Rabu, 26 Mei 2021

Hukum Mendustakan Nasab

By : SAY Qadrie

Rangkuman


Dosa Besar Mendustakan Nasab

مَنْ ادَّعَى غَيْرَ أَبِيْهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ

           “Barang siapa yang mengaku (bernasab) pada bukan selain ayahnya               ( termasuk nenek moyangnya ke atas )  maka ia terlaknat.”



Gambar Ilustrasi 



Qadzaf adalah menuduh zina tanpa bukti. 

     Ketika nasab di dustakan maka berarti mendustakan hubungan anak beranak antara nama-nama dalam nasab tersebut, sehingga hal itu bisa juga menyimpulkan tidak sah nya pernikahan kakek nya,  ayah dan ibu,  dari nama-nama tersebut.

      Ketika pernikahan tidak sah berarti terjadilah zina dan anaknya adalah anak zina, atau  anak haram jadah. 


Pemaparan : 


       Keturunan Al-Imam Hasan dan Al-Imam Husain tidak terdata dalam satu Rabithah sedunia. Ada banyak Rabithah yang masing masing hanya mendata keluarga yang dikenal diantara mereka. 

         Dari keturunan Al-Imam Husain sendiri, selain keluarga Ba’alawi masih banyak lagi yang datanya tidak dimiliki oleh Rabithah Alawiyah yang didirikan oleh Sadah di Yaman, yaitu Husainiyyun keturunan Al-Imam Musa Al-Kazhim. 

        Bahkan diantara keluarga Ba’alawi juga masih banyak yang tidak terdata di Rabithah Alawiyah Yaman, yaitu keluarga keturunan Al-Imam Abdul Malik Azmatkhan dan keturunan Assayyid Abdullah bin Alawi Ammil-faqih yang tersebar dan menjadi Raja-raja di Mindanau Philipina. 

        Kebanyakan mereka punya Rabithah sendiri berdasarkan catatan nasab yang dipegang oleh anggota mereka. Ketika ada sebagian Asyraf Yordania yang mendustakan nasab keluarga Ba’alawi Yaman, itu bukan berarti institusi Rabithah mereka yang mendustakan, melainkan hanya sebagian anggota mereka.

      Pendustaan itu hanyalah akibat dari ketidaktahuan dan kegegabahan. Allah SWT befirman:

 

وَلاَتَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ

 

“Dan janganlah kamu mengomentari sesuatu yang engkau tidak memiliki pengetahuan tentangnya.” (Al-Isra’ : 36)

 

Rasulullah SAW bersabda:

 

النَّاسُ مُؤْتَمَنُوْنَ عَلى أَنْسَابِهِمْ

 

“Manusia itu bisa dipercaya atas pengakuan nasab-nasab mereka.”

 

Kasus dibolehkannya meragukan nasab seseorang: 

          Meragukan nasab seseorang hanya boleh dalam suatu kondisi yang sifatnya untuk melindungi hak orang lain, seperti misalnya ada pembagian harta waris dan tiba-tiba ada seseorang yang mengaku sebagai anak kandung dari si pewaris, sementara ahli waris yang sudah masyhur tidak mengenalnya. 

        Ketika itu hakim boleh meragukan dan meminta bukti untuk pengakuan nasab tersebut, karena hawatir orang itu hanya mengaku-ngaku untuk mendapat harta warisan sehingga hal itu merugikan hak pewaris aslinya. 


Tidak boleh meragukan nasab orang :

        Selebihnya, apabila ada orang mengaku bernasab pada seseorang maka kita tidak boleh menyatakan keraguan apalagi mendustakan, karena hal itu akan menyakiti hatinya dan mengusik kehormatannya.

     Untuk menjaga perasan dan kehormatan seseorang, Islam mengharamkan takdizb (mendustakan) nasab tanpa bukti, baik takdzib dengan terang-terangan maupun dengan sindiran.

    Ulama sepakat bahwa takdzib nasab tanpa bukti adalah dosa besar dan termasuk kategori Qadzaf.

 Qadzaf adalah menuduh zina tanpa bukti. 

    Ketika nasab di dustakan maka berarti mendustakan hubungan anak beranak antara nama-nama dalam nasab tersebut, sehingga hal itu bisa juga menyimpulkan tidak sah nya pernikahan ayah dan ibu dari nama-nama tersebut.

