Senin, 24 Januari 2011

Pola tingkah laku politik, dan tinjauan berbagai aspek


Sejarah Pangsuma 


Ulasan dari berbagai aspek

4. Pola Tingkah Laku Politik Lokal dan Politik Nasional Kaitannya dengan Kesultanan Pontianak.

Sangat tidak beruntung, kelahiran kesultanan Qadriah Pontianak tahun 1772 bersamaan pula dengan telah berpijak dan bercokol sangat kuatnya kolonialisme dan imperialisme Barat, sehingga kehidupan dan perkembangan kesultanan ini ditekan dan diarahkan bagi kepentingan imperialisme tersebut. Ini berarti bahwa hubungan, Kesultanan Pontianak dan Sultan serta para kerabat istana dan rakyatnya, disatu fihak, dengan pemerintah kolonialisme Belanda bersama pejabatnya, dilain fihak, menunjukkan hubungan imperialistis, tidak seimbang dan eksploitatif. Menghadapi ini, hampir semua sultan dan para pembantunya tampaknya “menerima” perlakuan tidak adil ini “tanpa” banyak reaksi dan oposisi, sehingga ada kesan Kesultanan Pontianak bersekutu dengan bahkan mendukung pemerintahan penjajahan Belanda. Padahal “penerimaan” dan “ketundukan” itu lebih bersifat sementara dan merupakan strategi untuk menghindari konflik militer langsung antara kedua fihak yang berakibat kehancuran lebih buruk lagi.

Hal ini menimbulkan 2 (dua) sikap dasar yang membentuk 2 (dua) kelompok berbeda di kalangan kerabat istana dan rakyat: Kelompok pertama menunjukkan sikap penentangan keras terhadap pemerintahan Belanda, sultan dan pembantunya yang berkuasa saat itu. Kelompok kedua lebih kompromistis terhadap Belanda dan sultan, atas perjanjian memberatkan rakyat dan menghinakan kesultanan. Para sultan tidak mempunyai pilihan lain, karena kesultanan tidak memiliki persenjataan sekuat dan secanggi yang Belanda miliki untuk melawannya.

Kelompok pertama bergabung dan membentuk pemukiman sendiri yang sampai sekarang disebut Kampung Luar sebagai simbolisasi dari “ke luar dari lingkungan istana” untuk menentang kebijakan tidak adil, atau mencari pemukiman lain di luar kedua tempat itu – lingkungan istana atau Kampung Dalam dan Kampung Luar, baik di kawasan yang sekarang disebut Kota Pontianak dan sekitarnya, biasanya di kawasan Barat dan Selatan, maupun di luar kawasan kesultanan Pontianak yang sekarang di Kawasan Kabupaten Ketapang, Kabupaten Pontianak dan kabupaten-kabupaten perhuluan (the interior upland areas).

Sikap seperti ini ditunjukkan oleh Sultan Syarif Usman, yang mengundurkan diri dari jabatannya sebelum ia wafat sebagai protes terhadap Belanda. Pangeran Bendahara Syarif Ja’far -- paman Sultan Syarif Muhammad -- melancarkan protes dan penolakan terhadap penetapan pajak (belasting) yang tidak adil dan terlalu memberatkan rakyat, ia diusir Belanda dari Pontianak dan memutuskan untuk merantau ke Mekah dan meninggal di sana. 

Pangeran Adipati Syarif Husin -- paman Sultan Muhammad -- menunjukkan penentangan nya baik terhadap ponakan nya sendiri, yang dianggap tidak bersikap kritis terhadap Belanda dan memasukkan cara-cara dan etika Barat ke dalam istana, maupun terhadap Belanda yang menetapkan kerja rodi dan pajak yang menekan rakyat. 

Ia aktif dalam pergerakan nasional, bertemu dengan dr. Susilo di Banjarmasin untuk menyusun strategi menentang Belanda dan Jepang, mengorganisir perlawanan dari Desa Tanjung Saleh, Kecamatan Sungai Kakap, sehingga luput dari penangkapan Belanda dan Jepang. Ia tidak menjadi korban keganasan Jepang sebagaimana diduga oleh Ansar Rahman, dkk. (2000:146). 

