Minggu, 10 April 2022

STARIF TUE, Loloan Bali, II : Komparasi Sejarah se zaman,

Bagian II. : Komparasi  Sejarah masa  hidup yang sezaman 

By: SAY Qadrie

Pustaka Sejarah






Bagian II. : Komparasi  Sejarah masa  hidup yang sezaman 


II.1. Sultan Pontianak dan Jembrana yang hidup se zaman dengan Syarif Tue


            Diatas sudah kita bahas, bahwa Syarif Tue, diperkirakan lahir di zaman akhir Sultan Abdurrahman berkuasa,  atau permulaan kekuasaan Sultan Kasim, 1808 – 1819,M, serta menginjak dewasa dimasa kekuasaan  Sultan Oesman,1819 – 1855;M.

Syarif Abdullah bin Yahya, diperkirakan lahir tahun 1802 M, dimasa Sultan Kasim bertahta hingga turun tahta pada tahun 1819 M, - saat itu beliau, baru berusia sekitar 17 tahun,-  


Zaman Rentang masa kekuasaan Sultan Oesman, : 


      Sultan Usman bertahta cukup panjang, sekitar 36 tahun : Sultan Usman, Lahir; 1777, dinobatkan sebagai putra Mahkota, Pangeran Ratu pada tahun 1788.  Naik Tahta di usia 31 tahun, setelah wafat saudara tertua nya pada 25 februari 1819.  ( bertahta : 1819-1855 M) 

     Inilah yang lebih tepat dianggap sezaman dengan masa Syarif Abdullah bin Yahya mengelana di lautan, beliau ber usia 17 tahun ( 1802 - 1819 ) - memasuki usia dewasa , ketika Sultan Usman naik Tahta,  

- Dalam pelayaran nya, Syarif Tue, singgah di Pulau Tujuh, Natuna sekarang, kemudian menjelajahi negeri - negeri Melayu bagian barat pulau Kalimantan, ke Trengganu, Kedah, Kelantan, Pahang, Negeri Sembilan, Melaka, dan Temasek ( Singapore sekarang ) serta negeri lainnya di tanah Melayu ini. 

      Karena banyak merugikan kepentingan penjajah, saat itu, khususnya di lautan, maka dalam pelayarannya nya ke arah timur, beliau kemudian masuk ke Kuala Perancak, guna menghindar  dari kejaran armada laut VOC zaman itu. 



Saat itu, beliau, Syarif Tue,  diperkirakan berusia antara : 25 - 40  tahun.


      Hal ini disimpulkan berdasarkan keadaan di  Jembrana, masa itu yang bertahta di Jembrana adalah  Gusti Putu Seloka,  berkuasa,: (1809–1835 M )

Gusti Putu Seloka, atau, Anak Agung Putu Seloka,  berkuasa,(1809–1835 M) [anak Gusti Putu Andul] Raja ketiga dari Dynasti Mengwi  

     Sezaman dengan masa pemerintahan Sultan Osman Pontianak, (1819 – 1855), yang juga raja ketiga dari Kesultanan Pontianak. 


Perhatikan narasi sejarawan ini : 

       Dengan menggunakan 4 armada kapal perang,* dan banyak pengikut nya, di usia perkiraan antara  25 tahun sampai  40 tahun. Syarif Abdullah bin Yahya, masuk ke Kuala Perancak, menyusuri sungai Ijo Gading, yang ber kelok - kelok. Kelo-  an, kelo - an, : lambat laun menjadi : Lolo "an, Loloan. (*I  Wayan Reken )


Beliau, Syarif Abdullah bin Yahya ini, 

      Ketika di Jembrana Bali,  hidup se zaman dengan : Gusti Putu Seloka, Gusti Ngurah Made Pasekan (wali negara c. 1840-1849), dan Gusti Putu Ngurah Sloka (1849–1855; wafat 1876) [anak Gusti Putu Sloka] yang terlibat peperangan dengan Syarif Tue,, Gusti Alit Mas (wali negara c. 1835-1840),   : Gusti Putu Dorok (wali negara c. 1835-1840) [cicit Gusti Ngurah Batu]*,


      Mengenai pendapat bahwa gerakan perlawanan Syarif Abdullah bin Yahya, karena dipicu ketidak setujuannya sehubungan  dengan perjanjian antara kesultanan dengan pihak, VOC Belanda,* patut diketahui, bahwa ketika Sultan Usman naik tahta, Belanda VOC memang kembali menyodorkan perjanjian baru yang isinya sangat merugikan kesultanan Pontianak. ( *I Wayan Reken )

 

Bertemu nya dua jalur Abubakar bin Habib Husein Al Qadry
Keturunan Sayyid Syarif Yusuf bin Abubakar dan
Keturunan Sayyid Syarif Ibrahim bin Abubakar
Loloan, Bali :  April 2021




II.2. Perlawanan terhadap Penjajah VOC : zaman Sultan Usman 1819 – 1855


        Naiknya Sultan ketiga, Syarif Usman ibni Sultan Abdurrahman Alqadrie pada tahun (1819 – 1855). di tahta Istana Kadriah, VOC Belanda kongsi dagang serakah ini, kembali menyodorkan perjanjian, dan  dengan sangat terpaksa , Sultan Usman menanda tangani perjanjian baru pada tahun : 1819, 1822 dan 1823.


