya dengan : Utin Kabanat, dipanggil  Nyai Tua, UtinChandramidi (Putri Sultan Maazidin. RATU SEKUSOR, (m. 1694–1725) SULTAN MAHOMET SEINOEDIEN,Sulthan M. Zeinoe'ddin , (Gusti Jakar Kencana) Sultan Ratoe,  Raja Kerajaan Matan Islam

Dan setelah nya menikah lagi dengan Nyai Tengah,  Nyai Bungsu, dan Nyai Piring, i


Dari ke 4 Istri nya, Habib Hussein Al-Qadrie  memperoleh keturunan  sbb:

Habib Husein bin Ahmad dan Keturunan nya,:    

     Habib Husein Bin Ahmad Alqadri Periode : 
   1706 , atau, 1708 M, hingga : 1771. M Lahir di Tarim, Yaman pada tahun 1120 H/1708 M.  Wafat di Sebukit Rama Mempawah, 1184 H/ 1771M.  Pada pukul 2.00 petang,  2 Zulhijjah 1184 H/ atau, 19 Mac 1771 , dalam usia 64 tahun.  

    Menginjak kan kaki di  Matan, sekitar usia, 23 tahun, dan menetap di Matan selama, 17 tahun, sampai usia 40 tahun.

Kemudian pindah ke Mempawah 

    Dan menetap selama,  24 tahun sampai tutup usia, 64 tahun. Berangkat dari Matan, Pada: 8 Muharam 1160 H/20 Januari 1747M 

    Habib Husein bin ahmad,  bin Husein, bin Mohammad Alkadri, (AL-QADRY) Tuan Besar Mempawah. Ayah dari  Sultan Syarif Abdurrahman  Pendiri Kesultanan Qadriah Pontianak.




##, Keturunan Habib Husein Al Qadri


Keturunan Beliau  berjumlah 16 , perempuan dan Laki - laki, diantara nya :

1. Syarif Abdurrahman ( Pendiri Kota Pontianak ), Ibu  Nyai Tua

2. Syarif Ahmad,  Ibu Nyai Piring

3. Syarif Abubakar,  Ibu Nyai Tengah

4. Syarif Alwie, Ibu Nyai Tua

5.Syarif Muhammad , Ibu Nyai Tengah

6. Syarif Ahmad , Ibu Nyai bungsu

7. Syarif Ali , ibu Nyai


Anak Perempuan  Beliau : 


1. *Syarifah Khadijah, binti Habib Husein ( Putri )

2. *Syarifah  Mariyah,  binti Habib Husein (Putri) 

3. *Syarifah Aliya atau Aluya, binti Habib Husein ( Putri)  

4. *Syarifah Aisyah binti Habib Husein, ( Putri) 

5. *Syarifah Nur binti Habib Husein ( Putri)

6. *Syarifah  Maryanah binti Habib Husein (Putri) 

7. *Syarifah Muhsena binti Habib Husein (Putri)

8. *Syarifah Fatimah binti Habib Husein (Putri)  




K r o n o l o g i,: 


#, 1703 - 1708 M  Lahir : Tarim Hadrami, 1703 M sebagian riwayat menyebutkan tahun 1706 M, dan 1708 M.
 

#, 1720 -1725 M  : Mendarat di Matan usia 28 tahun? sebagian menyebutkan usia 23 tahun. Yang jelas Sultan Mohammad  Zainuddin berkuasa hingga 1725 M, 


#, Habb Husein kemudian menikahi putri sultan bernama Utin Kabanat, Putri Utin Chandramidi ( yang ini Ibu Abdurrahman, bukan istrinya, di kenal dengan nama Nyai Tua_)



#, - Keturunan dari Nyai Tua  (Utin Kabanat ), Istri Pertama 1


1.1.1730 M lahir  :  Syarif Abdurrahman, bin Habib Husein,  kelak menjadi Sultan Pontianak: (Lahir di Matan pada pukul 10 pagi, hari Senin 15 Rabiul Awal tahun 1141 H bertepatan dengan 1730 M.) 