Syarif Maswar Al-Hinduan sangat antipati kepada Belanda dan bergabung dengan Partai Indonesia Raya (Parindra) kemudian PNI/PDI. Banyak lagi kerabat kesultanan sebagai “pemberontak” terhadap Belanda, Sultan Kasim dan Sultan Muhammad, meninggalkan istana dan kawasan kesultanan. Keturunan mereka tersebar di seluruh Kalbar dan kawasan Nusantara dan menjadi orang-orang kritis, berwawasan Nusantara dan mencapai kemajuan dalam sektor pendidikan dan ekonomi.

Kurang lancar nya interaksi social antara Sultan Abdurrahman dengan puteranya Syarif Kasim antara lain disebabkan Sultan Abdurrahman dengan usul dari Belanda mengangkat Syarif Kasim sebagai Sultan di Mempawah dan tidak mengijinkannya menjadi sultan di Pontianak. Hal ini didasari oleh tiga hal: (1) Ketika ayah mertuanya – Opu Daeng Menambon – wafat, calon penggantinya -- Adi Wijaya -- masih kecil, pengganti sementara yang tepat adalah Syarif Kasim; (2) Pada saat itu, Sultan Abdurraman ditekan oleh Belanda untuk menguasai Mempawah.

 Gabungan pasukan Kesultanan Pontianak dan Belanda dengan dipimpin oleh Mayor Ambral dan Kapten Selpitsin, dapat menguasai Mempawah tanpa peperangan berarti, karena Panembahan Adijaya Kesuma Negara mengungsi ke Karangan (Rahman, 2000:109; Haji Yahya, 1999:228). Mempawah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pontianak sampai tahun 1854; (3) Persetujuan Sultan Abdurrahman mengangkat putera-puteranya Syarif Kasim sebagai Sultan Mempawah dan Syarif Usman sebagai Sultan Pontianak berdasarkan konsep putera daerah. Ibu Syarif Kasim adalah Utin Candramidi, keturunan Dayak Mempawah puteri Sultan Daeng Manambon.

 Adapun ibu Syarif Usman adalah Ratu Kusumasari, keturunan Dayak Pontianak. Konsep ini ditambah dengan konsep arsitektur yang, menurut pemikiran Dian Alqadrie (2004), dilandasi oleh factor geografis -- letak Mempawah adalah di kawasan air/laut, sedangkan letak Pontianak adalah darat/hutan -- sehingga Syarif Kasim seharusnya mengabdi di Mempawah dan Syarif Usman seyogyanya berkuasa di Pontianak.

Syarif Kasim yang menjadi Sultan di Mempawah tidak diijinkan oleh Sultan Abdurrahman baik untuk datang ke Pontianak maupun untuk meggantikan kedudukannya sebagai sultan Pontianak setelah ia wafat. Menurut versi Belanda (Vert Ofert, dalam Rahman, 2000: 110) kekecewaan Sultan Abdurrahman kepada puteranya itu disebabkan ia telah membunuh seorang Kapten kapal Inggeris, Nakhoda kapal Cina dan berhutang sebesar 30.000 peso Spanyol. 

Akan tetapi kenyataannya kekecewaan itu disebabkan Syarif Kasim melaksanakan perjanjian dengan Belanda berkaitan dengan Mempawah. Ini merupakan politik pecah belah Belanda (devide et impera politics). Namun, Syarif Kasim akhirnya diangkat juga sebagai Sultan Pontianak Kedua dengan persetujuan dari Adiknya, Syarif Usman, yang bersedia menjadi Pangeran Ratu setelah Syarif Kasim berjanji hanya memerintah 10 tahun saja. Ia meninggalkan Mempawah dan diganti oleh adiknya Syarif Hussein, putera Sultan Abdurrahman (Haji Yahaya, 1999:228) sampai pangeran Adi Jaya dewasa dan siap untuk menjadi Sultan di Mempawah.

Keputusan Sultan Kasim dan Sultan Hussein mengembalikan pemerintahan Mempawah ke tangan pewarisnya yang paling berhak, Pangeran Adijaya, merupakan salah satu kesadaran politik untuk menciptakan kesetiakawanan antara kesultanan di kawasan tersebut dalam menghadi Belanda. Ini juga merupakan realisasi dari Konsep Putera Daerah yang telah lama dijadikan prinsip dalam pengangkatan seorang pemimpin. Sekarang konsep tersebut telah dikembang oleh Syarif Ibrahim Alqadrie (2000) untuk mengatasi ego local/regional (provincialism/ethnocentrism). Selain itu, Kesultanan Mempawah adalah cikal bakal dari Kesultanan Pontianak yang harus diakui kebeeradaannya.

