Malapetaka Kalbar di Masa Pendudukan Jepang (1)
By : SAY Qadrie, Catatan Hitam Penjajahan
oleh admin | Okt 12, 2011 | Perjuangan
Sumber: Equator-news.com
Kota Pontianak dari waktu ke waktu
Kawasan sekitar Parit Besar
Duduk soal yang sebenarnya adalah serangan udara Jepang atas Kota Pontianak tanggal 19 Desember 1941, hari Jumat sekitar pukul 12.00. Pada tanggal 20 hingga 22 berikutnya serangan itu terjadi lagi di tempat-tempat lain di Kalimantan Barat, seperti Singkawang, Sanggau Ledo dan Mempawah, hanya untuk menyebutkan beberapa tempat.
Diantara serangan-serangan udara itu, serangan pada hari pertamalah (19 Desember 1941) yang paling banyak meminta korban. Dari situlah sebenarnya kisah harus dimulai. Akan tetapi bukan itu saja.
Pusat tumpuan dari sejarah pendudukan Jepang di daerah Kalimantan Barat adalah peristiwa pembunuhan besar-besaran pada pertengahan tahun 1944, karena sebagian besar kegiatan fisik dan non-fisik yang mengisi periode pendudukan Jepang itu bertumpu kepada, dan bersangkutpaut dengan peristiwa pembunuhan massal itu, baik prolog maupun epilognya, baik langsung maupun tak langsung.
Pelabuhan Pontianak
Oleh karena itu, dalam pengungkapan sejarah periode ini, peristiwa pembunuhan yang barangkali tiada duanya terjadi di tanah air itu, perlu diungkapkan dalam bentuknya yang utuh, lengkap dan benar. Fakta adanya pembunuhan massal itu sendiri tidaklah perlu kepada data pembuktian lagi. Peristiwa itu memang benar-benar terjadi. Dia bisa dibaca dalam surat kabar lokal Borneo Simbun yang terbit di Pontianak tanggal 1 Juli 1944, dia bisa ditanya kepada keluarga para korban dan masyarakat umum yang masih hidup, dan dia bisa dilihat dan diraba di pekuburan massal di Mandor.
Akan tetapi data dan pembuktian tentang sebab musababnya, hampir tiada. Sebab dia berkubur bersama beribu-ribu para korban perang yang sudah lebih dulu meninggal, dan dia hilang bersama lenyapnya orang-orang Jepang yang melakukannya. Satu hal yang jelas dalam masalah ini, ialah bahwa tidak mungkin dan tidak masuk akal, bahwa Jepang melakukan pembunuhan massal itu tanpa alasan dan tanpa motif sama sekali, seolah-olah mereka membunuh asal membunuh saja, apalagi bila yang dibunuh bukan sepuluh duapuluh orang, melainkan ribuan orang.
Pelabuhan dari kejauhan
Apabila ada pendapat yang meyakini, bahwa tidak ada komplotan untuk memberontak, seakan-akan komplotan pemberontak, seperti yang diungkapkan dalam surat kabar Borneo Simbun tanggal 1 Juli 1944 itu, hanya isapan jempol Jepang belaka, maka pendapat ini pasti tidak dapat menunjukkan bukti apapun tentang kebenarannya, sebab pada satu pihak tidak ada pengakuan Jepang sendiri yang menyatakan tidak adanya komplotan untuk memberontak, ataupun pengakuan Jepang tentang motif tindakan mereka yang mereka sembunyikan, sedangkan di pihak lain tidak ada pula seorang pun dari korban yang dibunuh oleh Jepang yang lolos dari hukuman dan memberikan keterangan tentang tidak adanya komplotan untuk memberontak. Karena itu dapat dikatakan, bahwa pendapat ini hanya berdasarkan kepada sangka-sangkaan saja, lebih dari itu tidak.
Salah satu sudut pasar kota Pontianak
Yang menyebabkan Jepang melakukan tindakan pembunuhan massal di daerah Kalimantan Barat pada pertengahan tahun 1944, ialah lantaran adanya gerakan ataupun komplotan untuk memberontak melawan Jepang, yang rencananya keburu diketahui dan segera ditumpas oleh penguasa perang Jepang. Komplotan pemberontak ini terdiri dari para pemimpin pergerakan dari golongan nasionalis dan Islam, antara lain Parindra dan Muhammadiyah, serta pemimpin-pemimpin dan pemuka-pemuka masyarakat lainnya secara perorangan (non-organisasi), kesemuanya dari kalangan yang bercita-cita kemerdekaan.