Catatan : 

Syarif Abdurrahman Al-Qadrie ( Sultan Pertama Kesultanan Kadriah, Pontianak)  lahir di Matan pada pukul 10 pagi, hari Senin 15 Rabiul Awal tahun 1141 H bertepatan dengan 1730 M. Sepanjang hayat nya beliau Menikahi 25 perempuan sebagai Istri nya. Dan tidak lebih dari 4 istri yang hidup se zaman, kecuali setelah di pisah/di ceraikan. 

Sultan Abdurrahman memiliki banyak keturunan diantaranya terdata 68 anak dan 66 anak hidup sampai dewasa. Terdiri dari,:  32 ana Laki Laki yang hidup sampai usia tua  dan 2 anak yang meninggal di usia kecil, yaitu : Ghalib dan Maqwi.  Selain 34 anak Perempuan

1.2.:   Syarifah Khadijah, binti Habib Husein

1.3. :  Syarifah  Mariyah,  binti Habib Husein

1.4. :  Syarif Alwie, bin Habib Husein, (Tuan Bujang )

1.5 :  Syarifah Aliya atau Aluya, binti Habib Husein



#,  :  Menikahi Nyai Tengah, sepeninggalnya Nyai Tua,sebagai istri kedua. Dari Nyai Tua, Habib Husein mendapatkan 5 orang anak. 


   Nyai Tua dan Nyai Tengah dua saudara, satu ayah, satu ibu. Dinikahi Setelah wafatnya Nyai Tua.  Karena haram menikahi dua saudara dalam kondisi sama - sama hidup, kecuali sudah diceraikan. 

     Nauzubillah!!. 





#,- Keturunan dari Nyai Tengah, Istri ke 2 


2.1.1735 M lahir : Syarif Abubakar bin Habib Husein, lahir di Matan :  1735 M - Wafat  Pontianak.  Kamis, :  27 JULI  1814 M. dalam usia : 79 tahun.

2.2. 2. : Syarif Muhammad bin Habib Husein, memiliki putra bernama : 
2.2.1.   1791 M lahir  : Syarif Husein bin Muhammad bin Habib Husein, dan 
2.2.2.   1803 M  lahir :  Syarif Ali bin Muhammad bin Habib Husein, pada 1853 M, Ali ditunjuk sebagai Administrator Landak, di usia sekitar 50 tahun.

2.3. : Syarifah Aisyah binti Habib Husein, Ibu Nyai Tengah



#,  : Habib Husein kemudian Menikah lagi dengan Nyai Bungsu di Matan



#, - Keturunan Nyai Bungsu, Istri ke 3


3.1.  : Syarif  Ahmad.I. bin Habib Husein

3.2.  : Syarifah Nur binti Habib Husein

3.3. : Syarifah  Maryanah binti Habib Husein, 

3.4.  : Syarifah Muhsena binti Habib Husein

3.5.  : Syarif Ali bin Habib Husein


#,Setelah hijrah dan Pindah ke Mempawah bersama istri dan anak - anak nya, Habib Husein kemudian, mendatangkan istrinya yang berasal dari Pulau Sulawesi dikenal dengan nama Nyai  Piring. 
 


#,  :  Nyai Piring 


#, - Keturunan Nyai Piring Istri ke 4, 


4.1 :  Syarif Ahmad .II. bin Habib Husein,

4.2. :  Syarifah Fatimah binti Habib Husein,   


Habib Husein memiliki 7 putra dan 9 putri, dari 4x menikah. Istri pertama nya, Nyai Tua, Matan, Putri Sultan Ma"zidin. Beliau menetap di Matan selama 17 tahun.




