BAGIAN KE LIMA :
WAFAT DAN MAKAM PANGLIMA HITAM DI SEGERAM, Tahun 1857 M
By : Syarif Arif Chandra & Syarif Tue Tsani
Disusun berdasarkan Data dan Fakta Sejarah tertulis,
Dari Manuskrip Kuno - Nuswah Tua ,
Catatan Pangeran Bendahara
Syarif Ahmad bin Sultan Abdurrahman, tahun 1840 M
Meski sejarah adalah bagian masa lalu, tapi sejarah juga merupakan bagian masa kini dan masa depan. Bangsa yang besar tidak akan pernah melupakan sejarahnya. Bangsa yang ber adab, tidak akan pernah memandang sebelah mata sejarahnya.
Kita yang hidup saat ini, suatu saat akan menjadi sejarah.
Bagian dari masa lalu anak cucu kita, nantinya.
Apakah Kita akan tetap dikenang, diingat, di ziarahi, dan di doakan, oleh anak cucu Kita nanti? Ataukah Kita hanya akan menjadi gundukan tanah tak bernama, seperti kuburan tua yang banyak ditemukan di Segeram , saat ini ?
Semua sangat tergantung pada apa yang Kita lakukan,
Dan pada apa yang tidak Kita lakukan.
Jika Kita memperlakukan dengan baik para leluhur yang telah berjasa mewariskan darah dan sejarahnya kepada Kita, tentu, anak cucu Kita nanti akan mengenang Kita dengan kenangan yang baik.
Ingat dan kenanglah Mereka, agar Kita dikenang anak cucu nanti.
Wafat nya Panglima Hitam Paku Alam, : 1857 M, Usia 84 Tahun
Setelah Panglima Hitam Paku Alam menderita sakit yang cukup lama,
Beliau kemudian meninggal di tempat tidurnya, pulang kembali menghadap Sang Khaliq, Pencipta nya. Ketika wafat, beliau berada di dalam kelambu kuning yang sudah di gantungkan oleh anak perempuan beliau bernama Syarifah Sechah.
Beliau wafat bersamaan dengan kumandang Azan Subuh dengan jasad yang sudah di qiyam sendiri, dengan posisi sempurna dan mata tertutup, pada 1857 M,
Tercatat beliau wafat di Segeram, pada 12 Muharam 1278 H - 1857 M
Dan jasad beliau dimakamkan di Segeram, Pulau Tujuh.
Syahdan, ketika anak perempuan beliau membuka kelambu karena sudah siang, mereka melihat Ayah nya sudah pergi dengan sempurna menutup matanya.
“Innalillah wa inailaihi rajiuuun”.,…..Alfatehah''' ,..
Panglima Hitam Paku Alam, Segeram
Secara Generasi Nasab, beliau urutan ke @36, dari Sayyidah Zahra Fathimah binti Rasullullah istri dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib ini. Beliau adalah cucu Sayyid Husein Tuan Besar Mempawah Al Kadri - Jamalullail.@34 - Dari Putra Beliau, Sayyid Abubakar.@35. - Dan merupakan saudara satu ayah, Sultan Syarif Abdurrahman Pontianak. @35 - Bertahta pada 1778 - 1808 M, di Istana Kadriah.
Secara Kekerabatan Kesultanan,
Beliau adalah sepupu 1 x,
Dari Sultan Syarif Kasem, Sultan ke II, (28 Februari 1808 – 25 Februari 1819), dan Sultan Syarif Usman, Sultan ke III, (25 Februari 1819 – 12 April 1855).
Sehingga anak keturunan Beliau, seperti :
Wan Muhammad Sei Purun, Syed Mustafa Serasan, Syarif Sirajudiensyah Banjar, dan Syarif Muhammad Nasir Banjar,
Sepupu 2x dengan:
Sultan Syarif Hamid. I, Sultan ke IV, (12 April 1855 – 22 Agustus 1872)
Sementara Sultan Syarif Yusuf, Sultan ke V, (22 Agustus 1872 – 15 Maret 1895) Pangkat Keponakan dari sepupu nya .
Serta Sultan Syarif Muhammad, Sultan ke VI,(15 Maret 1895 – 24 Juni 1944 ) Pangkat Cucu dari Keponakan mereka.
