Senin, 24 Januari 2011

Sultan Pontianak ke.VII. Syarif Hamid.II.

By: SAY Qadrie 
Pustaka Kadriah
Sultan ke Tujuh
Syarif Hamid.II.Ibni Sultan Muhammad Alqadrie







(Sultan Hamid.II.Ibni Sultan Muhammad Alqadrie)


3.8. Sultan Syarif Hamid II Alqadrie (1945 – 1978).


     Syarif Hamid bin Syarif Muhammad Alqadrie, lahir di Pontianak 12 Juli 1913, adalah putera sulung Sultan Syarif Muhammad Alqadrie dari isteri ketiganya Syecha Jamilah Syarwani. 


      Ia mendapat pendidikan yang sangat baik tidak hanya dalam pendidikan formal di dalam negeri di Pontianak dan kebanyakan di jawa dan di luar negeri, tetapi juga informal, berupa sekolah agama Islam, dan non formal, berupa pengasuhan dari keluarga wanita Inggeris.


    Pada tahun 1933 Syarif Hamid memasuki Akademi Militer Belanda (Koningkelijk Militair Academie/KMA), Breda. 


     Begitu lulus pada tahun 1937, ia dilantik sebagai perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua, dan dalam karir kemiliterannya, ia pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan dan beberapa tempat lainnya di Pulau Jawa (Rahman, 2000: 172).


     Begitu Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942, Syarif Hamid Alqadrie ditahan di penjara Batavia, dan baru dibebaskan ketika Jepang menyerah dan tentara sekutu memasuki Indonesia pada permulaan 1945. 


   Ia diaktifkan kembali sebagai perwira KNIL dengan pangkat Kolonel, suatu pangkat tertinggi pada saat itu yang diberikan kepada putera Indonesia kelahiran Pontianak.


    Sekeluar dari penjara, ia langsung kembali ke Pontianak, karena keprihatinan nya dengan kondisi Kesultanan Pontianak dan Kalbar yang kacau balau pada saat itu.


    Syarif Hamid dilantik sebagai Sultan Pontianak Ketujuh yang dikenal dengan Sultan Hamid II, pada 29 Oktober 1945.

     Pengangkatannya sebagai sultan diikuti beberapa kontroversi antara kemauan sebagian besar rakyat Kalbar, termasuk keinginan masyarakat Dayak, agar siapapun tampi sebagai sultan dari dinasti Al-Qadrie, Syarif Thaha atau Syarif Hamid Alqadrie, agar pemerintahan kesultanan tidak kosong.


   Ia meninggalkan jabatan baik sebagai sultan terakhir dari dinasti Alqadrie maupun sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalbar (D.I. KB):  pada 5 Januari 1950. 


     Dua dari beberapa kekecewaan yang menyebabkan ia mengambil keputusan meninggalkan jabatan dan kota Pontianak adalah kekecewaan nya menghadapi demonstrasi para pemuda yang digerakkan oleh sebagian tokoh masyarakat pendukung RI menuntut dibubarkannya DIKB. 


Padahal, penolakan ini merupakan ketidaktahuan masyarakat tantang status DIKB[13].


      Kekecewaan berikutnya adalah ketika Komite Nasional Kalbar pada 5 Januari 1950 memilih dr. Sudarso sebagai kepala daerah, karena Sultan Hamid II dianggap telah “meletakkan” jabatan dan telah duduk sebagai Menteri dalam Kabinet RIS. 


            Sultan Hamid II wafat di Jakarta tanggal 30 Maret 1978.



Klik Baca Disini : >>