Mesjid Sultan Abdurrahman Pontianak




##, Diundang Raja Mempawah 


Baru 3 (tiga) tahun Habib Hussein berada di Kerajaan Matan, kemasyhuran nya sebagai ulama dan hakim pengadilan telah tersebar ke Kerajaan Sukadana, Simpang, Mempawah dan Sambas. 


           Raja Mempawah, Opu Daeng Manambon, yang berkedudukan di Sebukit [6] yang bernama Pangeran Tua, meminta kepada Sultan Matan dan Habib Hussein agar bersedia pindah ke Mempawah untuk mengajarkan agama Islam dan menjadi imam besar di sana (Sahar, 1983:18; Rahman, 2000:25-26). 


          Permintaan itu tidak segera dipenuhi oleh Hussein Al-Qadrie, karena ia belum lama berada di Matan. Setelah berada di Matan selama 17 tahun, akhirnya pada tahun 1755M Habib Hussein baru dapat memenuhi permintaan tersebut, dan pada tahun 1755M ia bersama keluarganya pindah ke Mempawah dan membangun pemukiman baru di Galah Herang[7] dalam kawasan kerajaan itu.




##, Menurut riwayat dari  : Wan Mohamad Shaghir Abdullah



          MENGENAI Habib Husein al-Qadri, tidak terlalu sukar membuat penyelidikan kerana memang terdapat beberapa manuskrip yang khusus membicarakan biografinya.  

Walau bagaimana pun semua manuskrip yang telah dijumpai tidak jelas nama pengarangnya, yang disebut hanya nama penyalin. Semua manuskrip dalam bentuk tulisan Melayu/Jawi.

       Nama lengkapnya, As-Saiyid/as-Syarif Husein bin al-Habib Ahmad/Muhammad bin al-Habib Husein bin al-Habib Muhammad al-Qadri, Jamalul Lail, Ba `Alawi, sampai nasabnya kepada Nabi Muhammad s.a.w. 

Sampai ke atas adalah melalui perkahwinan Saidatina Fatimah dengan Saidina Ali k.w. Nama gelaran nya ialah Tuan Besar Mempawah.

    Lahir di Tarim, Yaman pada tahun 1120 H/1708 M. Wafat di Sebukit Rama Mempawah, 1184 H/ 1771M. ketika berusia 64 tahun. 

Dalam usia yang masih muda beliau meninggalkan negeri kelahirannya untuk menuntut ilmu pengetahuan bersama beberapa orang sahabat nya. 



PENDIDIKAN, PENGEMBARAAN DAN SAHABAT


         Mengembara ke negeri Kulaindi dan tinggal di negeri itu selama empat tahun. Di Kulaindi beliau mempelajari kitab kepada seorang ulama besar bernama Sayid Muhammad bin Shahib. 


Dalam waktu yang sama beliau juga belajar di Kalikut. Jadi sebentar beliau tinggal di Kulaindi dan sebentar tinggal di Kalikut. 

Habib Husein al-Qadri termasuk dalam empat sahabat. Mereka ialah, : 

1. Saiyid Abu Bakar al-`Aidrus, menetap di Aceh dan wafat di sana. Digelar sebagai Tuan Besar Aceh.

2. Kedua, Saiyid Umar as-Sagaf, tinggal di Siak dan mengajar Islam di Siak, juga wafat di Siak. Digelar sebagai Tuan Besar Siak. 

3. Ketiga, Saiyid Muhammad bin Ahmad al-Qudsi yang tinggal di Terengganu dan mengajar Islam di Terengganu. Digelar sebagai Datuk Marang.

4. Keempat, Saiyid Husein bin Ahmad al-Qadri (yang diriwayatkan ini)

        Maka Habib Husein pun berangkatlah dari negeri Kulaindi menuju Aceh. *Setelah singgah di Bangladesh, Singapura, dan Negri Melayu* sampailah Beliau Di Aceh, disini beliau tinggal selama satu tahun, menyebar agama Islam dan mengajar kitab.