     Ketika pernikahan tidak sah berarti terjadilah zina dan anaknya adalah anak zina.

      Termasuk Qadzaf terang-terangan (Sharih) dalam bentuk takdzib nasab adalah kalimat: “Dia hanya mengaku-ngaku dengan nasabnya”, “Saya tidak percaya dengan nasab yang ia sebutkan”, “dia bukan keturunan si Anu sebagaimana yang ia sebutkan” dan sebagainya.

Termasuk Qadzaf sindiran (Ta’ridh) dalam bentuk takdzib nasab adalah kalimat:

 “Ayahnya tidak pernah mengaku-ngaku keturunan si anu”, 

“Saya tidak membenarkan dan tidak mendustakan nasabnya itu”,

 “Kalaupun benar apa yang ia nyatakan bahwa ia adalah keturunan si anu..” 

         Sebagian ulama ada yang memasukkan kalimat seperti yang terakhir ini dalam kategori Qadzaf Sharih. Lihat Kitab At-Tahdzir Minal Ightirar Fi Ma Ja’a Fi Kitabil Hiwar, (bab pembelan Syekh Abdul Hayy Al-‘Amri dan Syekh Abdul Karim Murad atas dilecehkannya nasab Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani) halaman 36.

       Termasuk Qadzaf Ta’ridh adalah mengajukan Hadits “Man idda’a” pada orang yang mengaku keturunan si anu. 


Yang dimaksud dengan Hadits “Man idda’a” adalah:

 

مَنْ ادَّعَى غَيْرَ أَبِيْهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ


“Barang siapa yang mengaku (bernasab) pada selain ayahnya maka ia terlaknat.”

 

        Jelas sekali bahwa yang dimaksud Hadits ini adalah berdusta dan mengarang nasab pada selain leluhurnya. Bahkan Hadits itu juga tidak boleh diajukan pada diri sendiri. 

        Misalnya ada orang memiliki catatan nasab yang diperoleh dari orang tua atau sesepuh keluarga, selama catatan itu tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih shahih dan orang tua yang memberikan catatan itu tergolong tsiqah (orang baik yang bisa dipercaya), maka ia tidak boleh menafikan nasabnya itu dengan alasan takut tergolong “Man idda’a”,

       walaupun untuk berhati-hati, karena itu sama dengan meragukan ke-tsiqah-an orang tua dan leluhurnya sendiri.


      Qadzaf dengan takdzib nasab, baik Sharih maupun Ta’ridh, adalah dosa besar yang mengakibatkan tiga hukuman bagi pelakunya:

1. Dosanya baru bisa ditebus dengan had delapan puluh cambukan. Sebagian ulama ada yang menganggap hal ini sebagai Haq-qullah (hak Allah) sehingga had itu tidak gugur walaupun orang yang di-qadzaf sudah memaafkan, karena Qadzaf nasab juga berhubungan dengan kehormatan leluhur yang sudah meninggal.

2. Tidak sah menjadi saksi pernikahan, saksi kasus dan saksi lainya sampai ia bertaubat.

3. Berstatus “Fasiq” sampai bertaubat.

Disadur  : dari Ketua lembaga resmi wadah silaturahim keluarga Azmatkhan..

Bersama 

سيد حسين ال عظمت خان الحسيني


Referensi : 

1. Lihat Kitab Al-Iqna’ (fiqih Al-Imam Ahmad bin Hanbal) Juz 4 halaman 259 dst. 

2. Kitab Ar-Rudud Asy-Syar’iyyah (Al-Habib Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri).

3. Kitab At-Tahdzir Minal Ightirar Fi Ma Ja’a Fi Kitabil Hiwar, (bab pembelan Syekh Abdul Hayy Al-‘Amri dan Syekh Abdul Karim Murad atas dilecehkannya nasab Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani)  halaman 36.