Tiga buah perjanjian tersebut di atas yang sangat mengikat dan merugikan fihak kesultanan, rakyat dan dirinya , isinya antara lain adalah bahwa :


1. Fihak kesultanan tidak lagi memiliki kekuasaan dan penghasilan sepenuhnya tetapi kekuasaan pemerintahan dan penghasilan kesultanan telah dibagi dua dengan Pemerintah Belanda di Batavia. Bahkan, menyusul lagi ketentuan baru, berdasarkan catatan Rahman (2000:118)



Kecamuk perang di darat dan di tengah lautan - ilustrasi 


2. Sultan tidak lagi mendapatkan separuh (50%) dari penghasilan kesultanan sebagaimana ketentuan sebelumnya, tetapi Sultan hanya diberikan tunjangan 42.000 gulden setiap tahun. Ketentuan ini tidak saja menimbulkan kerugian bagi fihak kesultanan secara material, tetapi juga merupakan penghinaan terhadap dan penghancuran martabat/marwah (dignity) kesultanan yang berdaulat dan memperoleh dukungan dari rakyat.


3. Perjanjian 14 Oktober 1823 : yang menetapkan bahwa kekuasaan pengadilan Belanda diperluas terhadap rakyat pribumi setempat disamping orang-orang Eropah dan Cina (Rahman, 2000:118).


      Belanda memperlakukan sultan dan para pemuka Kesultanan Kadriah sebagai tidak lebih dari para pegawai dan buruh kontrakan yang makan gaji dari Belanda.


    Mungkin dipicu perjanjian ini, Syarif Abdullah bin Yahya kemudian angkat senjata, dan mengobarkan perlawanan terang - terangan dan besar -  besaran. Terbukti ketika memasuki kuala Perancak, beliau menggunakan 4 buah perahu perang bersenjata lengkap. 


Situs Makam Syarif Tue, Abdullah bin Yahya  
bin Yusuf  bin Abubakar bin  Habib Husein Al Qadri
Loloan Jembrana Bali


II.3. Syarif Abdullah bin Yahya , Mendarat di Loloan Bali, sekitar tahun 1825 - 1835 M


Setelah abad ke-18,**Perhatikan:  

        Disusul pula oleh orang-orang dari Kalimantan Barat (Pontianak). Di Kalimantan Barat terdapat koloni atau perkampungan orang-orang Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan. (  **I Wayan Reken : Buda ,1990: 49-51 ) 


       Di Air Kuning mereka bertemu dengan orang Bugis yang dipimpin oleh Haji Shihabuddin yang telah lebih dahulu menetap di sana. 


Atas bantuan pemuka orang Bugis di Air Kuning Syarif Abdullah dan anak buahnya diantar menghadap kepada Raja Jembrana dan akhirnya mereka diijinkan mendiami daerah di sebelah kiri dan kanan Sungai ijogading. 


Atas bantuan pemuka orang Bugis ini pula, 

     Syarif Abdullah bersama rombongannya diantar menghadap kepada Raja Jembrana : Anak Agung Putu Seloka (Raja ketiga yang memerintah dari tahun 1795-1842, sebagian mencatat : Gusti Putu Sloka (1809–1835) [anak Gusti Putu Andul] dari Dynasti Mengwi.


Tempat pemukiman mereka ini kemudian diberi nama Loloan yang terletak di sebelah utara Bandar Pancoran (Buda, 1990: 49-51).


          Kedudukan orang-orang asing yang beragama Islam bertambah kuat dengan kedatangan Encik Yaqub, orang Melayu dari Trengganu mewakaf kan sebuah Al Qur’an dan sebidang tanah sawah di Merta Sari untuk pembiayaan dan pemeliharaan Mesjid Loloan. 


       Pewakafan ini terjadi pada masa Pak Mahbubah menjadi penghulu, Pak Mustika sebagai Pembekel, disaksikan oleh Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodry dan khatif ( dikenal sebagai Moyang Khatif ) adalah Aba Abdullah Hamna


       Tanah wakaf di Mertasari adalah seluas 0,45 ha, selain itu terdapat juga di Desa sembati seluas 0,90 ha, di Subak Tugtug seluas 1,05 ha, di Subak Cupel 1,25 ha, dan 1,50 ha terletak di Desa Sang Jangkrik (Buda, 1990: 51-52).



