Dalam Satu Halaman
By : STTS
Cikal bakal sejarah pemerintahan (bekas)
Kerajaan Sanggau Kapuas,
Berdiri pada : 7 April 1310 M,
Urutan Penguasa Sanggau
1. Dara Nante (1310 M).
2. Dakkudak.
3. Dayang Mas Ratna (1485-1528 M).
4. Dayang Puasa atau Nyai Sura (1528-1569 M).
5. Abang Gani bergelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M).
6. Abang Basun bergelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M).
7. Abang Bungsu (Uju) bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara (1658-1690 M).
8. Abang Kamaruddin bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M).
9. Panembahan Ratu Surya Negara bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M).
10. Abang Tabrani bergelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M).
11. Panembahan Mohammad Thahir I Surya Negara (1762-1785 M). Ditaklukkan Pontianak pada 1778 M pada zaman Sultan Abdurrahman dijadikan kerajaan vazal Pontianak dan Banten
12. Pangeran Usman bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812).
13. Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823).
14, Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828).
15. Panembahan Mohammad Kusuma Negara (1812-1860).
16. Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876).
17. Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908).
18. Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (1808-1915).
19. Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara (1915-1921).
20. Panembahan Thahir Surya Negara (1921-1941).
21. Gusti Mohammad Arif (1941-1942).
22. Ade Marhaban Saleh (1942-1944).
23. Panembahan Gusti Ali Akbar (1944-1945).
24. Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara (1945).
25. Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara (2009).
Keturunan Kerajaan Sanggau di masa sekarang meyakini bahwa kerajaan leluhur mereka itu didirikan pertama kali pada tanggal 7 April 1310 M, yaitu ketika Dara Nante dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Sanggau yang pertama.
Untuk itu, maka pada tanggal 26 Juli 2009, perwakilan tiga etnis yang terdapat di Sanggau, yaitu Melayu, Dayak, dan Tionghoa, menyepakati bahwa setiap tanggal 7 April diperingati sebagai hari jadi Kota Sanggau, meskipun hal ini masih sebatas pendeklarasian dan belum sebagai ketetapan pemerintah. Sedangkan upaya untuk mendapatkan peresmian dari pemerintah masih diperjuangkan sampai saat ini (www.borneotribune.com).
Bermula
dengan kisah Dara Nante dan Babai Singa yang melegenda secara turun temurun. Dara
Nante menikah dengan Babai Singa yang berasal dari daerah
Sisang Hulu (Sekayam). Dara Nante sendiri berasal dari Labai Lawai, salah satu pemukiman di Simpang Mendawan daerah Terentang
sekarang.
Perjodohan keduanya kelaknya melahirkan seorang putra
yang diberi
nama Aria Jamban.
Aria Jamban kemudian menurunkan Aria
Batang
dan selanjutnya Aria Batang beranak Aria Likar.
Pada masa itu,
Dara Nante yang menjadi pemimpin otonom lokal di Mengkiang
mengangkat orang kepercayaannya, Aria Dakudak untuk menjadi seorang patih di
daerah Semboja atau Segarong yang letaknya di antara Sungai Mawang dan Bunut
sekarang.
Dalam perkembangan kemudian, Patih Dakudak digantikan oleh Dayang Mas.
Pada
masanya ini, pusat pemerintahan dialihkan ke Mengkiang dari Semboja.
Dayang Mas
merupakan kerabat dekat dari Dara Nante.
Dalam memimpin
Negeri Mengkiang, ia didampingi suaminya Patih Nurul Kamal putra dari Patih
Kiyai Kerang yang berasal dari Banten.
Selanjutnya keturunan dari Dayang
Mas dan Patih Nurul Kamal menggunakan nama Kiyai seperti :
Kiyai Patih Gemuk,
Kiyai Mas Senapati, Kiyai Mas Demang, Kiyai Mas Jaya, Kiyai Mas Jaya Ngebil dan
Kiyai Mas Temenggung.
Setelah Dayang Mas wafat, ia digantikan oleh Dayang Puasa.
Mulanya Dayang
Puasa menikah dengan Kiyai Patih Gemuk, yang merupakan saudara dekat Patih
Nurul Kamal. Perjodohannya itu dikaruniai seorang anak yang bernama Pangeran
Agung Renggang.