"Jadi memang urutan Nasab
Generasi keturunan ini cenderung pendek",
Kecuali yang nantinya menikah dalam usia muda, anak pertama laki - laki, kemudian anak ini menikah lagi di usia muda, 18 tahun misalnya, dst
Sebagaimana masih bisa ditemukan saat ini, tahun 2024 M, Ada cucu langsung beliau "Syarif Ibrahim Panglima Hitam Paku Alam Segeram " ini, yang masih hidup, dari keturunan anak perempuan beliau yaitu :
Syarif Ibrahim Bin Panglima Laksamana satu Syarif Abu Bakar
Setelah disempurnakan jenazah nya, di mandikan, di kafan kan, dan di sholat kan, beliau :
Kemudian di maqam kan di dataran yang agak tinggi berdampingan dengan maqam istrinya yang berasal dari Sabamban Tanah Bumbu Kalimantan Selatan, yang menjadi pendamping nya di Segeram, dan sudah meninggal lebih dari satu tahun sebelumnya, :
Syarifah Fatimah binti Pangeran Syarif Ali Alidrus, Sabamban.
Kedua maqam tersebut di buat dari batu karang yang diukir, yang kemungkinan besar diukir dan dikerjakan oleh Adik beliau, Panglima Karang Tanjung, Syarif Abdurrahman bin Abubakar Al Kadri, karena dalam catatan itu, disebutkan beliau ini, wafat kemudian dari saudara tua nya Syarif Ibrahim.
Selanjutnya,
Penelusuran oleh Kesultanan Pontianak :
Untuk membuktikan catatan Nusuwa
Bendahara Ahmad bin Sultan Abdurrahman Alkadri :
Maka pada tahun 1979 Syarif Ibrahim bin Ahmad Alkadri
Sebagai pemegang Nusuwa yang sudah lusuh dan sulit terbaca. Beliau berangkat ke Natuna dalam kunjungan Worship Kejaksaan yang saat itu baru di jadikan Kabupaten baru.
Setelah selesai acara dinas tiga hari,
Beliau menyempat kan diri untuk menyeberangi Segeram Untuk membuktikan kebenaran Nusuwa tersebut. Maka hasil yang beliau peroleh sesuai dengan Catatan Nusuwa Bendahara Ahmad bin Sultan Abdurrahman Alkadri,
Saat ini, 2023 M, Nusuwa yang sudah lusuh sangat sulit terbaca itu, bahkan saat ini sudah seperti kerupuk jika di pegang,
Namun syukurlah,
Beliau telah meninggalkan goresan ulang dari tangan Syarif Ibrahim Bin Ahmad, Agar tetap terdokumentasi dengan baik dan Lengkap dengan keturunan mereka ber - empat saudara kandung, satu ayah, satu Ibu. Keturunan Panglima Laksamana Satu Syarif Abubakar bin Habib Husein ini.
Kemudian beliau memasukan catatan Kaki di dalam Nusuwa tersebut.
Menurut catatan Syarif Ibrahim bin Ahmad Alkadri :
Saat di kunjungi, pada tahun 1979, Segeram merupakan Kampung yang sangat memprihatinkan karena peninggalan sejarah di telantarkan oleh Pemda dan Pemerintah Setempat.
Sementara jika Segeram di kelola dengan baik, akan bisa mendatangkan pengunjung, menjadi aset daerah sebagai obyek wisata sejarah dan Religi, terutama membuka bagi penziarah, sebagaimana makam Panglima Hitam di Pulau Seribu, yang saat ini ramai dikunjungi warga Jakarta.
Ukiran maqam yang terbuat dari Karang seharusnya menarik minat wisatawan dan membuat hati PEMDA tergerak untuk menjadikan nya “Cagar Budaya Maqam Sejarah" dari jaman Portugis hingga Ahlulbeit Rasulullah SAW khususnya keluarga Alkadri dan Al-Idrus yang ada di Segeram,
Ada lebih dari lima puluh maqam saat itu, pada 1979.
Jika dihitung mundur sejak wafatnya, maka usia makam itu sudah mencapai angka 167 tahun, 6 generasi diatas Kita, jika satu generasi di asumsikan rata - rata 25 tahun.
Sementara jika dihitung sejak kedatangan beliau membuka rimba belantara Kampung Segeram, pada 1779 M, maka "Desa Adat Segeram " sudah berusia 245 tahun hari ini, tahun 2024.
Padahal ziarah makam cukup menjanjikan jika dikelola dengan benar, seperti makam tua Engku Putri di Pulau Penyengat, tak henti didatangi penziarah dari berbagai daerah, dari dalam dan luar negeri.
BERSAMBUNG KE BAGIAN KE ENAM,
KLIK >>: PENINGGALAN