By : SAY Qadrie
Pustaka Sejarah Islam
"Sejak zaman Abbasiyah, jabatan Syarif atau Gubernur Mekah ini tidak lagi dipilih oleh Khalifah, tapi menjadi hak turun temurun keturunan Rasulullah SAW. Apapun khilafah nya, siapapun khalifah nya, semua sepakat untuk memberikan kehormatan ini pada keturunan Rasulullah SAW."
##, Kekuasaan terakhir Zuriah Nabi di tanah leluhurnya
Pasca wafatnya Rasullullah, Ali bin Abi Thalib mengambil tongkat estafet sebagai pemimpin keluarga Ahl Baith Nabi ini. Ali memakai jubah khalifah ke empat, hanya sekitar 5 tahun, Ali terbunuh ditangan Abdurrahman Ibnu Muljam, dan estafet dilanjutkan putra sulung Ali, : Hasan bin Ali.
Demi mempersatukan ummat Islam saat itu, Hasan bin Ali menanda - tangani perjanjian damai dengan gubernur Syam, Muawiyah bin Abu Sofyan, dan praktis sejak saat itu, ummat Islam dibawah kendali pemerintahan politik bani Umayyah yang disebutnya dengan "Ahl Sunnah Wal Jama"ah" sekitar 30 tahun setelah wafat nya Nabi Muhammad Rasullullah,(pada 8 Juni 632 M) mendekati abad ke 7 Masehi sekitar tahun 660 - 700 M.
Kekuasaan ini berlangsung selama 80 tahun, sebelum kemudian bani Umayah ditumbangkan oleh revolusi bani Abbas dipimpin Al - Shaffah, yang memegang kekuasaan politik selanjut nya, selama kurang lebih 400 tahun.
Sejak hari itu, kekuasaan menggelinding seperti bola panas, terlepas dari genggaman tangan dan menjauh dari Ahl Baith Nabi, dijadikan rebutan, berganti - ganti tuan, dari satu daulah ke daulah, dari satu penguasa ke penguasa, dan hanya tersisa fitnah bagi mereka.
Pada : 10 Mei 676 M, dari kalangan keluarga Ahl Baith Nabi ini, lahir tokoh besar bernama Muhammad bin Ali Zainal Abidin, dikenal dengan : "As Sayyid Syarif Al Allamah al arif billah al Qutub min itrati Rasulillah "al Imam Muhammad Al Baqir" , sang pemilah dan pembedah ilmu. ( lahir 10 Mei 676M /1 Rajab 57 H - wafat 28 Januari 733M) usia hidup 57 tahun, masa dimana Hadist belum dikodifikasikan saat itu.
Darah beliau bertemu pada kedua leluhur Ahl Baith Nabi,
Ayahnya Ali Zainal Abidin bin Husein, dan ibunya Fathimah binti Hasan.
Beliau merupakan Fukaha besar Madinah dan ayah dari Jafar bin Muhammad, dikenal dengan "Imam Jafar As Shadiq", - ( kelak menjadi maha guru dari ke 4 Imam Mazhab)- Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafi"i.
Beliau - beliau ini dari trah keturunan Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Zahra Fathimah binti Rasullullah, dan dikenal sebagai "Itrati Rasulillah"
Imam Muhammad Al Baqir
Merupakan tokoh ke ilmuan di zaman itu dan dijadikan rujukan hampir seluruh ulama dari seluruh dunia Islam pada zaman nya, hanya saja anehnya, tidak ditemukan Hadist yang riwayat nya diambil dari mereka ?
Demikianlah sejarah mencatat nya,
Alhasil, baru sekitar abad ke 9 menjelang abad ke 10, atau Pada sekitar tahun 967 atau abad pertengahan ke 9 masehi, keturunan Hasan bin Ali, baru kembali bangkit dan berkuasa di tanah Hijas dan Najd, Mekkah dan Madinah, secara turun temurun, dimana mereka kemudian di zaman kekaisaran Usmani Turki, ditunjuk sebagai Gubernur Ustmani.