Setelah Kiyai Patih Gemuk mangkat,
Dayang Puasa yang bergelar Ratu Nyai Sura menikah lagi dengan Abang Awal yang
berasal dari Kerajaan Embau Hulu Kapuas.
Perkawinan yang kedua ini dikaruniai
empat orang anak.
Keempatnya, masing-masing bernama
1. Abang Djamal yang merintis dan bertahta
di Negeri Belitang sebagai cikal bakal Kerajaan Belitang.
2. Anak kedua, Abang
Djalal bertahta di Balai Lindi Melawi.
3. Kemudian Abang Nurul kamal yang bertahta
dan menjadi Panembahan di Sanggau Lama.
4. Dan anak keempat Abang Jawahir atau
Abang Djauhir yang memerintah di daerah Sintang.
Pangeran Agung Renggang setelah dewasa kemudian menduduki tahta.
Namun ia
hanya beberapa bulan memerintah, kemudian mengundurkan diri dan selanjutnya
digantikan oleh saudara se ibu nya, Nurul Kamal yang dikenal juga dengan sebutan
Abang Gani yang bergelar Kiyai Patih Busu Kusuma.
Setelah mangkat, Abang Gani
atau Nurul Kamal digantikan putranya yang bernama Abang Basun Pangeran
Mangkubumi. Dalam memerintah ia didampingi dua orang saudaranya, Abang Abun
Pangeran Sumabaya dan Abang Guning.
Wafatnya Abang Basun maka naik tahtalah Abang Ahmad atau Abang Daruja atau
Uju yang belakangan kemudian bergelar Sultan Ahmad Jamaluddin.
Sultan Ahmad Jamaluddin : Membagi 2 kekuasaan Darat dan Laut
Abang Ahmad atau
Abang Daruja atau Uju, di atas tahta Kerajaan Mengkiang bergelar Sultan Ahmad
Jamaluddin. Ia kemudian mengalihkan pusat pemerintahan kerajaan di tengah Kota
Sanggau kapuas sekarang.
Pusat kerajaan dibangun di tepi
aliran Sungai Kapuas.
Ia merupakan peletak dasar berdirinya Kerajaan Sanggau
dengan pusat kekuasaan di Kota Sanggau Kapuas. la menikah dengan Putri Ratu Ayu
yang berasal dari Kerajaan Landak. Pasangan Sultan Ahmad Jamaluddin dan Putri
Ratu Ayu inilah yang merupakan penurun para raja dan wakil raja serta kaum
kerabat bekas Kerajaan Sanggau seterusnya.
Setelah wafat ia digantikan Abang Saka yang bergelar Sultan Muhammad
Kamaruddin. Dalam memerintah, ia didampingi saudaranya yang bernama Abang
Sebilanghari, yang kemudian bergeiar Panembahan Ratu Surya Kusuma.
Semasa
hidupnya, sultan terdahulu, Ahmad Jamaluddin telah membagi kekuasaan kerajaan,
di mana Abang Saka memerintah di Keraton Darat, dan Abang Sebilanghari di
Keraton Laut.
Gelar yang dipakai untuk menjadi
raja diberi tambahan Gusti untuk penguasa di sebelah darat.
Sedangkan untuk
penguasa yang membantu raja memerintah diberi gelar Ade atau penguasa di
sebelah laut.
Dengan demikian, sepeninggal Abang Uju, kekuasaan menjadi
terpisah dalam dua wilayah kekuasaan. Setelah Abang Saka atau Sultan Muhammad
Kamaruddin wafat, maka tampuk kekuasaan diambilalih oleh Abang Sebilanghari
yang kemudian bergelar Panembahan Ratu Surya Kusuma.
la menikah dengan Utin
Parwa dari Kerajaan Tayan.
Setelah wafat, digantikan oleh putranya Gusti Thabrani Pangeran Ratu Surya
Negara didampingi Abang Togok yang bergelar Pangeran Mangkubumi Gusti Muhammad
Thahir yang menikah dengan Ratu Srikandi.
