Kamis, 06 Juni 2013

Peristiwa Mandor dan Sultan Muhammad

28 Juni 1944,- 28 Juni 2019,  
diperingati sebagai hari berkabung Kalimantan Barat
By  SAY Qadri 
Pustaka Sejarah



Video Melawan lupa Metro Tv




Peristiwa Mandor
        Peristiwa Mandor adalah peristiwa pembantaian massal yang menurut catatan sejarah terjadi pada tanggal 28 Juni 1944. 
Peristiwa Mandor ini sendiri sering dikenang dengan istilah Tragedi Mandor Berdarah yaitu telah terjadi pembantaian massal tanpa batas etnis dan ras oleh tentara Jepang dengan samurai. Peristiwa ini terjadi di daerah Mandor,  Kabupaten Landak,  Kalimantan Barat.

Awal Terjadi Peristiwa
          Peristiwa mandor adalah sebuah peristiwa masa kelam yang pernah terjadi di kalimantan barat, peristiwa ini terjadi pada tahun 1943-1944 di daerah Mandor kabupaten landak Tak sedikit kaum cerdik pandai, cendikiawan, para raja, sultan, tokoh masyarakat maupun pejuang lainnya gugur sebagai kesuma bangsa atas kebiadaban Jepang kala itu. Menurut sejarah hampir terdapat 21.037 jumlah pembantaian yang di bunuh oleh Jepang, namun jepang menolaknya dan menganggap hanya 1.000 korban saja.

Zaman pendudukan Jepang lebih menyeramkan daripada masa pendudukan Belanda. Peristiwa mandor terjadi akibat ketidaksukaan penjajah Jepang terhadap para pemberontak. Karena ketika itu Jepang ingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di Bumi Kalimantan Barat. Sebelum terjadi peristiwa mandor terjadilah peristiwa cap kapak dimana kala itu pemerintah Jepang mendobrak pintu - pintu rumah rakyat (Tionghoa, Melayu, Maupun Dayak) 

Mereka tidak ingin terjadi pemberontak-pemberontak terdapat di kalimantan barat. Meskipun demikian ternyata menurut sejarah yang dibantai bukan hanya kaum cendekiawan maupun feodal namun juga rakyat-rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa. Tidak diketahui apakah karena tentara Jepang memang bodoh atau apa, kala itu pisau dilarang oleh penjajah Jepang.
Jepang memang telah menyusun rencana genosida untuk memberangus semangat perlawanan rakyat Kalbar kala itu. Sebuah harian Jepang Borneo Shinbun, koran yang terbit pada masa itu mengungkap rencana tentara negeri samurai itu untuk membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang Jepang. 
Tanggal 28 Juni diyakini sebagai hari pengeksekusian ribuan tokoh-tokoh penting masyarakat pada masa itu.

Surat Kabar Borneo Simbun 
 

Kronologi Peristiwa
Masuknya tentara pendudukan Jepang bulan Juni tahun 1942 di Kalbar, ditandai dengan tindak kekerasan perampasan, perampokan, pemerkosaan dan penindasan rakyat. Hingga akhirnya seluruh suku, pemuka masyarakat, raja dan panembahan di Kalbar berkumpul dan bermusyawarah bagaimana menangani tentara pendudukan Jepang yang bertindak semena-mena.

Namun, musyawarah tersebut tercium oleh Jepang karena ada mata-mata Jepang yang juga orang Indonesia ikut dalam musyawarah itu. 

Jepang tambah curiga ketika datang dua orang utusan dari Banjarmasin yakni dr Soesilo dan Malay Wei, dimana secara diam-diam dua tokoh tersebut menyampaikan berita bahwa akan ada gerakan pemberontakan terhadap tentara pendudukan Jepang sekitar bulan Januari 1944.

Sialnya, rencana pemberontakan tersebut diketahui oleh tentara pendudukan Jepang sehingga mulailah terjadi penangkapan. Pembunuhan besar-besaran terjadi pada tanggal 20 Rokoegatsu 2604 atau tanggal 28 Juni 1944.