Berikut data - datanya, urutan penguasa tanah Hijaz selama 1000 tahun :
Periode Tahun kekuasaan :
Abad ke 9
1. Muhammed Abu-Jafar Al-Thalab (The fox) (967–980).
2. Sharif Essa (980–994).
Abad ke 10
3. Sharif Abu Al-Futooh (994–1039).
4. Sharif Shukrul-Din (1039–1061).
5. Abul-Hashim ibn Muhammed (1061–1094).
Abad ke 11
6. Ibn Abul-Hashim Al-Thalab (1094–1101).
Abad ke 12
7. Qatada ibn Idris al-Alawi al-Hasani (1201–1220).
8. Ibn Qatada Al-Hashimi (1220–1241).
9. Al-Hassan Abul-Saad (1241–1254).
10. Muhammed abul-Nubaj (1254–1301).
Abad ke 13
11. Rumaitha Abul-Rada (1301–1346).
12. Aljan Abul-Sarjah (1346–1375).
Abad ke 14
13. Al-Hassan II (1394–1425).
14. Barakat I (1425–1455).
15. Malik ul-Adil ibn Muhammed ibn Barakat (1455–1497).
Abad ke 15
16. Barakat II bin Muhammed (Barakat Efendi) (1497–1525).
17. Muhammed Abul-Nubaj bin Barakat (1525–1583).
18. Al-Hassan bin Muhammad Abul-Nubaj (1583–1601).
Abad ke 16
19. Idris bin Al-Hassan (1601–1610).
20. Muhsin bin Hussein (1610–1628).
21. Ahmed bin Talib Al-Hasan (1628–1629).
22. Mas'ud bin Idris (Mas'ut Efendi) (1629–1630).
23. Abdullah bin Hassan (1630–1631).
24. Zeid bin Muhsin (1631–1666).
25. Sa'ad bin Zeid (1666–1667).
26. Muhsin bin Ahmed (1667–1668).
27. Sa'ad bin Zeid (1668–1670).
28. Homud bin Abdullah bin Al-Hasan (1670–1670).
29. Sa'ad bin Zeid (1670–1671).
30. Barakat bin Muhammed (1672–1682).
31. Said bin Barakat (1682–1683).
32. Ibrahim bin Muhammed (1683–1684).
33. Ahmed bin Zeid (1684–1688).
34. Ahmed bin Ghalib (1688–1689).
35. Muhsin bin Ahmed (1689–1691).
36. Said bin Sa'ad (1691–1693).
37. Sa'ad bin Zeid (1693–1694).
38. Abdullah bin Hashim (1694–1694).
Abad ke 17
39. Sa'ad bin Zeid (1694–1702).
40. Said bin Sa'ad (1702–1704).
41. Abdulmuhsin bin Ahmad (1704–1704).
42. Abdulkarim bin Muhammed (1704–1705).
43. Said bin Sa'ad (1705–1705)
44. Abdulkarim bin Muhammed (1705–1711).
45. Said bin Sa'ad (1711–1717).
46. Abdullah bin Said (1717–1718).
47. Ali bin Said (1718–1718).
48. Yahya bin Barakaat (1718–1719).
49. Mubarak bin Ahmad (1719–1722).
50. Barakaat bin Yahya (1722–1723).
51. Mubarak bin Ahmad (1723–1724).
52. Abdullah bin Said (1724–1731).
53. Muhammed bin Abdullah (1731–1732).
54. Mas'ud bin Said (1732–1733).
55. Muhammed bin Abdullah (1733–1734).
56. Mas'ud bin Said (1734–1759).
57. Ja'far bin Said (1759–1760).
58. Musa’ed bin Said (1760–1770).
59. Ahmad bin Said (1770–1770).
60. Abdullah bin Hussein (1770–1773).
61. Surour bin Musa’ed (1773–1788).
62. Abdulmuin bin Musa’ed (1788–1788).
Abad ke 18
63. Ghalib Efendi bin Musa’ed (1788–1803).
64. Yahya bin Surour (1803–1813).
65. Ghalib Efendi bin Musa’ed (1813–1827).
66. Abdulmutalib bin Ghalib (1827–1827).
67. Muhammed bin Abdulmuin (1827–1851).
68. Abdulmutalib bin Ghalib (1851–1856).
69. Muhammed bin Abdulmuin (1856–1858).
70. Abdullah Kamil Pasha (1858–1877).
71. Hussein bin Muhammed (1877–1880).
72. Abdulmutalib bin Ghalib (1880–1882).
Abad ke 19
73. Aun Al-Rafiq Pasha (1882–1905).
74. Ali Abdullah Pasha (1905–1908).
75. Hussein bin Ali Pasha (1908–1916).
