Jumat, 22 Juli 2022

SEGERAM : KAMPUNG TUA BERTUAH !

 By : SAY Qadrie

Melacak akar sejarah Segeram :  Bagian Pertama


Pejuang Peradaban Kampung Segeram Natuna KEPPRI
Heru Diwan Arpas
Kontak Person : 0812 7004 0598
Ketua RW Kampung Segeram



Melacak Akar Sejarah Segeram : 

Lintasan Sejarah Segeram

Rekonstruksi Peradaban Awal Segeram 


Segeram yang semakin terancam peradaban dan masyarakatnya dari kepunahan, layak mendapatkan perhatian serius dari mereka para pemangku kepentingan di Natuna saat ini.


Mengapa Segeram? : Karena Natuna ada, bermula di Segeram


Segeram diperkirakan sudah mulai disinggahi para pelayar sejak abad ke 7, zaman jalur sutra Tiongkok. Selanjutnya era kerajaan dan Kesultanan Nusantara, era ekpansi Barat, dan era kemerdekan yang baru sekitar 70 tahun lampau,


Letak Segeram yang sangat strategis menjadikan landasan fikir bahwa Segeram memang layak menjadi motto " Laut Sakti Rantau Bertuah" karena Natuna  adalah nama lain dari Bunguran Besar, dan pulau disekitarnya dalam catatan tua dikenal sebagai " Pulau Tujuh" 


Sebelah barat Segeram dulu dikenal dengan Melaka, Temasek, Tanah Melayu, dan negeri Melayu. Dalam berbagai pelayaran, diperkirakan mereka singgah di Segeram, sejak abad ke 7 , itulah kenapa Natuna mendapat julukan " Pintu Gerbang Asia Tenggara" 



Woderful Natuna



Inilah sejarah Segeram dalam lintasan jalur pelayaran dunia,

 

I. Segeram zaman :  I "Tsing   tahun 671 - 685 M  - Jalur Sutra Tiongkok kuno


Catatan I Tsing menyebutkan :


I.1. Pelayaran Tahun 671 M :  

   

     Diceritakannya sendiri, dengan terjemahan sebagai Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 M 


  “Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan .... Setelah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya.


    Di sana saya berdiam selama enam bulan untuk belajar Sabdawidya. Sri Baginda sangat baik kepada saya. Dia menolong mengirimkan saya ke negeri Malayu, di mana saya singgah selama dua bulan.


 Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah .... 

   Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) .... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti   (pantai timur India)”



I.2. Pelayaran Tahun 685  :  


       Dalam perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut:

     “Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Tiongkok. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua .... 


Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan.


   Setelah kira-kira sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya.


    Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”


  Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut penduduk di Kerajaan Melayu.


  Pendapat Prof. Slamet Muljana, istilah "Malayu berasal dari kata Malaya" yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “Bukit”. Orang Melayu Orang Bukit 



Wisata Sejarah ke Segeram 



II. Segeram zaman : Kesultanan Melayu


   Raja dan Kesultanan Se Zaman dari abad ke 16 hingga abad ke 19 dan hubungan mereka dengan Segeram masa lampau. Kesultanan Melayu ini menjadi penting karena 90 % penduduk Natuna sekarang dari suku Melayu. 


     Pertanyaan  kita dari manakah asal muasal mereka? Kelompok manakah yang pertama menetap dan bermukim di Segeram? Kapan dan bilakah mulai adanya peradaban  di Segeram ? 


   Melacak akar sejarah ini dapat dikaitkan dengan bukti berupa makam dan kuburan tua yang ada di Segeram saat ini, sebagai bukti adanya kehidupan di zaman itu, 

 


II.1. Kesultanan Deli    :    1761–1873


1. Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761–1805)

2. Sultan Amaluddin Mangendar (1805–1850)

3. Sultan Osman Perkasa Alam Shah (1850–1858)

4. Sultan Mahmud Al Rashid Perkasa Alamsyah (1858–1873),  


   Hingga masa kekuasaan Sultan Mahmud, tidak ditemukan catatan bahwa kesultanan Deli pernah mengirimkan pasukan atau membuang putrinya yang menderita suatu penyakit sebagaimana oral history yang ada saat ini di Segeram, sehingga disimpulkan bahwa riwayat itu, bukan dari kesultanan Deli. 