Yang menjadi penyebab dari gerakan atau komplotan pemberontak itu, ialah penindasan yang melewati batas dengan segala akibatnya dari penguasa perang Jepang di daerah Kalimantan Barat, yang mendorong dan memaksa pemimpin-pemimpin pergerakan kemerdekaan untuk melawan, penindasan mana tidak terjadi di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia seberat yang terjadi di daerah Kalimantan Barat, sehingga di daerah-daerah lain tidak terjadi pembunuhan massal seperti halnya terjadi di daerah Kalimantan Barat, dan bukannya lantaran kaum pergerakan kemerdekaan di Kalimantan Barat lebih unggul jiwa nasionalismenya daripada di daerah-daerah lain.
Keramaian Pasar
Adapun landasan yang menjiwai serta motif daripada gerakan atau komplotan pemberontakan di pihak kaum pergerakan kemerdekaan yang ditumpas oleh Jepang itu tidaklah lain daripada cita-cita kemerdekaan bangsa. Dan inilah titik sentral dari seluruh peristiwa sejarah pembunuhan massal di daerah Kalimantan Barat itu. Dalam pembunuhan massal itu dibunuh juga raja-raja dari 12 kerajaan di Kalimantan Barat, yang merupakan golongan tersendiri, yang lebih dekat dan dapat diafiliasikan kepada golongan nasionalis dan Islam yang pro-kemerdekaan.
Dalam pembunuhan massal itu turut pula terbunuh dalam penumpasan sekali sapu para pemuka dari golongan lain, yang tidak termasuk dalam golongan yang pro-kemerdekaan, tapi merupakan musuh juga bagi Jepang. Dalam pembunuhan massal itu dibunuh pula mereka dari golongan menengah, yang dianggap oleh Jepang sebagai satu lapisan masyarakat yang menjadi pengikut dan pendukung dari para pemimpin rakyat lapisan atas.
Orang mengatakan, bahwa setiap peperangan adalah suatu pernyataan keinginan dan ambisi politik dalam bentuk yang paling kasar. Kiranya begitulah sejak dahulu sampai sekarang. Serangan Jepang itu yang dalam waktu singkat disusul dengan penjajahannya atas Indonesia, digambarkan sebagai salah satu dari padanya. Langit yang cerah di pagi itu, 19 Desember 1941, bukannya tidak mengandung bahaya. Ia membawa pertanda kemalangan bagi korban-korban yang merintih kesakitan, ibu-ibu yang kehilangan suami dan anaknya.
Seluruh kota meratap karena kehilangan segalanya. Ketakutan dan panik meliputi seluruh kota. Melayang-layang di atas kota dalam suatu formasi seakan-akan sekumpulan elang yang terbang kadang-kadang meninggi, kadang-kadang menghunjam tajam karena melihat anak ayam di bawahnya, pilot-pilot pesawat terbang itu akan tersenyum-senyum jika mereka mendengar bahwa seorang secara tidak disadari, mengira, bahwa itu adalah pesawat-pesawat terbang yang sedang mengadakan latihan.
Kopol, Bahasa Pontianak menyebutnya
Yakin akan perkataan para pemimpin militer Hindia Belanda bahwa Indie tetap waspada, paraat, compact, intact, menghadapi setiap kemungkinan perang dengan Kerajaan Jepang. Anak-anak sekolah Kampung Bali menyaksikan latihan itu, bukanlah salah anak-anak kalau mereka itu percaya sungguh-sungguh bahwa itu adalah latihan. Manakala ada pemberitahuan dari petugas-petugas keamanan. Namun demikian, pemerintah Hindia Belanda tetap berkata “Wij zijn volkomen intact (kita sepenuhnya bersatu padu).” (bersambung)
Penulis: Syafaruddin Usman, MHD
Sumber: Equator-news.com
Selasa, 28 Juni 2011