Gambar Ilustrasi


FIQIH ALAWIYYAH 1 (BAB ISTILAH PENTING DALAM ILMU NASAB)


Oleh: As-Sayyid Shohibul Faroji Ba’alawi Al-Husaini : Pimpinan Majelis Dakwah Wali Songo)


(Dikutip dari Thesis S2 saya di Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta, dengan judul Kafa’ah Syarifah dalam Perspektif Empat Madzhab, dengan Dosen Penguji: Prof.Dr.Hj.Huzaemah T.Yanggo,MA;  Dr.KH.Ahsin Sakho Muhammad.MA)


1. Ahlulbait أهل البيت adalah Keluarga Nubuwwah Rasulullah (ahlun Nubuwwah Rasulullah) atau disebut pula Ahlul Kisa’ [Yang mendapat selimut kenabian), yang terdiri dari 5 manusia utama yaitu: Nabi Muhammad, Imam Ali bin Abi Thalib, Sayyidah Fathimah Az-Zahra’, Imam Hasan, dan Imam Husain.


2. Aal bait آل البيت adalah Keluarga besar Rasulullah, mencakup isteri-isteri Rasulullah, anak-anak Rasulullah, cucu Rasulullah, menantu Rasulullah, mertua Rasulullah, keturunan Rasulullah.


3. Usratun Nabi أسرة النبي adalah Keluarga rumah tangga Nabi yaitu Isteri-isteri Nabi dan anak-anaknya.


4. Dzurriyyah Nabi ذرية النبي adalah Semua Keturunan Nabi Muhammad. 

Baik dari cucu laki-laki maupun cucu perempuan. Cucu laki-laki Nabi Muhammad adalah: Hasan dan Husain; Cucu Perempuan Nabi Muhammad adalah Zainab binti Ali, dan Ummi Kultsum binti Ali. Dan semua keturunan mereka. Dzurriyyah berkaitan dalam ilmu Waris atau Ilmu Faraidh. 

Ilmu tentang Dzurriyyah disebut Genealogi atau Ancestry.


5. ‘Itratun Nabi عترة النبي adalah Keturunan Nabi Muhammad yang ada kaitannya dengan pencatatan Nasab, dari jalur laki-laki. Atau disebut juga dengan TRAH. Harus melalui jalur laki-laki. Karena berkaitan dengan Perwalian dalam Pernikahan. 

Ilmu tentang Itrah disebut Ilmu Nasab atau Ilmu Trah.


6. Maula Nabi مولى النبي adalah orang-orang yang menjadi anak angkat Rasulullah, atau budak yang telah dimerdekakan oleh Rasulullah.


7. Shahabat Nabi صحابة النبي adalah Semua sahabat yang mendampingi dakwah Rasulullah Saw


8. Mushaharatun Nabi مصاهرة النبي adalah para shahabat yang terkait dengan nabi dalam pernikahan, baik sebagai menantu maupun mertuanya.


9. Ummatun Nabi أمة النبي adalah Umat Islam yang setia mengikuti Nabi Muhammad.



PERBEDAAN ILMU NASAB DENGAN GENEALOGI/ANCESTRY:


       Ilmu Nasab adalah ilmu untuk mempelajari nasab seseorang dari dia ke ayahnya, ke ayah dari ayahnya, ke ayah dari kakek nya dan seterus nya. 

           Ilmu Nasab sangat berhubungan dengan ilmu Perwalian Nikah. Makanya dari jalur laki-laki.


           Ilmu Genealogi/ Ancestry adalah Ilmu untuk mencatat silsilah keluarga atau silsilah keturunan baik dari dia ke ayahnya, maupun dari dia ke ibunya. 

Ilmu genealogi terkait dengan ilmu Waris.


PENGGUNAAN GELAR:


1. Al-Habib adalah Gelar atau panggilan umum bagi Itrah Nabi Muhammad yang laki-laki baik Al-Hasani maupun Al-Husaini.


2. As-Sayyid atau Asy-Syarif adalah Gelar atau panggilan khusus bagi Itrah Nabi Muhammad yang telah menjadi Tuan (pemimpin atau ulama’).

 As-Sayyid biasanya dipakai untuk Itrah Nabi dari jalur Imam Husain (Al-Husaini).

 Asy-Syarif biasanya dipakai untuk Itrah nabi dari Jalur Imam Hasan (Al-Hasani).