Ada kesan bahwa Sultan Syarif Kasim tidak menepati janji karena ia baru menyerahkan kekuasaannya setelah 11 tahun kepada Syarif Usman, dan bukan 10 tahun sesuai dengan janjinya. Keterlambatan nya setahun kenyataannya digunakan nya untuk menghadapi masa transisi antara masa kekuasaan Inggeris pada 1811 – 1816 ke masa kekuasaan Belanda, agar adiknya, Syarif Usman, yang belum begitu dewasa tidak banyak mengalami kesulitan dalam menjalankan kekuasaan.

 Berdasarkan sumber British Library (Dalam Rahman, 2000:111 dan Alqadrie, 1984:76) Sultan Syarif Kasim memiliki hubungan erat dengan Inggeris di bawah Gubernur Jenderal Thomas S. Raffles, bahkan juga dengan Pemerintah Hindia Belanda ketika ia mendapat pengakuan dari Batavia setelah Inggeris menyerahkan kembali Indonesia (Hindia Belanda = dahulu) kepada Belanda.

Pola politik nasional yang berkaitan dengan Kesultanan Pontianak, khususnya bersinggungan langsung dengan Sultan Hamid II adalah kontroversi mengenai persepsi hubungan Sultan Hamid II dengan Pemerintah Republik Indonesia setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan dengan Belanda.

Karena keprihatinannya terhadap kondisi Kalbar Syarif Hamid kembali ke Pontianak. Kesempatan itu digunakannya untuk menggantikan ponakannya, Syarif Thaha Alqadrie, menjadi Sultan Pontianak, melanjutkan obsesi leluhurnya untuk membangun Kalbar umumnya dan Pontianak khususnya. Namun, seperti disinyalir oleh beberapa penulis (Iskandar, 1991:65); Rahman, 2000: 173-175) bahwa Syarif Hamid -- seorang tokoh yang memahami Kalbar -- didukung untuk berkuasa di Pontianak oleh Van Mook yang memanfaatkannya untuk memecah belah Indonesia, lalu “berkomplot” dengan Belanda untuk “menghancurkan” Republik Indonesia, adalah kurang tepat dan tidak beralasan sama sekali.

Obsesinya yang sebenarnya, menurut Persaja (1955:163-164) adalah bahwa kedatangan dan dilantiknya Sultan Hamid II sebagai sultan Pontianak Kedelapan merupakan kehendak rakyat dan setelah langsung berhubungan dengan rakyat, ia, sebagai kepala swapraja, menjadi lebih mengetahui bahwa cita-cita kemerdekaan telah meresap di hati sanubari rakyatnya. “Dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi nusa dan bangsa (dan menciptakan kesejahteraan rakyat khususnya rakyat di daerah ini = tambahan penulis),” lanjut Prasaja (1955:164), “timbullah keyakinan saya,” bahwa ‘bentuk federalisme itulah yang paling baik bagi negara kita’ ……..”

Inilah wacana pemikiran politik Sultan Hamid II yang berkeinginan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui bentuk federasi/negara serikat. Pemikiran politik seperti ini seharusnya dihargai kalau bangsa ini ingin menjadi bangsa yang yang dimulai dengan gagasan dan ide-ide besar. Sekarang ide besarnya itu baru dapat ditangkap rakyat Kalbar, dan bahwa kesenjangan, ketertinggalan daerah dari Pusat dan Jawa, dan kekecewaan daerah disebabkan justru bangsa ini terlalu takut dengan sistem pemerintahan seperti Malaysia – yang lebih mampu memakmurkan rakyatnya, dan sistem yang lebih mengandung keadilan adalah sistem yang mengandung otonomi khusus atau daerah istimewa.