Dengan pecahnya keturunan raja-raja Sanggau dalam melaksanakan kekuasaan
pemerintahan, di mana adanya pusat kekuasaan di sebelah darat dan di sebelah
laut, maka dalam masa pemerintahan Gusti Thabrani diambil suatu kesepakatan
antara kedua turunan penguasa di darat dan laut untuk memerintah secara
bergantian menduduki tahta.
Apabila raja sebelah darat yang menjadi raja atau panembahan, maka raja
sebelah laut menduduki jabatan selaku mangkubumi. Begitu pula seterusnya,
apabila di sebelah laut menduduki tahta sebagai panembahan, maka keturunan
sebelah darat menjabat sebagai mangkubumi.
Perkembangan ini terus berlangsung
sampai kedatangan kolonial Belanda ke ibukota kerajaan Sanggau Kapuas.
Setelah Abang Thabrani wafat, naik tahtalah Abang Togok bergelar Gusti
Muhammad Thahir I yang mernerintah Kerajaan Sanggau dalam tahun 1798-1812.
Panembahan Thahir I memerintah didampingi Mangkubumi Pangeran Osman Paku
Negara.
Sepeninggal Wafatnya Panembahan Thahir I, maka
naik tahtalah
1812-1814. Sultan Sanggau
Pangeran Osman Paku Negara sebagai Panembahan
yang berkuasa
dalam tahun 1812-1814.
Ia memerintah didampingi Mangkubumi Pangeran Muhammad
Ali Mangku Negara I yang kemudian menggantikan Panembahan Osman sebagai
panembahan Sanggau tahun 1814-1825. Ketika memerintah didampingi Mangkubumi
Pangeran Ayub Paku Negara.
Pada akhirnya setelah menjabat selama sembilan tahun sebagai Mangkubumi
Sanggau, Pangeran Ayub Paku Negara kemudian menduduki tahta kerajaan bergelar
Sultan Ayub dan memerintah dalam tahun I825-1830.
Dia kemudian mengalihkan
pusat pemerintahan ke Kampung Kantuk sekarang. Tahun 1826 Sultan Ayub membangun
Masiid Jami Syuhada dan mulai saat itu Kerajaan sanggau mengalami penataan dan
perkembangan pesat serta moderen.
Sebelumnya, Kerajaan sanggau telah diserahkan oleh Kesultanan Banten
(melalui Kesultanan Pontianak) ke tangan Belanda, karena Sanggau merupakan
kerajaan vazalnya, bersamaan dengan berdirinya Kesultanan Pontianak.
Wafatnya Sultan Ayub, maka naik tahtalah saudaranya yang bernama Ade Ahmad
yang bergelar Panembahan Muhammad Kusuma Negara yang memerintah tahun
1830-1860. Sebagai Pangeran Mangkubumi diangkatlah Gusti Muhammad Thahir II
yang bergelar Pangeran Ratu Sri Paduka Maharaja.
Belanda masukSanggau tanggal 8 Mei dan 20 Mei 1877.
Dalam perkembangan
selanjutnya, menyusul penyerahan Kerajaan Sanggau ke tangan Belanda oleh
Pontianak dan Banten, dilangsungkan penandatanganan Korte Verklaring atau
Perjanjian Pendek yang mengikat kerajaan ini dengan kolonial Belanda pada
tanggal 8 Mei dan 20 Mei 1877.
Perjanjian ini ditanda tangani
antara kerabat Kerajaan Sanggau dengan Residen Westerafdeeling van Borneo dan
Asisten Residen Westerafdeeling van Borneo Sintang yang secara khusus
berkunjung ke Sanggau Kapuas.
Pihak Kerajaan sanggau ditanda tangani oleh
Panembahan Muhammad Kusuma negara, Mangkubumi Muhammad Saleh, Pangeran Ratu
Mangku Negara penguasa Semerangkai, Pangeran Mas Paduka Putra Raja penguasa
Balai Karangan dan Pangeran Adi Ningrat Menteri Kerajaan Sanggau.
Dalam
perjanjian itu ditetapkan bahwa Tanjung Sekayam sebagai daerah yang diserahkan
kepada militer Belanda.