II.2. Kesultanan Jambi  :  1616 - 1906 M


    Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Melayu, dan kemudian menjadi bagian dari pendudukan wilayah Sriwijaya yang berpusat di Palembang.


      Pada akhir abad ke-14 Jambi merupakan vasal Majapahit, dan pengaruh Jawa masih terus mewarnai kesultanan Jambi selama abad ke-17 dan ke-18.

 

   Berdirinya kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di wilayah Jambi.


   Pada 1616 Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di Sumatra setelah Aceh, dan pada 1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan Palembang. 


Namun kejayaan Jambi tidak berumur panjang.


  Mukti Zubir (1987:29-30) menyatakan bahwa Sultan Abdul Kahar-lah yang pertama menggunakan gelar Sultan di Jambi dan mengubahnya menjadi kesultanan.


    Meski kerap dilansir, Arifullah (2015:130) menuturkan bahwa pernyataan tersebut tidak dapat dipastikan, karena pengaruh Islam telah ada sejak masa Orang Kaya Hitam dan kapan Jambi "resmi" menjadi kesultanan Islam sangat bergantung dengan pendapat modern.


   Andaya (1993:59, 102, 315) mencatat bahwa Panembahan Kota Baru memerintah bersama putra mahkotanya hingga keduanya meninggal pada tahun 1630, namun ia tidak mencatat bahwa sang putra pernah memerintah sendiri atau dinobatkan sebagai Sultan. Menurut Andaya, cucu Panembahan Kota Baru-lah yang pertama kali memakai gelar Sultan pada tahun 1669.


   Tahun 1680-an Jambi kehilangan kedudukan sebagai pelabuhan lada utama, setelah perang dengan Johor dan konflik internal.

 

     Setelah Istana Tanah Pilih Kota Jambi di hancurkan Belanda, dan Sultan Thaha mundur ke pedalaman Jambi. Oleh kerabat kerajaan Jambi dipilih lah Pangeran Singkat Lengan menjadi Sultan menggantikan Thaha dengan gelar Sultan Ahmad Nazaruddin.


     Masa itu kesultanan Jambi masih mengendalikan Ibukota (Kota Jambi) namun Sultan Ahmad Nazaruddin tinggal di Dusun Tengah, tiga atau empat hari perjalanan dari Ibukota, di sebuah rumah sederhana dari papan.


      Pada tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha, sultan yang terakhir, menyerah kepada Belanda. Jambi kemudian digabungkan dengan keresidenan Palembang.


     Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906.  Pangeran Ratu Jayaningrat bergelar  : - masa kekuasaan 1855 – 1858 - Sultan Thaha Syaifuddin Agung Sri Ingalaga Pangeran Ratu Jayaningrat, merupakan Sultan terakhir yang bertahta, 

Sebelum ditaklukkan dan dibubarkan. 


  Dari Kesultanan ini juga tak ditemukan cerita tentang putri yang dibuang kemudian menetap di Segeram itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa sang putri bukan dari kesultanan Jambi. 



Masjid Agung Natuna Timur di Ranai
Hanya berjarak 100 Km dari Segeram


II.3. Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga  : 1528-1824 M


          1761-1812 :   Sultan Mahmud Syah lll :  

          Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl  (1761-1812),

 

 Pada : 10 Agustus 1511  : Melaka ditundukkan Portugis


     Sesudah Malaka sebagai ibu kota kerajaan Malaka diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque pada tanggal 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511,


      Sultan Mahmud Syah (Sultan terakhir Malaka dan Sultan pertama Johor-Riau) beserta pengikutnya melarikan diri ke Johor, kemudian ke Bintan dan mendirikan ibukota baru.


     Pada puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakup wilayah Johor sekarang, Pahang, Selangor, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi. 