Di suatu siang kendaraan truk tertutup kain terpal berhenti di depan Istana Raja Mempawah. Serdadu bersepatu selutut dan topi yang berjumbai ke belakang serta pinggang yang digelayuti "samurai" turun terburu-buru menuju Istana.

Dengan alasan mengajak berunding, serdadu "Dai Nippon" itupun menciduk Raja Mempawah. Kemudian menangkap pula Panangian Harahap dan Gusti Djafar, teman baik sang Raja. 

Mereka bertiga dengan tangan terikat diberi sungkup kepala terbuat dari bakul pandan, lalu digiring ke atas truk yang sudah menunggu dari tadi. Serdadu yang lain dengan cekatan menempeli istana dan rumah kedua sahabat raja dengan plakat bertuliskan huruf kanji. 
Bunyinya "Warui Hito" yang artinga orang jahat.

Keganasan Jepang


Ternyata saat itu tak cuma di rumah itu saja yang ditempeli. 
Banyak sekali rumah-rumah di wilayah Kalbar yang di atas pintunya tertempel "Warui Hito". Kalau sudah begitu, penghuninya tak akan kedatangan tamu lagi, karena sudah dicap jahat.

Masyarakat umum pun tak berani bertandang ke situ. 
Sebab mereka tahu betul, jika berani mendekat apalagi bertamu, berarti tak lama lagi rumahnya bakal ditempeli dan dirinya disungkupi untuk dinaikkan ke atas truk pula.

Sehingga terjadilah apa yang dikenal dengan "Oto Sungkup". Mereka ditangkap dengan disungkup bakul, dibawa ke tempat pembantaian yang sekarang dinamakan Makam Juang Mandor.

Setibanya di Mandor, mereka yang ditangkap diturunkan dari truk dan disuruh menggali sendiri lubang tempat mereka bakal dikuburkan. 
Setelah lubang tersedia barulah Tentara Jepang dengan tanpa perikemanusiaan menyiksa dan memancung satu per satu leher korban dengan pedang samurainya. 
Sehingga terjadilah peristiwa yang dikenal dengan "Mandor Bersimbah Darah". Sungguh mengenaskan, badan yang terkubur terpisah dari kepala.

Pembantaian sadis seperti itu terus berlanjut hingga tahun 1945, tentara pendudukan Jepang tak kenal kompromi terus menangkap dan membunuh rakyat Kalbar yang dianggap pembangkang dengan dalih ingin mendirikan negara Borneo Barat dari penjajahan.

Saksi mata TNR Simorangkir yang pada saat itu pegawai kantor pendaftaran tanah di kota Mempawah Kabupaten Pontianak mengisahkan pengalamannya.

Waktu itu tahun menunjukkan pada angka 1945, meski kalah populer dengan tahun "Teno Heika" Jepang 2605. Rupanya angka 45 menjadi pedoman pengisian tawanan ke dalam truk sungkup. Jumlah 45 orang agaknya dijadikan target korban yang ternyata dibawa ke daerah Mandor.

Suatu saat cerita Simorangkir, melihat ada dua truk yang berhenti di depan penjara Mempawah. Sebuah truk diantaranya sudah tertutup rapat dengan terpal. Dua serdadu Jepang dengan samurai melintang di badan bersiaga duduk di kursi rotan yang diletakkan di atas terpal yang menutupi tumpukan manusia.

Sementara truk yang satu masih belum tertutup rapat, mungkin belum memenuhi target 45. Tanpa diduga, seorang serdadu Jepang memanggil Simorangkir dan Djafar yang kebetulan berada tak jauh dari penjara untuk segera naik ke atas truk.
 Mereka berdua tak tahu kalau isi truk tadi adalah calon-calon mayat.

Namun tak disangka, keajaiban tiba-tiba muncul. 
Seorang serdadu Jepang lainnya melihat Simorangkir dan Djafar naik ke truk bukan dari dalam penjara, memerintahkannya supaya turun lagi dan segera pulang. Sebagai gantinya, serdadu itu memanggil dua anggota polisi yang sedang berjaga-jaga di mulut jalan raya untuk naik ke truk. 