Kekeliruan Sultan Hamid II boleh jadi terletak pada fakta bahwa ide atau pemikiran politik walaupun masih dalam wacana, ternyata baru bisa digulirkan -- itupun masih belum terlalu aman – di negeri Pancasilais ini, setelah era reformasi, tahun 1998 (setelah 52 tahun). Wacana ini digulirkannya ketika bangsa Indonesia baru saja selesai mengalami trauma -- diperbudak bangsa lain -- selama lebih kurang 350 tahun, dan bahkan pada saat “hantu-hantu” penjajahan seperti Van Mook, Van der Zwaal, bergentayangan menciptakan negara-negara bagian, dan pengkhianat-pengkhianat Indonesia, termasuk di Kalbar, bersedia memperoleh upah dari Jepang dan Belanda untuk tega mengorbankan saudaranya. Kita bisa membayangkan apa yang akan diterima Sultan Hamid II dengan mengeluarkan gagasan besar seperti itu.

Kekeliruan lainnya mungkin terletak pada: 
(1) kekuasaannya sebagai Sultan di Pontianak didukung oleh Belanda;

(2) ia aktif memperjuangkan gagasannya bekerjasama dengan negera-negara bagian lainnya di Indonesia -- sehingga ia sering dicurigai sebagai penghianat; 

(3) ia sering mengikuti konferensi federal di dalam dan di luar negeri baik mewakili Kalbar, Republik Indonesia (RI) atas nama Sukarno - Hatta, maupun Badan Penyelesaian Pertentangan Politik Antara Belanda, Negara Bagian dan R.I. (Bijeenkomst voor Federal Overleg/BFO) yang Syarif Hamid sendiri adalah ketuanya; dan 

(4) kekurang pengertian dan wawasan sebagian tokoh masyarakat dan pemuda di Kalbar dan di Pontianak terhadap tujuan gagasan politiknya, sehingga sebagian mereka menolak dan menentangnya. Padahal ide politiknya tidak lain adalah prediksinya tentang bahaya sentralisme yang mengandung unsur ketidakadilan, keserakahan dan marginalisasi Pusat terhadap daerah. Hal terakhir ini merupakan kekecewaan pertamanya terhadap Pusat dan daerahnya sendiri.

Sebenarnya Pemerintah Pusat dapat melihat peranan Sultan Hamid II dengan BFOnya saat itu. Beberapa kali Sukarno - Hatta mengadakan perundingan dan pendekatan dengan Badan BFO, pertama di Bangka 28 Mei 1948, kemudian di Yogyakarta 19 Juli, dan dilanjutkan di Jakarta, 23 Juli 1948 (Rahman, 2000:175-178), untuk bersepakat sebelum RI, negara-negara bagian dan BFO -- dimana Sultan Hamid II menjadi ketua delegasi -- menghadapi Konferensi Meja Bundar di Belanda. Bahkan Presiden Sukarno dan Wakilnya Hatta memanfaatkan BFO dan merangkul Sultan Hamid II ke meja perundingan bersama-sama Belanda.

 Ini adalah strategi Sukarno - Hatta untuk menyatukan Indonesia dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada ahirnya, tahun 1950 negara-negara bagian, termasuk Kalbar, membubarkan diri, dan terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peranan Sultan Hamid II dan BFOnya cukup besar, karena dalam menyelesaikan perselisihan politik antara R.I., Belanda dan negara-negara bagian, ia berpengaruh terhadap sejumlah pemimpin Belanda dan kepala negara-negara bagian dan cenderung berada di fihak R.I.

Tidak lama menjadi Sultan, pangkat Sultan Hamid dinaikkan menjadi Mayor Jenderal, ia juga mendapat jabatan kehormatan sebagai Ajudan Ratu Belanda (Ajudant in Buitengewone Dienst bij H.M. Koningen der Nederlander). Ini merupakan pangkat dan jabatan tertinggi yang diperoleh seorang putera Indonesia dalam usia 33 tahun dalam Pemerintahan Belanda. Namun, peranannya sebagai ketua BFO, juru runding yang berfihak pada R.I., reputasi dalam ketentaraan serta keberhasilannya dalam mengamankan Kalbar, tidak menjadi pertimbangan pemerintah R.I. saat itu untuk memberinya jabatan sesuai dengan kemampuannya.

 Sultan Hamid II hanya diangkat sebagai Menteri Negara zonder fortofolio (bukan Menteri Departemen), walaupun ia menjadi anggota penyusun Kabinet bersama Muhammad Hatta, Sultan Hamengku Buwono IX dan Anak Agung Gede Agung. Inilah kekecewaannya yang kedua. Ia mengakui, menurut Persaja (1955:179), sebagai Menteri Negara, ia hanya diserahi tugas menyiapkan gedung parlemen dan membikin rencana lambang negara (Garuda Pancasila),[14] tidak ada tugas lain sampai ia ditangkap.