Pada tahun 1526   : Bintan di bumi hanguskan Portugis


    Tetapi pada tahun 1526 Portugis berhasil membumi hanguskan Bintan, dan Sultan Mahmud Syah kemudian mundur ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian dan digelar Marhum Kampar,


      Beliau kemudian digantikan oleh putranya bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II sebagai Sultan Johor-Riau ke ll. Putra Sultan Mahmud Syah yang lainnya Muzaffar Syah, kemudian menjadi Sultan Perak.


      Kerajaan Johor-Riau mulai mengalami kemunduran pada tahun 1812 setelah wafatnya Sultan Mahmud Syah lll Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl,


Sebelumnya Riau Lingga merupakan wilayah dari Kerajaan Johor-Riau atau juga dikenal "Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga" yang berdiri sekitar tahun 1528-1824 M yang merupakan penerus dari Kerajaan Malaka, 


      Melaka Runtuh pada 1511 M  oleh campur tangan Portugis "Alfonso de Alburquerque " nantinya jadi rebutan Inggris dan Belanda. 


 

Tahun 1824  : Traktat London dan  

Pecahnya kerajaan  Johor -Pahang - Riau- Lingga


    Pada tahun 1824 Belanda dan Inggris menyetujui Perjanjian Traktat London, yang isinya bahwa semenanjung Malaya merupakan dalam pengaruh Inggris Sementara, Sumatra serta pulau-pulau disekitar nya merupakan dalam pengaruh Belanda.


    Terbentuknya Kerajaan Riau Lingga diakibatkan perebutan kekuasaan antara kedua putra Raja Johor-Riau dan pengaruh Belanda-Inggris,

 

      Hal ini disebabkan oleh perebutan kekuasaan antara dua putra sultan,

           Yaitu antara : Tengku Hussain/ Tengku Long,  dengan :  Tengku Abdul Rahman.

         Dalam sengketa yang timbul, Inggris mendukung putra tertua Tengku Hussain, sedangkan Belanda mendukung Sultan Abdul Rahman.


       Ketika putra tertua Sultan Mahmud Syah lll yaitu Tengku Hussain/Tengku Long sedang berada di Pahang, dengan tidak diduga pada tanggal 12 januari 1812 Sultan Mahmud Syah lll mangkat.


      Menurut adat istiadat di Istana, seseorang pangeran Raja hanya bisa menjadi Sultan sekiranya dia berada di samping Sultan ketika mangkat, oleh karena itu Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVll ,


    Meneruskan tahta Sultan Mahmud Syah lll menggantikan saudara tertuanya Tengku Hussain/Tengku Long yang ketika Sultan Mahmud Syah mangkat dan dimakamkan di Daik Lingga,:  Tengku Hussain masih berada di Pahang.




Wonderful Natuna
Budaya, Adat, Istiadat Melayu Natuna



Kerajaan Johor-Riau, 

Akhirnya pada tahun 1824  terbagi menjadi 2 Kerajaan

 

 II.4. Kerajaan Riau Lingga : 1828 -  1911 -   Dikuasai Belanda 1913 

 

       Kerajaan Riau Lingga adalah sebuah kerajaan Islam di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1828 M hingga 1911 M. Kerajaan ini merupakan pecahan dari kerajaan Johor - Riau lama, dan kelanjutan dari keturunan kerajaan Melaka yang dimusnahkan Portugis.


    Kerajaan ini mencapai puncak keemasan nya pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah.ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga  ke lV, 

         Memerintah dari tahun 1857 hingga 1883 M. 


  (Perhatikan : Beliau Naik tahta bersamaan dengan tahun wafat nya Panglima Hitam Paku Alam di Kampung Segeram Natuna Pulau Tujuh, 1857 M ) 


       Wilayahnya meliputi Provinsi Kepulauan Riau sekarang, tetapi tidak termasuk Provinsi Riau yang didominasi oleh Kerajaan Siak yang sebelumnya telah memisahkan diri dari Kerajaan Johor - Riau.

 


 II.4.1. Kerajaan Pertama  :  Kerajaan Johor    1761-1812 - 1819-1835

          Berkedudukan di Singapura 

      Dengan raja pertamanya Tengku Hussain bergelar Sultan Hussain Syah (1819-1835) putra tertua Sultan Mahmud Syah lll Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl  ( 1761-1812 ),

 


II.4.2. Kerajaan Kedua : Kerajaan Riau Lingga   1812 - 1832

         Berkedudukan di Daik Lingga

         Bergelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke l (1812-1832). Se zaman dengan masa hidup Panglima Hitam Paku Alam di Segeram Natuna. 