Agaknya kedua polisi yang juga putra bangsa itu tak tahu dirinya dijadikan alat pemenuh target 45 "Warui Hito", truk itu pun segera ditutup terpal rapat-rapat dan berjalan beriringan.

Konon, ada saja tahanan yang dapat meloncat dari dalam truk guna menyelamatkan diri. Namun serdadu yang berjaga di truk tak berusaha mengejarnya. Tapi dengan santai meski bertampang garang, dia menjemput korban penggantinya, rakyat yang ditemui di sepanjang perjalanan menuju Mandor. Asal di dalam truk tetap berisi 45 orang.


Menurut para ahli-ahli sejarah, yang bertanggung jawab atas aksi pembantaian masal ini adalah   Syuutizitiyo Minseibu.
Secara garis besar, korban - korban pembantaian Jepang saat itu yang juga termasuk beberapa tokoh penting di Kalimantan Barat adalah :

1. Sultan - Sultan Pontinak beserta anak menantunya
2. Panembahan Sanggau Ade Muhammad Ari
3. Pangeran Adipati
4. Pangeran Agung
5. JE. Patiasina
6. Panembahan Ketapang Gusti Sauna
7. Panembahan Sintang Raden Abdullah Daru Perdana
8. Panembahan Ngabang Gusti Abdul Hamid
9. Tokoh Tionghoa : Tjhai Pin Bin, Tjong Tjok Men dan Thai Sung Hian.
10. dan tentunya rakyat-rakyat sipil yang tidak berdosa.

Alasan Jepang Melakukan Pembantaian

Sebenarnya pembantaian yang dilakukan Jepang di Kalimantan Barat tersebut memang mempunyai suatu maksud. Kalimantan Barat sendiri mempunyai lokasi yang strategis dan hanya mempunyai penduduk sekitar satu setengah juta jiwa.
 Selain itu Kalimantan Barat sendiri mempunyai wilayah yang sangat luas yaitu satu setengah kali luas pulau Jawa ditambah Madura dan Bali. Kalimantan sendiri pada waktu itu akan dijadikan seperti Manchuria dan Korea kedua.

Pada waktu itu di Kalimantan Barat, semua orang yang berumur dua belas tahun ke atas semuanya akan dibunuh habis. Generasi sisanya sampai kanak-kanak akan dididik dengan ala Jepang ditambah dengan orang-orang jepang yang akan didatangkan nantinya sebagai transmigrasi. 
Maka jadilah Kalimantan barat lima puluh tahun mendatang sebagai “ Jepang beneran” dan itu merupakan rencana militer Jepang. Itulah sebabnya mengapa banyak kaum intelektual yang dibunuh pada saat pembantaian di kota Mandor tersebut.

Peristiwa Pembantaian Jepang di Kalbar
dikenal dengan peristiwa "Mandor"



Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, 
Raja Pontianak ke VI.
( satu diantara puluhan ribu korban pembantaian jepang)


I. Kerabat Sultan Syarif Muhammad Al Qadri


Syarif Muhammad Alqadrie, lahir di Pontianak 8 Januari 1872. Putera tertua Sultan Syarif Yusuf Alqadrie dan Syarifah Zahra Alqadrie ini dilantik sebagai Sultan Pontianak Keenam pada  6 Agustus 1895 ketika ia masih berumur 23 tahun.


 Sultan Syarif Muhammad Al Qadri menikahi  10 orang wanita yang dijadikan istrinya  dan dikaruniai 13 putra dan putri sebagai berikut. 

Adapun istri sultan adalah :

1.Syarifah Telaha Al Qadri tidak dikaruniai anak, 


2.Syarifah Zubaidah Al Qadri tidak dikaruniai anak,


3.Hajjah Syarifah Aminah (dari Brunei) dikaruniai 4 orang anak yaitu,:

3.1.Syarifah Maimunah gelar Ratu Kusumayudha,
3.2.Syarif Abdul Muthalib gelar Pangeran Muda, 
3.3.Syarif Usman gelar Pangeran Muda dan
3.4.Syarifah Chadijah gelar Ratu Perbuwijaya.


