Senin, 24 Januari 2011

Sejarah Kesultanan Kadriah, dalam lintasan





Berikut adalah karya tulis Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqadrie, M.Sc.

yang berkaitan dengan masalah budaya.


1. KESADARAN SEJARAH, KONSEP PUTERA DAERAH DAN MULTIKULTURALISME

BINGKISAN ULANG TAHUN KE 234 KESULTANAN QADRIAH
DAN SEKALIGUS KOTA PONTIANAK (23 Oktober 1771 - 2005).

Syarif Ibrahim Alqadrie*


Memperingati ulang tahun ke 234 Kesultanan Qadriah, saya teringat ucapan dua orang berbeda dengan pandangan hampir sama terhadap Kalimantan Barat (Kalbar), khususnya Pontianak. Orang pertama, seorang guru sejarah pada sebuah SMA Negeri dan telah lama berada di kota ini, menjelaskan kepada anak-anak didiknya di depan kelas bahwa para pendiri Kesultanan Qadriah adalah para bajak laut.

 Singkatnya kota ini berasal dari Kesultanan yang didirikan atas hasil membajak di laut dan berdasarkan pada pengalaman dunia bajak laut. 

Orang kedua, seorang peserta dalam salah satu seminar nasional tentang Pluralisme dan Politik Pemberdayaan Daerah di Semarang mengemukakan pandangan “pluralisme” nya tentang daerah ini yang dianggapnya tidak toleran, provinsialisme, kedaerahan, tertutup dan sering melakukan politik ”pembersihan etnis” (ethnic cleansing).

Saya tidak banyak menanggapi pandangan miring itu, tetapi hanya menyarankan agar ia banyak membaca buku sejarah Kalbar, khususnya sejarah Pontianak, baik ditulis orang-orang Indonesia, Asia Tenggara maupun Barat.

 Sebagai seorang guru sejarah, ia bukan saja tidak mendalami bidang tugasnya, tetapi juga tidak memiliki kesadaran kesejarahan (historical consciousness), sehingga pak guru itu telah memutarbalikkan sejarah daerah yang telah menerimanya dengan ikhlas bahkan menghidupkannya.

Saya justru merasa kasihan kepadanya, karena tampaknya ia merupakan salah seorang dari banyak penganut mashab sejarah yang berprinsip bahwa sejarah merupakan produk tidak saja dari setiap system politik yang berlaku tetapi juga dari setiap penguasa yang menguasai system itu dengan dukungan dari kelompok mayoritas dominan yang diuntungkan oleh system tersebut.

 Dengan demikian, arah dan isi sejarah dapat dibentuk, diatur dan diubah sesuai dengan kepentingan politik dari system yang berlaku dan penguasa yang dominant di dalamnya.

Akan halnya pernyataan kedua yang menyatakan masyarakat Kalbar sangat provinsialisme, eksklusif dan tertutup, saya hanya menyarankan agar ia dan orang lain di luar Kalbar yang belum pernah ke luar dari daerah mereka, datanglah ke provinsi ini, dan melihat bahwa daerah ini sangat terbuka, telah dikunjungi oleh orang luar sejak beberapa tahun setelah berdirinya Kesultanan Qadriah, dan mereka telah mempunyai tanah berhektar-hektar, terbukti adanya Kampung Banjar, Kampung Bugis dan Arab, Kampung Bangka, Belitung, Kamboja, Jalan Jawa, Jalan Masrono (sekarang Jalan Johar), Gang Nurdin, Gang Wijayasari, Gang Sukarame, dan lain-lain wilayah dengan penamaan bukan nama orang Kalbar.

Dok zaman Belanda 

Lagipula, mereka juga dapat membuktikan pejabat-pejabat instansi pemerintahan, militer, kepolisian dan sipil atau swasta di Kalbar, khususnya di kota Pontianak yang dalam satu dan dua priode kepemimpinan, Kalbar baru memiliki seorang Gubernur, Walikota dan Bupati beserta wakil mereka masing-masing yang berasal dari daerah ini. 

Itupun merupakan “rahmat” dari pemilihan kepala daerah (PILKADA) langsung dalam era otonomi nyata, yang selama ini tidak lebih dari “kepala dilepas, ekor dipegang, seperti Ki Dalang main wayang.” 

 Bahkan sampai sekarangpun tidak sedikit pejabat pemerintahan tingkat di bawahnya, baik aselon I, II dan III masih dijabat oleh saudara-saudara dari luar, terlebih-lebih Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perbankan, tidak hanya pejabat teras tetapi juga aselon di bawahnya didatangkan dari luar.

Masyarakat Kalbar, khususnya buda’- buda’ Pontianak, tidak pernah menganggap keadaan tersebut sebagai hal yang luar biasa, tidak juga sebagai suatu bentuk “dominasi” Pusat dan instansi-instansi atau BUMNnya terhadap daerah ini melalui dropping penjabat.

Hal ini dipandang sebagai hal yang “konstruktif” dari gejala bangkitnya profesionalisme. Pandangan positif ini merupakan konsekuensi logis dari Konsep Putera Daerah yang dikembangkan oleh Alqadrie (2000). Konsep ini bukan datang begitu saja dari proses pemikiran akedemis melalui paradigma dan kesadarn kritis (critical consciousness and paradigm) sebagaimana diintrodusir masing-masing oleh Jurgen Habermas (1972;1975) dan Paulo Freire (1981;1986). 

Ia telah hidup sejak Sultan Abdurrahman merencanakan puteranya Kasim Al-Qadrie untuk menjadi Sultan di Panembahan Mampawah, dan Usman Al-Qadrie memangku jabatan sultan di Qadriah. Pemikirannya itu didasarkan pada pertimbangan bahwa ibu dari Kasim Al-Qadrie, Utin Candramidi, adalah keturuan Dayak Mempawah, sedangkan ibu dari Usman Al-Qadrie, Ratu Kusumasari, adalah keturunan Dayak Pontianak.