Kekecewaan Sultan Hamid II lainnya adalah: 
(1) Realisasi bentuk negara RIS tidak seperti diharapkan oleh BFO dalam mana organisasi ini tidak menduduki posisi penting dalam Kabinet RIS;

 (2) Ia kecewa tidak berhasil menduduki jabatan Menteri Pertahanan, padahal reputasi dan karir kemiliterannya terpenuhi. Ada keberatan dari fihak R.I., namun, ia dapat memahami dan menerima keberatan itu; 

(3) Ia juga kecewa terhadap dominasi TNI dalam APRIS;[15] 

(4) Terakhir adalah kekecewaannya menghadapi unjukrasa sebagian tokoh, pemuka masyarakat dan pemuda yang menuntut pembubaran Daerah Istimewa Kalbar, penunjukan dr. Sudarso oleh komite Nasional Kalbar sebagai Kepala Daerah Kalbar, karena Sultan Hamid II dianggap telah meletakkan jabatan sebagai kepala daerah.

Itulah salah satu alasan mengapa Sultan Hamid II meletakkan jabatan sebagai kepala daerah sekaligus sebagai Sultan Pontianak, disamping ia dihukum penjara 10 tahun. Ia harus membayar mahal atas ide besarnya dalam politik yang dipertahankannya secara konsekuen dan atas kesenjangan pemikiran atau wawasan antara dia dan pemuka masyarakat di daerahnya sendiri,

 sehingga setelah 48 tahun menjelang era reformasi mereka baru menyadari faktor utama ketertinggalan, keterpinggirkan dan kemiskinan daerah ini dalam segala bidang yang kesemuanya telah dari dulu telah diantisipasi.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Alqadrie, Dian Roossandra. 2004. Pola Perkembangan Ruang Kota Pontianak. Tesis Magister Sains Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik. Universitas Gajah Mada (UGM). Yogyakarta: Fakultas Teknik, UGM.

Alqadrie, Syarif Ibrahim. 1979. Kesultanan Pontianak di Kalimatan Barat: Dinasti dan Pengaruhnya di Nusantara. Hasil Penelitian Sejarah didanai oleh (sponsored by) Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (DP3M), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), RI. Jakarta – Pontianak: DP3M dan UNTAN.

------------------------. 1984. Sejarah Sosial Kota Pontianak. Kota Pontianak dari Perspektif Sejarah Sosial. Hasil Penelitian diselenggarakan atas kerjasama LIPI dengan UNTAN. Jakarta: LIPI.

-----------------------. 1993. Propinsi Yunan dan Penjelajahan Laksamana Cheng Ho. Makalah disampaikan kepada para peserta Seminar Internasional diselenggarakan di Kunming, Yunan, Cina Selatan, 15 – 18 Juli 1993 atas kerjasama Gabungan Penulis Nasional (GAPENA) Malaysia, dan Institute Studi Kebudayaa Asia Tenggara Yunan.

-----------------------. 1998. Otonomi Daerah dan Konsep Putera Daerah. Seminar disampaikan kepada para peserta Seminar Nasional

-----------------------. 2000. “Pengaruh Bugis Dalam Pembinaan Dunia Melayu dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya.” Dalam Abdul Latif Abu Bakar dan Othman Puteh (Penyt.). Globalisme dan Patriotisme Dalam Sastra Melayu. Kumpulan kertas kerja Hari Sastera 2000. Kuala Lumpur, Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Effendy, Mahrus. 1998. Sejarah Perjuangan Kalimantan Barat. Pontianak: Romeo Grafika

ffEffFREDICT BARTH. JAKARTA. PENERBIT UI

Fakih, Mansor. 2001. Sesat Fikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.

Haji Yahya, Mahayudin. 1999. Islam di Pontianak Berdasarkan Hikayat Al-Habib Husain Al-Qadri. Proceedings of Seminar Papers on Brunei Malay Sultanate in Nusantara, Vol. I:13-17, Nov. 1999. Brunei Darussalam: The Sultan Haji Hasanal Bolkiah Foundation.

Hetnne, Bjorn. 1990. Development Theory and The Three Worlds. London: Longman Group Limited.