Seterusnya, upaya kolonial Belanda tidak hanya sampai di situ atau bukan
sebatas melakukan perjanjian atau korte verklaring. Namun telah melangkah lebih
jauh. Hal itu dengan dilakukannya politik devide et impera atau politik
pecah-belah, di mana Belanda telah mencampuri urusan pengaturan pemerintahan
Kerajaan Sanggau.
Kolonial Belanda melalui Residen Borneo Barat telah
mengangkat raja yang baru yaitu Gusti Muhammad Thahir II menjadi raja
menggantikan Panembahan Muhammad Kusuma Negara.
Selanjutnya pula, setelah
menduduki tahta, Gusti Muhammad Thahir II diharuskan terikat dengan Korte
Verklaring terdahulu. Dalam memerintah ia didampingi Mangkubumi Pangeran Haji
Sulaiman Paku Negara.
Sebelum diangkat sebagai raja,
Thahir II telah berkunjung
ke Brunei Darussalam dan diangkat sebagai kerabat oleh Sultan Brunei Darussalam
Syarif Syahbuddin dengan diberi gelar Pangeran Paduka Srimaharaja sejak 8
Jumadil Awal 1296 H, ditandai pula dengan pengaturan tapal batas kerajaan
antara Sanggau dan Brunei mulai dari Hulu Sekayam sampai Hilir Kembayan dan
dihadiahi satu meriam bermotif naga dari Brunei.
Semasa hidupnya Gusti Thahir II
dikaruniai dua orang putra,
yang tertua Gusti Ahmad Putra Negara dikenal sangat
anti kolonial Belanda. Karenanya dalam tahun 1876-1890 ia diasingkan Belanda ke
Purwakarta dan wafat di sana.
Gusti Thahir II wafat,
digantikan Haji Ade Sulaiman Paku Negara yang
memerintah tahun 1876-1908.
Di masa Panembahan Sulaiman, pada tanggal 14 April
1882, kembali ditandatangani Korte Verklaring antara Sanggau dengan Beianda.
Selaku Mangkubumi semasa pemerintahan Panembahan Sulaiman adalah Haji Pangeran
Muhammad Ali Surya Negara.
Korte verklaring tersebut berisi
antara lain menunjuk dua orang raja di Sanggau masing-masing di darat Haji
Pangeran Muhammad Ali Mangku Negara dan di laut Panembahan Haji Sulaiman Paku
Negara.
Mengatur pembagian kerja untuk raja dan kerabatnya.
Bagi orang Dayak
dianggap sebagai rakyat kerajaan.
Mengatur perbatasan pemerintahan Kerajaan Sanggau dengan kerajaan lain
serta mengatur pembayaran upeti oleh rakyat kepada kerajaan yang dinamakan
blasting dan natura.
Semula para penguasa kerajaan menjadi tuan di negerinya.
Namun sejak ditanda tanganinnya korte verklaring tersebut, mereka seumpama
peminjam tanah dan hak mereka dari kolonial Belanda. Segala sesuatu yang semula
sebagai otonom dari kerajaan, telah dibatasi dan harus dengan pengawasan
pemerintah kolonial Belanda.
Setelah Panembahan Haji Ade Sulaiman mangkat,
Tahta dilanjutkan Pangeran
Haji Gusti Muhammad Ali II Surya Negara. Ia adalah putra dari Haji Gusti Ahmad
Putra Negara yang diasingkan kolonial Belanda ke Purwakarta hingga wafatnya di
sana.
Namun sebelum menduduki tahta kerajaan dalam tahun 1908, terjadi
perselisihan dengan kerabatnya. Di mana Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati
Ibnu putra dari Panembahan Sulaiman raja terdahulu tidak mau menyerahkan tahta.
Menurutnya, dirinya lebih berhak menggantikan ayahnya Panembahan Sulaiman untuk
melanjutkan kekuasaan kerajaan.
Mengatasi masalah tersebut, pihak kolonial
Belanda campur tangan dan kemudian menobatkan Gusti Muhammad Ali II sebagai
raja Sanggau dalam tahun 1908 dan memerintah hingga 1915.
Dan Pangeran Adipati diasingkan ke
Pulau Jawa.