 Selanjutnya perjalanan diteruskan ke Siak, Betawi dan Semarang. 
Saiyid Husein tinggal di Betawi selama tujuh bulan dan di Semarang selama dua tahun.


         Sewaktu di Semarang beliau mendapat sahabat baru, bernama Syeikh Salim bin Hambal. Pada suatu malam tatkala ia hendak makan, dinantinya Syeikh Salim Hambal itu tiada juga datang. 

 Tiba-tiba ia bertemu Syeikh Salim Hambal di bawah sebuah perahu dalam lumpur. 
Habib Husein pun berteriak sampai empat kali memanggil Syeikh Salim Hambal. 

Syeikh Salim Hambal datang menemui Habib Husein berlumuran lumpur. 


Setelah itu bertanyalah Habib Husein, :

``Apakah yang kamu perbuat di situ?'' 

Jawabnya: ``Hamba sedang membaiki perahu.

'' Habib Husein bertanya pula, :`

`Mengapa membaikinya malam hari begini?'' 

Maka sahutnya, :

``Kerana siang hari, air penuh dan pada malam hari air kurang.'' 

Kata Habib Husein lagi, :

``Jadi beginilah rupa nya orang mencari dunia.''

 Jawab nya, :

``Ya, beginilah halnya.'' 

Kata Habib Husein pula,:

  ``Jika demikian sukar nya orang mencari atau menuntut dunia, aku haramkan pada malam ini juga akan menuntut dunia,  kerana aku meninggalkan tanah Arab,  sebab aku hendak mencari yang lebih baik daripada nikmat akhirat.''


            Habib Husein kembali ke rumah dengan menangis dan tidak mahu makan. 


        Syeikh Salim Hambal berasa hairan, lalu diberi nya nasihat supaya Habib Husein suka menerima pemberian dan pertolongan modal daripada nya. Namun Habib Husein tiada juga mahu menerimanya. Oleh sebab Habib Husein masih tetap dengan pendiriannya, yang tidak menghendaki harta dunia, Syeikh Salim Hambal terpaksa mengalah. 

Syeikh Salim Hambal bersedia mengikuti pelayaran Habib Husein ke negeri Matan. 




 Makam leluhur  Habib Husein bin Ahmad  Al Qadri
Sayyid Muhammad Al Qadri - Jamalullail
di Yaman 




Setelah di Matan , : 


          Habib Husein dan Syeikh Salim Hambal menemui seorang berketurunan Saiyid juga, namanya Saiyid Hasyim al-Yahya, digelar orang sebagai Tuan Janggut Merah. ( ***Makam lain ditemukan di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, dikenal dengan nama : Tuanku Tunggang Parang / Parangan, : Sejenis ikan yang ditunggangi nya dari Makassar  ke  Samarinda : dengan nama yang sama )

 Perwatakan Saiyid Hasyim/ Tuan Janggut Merah itu diriwayatkan adalah seorang yang hebat, gagah dan berani. Apabila Saiyid Hasyim berjalan senantiasa bertongkat dan jarang sekali tongkatnya itu ditinggalkannya.  

        Tongkatnya itu terbuat daripada besi dan berat. Sebab Saiyid Hasyim itu memakai tongkat demikian itu kerana ia tidak boleh sekali-kali melihat gambaran berbentuk manusia atau binatang, sama ada di perahu atau di rumah atau pada segala perkakas, sekiranya beliau terpandang atau terlihat apa saja dalam bentuk gambar maka dipalu dan ditumbuknya dengan tongkat besi itu. 




Makam Kesultanan Pontianak, Batulayang




KEDUDUKAN DI MATAN


         Setelah beberapa lama Habib Husein dan Syeikh Salim Hambal berada di Matan, pada suatu hari Sultan Matan menjemput kedua-duanya dalam satu jamuan makan kerana akan mengambil berkat kealiman Habib Husein itu. 