Ibrahim, Jimmy M. 1971. Dua Ratus Tahun Kota Pontianak. Pontianak: Pemda Kotamadya Pontianak.

Iskandar, Dodi. 1993. Ilmu Pengetahuan Sosial – Sejarah. Jakarta: Penerbit Erlangga.

----------------------- dan Dedi Persada. 1987. Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia. Bandung: Armico.

Mas’oed, Mohtar. 1994. Ekonomi-Politik Internasional dan Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Persaja. 1955. Proses Peristiwa Sultan Hamid II. Jakarta: Fasco.

Rahman, Ansar, Ja’Achmad, dkk. 2000. Syarif Abdurrahman Alkadri. Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak. Pontianak: Romeo Grafika atas nama Pemkot Pontianak.

Rivai, Mawardi. 1995. Peristiwa Mandor. Pontianak: Romeo Grafika.

Sahar, Muhammad Yusuf. 1983. Sejarah Hari Jadi Kota Mempawah. Mempawah: Pemda Kabuaten Pontianak.

Shahab, Alwi. 2000. “Melacak Imigran Hadramaut.” Dalam Media Indonesia. 16 Januari, hal. 7.

So, Alvin Y. 1990. Social Change and Development. Newbury Park, California: Sage Publication.

Suwardi, M.S. 1983. Raja Haji Marhum Teluk Ketapang Malaka. Pakanbaru: Universitas Riau.

Turiman, 2000. Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia: Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang-undangan. Tesis Magister Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.

Wallerstein, Emmanuel. 1974. The Modern World System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World Economy in the sixteenth Century. New York: Academic Press.

-----------------------. 1979. The Capitalist World Economy. New York: Cambridge Univeristy Press.

Yanis, Muhammad. 1983. Kapal Terbang Sembilan. Pontianak – Jakarta: Yayasan Universitas Panca Bahti – PT. Inti Daya Press.

[1] Kertas kerja ini disampaikan kepada para peserta Seminar Kerajaan Nusantara yang diadakan atas kerja sama Pemerintah Kerajaan Pahang dengan Universiti Malaya, Malaysia, di Kuatan, Malaysia, pada 8 –11 May 2005.

[2] Alqadrie adalah Profesor Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Tanjungpura (UNTAN), Pontianak. Sejak Agustus 1995 s/d September 2001 ia menjabat Dekan pada fakultas tsb selama dua kali masa jabatan. Pengalaman kerjanya dimulai dari menjadi Guru SD Islamyah Kampung Bangka (1966-1968), Guru SMEP Negeri (1968-1972), Guru SMEA Negeri Pontianak (1972-1974), Asisten Dosen Luar Biasa UNTAN (1969-1974) dan Dosen Tetap UNTAN (1975-sekarang). Pendidikan Sarjana Satu (S1) diperolehnya dalam Jurusan Ilmu Administrasi Negara (IAN) di FISIPOL UNTAN (1974). Sarjana Dua (S2) [M.Sc] tahun 1987 dan Sarjana Tiga (S3) [Ph.D] tahun 1990 diperolehnya masing-masing dalam Jurusan Sosiologi Pertanian dan Pedesaan (Agricultural and Rural Sociology) dan Jurusan Sosiologi Politik dan Etnisitas (Political Sociology and Ethnicity) pada University of Kentucky, Lexington, AS. Tahun 1993 ia memperoleh Penghargaan David Penny Award dari Pemerintah Australia sebagai penulis terbaik tentang Kemiskinan. Tahun 1998 mengikuti Kursus Singkat Angkatan (KSA) VII LEMHANNAS (selama 4½ bulan) di Jakarta. Pada tahun 1999 dianugrahi Bintang Jasa Utama oleh Presiden R.I. Dalam tahun yang sama dianugrahi Bintang Kesetian Dalam Pengabdian 30 tahun dari Pemerintah Daerah Kalbar. Sejak Juli 2000 s/d Nopember 2004 diangkat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial UNTAN. Menjadi anggota Komisi Pengarah. (Steering Committee/SC) Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) sejak 2000 dan Forum Pengembangan Pembaruan Desa (FPPD) sejak 2003.