3. Sharifah adalah Gelar untuk Itrah Nabi Muhammad yang perempuan.


PERHATIAN:

          Dalam Ilmu Fiqih 5 Madzhab dikatakan bahwa Nasab akan terputus jika ia telah keluar dari Islam (Murtad). Keluar sebagai Itrah dan keluar dari Dzurriyyah. Karena itu landasan Agama Islam harus dipertahankan selamanya untuk menjaga Itrah dan Dzurriyyah

Wallahu a’lam bish-shawwab


.•┈┈┈◎❅❀❦ 🕊 ❦❀❅◎┈┈


Gambar Ilustrasi 


Penyebab Susunan Nasab lebih pendek dari yang lain : 


        Saat ini, tahun 2021, rata - rata mata rantai susunan nasab mencapai 40 generasi untuk sampai kepada Rasullullah Muhammad SAW, dari keturunan pernikahan putri terkasihnya Sayyidah fathimah Azzahra dengan sepupu beliau : Imam Ali bin Abi Thalib Karamallah Wajhah. 

         Keturunan Rasullullah adalah satu - satunya yang berbeda dengan garis nasab pada umumnya yang diambil dari garis ayah. Keturunan ini berasal dari kedua cucu beliau : Sayyidina Hasan putra Fathimah, dan Sayyidina Husein putra Fathimah. 

          Keturunan Nabi Penutup ini diambil dari garis Putrinya : Sayyidah Fathimah Az Zahra. Untuk penegasan ini silahkan merujuk kepada hadist -hadist beliau yang tercatat pada banyak kitab hadist Sahih, termasuk "Kutubus Sittah".

        Selain Sayyidah fathimah Az Zahra, : Imam Ali bin Abi Thalib juga menikahi wanita lain sepeninggal wafatnya Sayyidah Zahra. Akan tetapi keturunan dari istri selain dari Sayyidah Zahra, tidak disebut sebagai keturunan Rasullullah SAW, melainkan keturunan : Imam Ali bin Abi Thalib. 

Diantara nya yang dikenal : Muhammad Ali Al - Hanafiah bin Ali,  bin Abi Thalib.

 

          Jika sejarawan mendefinisikan satu generasi adalah kurun waktu  : 25 tahun, maka dalam kasus tertentu, hal itu terjadi pengecualian, dikarenakan beberapa hal. 

           Itulah mengapa Ilmu Nasab harus di barengi Ilmu Sejarah. Karena untuk menemukan teka - teki "Nasab Pendek" misalnya, diperlukan pendalaman sejarah keluarga tersebut. 

        Satu kasus berbeda dengan kasus lainnya, sehingga diperlukan observasi mendalam, mencari banyak referensi dari kaum kerabatnya, bertanya  kepada para sesepuh Qabilah yang bersangkutan, membuka lembaran - lembaran catatan lama, dan mencari hubungan antara keluarga satu dengan keluarga lainnya, untuk menarik benang merah keluarga tersebut. 

Sedapat mungkin menghindarkan diri dari mengambil jalan singkat, dengan menambah datuk mereka, tanpa penelitian mendalam. 


Penyebab "Nasab Pendek " adalah : 


1. Rata - rata keturunan itu panjang usia hidupnya. Misalnya mencapai usia 100 tahun. 

2. Terlambat menikah.  Misalnya menikah di usia sudah diatas 40 tahun, baru dapat keturunan di usia 49 tahun, ketika anak pertama nya lahir. 

3. Lambat memiliki keturunan.  Misalnya menikah lama, baru dapat keturunan setelah 20 tahun kemudian. ( Ingat kisah Nabi Ibrahim? dan Nabi Zakaria ?) 

4. Anak bungsu dari suatu keluarga atau dari istri yang terakhir di nikahi. Misalnya Dari 10 bersaudara Ia merupakan anak terakhir dari suatu keluarga, atau, ayahnya menikahi banyak wanita, dan Ia adalah keturunan dari istri terakhir yang dinikahi ayahnya. ( Ibu termuda) 


.•┈┈┈◎❅❀❦ 🕊 ❦❀❅◎┈┈

Gambar Ilustrasi


Keturunan Imam Ali bin Abi Thalib Karamallah Wajhah Putra : 

Ibu Umamah putri Zainab binti Muhammad SAW

1. Muhammad al-Ausath bin Ali bin Abi Thalib 


Ibu Ummu Banin merupakan anak dari Hizam bin Khalid, memiliki 5 anak laki-laki, yaitu:

2. Ja’far bin Ali, syahid di Karbala pada 10 Oktober 680

3. Abdullah bin Ali, syahid di Karbala pada 10 Oktober 680

4. Utsman bin Ali, syahid di Karbala pada 10 Oktober 680

5. Umar bin Ali, syahid di Karbala pada 10 Oktober 680

6. Abbas bin Ali, syahid di Karbala pada 10 Oktober 680


Ibu Laila binti Mas'ud

7. Ubaidullah bin Ali

8. Abu Bakar bin Ali


Ibu Khawlah binti Ja'far al-Hanafiah: 

9. Muhammad Abu Abdullah bin Ali, lebih dikenal dengan Muhammad bin al-Hanafiah, meninggal tahun 67 H


Ibu Al-Sahba' binti Rabi'ah:

10. Umar bin Ali


Ibu Asma binti Umais

11. Yahya bin Ali

12. Muhammad al-Ashgar bin Ali, syahid di Karbala pada tanggal 10 Oktober 680


Gambar Ilustrasi

Susunan lengkap "Putra dan Putri" Imam Ali bin Abi Thalib : 

1. Zainab al-Kubra, Ummu Kaltsum Pr ( Putri Sayyidah Zahra ) 

2. Husain asy-Syahid dan Hasan Al Mujtaba ( Putra Sayyidah Zahra )

3. Zainab al-Sughra Pr

4. Muhammad bin al-Hanafiah

5. Ummu al-Hasan Pr

6. Abbas al-Akbar (dijuluki Abu Fadl)

7. Ramlah al-Kubra Pr

8. Abdullah al-Akbar

9. Ramlah al-Sughra Pr

10. Ja'far al-Akbar

11. Nafisah Pr

12. Utsman al-Akbar

13. Ruqaiyah al-Sughra Pr

14. Muhammad al-Ashghar

15. Ruqaiyah al-Kubra Pr

16. Abdullah al-Ashghar

17. Maimunah Pr

18. Abdullah (yang dijuluki Abu Ali) 

19. Zainab al-Sughra Pr

20. al-Aun

21. Ummu Hani Pr

22. Yahya

23. Fathimah al-Sughra Pr

24. Muhammad al-Ausath

25. Umamah Pr

26. Utsman al-Ashghar

27. Khadijah al-Sughra Pr

28. Abbas al-Ashghar

29. Ummu Kaltsum Pr

30. Ja'far al-Ashghar

31. Ummu Salamah Pr

32. Umar al-Ashghar

33. Hamamah Pr

34. Umar al-Akbar

35. Ummu Kiram Pr


 •┈┈┈◎❅❀❦ 🕊 ❦❀❅◎┈┈

Gambar Ilustrasi


 •┈┈┈◎❅❀❦ 🕊 ❦❀❅◎┈┈



Referensi:

• Abdullah bin Alwi al-Attas, Sabilul Muhtadin Fi Dzikri Ad’iyati Ashab al-Yamin.tt.

• Abdullah bin Alwi al-Haddad, Risalah al-Muawanah, tt.

• Abdullah bin Nuh, Keutamaan Keluarga Rasulullah saw, Toha Putera, Semarang, 1987.

• ——————- & Muh. Dhiya’ Shahab, Al-Islam fi Indonesia, Dar al-Su’udiyah, Jeddah, 1977.

• Abdurahman bin Muhammad al-Masyhur, Syamsudz-Dzahirah, Alam Ma’rifah, Jeddah, 1986.

• ——————–, Bughya al-Mustarsyidin, Dar al-Fikr,tt.

• Abi Umar bin Abdilbar, Al-Anbah ‘Ala Qabail al-Ruwah, Dar al-Syi’ib, tt.

• Ahmad bin Abdullah al-Saqqaf, Chidmah al-Asyirah, Rabithah al-Alawiyah, Jakarta.

• Ahmad bin Ali al-Hasani, Umdah al-Thalib Fi Ansabi Aal Abi Thalib, Dar al-Syi’ib.tt.

• Al-Hamid al-Husaini, Mengenal Ahli al-Bait Rasulullah saw, Pustaka Nasional, Singapura, 1998.

• ——————–, Al-Imam Habib Abdullah al-Haddad, Pustaka Hidayah, Bandung, 1999.

• Ahmad bin Zein al-Habsyi, Syarh al-Ainiyah, Pustaka Nasional, Singapura, 1987.