76. Ali Haidar Pasha (1916–1917).
77. King Hussein bin Ali (1917–1924).
78. King Ali bin Hussein (1924–1925) >> TERPUTUS
BERPINDAHNYA KEKUASAAN AHL BAITH NABI
King Ali bin Hussein dikhianati oleh Ibnu Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab dari Najd (pendiri faham Wahabi Salafi). Keduanya bekerjasama dengan British (Inggris) dalam upaya perebutan kekuasaan.
Putra tertua Muhammad ibn Sa`ud, Abd al-Aziz ibn Sa`ud :
Dinikahkan dengan putri al-Wahab. Muhammad ibn Abd al-Wahhab mulai menyebarkan ajarannya di masyarakat Dir`iyyah dan yang malas mengikuti pengajiannya disuruh membayar denda atau mencukur jenggot. Dinasti Sa`ud-Wahhabi pun terbentuk, demikian pula dinasti yang nanti menjadi penguasa Sa`udi Arabia (Allen, 2006: 52). .
Peran seorang mata - mata Inggris, Hempher, terhadap Muhammad bin Abdul Wahab telah diberitakan pula dalam sebuah kitab berjudul
“Mir’at al-Haramain”, yang terbit kurang lebih 120 tahun yang lalu.
Dalam buku ini diberitakan bahwa pada 1125 H (1713 M), Muhammad bin Abdul Wahab bertemu Hempher di Basrah. Kemudian terjalinlah persahabatan di antara keduanya. Peran Hempher sangat besar dan vital dalam gerakan Muhammad bin Abdul Wahab pendiri faham Wahabi tersebut. Dan seterusnya. [Ayyub Sabri Pasya, Mir’at al-Haramain, Istanbul, terbit tahun 1888 M] .
Kemenangan Ibn Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab di jazirah Arab ini, membuat Kesultanan Ottoman Turki berubah menjadi dinasti Saud, dengan mengganti syariat islam dengan doktrin ajaran Wahabi yang tidak pernah di jalankan pada masa kesultanan Turki Usmani yang sah dan mengubah wilayah hijaz menjadi nama SAUDI ARABIA, di ambil dari nama Ibnu Saud.
BERDIRILAH negara wahabi pertama (1745-1818)
Namun gagal karna banyak pembela kesultanan yang sah memberontak.
Negara Wahhabi Saudi Kedua
Baru kemudian negara wahabi (Saudi) tahap ke kedua (1824-1891) berdiri berkat bantuan Inggris dan beberapa kelompok yahudi hingga sekarang.
Dengan banyak sekali penghancuran peradaban islam oleh wahabi salafi, yang menuai protes luas di seluruh penjuru dunia. Terputusnya kesultanan Turki Usmani yang sah ini, otomatis wilayah Hijaz dan Najd jatuh ketangan dinasti Ibnu Saud.
Sejak zaman kekuasaan bani Umayyah dan bani Abbasiyah, banyak kaum kerabat Ali bin Abi Thalib ini melakukan hijrah, keluar dari tanah leluhur mereka, Madinan Munawarah.
Keturunan ini menyebar keseluruh dunia, hingga hari ini.
Sebagian mereka menganggap tanah Yaman sebagai negeri leluhur mereka, karena Ahmad bin Isa Al Muhajir bersama sekitar 700 pengikutnya, berhijrah ke Husaisah, Yaman ketika itu.
Dengan berdirinya daulah Saudiah, praktis keturunan Alh Baith Nabi ini, kehilangan kontrol atas 2 tempat suci warisan datuk moyang mereka, Nabi Ibrahim dan Ismail, sebagai penjaga Ka"bah dan Baitul Haram turun temurun, sejak zaman Pra Islam, dari zaman Abdul Muthalib, hingga Abu Thalib.
Dan kekuasaan berpindah tangan kepada mereka yang memproklamirkan diri sebagai " Khadimul Haramain" penjaga dua tempat suci, Mekkah dan Madinah, hingga saat ini.