4.Syarifah Zubaidah Al Qadri gelar Maharatu Besar Permaisuri dikaruniai dua anak,yaitu: 

4.1.Syarifah Fatimah gelar Ratu Anum Bendahara dan
4.2.Syarifah Maryam gelar Ratu Laksamana Sri Negara,

5.dari istrinya Syecha Jamillah Syarwani (ibunya dari Turki) dikaruniai 6 anak yaituL

5.1.Syarif Hamid Al Qadri dikenal dengan Max Al Qadrie 
(kelak Sultan Hamid II)
5.2.Syarif Mahmud gelar Pangeran Agung Srimaharaja
5.3.Syarifah Salmah gelar Fahmud, 
5.4.Syarifah Rahmah,
5.5.Syarif Hasyim dan
5.6. Syarif Abdurrachman.

6.Dari istrinya Syarifah Maryam Assagaf Ratu Seberang tidak dikaruniai anak,


7.Encik Entin dikaruniai seorang anak 

7.1.Tengku Mahmud Al Qadri, 


8.Encik Timah tidak dikaruniai anak, 


9.Daeng Kadariyah tidak dikaruniai anak, 


10.dan Daeng Selma tidak dikaruniai anak.





II. Kesultanan Pontianak  zaman Belanda 


Enam belas tahun kekuasaannya, 23 Juni 1911,:  

Belanda memaksakan perjanjian baru kepada Muhammad yang dilaksanakan 26 Maret 1912. 

Perjanjian ini tidak lain menghancurkan martabat atau marwah (dignity) kesultanan dan rakyat Pontianak, karena para anggota kesultanan dianggap sebagai pegawai rendahan pemerintah Hindia Belanda. 

Apapun bentuknya, penjajahan adalah penghancuran martabat dan hak-hak asasi manusia. Meskipun kekuasaannya secara de jure berkurang dan harga diri kesultanan semakin direndahkan Belanda, namun kewibawaan dan pengaruh Sultan Muhammad tetap diakui di hati rakyat.

 Hal ini antara lain disebabkan pergerakan nasional dan moderenisasi di bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik, seperti pendirian yayasan perguruan / pendidikan,  kesehatan, kebudayaa dan kesenian,

 serta organisasi social dan politik, dilaksanakan oleh sultan sendiri, kerabat kesultanan, tokoh masyarakat, yayasan/organisasi Islam, misi Katolik, zending Protestan, dan sebagainya.

 Kesemua ini telah mendukung peran dan otoritas sultan yang menyebabkan antara lain masa kekuasaan Sultan Muhammad  merupakan masa pemerintahan terpanjang, 49 tahun, dibanding dengan masa pemerintahan enam sultan lainnya di kesultanan ini.


Sultan Syarif Muhammad, yang memerintah dalam dua zaman, Belanda dan Jepang, telah mendorong terjadinya banyak perubahan di Pontianak. Dalam bidang sosial, ia pertama kali berpakaian kebesaran Eropah sebagai pakaian resmi disamping pakaian Melayu dan mendorong berkembangnya pendidikan dan kesehatan.


 Di bidang ekonomi, ia melaksanakan perdagangan dengan dalam dan luar negeri seperti dengan Kerajaan Riau, Palembang, Batavia, Banten, Demak, Banjarmasin, Singapura, Johor, Malaka, Hongkong, dan India.


 Ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropah dan Cina. Khususnya di sektor pertanian dan industri, Sultan Muhammd mendorong petani Melayu, Bugis, Banjar dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa dan kopra serta industri minyak kelapa untuk diekspor ke luar negeri.


 Dalam bidang politik, ia memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi politik yang dilakukan baik oleh kerabat kesultanan maupun oleh tokoh-tokoh masyarakat lainya. Peranannya dan kegiatan masyarakat dalam kegiatan di bidang terakhir ini menyebabkan Sultan Muhammad dicurigai dan dibenci oleh dua pemerintahan Belanda dan Jepang.





Pada April 1942,:  Pergerakan Kemerdekaan zaman Jepang 


Sultan Syarif Muhammad Al Qadri mengundang para kepala swapraja di Istana Kadriyah Pontianak. Mereka berkumpul dan membahas situasi daerah yang semakin tidak menentu. Selanjutnya dirumuskan bahwa ketakutan, penderitaan dan kemelaratan dialami penduduk dapat diatasi jika pihak Jepang dapat diusir dari daerah Kalimantan Barat.