Wan Fauzi dan Istri bersama  Wan Dahlan bin TKu Hamid, : tahun 2020
Keturunan Al Qadri dari Sedanau menetap di Kampung Baru
 Kota Samarahan Kuching Sarawak Malaysia Timur 
Terakhir Wan Fauzi menetap di Miri Sarawak 

Anak cucu  Habib Husein Al Qadri
Pecahan Pulau Tujuh : 
 Ranai, Natuna, Sedanau, Serasan, Tarempa, Midai,  dsk


II. 4. Perang di Jembrana Bali : Syarif Tue, Vs , Raja Anak Agung Putu Ngurah



II.4..1. Asal mula nama : Jembrana  dan Pembangunan kota Negare


Pada tahun 1800 - 1803 : Pembangunan kota oleh Raja Anak Agung Putu Seloka.

      Selesailah sudah pembangunan kota Negara  pada tahun 1803 itu. Perhatikan: Kota Pontianak selesai dibangun pada tahun 1778 dan Sultan Abdurrahman dinobatkan. Ada selisih waktu  25 tahun, antara Kota Negare dengan Kota Pontianak. Sementara Syarif Tue, nantinya mendarat di Bali, pada masa akhir kekuasaan beliau ini. 


       Pembangunan yang diperkirakan dimulai tahun 1800 zaman Raja Anak Agung Putu Seloka berlangsung selama 3 tahun ini akhirnya rampung.  Negare di jadikan ibu kota pemerintahan. 


Raja Anak Agung Putu Seloka mempunyai dua orang putra yaitu:

       yang sulung bernama : >  Anak Agung Putu Ngurah menempati Puri Agung di Negara, putranya yang ke dua bernama>  Anak Agung Putu Raka menempati Puri gde Jembrana  : (Reken, tanpa tahun: 11-12., dan Damanhuri, 1993: 13-14).


Raja Bali  -  Ilustrasi


             Dikisahkan dalam Babad Dinasty Ki Ageng Malele Cengkrong ( Pedoman Sejarah Keluarga Pancoran) asal mula Jembrana.


          Sejarah nama Jembrana yang dapat ditelusuri, hingga hari ini, berasal  hikayat Dari  nama Kuda Putih : Jaran Rana  menjadi Jembrana , tahun 1450 M , setelah perang saudara, dan cerita dari mulut kemulut /pitutur Jimbar artinya besar, Wana artinya hutan.  Jimbaran Wana artinya hutan yang besar. (Jayus, 1993: 1-2).


Bekas kerajaan 2 saudara ini, negeri Bakungan dan Pecangakan yang telah musnah disebabkan oleh kuda putih bernama Jaran Rana kemudian dikenal dengan nama : Jembrana (Buda, 1990: 24-26).  Bahkan Danghyang Nirartha dalam perjalanannya ke Bali dari Pulau Jawa menyebutkan daerah Bali barat yang dikunjunginya dengan nama Jembrana (Toetoer Lambangkawi, No. 1339/Va: 1-2).


   Sedangkan menurut Ida Pedanda Gede Sigaran dan I Ketut Serung mengemukakan bahwa Kota Negara, ibu kota Jembrana,  lahir pada Purnamaning Kasa, tanggal 27 Juni 1800.  Didasarkan pada pendirian Puri agung Negeri oleh Anak Agung Putu Seloko



II.4.2. Tahun 1828 : Peperangan  kedua Jembrana Vs Buleleng


Tahun 1828 terjadi peperangan yang kedua kalinya 

          Antara Jembrana dengan Raja Buleleng Anak agung Gde Karangasem yang tertarik dengan kemakmuran kerajaan Jembrana.


        Raja Anak Agung Putu Seloka bersama adiknya Anak Agung Ngurah Made Bengkol dan beberapa pengiringnya mengungsi dengan perahu Bugis ke Banyuwangi (sekarang    bernama Kampung Bali).


 Setelah raja selamat sampai di Banyuwangi anak Agung Made Bengkol kembali ke Jembrana. 

          Dalam peperangan pasukan Jembrana dipimpin oleh I Gusti Ngurah Gde dari Jero Pancoran yang didukung oleh pasukan Islam.  

Panglima perang Buleleng Anak Agung Gde Karang beserta prajuritnya gugur dalam pertempuran, akhirnya mundur kembali ke Buleleng. 




Perang Bali - Ilustrasi


          Kemudian adik panglima perang Buleleng yang bernama Anak Agung Made Karang menyerang dari arah laut, sedangkan dari arah pegunungan pasukan Buleleng menyerbu Puri Jembrana dengan siasat menjepit dari arah muka dan belakang.