##, Sejarah singkat kekuasaan Syarif Mekkah keturunan Rasullullah
Pada sekitar abad ke 15, kesultanan Turki usmani, Sultan Selim.I. menaklukkan Kairo, yang saat itu diperintah Kesultanan Mamluk.
Setelah menaklukkan Mamluk, Selim.I, berencana menundukkan Mekkah dan Madinah, akan tetapi keturunan Syarif yang berkuasa, menyerahkan kunci gerbang kedua kota tersebut, dengan maksud menghindari pertumpahan darah.
Maka pada 29 Agustus 1517, :
Sultan Selim secara resmi dinyatakan sebagai khalifah oleh Syarif Makkah.
Dengan maksud kata ‘khalifah’ yang pada awalnya berarti pengganti, yaitu, pengganti Nabi Muhammad. Selain itu menjadi gelar khalifah akan menunjuk jabatan tertinggi dalam Islam. Dan selama berabad-abad sebutan khalifah itu itu disematkan atau dipegang oleh penguasa politik terkuat.
Terletak sekitar 45 mil dari pantai, kota Makkah adalah pusat perdagangan penting bagi Semenanjung Arab. Di bawah Ottoman, kota Makkah terus diperintah oleh berbagai sharif. Orang inilah yang memegang jabatan terftinggi di Makkah. Dia bertanggung jawab atas hukum dan ketertiban di kota-kota suci dan untuk keselamatan para peziarah.
Namun, sumber daya dan tenaga para Sharif tak dapat memenuhi semua kebutuhan kota Makkah. Maka di situlah khalifah masuk. Akibatnya, para Sultan Utsmani mengambil posisi khalifah dan sangat serius dan mempertahankannya. Bahkan menguasai tanah suci itu seperti layaknya 'Sharif' menjadi kebanggaan dan prestisenya.
Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Turki (memerintah 1520-1566) :
Ditemukan pula fakta bahwa fondasi posisi pendanaan yang dikelola para Syarif Makkah tidak cukup untuk memenuhi semua pengeluaran pemerintahan Makkah. Akibatmya di sana kemudian lebih banyak timbul organisasi yang bertujuan untuk memberikan bantuan.
Pada awalnya, Ottoman hanya peduli bahwa Makkah dan daerah di sekitarnya sebagai wilayah yang sepi dan terpencil. Selain itu pendapatan melalui pajak yang dikumpulkan selain kurang dan banyak yang digunakan tak sebagaimana mestinya. Tak ayal lagi, perhatian khusus Sultan Ottoman terhadap roda pemerintahan Syarif Makkah sempat goyah.
Ini makin terjadi pada abad ke-17 ketika Ottoman lebih asyik berseteru dengan Eropa. Alih-alih militer yang ditunjuk untuk bertanggung jawab terhadap keamanan Kota Makkah, diganti oleh Sultan Ottoman dengan menunjuk birokrat sipil untuk mengambil alih keadaan.
Namun, di atas segalanya, Sultan Ottoman tetap merasa bertanggung jawab atas segala perbaikan yang mungkin diperlukan di Makkah. Ini misalnya Sultan begitu perhatian pada keberaadaan Ka'bah dan tempat suci l lainnya. Dan bahkan makin penting karena tempat itu sering terkena banjir, gempa bumi, hingga kebakaran.
Misalnya pada bencana alam yang terjadi pada tahun 1626.
Kala itu terjadi hujan lebat dan banjir hingga sampai menyebabkan tiga dari empat dinding Ka'bah runtuh. Pada tahun berikutnya tempat suci ini oleh Sultan Ottoman dibangun kembali.
Tak dengan itu malah dia berusaha melakukan restorasi sekaligus membantu kelangsungan bangunan suci tersebut di masa depan. Berkat Sultan Ottoman saat itu di Ka’bah dipasang sebuah talang yang terbuat dari emas.
Dalam soal pengorganisasian ziarah tahunan penangannya pun juga jatuh ke tangan para Sultan Ottoman. Emir al-haji (komandan haji), biasanya seorang militer dari Ottoman. Dia ditunjuk untuk bertanggung jawab dan memastikan bahwa semuanya keperluan jamaah haji tersedia dan siap untuk dimuat dengan unta, kuda, dan bagal selama perjalanan ke Makkah.