Konsep Putera Daerah yang masih sangat sederhana itu selanjutnya diwujudkan secara konkrit oleh Sultan Kasim dan Sultan Hussein (adik Sultan Kasim yang menggantikannya berkuasa di Mampawah) melalui keputusan mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Rahman, dkk. (2000:105), untuk mengembalikan pemerintahan Mempawah ke tangan pewarisnya yang paling berhak, Pangeran Adijaya. 

Selain konkretisasi dari konsep itu, keputusan tersebut juga merupakan bentuk kesadaran politik untuk menciptakan kesetiakawanan sosial antar kesultanan di kawasan tersebut dalam menghadapi Belanda.

Penjelasan dari perspektif kesejarahan, pemikiran dan kesadaran kritis tersebut di atas sebenarnya telah dapat menjadi penolakan, penjelasan bahkan pencerahan (enlightment) terhadap dua tuduhan memojokkan yang sebenarnya masih ada sampai sekarang dalam benak mereka yang tidak faham betul dengan kondisi daerah dan karakter masyarakat Kalbar, yang bahkan, menurut Parsudi Suparlan (1999), memiliki faktor penarik (pulling factors) bagi para pendatang dari luar untuk datang dan hidup di daerah ini.

 Kalaulah anggapan itu benar bahwa pendiri Kesultanan Qadriah adalah ”bajak laut,” apakah para ”bajak laut” dan beberapa ”generasi setelah mereka” mampu mendirikan istana/kraton dan menjalankan pemerintahan dengan dukungan sepenuhnya dari rakyat, termasuk para pendatang dan anggota kelompok komunitas Tionghoa, serta melahirkan konsep pembauran seperti didiskusikan sebelumnya?

Kalaulah masyarakat Kalbar bersifat provinsialisme atau kedaerahan sempit, ekslusivisme dan tidak menyukai pendatang sebagaimana anggapan selama ini, mungkin sudah dari dulu Gubernur, Bupati, Walikota, Ketua DPRD, pejabat pemerintahan pada aselon I, II dan III serta Pejabat-pejabat BUMN, perusahaan negara dan instansi swasta lainnya tidak didatangkan atau tidak berasal dari luar Kalbar, seperti terjadi di beberapa daerah di luar pulau Kalimantan yang tertutup sama sekali bagi para pejabat dari luar daerah.

Hari - hari akhir  Bung Karno

Mereka yang memiliki dua pandangan negatif tersebut merupakan gambaran paling tidak dari tiga hal: 

pertama, mereka tidak memiliki wawasan cukup, karena mereka belum pernah mengetahui apa, bagaimana karakter masyarakat Kalbar. Kalau itu dilakukan oleh mereka yang telah berada di daerah ini, mereka tidak merasa dan tidak mau menjadi anggota masyarakat Kalbar. 

Padahal Konsep Putera Daerah seperti telah didiskusikan sebelumnya memberi kesempatan kepada siapapun dan darimanapun asal mereka untuk memiliki hak dan kewajiban sama sebagai putera daerah, seperti pada Dayak dan Melayu, asal mereka dilahirkan dan berada di daerah ini 25 tahun – ukuran satu generasi.

 Kalau begitu siapa yang eksklusif dan siapa yang menganggap satu budaya etnis lebih hebat dan dominan dari budaya etnis lain, mereka sendiri atau masyarakat daerah ini?

 Kedua, mereka belum mempraktekkan multikulturalisme, yaitu suatu ideologi budaya yang menghargai, menerima, mengagungkan dan menilai tinggi perbedaan dan keberagaman/kemajemukan baik dalam nilai budaya, termasuk adat istiadat, tradisi dan kebiasaan; pendapat, ide dan wacana; karya orang lain; maupun dalam keyakinan agama, dengan tetap berada dalam kesederajadan – tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.

 Masyarakat Kalbar juga seharusnya meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan terhadap ideologi ini.

 Ketiga, warga bangsa ini akan sulit untuk terus hidup di dalam satu kesatuan Negara yang disebut NKRI, kalau masih ada yang berfikir sempit seperti itu, -- prasangka buruk (prejudice) -- terhadap masyarakat daerah lain sebagai barbar, bajak laut, provinsialisme dan ethnic cleanser, dan menganggap daerah dan anggota kelompok etnis mereka sendiri lebih berbudaya, lebih beradab dan berperadaban lebih tinggi.

Saya fikir tidak ada seorangpun saudara kita yang berasal dari luar Kalbar merasa dan bermotif seperti itu, apalagi Konsep Putera Daerah akan membuat hak dan kewajiban sesorang, secara sosiologis, politis dan legalistis, lebih jelas di daerah ini, tetapi perasaan ikut memiliki, ikut berperanserta, dan ikut bertanggung jawab dengan mempraktekkan ideologi multikulturalisme akan membuat NKRI menjadi lebih kuat dan langgeng.

 Dengan komitmen seperti itu, kita rayakan ulang tahun ke 234 kota ini dengan mengisi Kalbar, khususnya Kota Pontianak, dengan kerja keras, kejujuran dan persatuan, sehingga ia menjadi kota perdagangan dan pendidikan bertaraf internasional. Semoga.

* Syarif I. Alqadrie

(Staf Pengajar FISIP UNTAN; Guru Besar Tamu (Visiting Professor)

pada Nordic Institute for Asian Study (NIAS), Kopenhagen, Denmark;

dan Dosen Tamu pada Program Doktor UNRI Pekanbaru, Riau )