[3] Habib Hussein bin Habib Ahmad Al-Qadrie adalah seorang ulama besar keturunan Sayyid dan penyiar agama Islam yang berasal dari kota kecil bernama Trim, Hadralmaut, yang sekarang lebih dikenal dengan Yaman Selatan. Menurut Catatan Alwi bin Ahmad bin IsmaiI Al-Qadrie (dalam Haji Yahya, 1999:221), Habib Hussein adalah penganut mazhab Syafi’i , termasuk ulama tasawuf dan ayah dari pendiri Kesultanan Qadriah Pontianak.

[4] Nusantara adalah sebuah kata untuk menggambarkan wilayah seluruh kepulauan Indonesia dari Sabang hingga ke Marauke. Wilayah Nusantara juga untuk menunjukkan kawasan yang pernah dikuasai oleh Raja Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit melalui tangan Mahapati Gajah Mada berdasarkan cita-cita mereka untuk mewujudkan kawasan kekusaan mereka seluas apa yang disebut sekarang dengan wilayah Indonesia, Malaysia, Brunei sampai ke Madagaskar dan Irian seluruhnya. Oleh karena itu orang-orang Malaysia dan Brunei Darussalam secara social dan budaya sebagai bangsa serumpun juga dengan bangga menyebut negara mereka adalah bagian daari Nusantara.

[5] Versi lain menyebutkan bahwa isteri Habib Husin adalah seorang dayang-dayang puteri asli keturunan Dayak Kalbar (Enthoven dalam Rahman, 2000:24).

[6] Suatu kawasan yang sekarang menjadi areal pemakaman keluarga Panembahan Mempawah terletak sekitar 10 km dari pusat kota Mempawah masuk ke kawasan pedalaman Kecamatan ………

[7] Galah Herang terletak di dekat muara Sungai Mempawah, sekarang kawasan ini dikenal dengan Kuala Mempawah yang terletak sekitar 5 km dari Kota Mempawah arah ke Ponianak. Galah Herang diambil atau berasal dari kata galah dari bamboo yang dipakai oleh para pendatang untuk mendorong dan menambat perahu-perahu mereka ke tempat kediamana Habib Hussein dan keluarganya.

[8] Istilah penjelajahan sangat berbeda dengan penjajahan. Istilah pertama lebih dikaitkan dengan kegiatan individu atau kelompok dalam melakukan kunjungan kesuatu tempat dalam melaksanakan jihad dalam arti luas yaitu melaksanakan syiar keagamaan, menyebarkan atau menegakkan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan serta berbuat kebajikan bagi masyarakat yang memerlukan di tempat itu, seperti antara lain tindakan yang dilakukan para penyebar ajaran Islam yang dilakukan dengan damai bersamaan dengan usaha perdagangan sebagaimana dilakukan oleh Habib Hussein dan penyebar Islam lainnya dari Arab, termasuk, menurut [Alqadrie, 1993], Laksamana Cheng Ho. Sedangkan istilah kedua lebih berhubungan dengan tindakan penguasaan Barat terhadap bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin melalui Kolonialisme dan Imperialisme.

[9] Dari nama hantu ini, Kuntilanak, kota yang kemudian berkembang pesat sampai sekarang ini yang terletak di seberang Istana Kesultanan Qadriah, disebut Pontianak. Fenomena sosial dan sejarah sebenarnya, menurut Jimmy Ibrahim (1971:17), adalah bahwa gangguan itu berasal dari perompak atau bajak laut yang bersembunyi di persimpangan menjorok ke arah Sungai Landak.

[10] Penobatan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie dilakukan oleh Sultan Raja Haji dari Kerajaan Riau, karena tidak saja Kerajaan Riau merupakan kerajaan Melayu yang tergolong besar, kuat, berwibawa dan memiliki pengaruh besar di Nusantara yang pengaruhnya dikenal sampai di luar kawasan Kalimantan dan Malaysia, tetapi, menurut catatan sejarah (Suwardi, 1983) juga hubungan pribadi dan pemerintahan Kesultanan Riau dan Pontianak sangat dekat. Sultan Syarif Abdurrahman dengan Sultan Raja Haji memiliki hubungan ipar sepupu sekali (first Cousin in law). Abdurrahman adalah menantu Opu Daeng Manambon, Raja Haji adalah putera Daeng Celak , sedangkan Daeng Menambon dan Daeng Celak adalah dua dari lima orang bersaudara putera dari Opu Daeng Relaka. Tiga saudara lainnya adalah Daeng Perani, Daeng Marewa dan Daeng Kemasi. Jadi keduanya masih merupakan keluarga besar dari dinasti Opu Daeng Relaka, bangsawan Kerajaan Luwuk, Sulawesi Selatan sekarang.