Selain kedua-duanya juga dijemput para pangeran, sekalian Menteri negeri Matan, termasuk juga Saiyid Hasyim al-Yahya.


  Setelah jemputan hadir semua nya, maka dikeluarkanlah tempat sirih adat istiadat kerajaan lalu dibawa ke hadapan Saiyid Hasyim. 


        Saiyid Hasyim al-Yahya melihat tempat sirih yang di dalamnya terdapat satu kacip besi buatan Bali. Pada kacip itu terdapat ukiran kepala ular. Saiyid Hasyim al-Yahya sangat marah. 


       Diambil nya kacip itu lalu dipatahnya dengan tongkat nya. Kejadian itu berlaku di hadapan Sultan Matan dan para pembesarnya. Dengan maksud menguji kesaktian Habib Husein

Peristiwa itu mendapat perhatian Habib Husein al-Qadri. 

 Kacip yang berkecai itu diambil nya, dipicit-picit dan diusap-usap 


Dengan kuasa Allah jua kacip itu pulih seperti sediakala.


           Setelah dilihat oleh Sultan Matan, sekalian pembesar kerajaan Matan dan Saiyid Hasyim al-Yahya sendiri akan peristiwa itu, sekaliannya gementar, segan, berasa takut kepada Habib Husein al-Qadri yang dikatakan mempunyai karamah itu. 


Beberapa hari setelah peristiwa di majlis jamuan makan itu, Sultan Matan serta sekalian pembesarnya mengadakan mesyuarat. Dalam pada itu, dikatakan :

       

       Keputusan mesyuarat bahawa Habib Husein dijadikan guru dalam negeri Matan. Sekalian hukum yang tertakluk kepada syariat Nabi Muhammad s.a.w. terpulanglah kepada keputusan Habib Husein al-Qadri. Selain itu Sultan Matan mencarikan isteri untuk Habib Husein. 


Beliau dikahwinkan dengan Nyai Tua. 

         Daripada perkahwinan itulah mereka memperoleh anak bernama Syarif Abdur Rahman al-Qadri yang kemudian dikenali sebagai Sultan Kerajaan Pontianak yang pertama.


 Semenjak itu Habib Husein al-Qadri dikasihi, dihormati dan dipelihara oleh Sultan Matan. 


       Setelah sampai kira-kira dalam dua hingga tiga tahun diam di negeri Matan, datanglah suruhan Raja Mempawah dengan membawa sepucuk surat dan dua buah perahu akan menjemput Habib Husein untuk dibawa pindah ke Mempawah. 


Tetapi pada ketika itu Habib Husein masih suka tinggal di negeri Matan. 

    Beliau belum bersedia pindah ke Mempawah. Kembalilah suruhan itu ke Mempawah. Yang menjadi Raja Mempawah ketika itu ialah Upu Daeng Menambon, digelar orang dengan Pangeran Tua. Pusat pemerintahannya berkedudukan di Sebukit Rama. 




Istana Kadriah Pontianak



HABIB HUSEIN PINDAH KE MEMPAWAH


           Negeri Matan dikunjungi pelaut-pelaut yang datang dari jauh dan dekat. Di antara ahli-ahli pelayaran, pelaut-pelaut yang ulung, yang datang dari negeri Bugis-Makasar ramai pula yang datang dari negeri-negeri lain nya. 



#Tragedy Nakhoda Muda Ahmad, 


 Salah seorang yang berasal dari Siantan, Nakhoda Muda Ahmad kerap berulang alik ke Matan. 


           Terjadi fitnah bahawa dia dituduh melakukan perbuatan maksiat, yang kurang patut, dengan seorang perempuan. Sultan Matan sangat murka, baginda hendak membunuh Nakhoda Muda Ahmad itu. 


Persoalan itu kemudian diserahkan kepada Habib Husein untuk memutuskan hukuman nya. 