    Beliau, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan besar Johor Pahang Riau Lingga ke XVll yang merupakan adik Tengku Hussain, menjadi Sultan pertama Kerajaan Riau Lingga bergelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke l (1812-1832).


   Tahun 1857 - 1858  :  Pada masa pemerintahannya Kerajaan Riau Lingga mencapai puncak kejayaannya, Yang Dipertuan Muda saat itu adalah Yamtuan lX Raja Haji Abdullah (1857-1858). 

---  Ketr : Ketika Raja Haji Abdullah bertahta, Syarif Ibrahim Panglima Hitam Paku Alam di Segeram, sudah wafat. Peradaban Segeram diteruskan oleh saudara dan keponakan beliau ,----

    Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll adalah putra almarhum Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah dengan permaisuri nya Cek Nora (keturunan Belanda). Memerintah di Daik Lingga pada tahun 1857 hingga 1883.



Makam di Pulau Penyengat
Beda nasib dengan makam di Segeram 



Memerintah di pulau Penyengat.


    Tahun 1858-1899 Dilantik oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV, dan Yamtuan X Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi (1858-1899) juga Memerintah di pulau Penyengat, digelar Marhum Damnah, mangkat di Daik Lingga


      Tahun 1883-1885 MDan pada masa pemerintahan Tengku Embung Fatimah (1883-1885) menggantikan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll, Daik Lingga semakin berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan dengan banyaknya pendatang-pendatang dari Sulawesi, Kalimantan, Siak, Pahang, Bangka, Belitung, Cina, Padang dan sebagai nya ke Daik.


      Keadaan ini menyebabkan Belanda kuatir jika Kerajaan Riau Lingga menyusun kekuatan baru untuk menantang Belanda, oleh karena itu Belanda menetapkan Asisten Residen di Tanjung Buton (sebuah pelabuhan berhadapan dengan pulau Mepar, sekitar 6 Km dari pusat Kerajaan Riau Lingga).


     Tahun 1885-1911 M :  Pada tanggal 18 Mei 1905 Belanda membuat perjanjian baru yang antara lain berisikan bahwa Belanda membatasi kekuasaan Kerajaan Riau Lingga dan mewajibkan Bendera Belanda harus di pasangkan lebih tinggi daripada Bendera Kerajaan Riau Lingga. 


   Perjanjian ini dibuat Karena Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke Vl (1885-1911) saat itu terang-terangan menantang Belanda.

 

  Belanda memaksa Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll untuk menandatangani perjanjian tersebut, tetapi atas mufakat pembesar-pembesar Kerajaan seperti Engku Kelana, Raja Ali, Raja Hitam dan beberapa kerabat Sultan, maka Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll menolak menandatangani perjanjian tersebut.


Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll membuat persiapan dengan membentuk pasukan dibawah pimpinan Putra Mahkota, yaitu Tengku Umar/Tengku Besar.


   Febuari 1911 Sikap tegas Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll dan pembesar Kerajaan menantang Belanda menimbulkan amarah Belanda, maka pada bulan Febuari 1911, kapal-kapal Belanda mendekati pulau Penyengat pada pagi hari dan menurunkan ratusan orang serdadu untuk mengepung


   Istana di datangi Kontlir H.N Voematra dari Tanjung Pinang mengumumkan pemakzulan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll.


    Atas pertimbangan agar tidak terbunuh nya rakyat di pulau Penyengat, maka Sultan Abdul Rahman Syah ll beserta pembesar-pembesar Kerajaan Riau Lingga tidak melakukan perlawanan.


    Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Riau Lingga dan dimulailah kekuasaan Belanda di Riau Lingga. Pada tahun 1913 Belanda resmi memerintah langsung di Riau Lingga.

 


Kondisi makam tua pembuka negeri Natuna 
di Kampung Segeram Natuna
Merana dan terbiarkan

Tak adakah rasa terima kasih Kita 
Kepada Mereka ?