[11] Benteng tersebut, yang dinamai Marianne, tampaknya diambil dari nama puteri Raja Willem I dari Kerajaan Belanda, yang kemudian boleh jadi ini merupakan awal dari nama kampung Mariana di kawasan kampung Tengah di depan Pelabuhan Pontianak, Kecamatan Pontianak Kota.

[12] Globalisasi dalam berbagai bidang dan sektor yang lebih luas telah mulai berproses jauh sebelum awal abad ke 17 ketika bangsa-bangsa Barat mulai berfikir bahwa hubungan dagang antara mereka dengan bangsa-bangsa dan rakyat di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin (AAA societies) perlu diubah menjadi hubungan kolonialistis dan imperialistis yang tidak adil, tetapi akan sangat menguntungkan mereka. Hubungan eksploitatif seperti itu menempatkan bangsa-bangsa Eropah Barat, khususnya Belanda, Portugis, Spanyol, Perancis, Inggeris, Belgia, dan Jerman, sebagai disinyalir oleh Emmanuel Wallerstein (1974; 1979), menjadi bangsa atau masyarakat “inti” (core societies) atau metropolis/center yang menarik surplus ekonomi dari bangsa/masyarakat AAA sebagai masyarakat pinggiran (periphery) atau pengikut “setia” (satellites). “Interaksi” tidak seimbang antara dua bagian dari sistem dunia tersebut sampai sekarang menciptakan fragmentasi, marginalisasi dan monopolisasi bagi bangsa-bangsa AAA atau negara sedang berkembang (NSB) (Mas’oed, 1999; Faqih, 2000; Hettne, 1990:134-201, 242-452; Wallerstein dalam So, 1990:……).

[13] Status Daerah Istimewa Kalbar bukanlah Negera Bagian sebagai perwujudan negara Federasi.. Daerah Istimewa Kalbar, yang diresmikan Belanda tanggal 12 Mei 1947, tetap menjadi bagian R.I. yang kemudian disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut pemikiran politik Sultan Hamid II yang diperjuangkannya dengan secara konsekuen, Daerah Kalbar tidak akan semaju Jawa dan daerah lain, dan akan sering termarginalkan seperti Aceh, Papua, Kalteng, dan lain sebagainya tanpa status Daerah Istimewa (D.I.). Pemikiran ini baru disadari oleh rakyat Kalbar jauh setelah itu, setelah daerah ini terpenggirkan.

[14] Bahkan setelah Lambang Garuda Pancasila itu jadi dan menjadi Lambang Negara resmi yang diagung-agungkan oleh seluruh rakyat Indonesia, namanya sebagai penciptanya, malah sebagai perencana pun, tidak pernah disebut-sebut. Ironisnya, menurut Turiman (2000) berdasarkan hasil penelitian tesis Magisternya, Muhammad Yamin disebut-sebut sebagai penciptanya, padahal dosen Universitas Tanjungpura itu menemukan banyak bukti tertulis tentang siapa pencipta dan perancang Lambang Garuda Pancasila itu. Yamin hanya ketua Panitia Pembuatan Lambang, sedangkan semua pekerjaan merancang dan membuatnya diserahkan kepada Sultan Hamid II.

[15] Komposisi APRIS berdasarkan hasil konferensi Antar Indonesia dan KMB, akan terdiri dari TNI sebagai inti kekuatan ditambah dengan kesatuan-kesatuan dari bekas KNIL, KM,VB, dan sebagainya. Untuk itu Sultan Hamid II telah mempersiapkan satu kompi unsur KNIL dan satu kompi anggota kelompok etnis Dayak dari Kalbar yang telah dilatih untuk memperkuat TNI yang akan dikirim ke Kalbar (Rahman, 2000:179). Mengapa unsur Dayak harus masuk? Pertama, anggota kelompok etnis ini berasal dari daerah Kalbar dan mereka lebih kenal daerah mereka sendiri; kedua, Dayak dan Melayu memiliki hubungan historis dan psikologis, karena Dayak adalah saudara ibu yang dilambangkan sebagai hutan terletak di belakang, sedangkan Melayu adalah saudara ayah yang dilambangkan sebagai laut terletak di depan.