Sebagai Mangkubumi dinobatkan saudara kandung Panembahan Sulaiman
yaitu Haji Pangeran Ade Muhammad Said Paku Negara. Setelah Panembahan Ali II
wafat, naik tahtalah Haji Ade Muhammad Said Paku Negara (1915-1920) didampingi Mangkubumi Gusti Muhammad Thahir III Surya Negara selaku penguasa Kerajaan
Sanggau.
1908 - 1915 M. Panembahan Gusti Muhammad Ali
semasa hidupnya dikaruniai sembilan orang
putra dan lima putri.
Masing-masing :
Gusti Muhammad Thahir III Surya Negara,
Gusti Ahmad Pangeran Adipati Surya Negara,
Gusti Abdurrahman, Gusti Burhan,
Gusti Muhammad Arief,
Gusti Zainal Abidin,
Gusti Syamsuddin,
Gusti Abdul Murad,
Gusti Terahib,
Utin Isah, utin Hadijah, Utin Mas Uray, Utin Maryam dan Utin
Maimun.
Setelah Panembahan Ali II mangkat, diangkatlah Haji Muhammad said Paku
Negara sebagai raja.
Ia menduduki tahta tahun 1915-1920 didampingi Mnagkubumi Gusti Muhammad
Thahir III Surya Negara putra dari Haji Pangeran Muhammad Ali II. Selanjutnya
Gusti Thahir III putra Pangeran Haji Gusti Muhammad Ali II Surya Negara,
menduduki tahta sejak 1920 hingga wafat tahun 1941.
Pembaharuan atau reformasi di dalam tubuh kerajaan mulai dilakukan
Panembahan Thahir III.
Berbagai fasilitas pendidikan dan sarana fisik lainnya
yang membuka hubungan Sanggau dengan daerah lain dilakukan secara gencar. Salah
satunya, isolasi perhubungan darat mulai terbuka lebar sehingga hubungan dari
dan ke Sanggau, Landak Ngabang dan Sintang mudah ditempuh. Sebelumnya, masih
menghandalkan sarana transfortasi sungai dengan menempuh Sungai Sekayam dan
Sungai Kapuas.
Di samping itu, di dalam tata laksana pemerintahan juga dilakukan reformasi
di bidang hukum, di mana pada masa itu didirikan Lembaga Mahkamah Syariah atau
Raad Agama di dalam Kerajaan Sanggau. Lembaga ini dipimpin oleh Pangeran
Temenggung Surya Agama Haji Muhammad Yusuf dan Pangeran Penghulu Surya Agama
Ade Ahmadin Badawi.
Dalam masa itu diatur pula mengenai peribadatan kaum Nasrani berada di
bawah wewnang Departemen van Onderwijs En Eredient, sedangkan urusan Agama
Islam diatur oleh kerajaan dan Lembaga Mahkamah Syariah demikian pula
menyangkut hukum adat. Dalam tahun 1941 Panembahan Thahir III mangkat.
Maka dinobatkanlah Ade Muhammad Arif
putra dari Panembahan Haji Muhammad Said Paku Negara sebagai Raja Sanggau.
Olehnya, pusat pemerintahan dialihkan ke Sungai Aur Kampung Beringin.
Dalam
tahun 1944, beserta kerabat keluarganya yang lain, Panembahan Arif menjadi
korban kekejaman balatentara pendudukan militer Jepang.
Selanjutnya, untuk mengisi kekosongan tahta, maka kemudian diangkatlah
Gusti Muhammad Umar (1944) untuk memangku sementara tahta kerajaan.
Dalam tahun
1945, ia digantikan Gusti Muhammad Ali Akbar yang menjabat hingga 1946.
Seterusnya.
yang menduduki tahta terakhir Kerajaan Sanggau hingga dihapuskannya sistem
pemerintahan Swapraja Sanggau dalam tahun 1959 adalah Panembahan Gusti Muhammad
Thaufiq putra dari Gusti Thahir III.
Gusti Thaufiq yang menjabat antara tahun
1946-1959, terakhir sebagal kepala Swapraja Sanggau hingga dibentuknya
Kabupaten Sanggau dalam tahun 1960.
Klik >> : Sejarah Kerajaan Sanggau