            Dengan bijak Habib Husein memutuskan perkara, bahwa Ia nya tidak dihukum mati, akan tetapi diusir dari negeri Matan  serta tidak lagi boleh datang, sampai bila masa pun. 


Dia juga di perintahkan meminta ampun, bertaubat kepada Allah, serta  diwajibkan membayar denda semampu nya, saat itu juga.


                  Sultan Matan menerima keputusan Habib Husein.


            Nakhoda Muda Ahmad pun berangkat serta disuruh hantar oleh Sultan Matan dengan dua buah sampan yang berisi segala perbekalan makanan. Setelah sampai di Kuala, Nakhoda Muda Ahmad diamuk oleh orang yang memfitnahnya . Nakhoda Muda Ahmad terbunuh secara zalim di Muara Kayong.



Habib Husein bin Ahmad,  Pindah ke Mempawah

Pada: 8 Muharam 1160 H/20 Januari 1747 M.


       

      Tarikh Habib Husein al-Qadri pindah dari Matan ke Mempawah, tinggal di Kampung Galah Hirang ialah:  pada: 8 Muharam 1160 H/20 Januari 1747 M.  Setelah Habib Husein al-Qadri tinggal di tempat itu ramailah orang datang dari pelbagai penjuru, termasuk dari Sintang dan Sanggau, yang menggunakan perahu dinamakan `bandung' menurut istilah khas bahasa Kalimantan Barat.

  
Selain kepentingan perniagaan mereka menyempatkan diri mengambil berkat daripada Habib Husein al-Qadri, seorang ulama besar, Wali Allah yang banyak karamah. Beliau disegani kerana selain seorang ulama besar beliau adalah keturunan Nabi Muhammad s.a.w.


       Dalam tempoh yang singkat negeri tempat Habib Husein itu menjadi satu negeri yang berkembang pesat sehingga lebih ramai dari pusat kerajaan Mempawah, tempat tinggal Opu Daeng Menambon/Pangeran Tua di Sebukit Rama. 

   
Manakala Opu Daeng Menambon mangkat,  putera nya bernama Gusti Jamiril menjadi anak angkat Habib Husein al-Qadri. Dibawa nya tinggal bersama di Galah Hirang/Mempawah lalu ditabalkan nya sebagai :  pengganti orang tuanya dalam tahun 1166 H/1752 M. Setelah di tabalkan digelar dengan  Penembahan Adiwijaya Kesuma. 




Makam Habib Husein bin Ahmad  Al Qadri
di Desa Sejegi, Mempawah 


      Akan kemasyhuran nama Habib Husein al-Qadri/Tuan Besar Mempawah itu tersebar luas hingga hampir semua tempat di Asia Tenggara. 


       Pada satu ketika Sultan Palembang mengutus Saiyid Alwi bin Muhammad bin Syihab dengan dua buah perahu untuk menjemput Habib Husein al-Qadri/Tuan Besar Mempawah datang ke negeri Palembang kerana Sultan Palembang itu ingin sekali hendak bertemu dengan beliau. 


Habib Husein al-Qadri/Tuan Besar Mempawah tidak bersedia pergi ke Palembang dengan alasan beliau sudah tua.



# Habib Husein Wafat, 


 Beliau wafat pada pukul 2.00 petang, 
2 Zulhijjah 1184 H/ atau, 19 Mac 1771 , 
dalam usia 64 tahun. 

            Dalam semua versi manuskrip Hikayat Habib Husein al-Qadri dan sejarah lain nya dari berbagai sumber menyatakan bahwa   Beliau wafat pada pukul 2.00 petang,  2 Zulhijjah 1184 H/ atau, 19 Mac 1771 ,  dalam usia 64 tahun.   
 

Wasiat lisannya ketika akan wafat bahawa yang layak menjadi Mufti Mempawah ialah ulama yang berasal dari Patani tinggal di Kampung Tanjung Mempawah, bernama : Faqih al-Fathani.

----------------------------------------



Lambang Kesultanan Pontianak