Bersambung ke : 

Klik >> Bagian Kedua 


 ===============

Khazanah Rujukan dan Bacaan : 

https://www.iphedia.com/2019/12/kerajaan-melayu-kerajaan-tertua-di.html

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/sejarah-kerajaan-riau-lingga-kepulauan-riau/

I Tsing atau I Ching (pinyin Yì Jìng) tahun 634-713 : Dari 2 buku , yakni Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) dan Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang).

 Sejarah Kerajaan Islam di Sumatera Pada gramedia.com diakses 19 Juni 2021

 Kerajaan Jambi, Kerajaan Islam yang dikhianati VOC Pada merdeka.com 24 Maret 2016

 Kesultanan Jambi: Sejarah, Wilayah, Dan Perkembangan Pada dgraft.com 28 Desember 2020

 Datuk Paduka Berhala Pangeran Turki Yang Mengislamkan Jambi Pada historyofcirebon 16 Oktober 2018

 Datuk Paduka Berhala, Anak Raja Turki yang Persunting Putri Pinang Masak Pada melayupedia.com 30 Desember 2021

 Sultan Thaha, Pejuang Jambi yang Tak Lelah Melawan Belanda Pada sindonews.com 6 Juli 2015

 Thaha Syaifuddin: Masa Muda, Kepemimpinan, dan Akhir Hidup Pada kompas.com 14 Juni 2021

 Orang Kayo Hitam, Penguasa Jambi yang Tak Bisa Ditaklukkan Raja Jawa Pada sindonews.com 29 Juni 2015.

 Kisah Orang Kayo Hitam dan Keris Siginjai yang Melegenda, Hingga Terbunuhnya Pembuat Keris Sakti Pada tribunnews.com 2 Januari 2019.

 Gallop 2019, hlm. 239.

 Andaya 1993, hlm. 318.

 Andaya 1993, hlm. 319.

 Andaya 1993, hlm. 322.

 Gallop 2019, hlm. 240.

 Andaya 1993, hlm. 315.

 Gallop 2019, hlm. 241.

 Gallop 2019, hlm. 242.

 Profil Pahlawan Nasional Sultan Thaha Syaifuddin di merdeka.com

 Gallop 2019, hlm. 243.

 Gallop 2019, hlm. 244.

 Sultan Thaha, Melawan Belanda hingga Darah Penghabisan Pada koransulindo.com 21 Juli 2020

 Raden Abdurrahman Dinobatkan Sebagai Sultan Jambi Pada kerajaannusantara.com 19 Maret 2019

 "Raden Abdurrahman, Cicit Sultan Thaha Meninggal Dunia dan Dimakamkan pada Makam Raja-raja". Tribunjambi.com. Diakses tanggal 2022-02-01.

Daftar Pustaka

Arifullah, Mohd. (2015). "Hegemoni Islam dalam Evolusi Epistemologi Budaya Melayu Jambi" (PDF). Kontekstualita. 30 (1): 124-137.

Andaya, Barbara Watson (1993). To Live as Brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries (dalam bahasa Inggris). University of Hawaii Press. ISBN 9780824814892.

Brown, Iem (2009). The Territories of Indonesia. London: Routledge. hlm. 268. ISBN 9781857432152.

Gallop, Annabel Teh (2019). Malay Seals from the Islamic World of Southeast Asia: content, form, context, catalogue (dalam bahasa Inggris). Lontar Foundation in association with British Library. ISBN 9789813250864.

Locher-Scholten, Elsbeth (2004). Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830–1907 (dalam bahasa Inggris). Cornell University Press. ISBN 9781501719387. Lihat pula edisi Bahasa Indonesia: Locher-Scholten, Elsbeth (2008). Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. KITLV. ISBN 9789791079150.

Janowski, Monica; Kerlogue, Fiona (2007). Kinship and Food in South East Asia. Copenhagen: NIAS Press. hlm. 68. ISBN 9788791114939.

Mukti, Zubir (1987). Sejarah Peranan Hukum Adat dan Adat Istiadat Jambi. Muara Bungo.