• Ali bin Ahmad al-Saqqaf, Lintasan Awal Sejarah Islam di Indonesia, Jamiat Kheir, Jakarta.

• Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Al-Andalusi, Jamharoh Ansabi al-Arab, Dar al-Kutub al-alamiyah, Beirut-Libanon, 1983.

• Ali bin Husin bin Sadqim al-Husaini, Nukhbat al-Zahroh al-Tsamaniyah Fi Nasab Asyrof al-Madinah, Dar al-Syi’ib, tt.

• Alwi bin Muhammad Balfaqih, Min A’qab al-Budh’ah al-Muhammadiyah, Dar al-Muhajir, Madinah al-Munawwarah. 1994.

• Alwi bin Thohir al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Lentera, Jakarta, 1995.

• Husin bin Muhammad al-Rivai, Nur al-Anwar Fi Fadhail wa Tarajim wa Tawarikh wa Manaqib wa Muzarot Aal al-Baiti al-Athhar, 1356 H.

• Idrus bin Umar al-Habsyi, Iqdul Yawaqiet al-Jauhariyah, Dar al-Saqqaf.

• Jalaluddin As-Sayuti, Ihya al-Mait Fi Fadhoil Ahlil Bait, Dar al-Jil. 1987.

• Muhammad al-Baqir, Pengantar tentang Kaum Alawiyin (dlm buku Thariqah kebahagiaan karangan Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad),Mizan, Bandung, 1986.

• Muhammad Amin al-Baghdadi al-Suwaydi, Sabaik al-Dzahab Fi Ma’rifah al-Arab, Dar al-Qolam, Beirut, tt.

• Muhammad bin Abu Bakar al-Syili Ba’alawi, Al-Masra’ al-Rawi Fi Manaqib al-Saadah al-Kiram al-Abi Alawi, 1982.

• Muhammad bin Abdullah bin Husin, Rihlah al-syarif Yusuf bin Abid, tt.

• Muhammad bin Ahmad al-Syatri, al-Mu’jam al-Latief, Alam Ma’rifah, Jeddah, 1989.

• ——————–, Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyin (terjemah : Sekilas Sejarah Tentang salaf al-Alawiyin), Al-Zahir, Pekalongan, 1986.

• ——————–, Adwar al-Tarikh al-Hadrami, Dar al-Muhajir, Madinah al-Munawwarah.

• Muhammad bin Ali bin Alwi al-Khirrid, Al-Ghuror, Modern Egyptian Press, 1985.

• Muhammad bin Ahmad bin Ali al-Husaini al-Najafi, Bahru al-Ansab (Al-Musajjar al-Kasyaf Li Ushul al-Saadah al-Asyrof), tt.

• Muhammad bin Aqil bin Abdullah bin Yahya, Al-Nashoih al-Kafiyah Liman Yatawalla Muawiyah, Muzhoffar, tt.

• Muhammad Hasan al-Aydrus, Penyebaran Islam di Asia Tenggara, Lentera, Jkt, 1996.

• Muhammad Syamsu As, Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya, Lentera, Jakarta, 1999.

• Muhammad bin Yazid al-Mabrudi, Nasab Adnan wa Qohthon, Dar al-Syi’ib. tt.

• Mu’min bin Hasan Mu’min al-Syablanji, Nur al-Abshor Fi Manaqib Aal al-Nabi al-Mukhtar, Dar al-Fikr, tt.

• Van Den Berg, LWC, Hadramaut & Koloni Arab di Nusantara, INIS, Jakarta, 1989.

• Yusuf bin Abdullah Jamalullail, Syajarah al-Zakiyah, Dar al-Harithi, Taif.

• Yusuf bin Ismail al-Nabhani, Al-Syaraf al-Mua’abad Li Aal Muhammad, Perc. Musthafa Halaby, tt.


#Bersholawatlah Kepada Nabi Muhammad ﷺ


ﺍﻟﻠَّﻬُــــــــﻣّﮯ ﺻَــــــﻠﮯّ ﻭﺳـــــﻠﻤﮯ ﻋﻠَﮯَ ﺳﻴﺪﻧﺎﻣُﺤﻤَّــــــــﺪْ ﻭ ﻋﻠَﮯَ ﺁﻟـﮧ ﻭﺻﺤـــــﺒـﮧ ﻭﺳـــــﻠﻤﮯ

Gambar Ilustrasi