Komandan haji ini akan dibekali hadiah dan uang (biasanya koin emas) yang akan dikirim Sultan ke Makkah.
Para wanita bertanggung jawab setiap tahun untuk menjahit dan menyulam kain sutra (kiswah) yang akan menutupi Ka'bah. Selain itu para wanita oleh Ottoman ditunjuk untuk membantu pelayanan akomodasi bagi par jamaah haji sebelum berangkat ke tanah suci. Mereka diberi tugas memasak.
Selain itu, selama ini para petugas haji ottoman yang berasal dari kaum wanita sudah punya tradisi bertugas menjahit kain kiswah Ka'bah.
Kain ini warnanya hitam dan terdiri atas sulaman dari benang emas. Tulisan itu kaligrafi di Kiswah dipilih dari ayat-ayat dalam Quran. Setelah selesai, kain kiswah itu akan ditempatkan dalam tas yang dihias dan dimuat oleh unta yang telah dipilih secara khusus untuk kehormatan membawa kain ke tersebut ke Makkah bersama rombongan jamaah haji ke Makkah.
Para peziarah haji yang bepergian dari İzmir, sisi kekaisaran Eropa dan orang-orang Uzbek dari Asia Tengah, akan bergabung dengan para jamaah yang pergi ke Makkah dari Istanbul. Karavan peziarah haji ini besar jumlahnya. Rombongan yang berangkat dari Üsküdar ini pergi dengan pengawalan yang ketat.
Bahkan diantar dengan upacara megah yang diadakan di Istana Topkapi. Sedangkan karavan haji yang lain, yang datang dari Timur, akan bergabung dengan jamaah haji yang datang dari Istanbul ketika sampai di Damaskus (Suriah).
Seorang penulis, Suraiya Faroqhi,
Dalam karyanya “Pilgrims and Sultans” mengisahkan bahwa pada akhir abad ke-16 itu paling tidak ada 60 ekor unta yang disisihkan untuk peziarah haji miskin. 20 ekor unta di antaranya dipakai untuk membawa makanan.
Unta unta tersebut juga disediakan untuk membawa tong air kalau-kalau air minum tidak dapat ditemukan di jalan.
Selain itu, pada abad ke-17 juga diketahui setidaknya ada 349 unta disisihkan untuk kepergian hajinya orang-orang berpengaruh dari Ottoman. Dan setiap kali kepergian mereka berhaji pasti selalu menjadi pemandangan yang sangat mengesankan karena ada upacara atau prosesi yang khusus dan megah.
Semua itu berarti Makkah itu memang sangat berarti bagi Kesultanan Turki Ottoman. Jejaknya pun masih ada hingga sekarang. Misalnya ada pada bangunan kanopi berwarna putih yang kini ada di pinggir tempat tawaf di Masjidil Haram.
Dan khusus untuk orang yang dipilih Sultan Ottoman menjadi Syarif Makkah adalah para keturinan nabi. Ini pun sudah terjadi ejak zaman Abbasiyah, jabatan Syarif atau Gubernur Mekah ini tidak lagi dipilih oleh Khalifah, tapi menjadi hak turun temurun keturunan Rasulullah SAW. Apapun khilafahnya, siapapun khalifahnya, semua sepakat untuk memberikan kehormatan ini pada keturunan Rasulullah SAW.
Namun ini semua ini berakhir pada tahun 1925 ketika keluarga Saud menganeksasi Hijaz dan mengusir bani Hasyim dari tanah Hijaz. Sejak saat itu, Bani Saud menguasai Mekah dan Madinah.
Tercatat Syarif Husain bin Ali ialah Syarif Makkah terakhir.
Dia diangkat diangkat pada 1908. Namun dari catatan Wikipedia, ia kemudian memberontak ( karena provokasi dan tipu daya agen Inggris & sekutu ) terhadap Kesultanan Ottoman pada Juni 1916 dikarenakan administrasi Turki Utsmani yang dianggap semakin nasionalis karena pengaruh gerakan revolusi Turki Muda .
Referensi :
Baca juga
2. Kerajaan Saudi dalam Kronologi
Dari berbagai sumber