Penangkapan skala besar terjadi pada 24 Januari 1944

di Keraton Istana Kadriah Kesultanan Pontianak, Sultan Muhammad, kerabat kerajaan dan keluarga ditangkap oleh pasukan Kempeitai Jepang.

 Sultan Muhammad yang pada ketika itu baru saja selesai makan sehabis salat tahajud, diberitahu tentang apa yang sedang terjadi. “Tidak apa-apa, Jepang sedang mencari orang-orangnya,” ucap Sultan dengan tenangnya.


 Mungkin sesungguhnya kalimat itu masih akan berlanjut, tetapi keburu muncul tentara Jepang yang langsung menangkapnya. Semula Sultan akan diperlakukan juga seperti korban-korban lainnya. Tapi Sultan menolak dan dengan berwibawa berkata tidak akan lari.


Dengan senyum mengembang di wajahnya, Sultan berjalan dengan lancar menuju para serdadu yang telah menunggu di muka Istana. Dengan pakaian biasa serta sarung dan tasbih bergantung di lengannya, terucap salam dari mulut Sultan.


 Sesekali tangannya memberi isyarat sebagai respon dari ucapan salam yang dilontarkannya. Bahkan Sultan memutar-mutar tasbih di jari telunjuknya terus mengucap kalimat takbir, kalimat yang terlontar dari mulut  Sultan yang juga seorang ulama tersebut.


Peristiwa penangkapan Sultan Syarif Muhammad Al Qadri serta seluruh anak laki-lakinya juga seluruh menantunya—kecuali Syarif Hamid dan Syarif Ibrahim Al Qadri—dan keluarga kerajaan baik di dalam maupun di luar kompleks keraton berlangsung sampai pukul 03.00 subuh.




Tugu Peringatan ini hilang entah kemana



III. Korban Keganasan Jepang 


Keesokan harinya pada 25 Januari 1944

telah berkembang berita penangkapan sultan dan keluarganya, peristiwa penangkapan sultan serta pembesar kerajaan telah menggemparkan penduduk Pontianak, namun tak seorangpun berani bertanya karena takut ancaman kekejaman militer Kempeitai Jepang.


 Korban pembunuhan yang dilakukan militer Jepang terhadap sultan dan keluarganya di lingkungan Keraton Kadriah, para tokoh masyarakat, ulama dan cendekiawan menjadi perjalanan sejarah kelam bagi penduduk Pontianak khususnya, dan Kalimantan Barat umumnya, yang dikenal dengan Peristiwa Mandor Berdarah.


 Korban pembunuhan dalam lingkungan Keraton Kadriah Pontianak sedikitnya berjumlah 31 jiwa, sebagian menyebutkan 50 jiwa.


 Peristiwa tersebut sangat menyulitkan guna mencari calon pengganti sultan, karena baik para putra maupun keluarga terdekat ikut ditawan dan dibunuh.


Dua tahun kemudian tempat dimana jenazah Sultan Muhammad dikuburkan baru dapat ditemukan, dengan petunjuk dari seorang penggali kuburannya bernama Mat Kapang, yang selamat dari pembantaian Jepang.


Saat digali kembali, jasad Sultan yang shalih itu ditemukan dalam kondisi dibungkus karpet masih utuh seperti orang yang baru saja meninggal dunia. Bahkan, menurut kesaksian para penggali, pakaian dan tasbihnya pun masih tampak bagus. Jasad Sultan Syarif Muhammad Alkadrie kemudian dimakamkan kembali di makam para sultan Pontianak di Batulayang.


Innalillah wa ina ilaihi rajiun, ......




Selain tanggal 10 November masyarakat Kalimantan Barat secara khusus juga memiliki hari khusus untuk memperingati jasa-jasa para pejuang yakni pada tanggal 28 Juni, untuk memperingati dan mengenangkan jasa-jasa dan pengorbanan 21.037 korban Tragedi Mandor, yang jumlah tersebut ditolak oleh Jepang dan menganggap hanya membunuh 1000 orang saja. 


Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor yang menetapkan 28 Juni Sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat. Masyarakat kalimantan Barat memperingatinya dengan memasang bendera setengah tiang di halaman rumah maupun halaman kantor pemerintahan dan swasta.


 Selain itu melalui Pergub Nomor 3 Tahun 2011 mengatur bahwa lokasi peringatan Hari Berkabung Daerah Tingkat Provinsi dilaksanakan di Makam Juang Mandor, Kecamatan Mandor Kabupaten Landak, sedangkan untuk tingkat pemerintah kota ataupun kabupaten, peringatan dilaksanakan di wilayah masing-masing.

Allahyarham Sultan Syarif Muhammad Al Qadri


Peristiwa Mandor sendiri adalah sebuah peristiwa pembantaian massal yang dilakukan oleh tentara-tentara Jepang, Peristiwa ini juga dikenal dengan istilah sungkup oleh masyarakat Kalimantan Barat, yakni kepala para korban keganasan penjajahan Jepang ini ditutupi menggunakan karung dan digiring ke Mandor sebelum di eksekusi dengan cara ditembak atau dipancung. 


Peristiwa ini terjadi antara September 1943 dan awal 1944, dan 28 Juni 1944 merupakan hari pengeksekusian para korban yang telah ditangkap dan disungkup. Yang menjadi Korban dalam Peristiwa Mandor Berdarah ini adalah yang dianggap oleh pihak Jepang sebagai kaum cerdik pandai, cendikiawan, para raja, sultan, tokoh masyarakat, serta orang- Orang dari etnis lain nya, 


Tetapi miris, peristiwa yang meneteskan darah para Pahlawan bangsa ini seolah nyaris terlupakan, setiap 28 Juni masih banyak masyarakat yang tidak turut serta mengibarkan bendera setengah tiang untuk mengenangnya, bahkan ada yang lupa dan bertanya “ada apa bendera dikibarkan pada hari ini?” 


Selain itu bentuk penghargaan kepada para pejuang dalam peristiwa ini seperti penganugerahan gelar Pahlawan Nasional juga tak menyentuh 1 nama pun dari 21.037 orang tersebut. Darah mereka seperti sia-sia.

Sungguh penjajahan adalah suatu hal yang mengerikan dan jangan sampai dilakukan oleh bangsa manapun di dunia, Peristiwa Mandor adalah salah satu contohnya, peristiwa Genosida atau pembantaian suatu etnis, atau kaum/bangsa.

Selain Peristiwa Mandor bukan satu-satunya peristiwa atau usaha pergerakan dan perlawanan Bangsa Indonesia di Kalimantan Barat, Masyarakat Kalimantan Barat juga mengenal nama-nama seperti Pangsuma yang merupakan Pejuang Kemerdekaan yang berjuang di daerah Meliau Kabupaten Sanggau, 


Sultan Hamid II yang merupakan perancang lambang negara ini, serta nama-nama seperdi Djeranding, Gusti Sulung Lelanang. Gusti Hamzah, M. Sood, Gusti Situt Mahmud, dan lainnya yang terkenal dengan istilah Digulis, pejuang dari Kalbar yang turut serta di buang ke Boven Didul. 


Namun nama-nama diatas belumlah dikenal bangsa ini, darah dan perjuangan mereka bahkan belum dianggap pantas untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Negara ini. 


Menurut catatan saya Provinsi Kalimantan Barat hanya mencatatkan Satu orang Pahlawan Nasional yakni Abdul Kadir Gelar Raden Temenggung Setia Pahlawan, yang berasal dari Kabupaten Sintang. Apakah Kalimantan Barat tidak turut berjuang dalam upaya meraih kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Namun berbagai catatan sejarah sudah seharus nya dijadikan oleh anak bangsa terutama kita yang ada pada saat ini agar dapat mengenang jasa-jasa mereka yang mempertaruhkan segalanya demi kemerdekaan bangsa ini, serta dapat menjadi contoh serta teladan agar bersemangat dalam upaya mengisi kemerdekaan yang telah dicapai dengan susah payah ini.