           Karena begitu kuatnya musuh,  akhirnya dalam perang tanding di Bajo/Awen panglima I Gusti Ngurah Gde bersama Anak Agung Made Bengkol gugur, dan akhirnya Puri Gde Jembrana dapat direbut.


         Namun Puri Agung Negara tidak berani didekati karena banyak prajurit yang tertembak mati. 

Anak Agung Gde Karang kembali memerintahkan anak buahnya mundur ke Buleleng.


Sampai tahun 1832, == 


Selama empat tahun Jembrana mengalami kekosongan pemerintahan 

           Akibat peperangan dengan Buleleng, maka Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri dan Panglima Tahal memperkuat posisi pertahanan Islam di sekitar Benteng Fathimah berpedoman pada prinsip agama yang sedang dikembangkan melalui perwakilan dan berdagang,   lebih bersifat asimilatif dari pada revolusioner dan bukan sekali-kali untuk menaklukkan.


            Jika pemuka Islam Syarif Abdullah beserta Panglima Tahal menghendaki tahta dan kekuasaan dan menyalahgunakan kesempatan sewaktu kerajaan Jembrana dalam keadaan pemerintahan kosong selama empat tahun, maka pastilah pengaruh Islam dan Syarif Abdullah bisa menguasai Jembrana saat itu.


 


Pernyataan Haji Sayyid Syarif Yasin bin Zain Al Qadry, 77 tahun 2021 Mei
Keturunan Syarif Abdullah bin Yahya /Syarif Tue
Tentang siapa leluhur Mereka


II.4.3. Tahun 1842 M : Suksesi  Putu Seloka kepada Anak Agung Putu Ngurah.


Raja Anak Agung Putu Ngurah adalah pelanjut dynasti  Mengwi berikut nya. 

          Beliau, berbeda dengan ayahnya,  menaruh curiga kepada kegiatan Syarif Tua, sehingga dengan cara halus melarang orang-orang Bali Hindu beralih agama lain dengan perantara Ida Pedanda Agung , berdasarkan Hukum Adat Istiadat yang berlaku.


 Syarif Tua sadar betapa tabiat Tuanku Raja,

         Jauh berbeda dengan ayahnya waktu berkuasa.


      Sering terjadi penindasan, penganiayaan, kerja rodi, bea syahbandar terlalu besar dan terjadi persaingan dalam kalangan kerajaan.


      Dengan segala kerendahan hati Syarif Tua menemui raja Anak Agung Putu Ngurah untuk menyadarkan betapa berbahayanya hawa nafsu dan kekuasaan itu. 

Namun raja tidak memperhatikan nasehat yang disampaikan. 


        Karena ketidak puasan yang meluas, maka  pada : Tanggal : 13 Oktober 1855 No. 85  Stanblat dokument Belanda : Protes rakyat kepada Raja Putu Ngurah  yang dianggap semena - mena, Isi surat tersebut adalah rakyat Jembrana merasa sangat keberatan atas ulah Raja Jembrana I Gusti Agung Putu Ngurah. 

 Surat ini dilanjutkan oleh Residen Banyuwangi ke hadapan Gubernur Jenderal di Betawi

 Bersamaan dengan ini terjadi perpecahan di Jembrana,


     Surat protes ini dikirimkan oleh salah Seorang Punggawa bernama I Gusti Ngurah Made Pasekan yang sejak lama menaruh kecewa terhadap raja, Made Pasekan ini, bersahabat dengan Syarif Tua dan seluruh umat Muslimin. Diam-diam dia melayangkan surat gugatan kepada Komisarisw Hindia Belanda tanggal 13 Oktober 1855 No. 85 di Residensi Banyuwangi.

Protes ini dilayangkan setelah rakyat Jembrana hidup dibawah tekanan dan kezaliman raja ini selama 13 ( tiga belas ) tahun, sejak dilantik nya pada tahun 1842 M 

Bersama Sayyid Ali bin Hasan Al Qadry, 75 tahun 2012
Sekar Bela Mataram Lombok



II.4..4. Tahun : 1855 M :  - Sezaman Kekuasaan Sultan Hamid I, Pontianak


Peperangan antara Syarif Tue, Panglima Tahal, dan  I Gusti Ngurah Made Pasekan,  : melawan > :  Raja Anak Agung Putu Ngurah : 



      Pihak Pertama: --, Punggawa Jembrana I Gusti Ngurah Made Pasekan bersatu dengan Syarif Tua beserta umat Islam nya termasuk Datuk Panglima Tahal,  dan prajurit-prajurit Pan Kelab beserta rakyat Bali  yang berpihak kepada nya.


        Pihak Kedua, :--,  Raja Jembrana, Ida Anak Agung Putu Ngurah  dikawal oleh bala tentara I Gusti Agung Made Rai dan seluruh Ksatria yang berpihak. Jika dilihat dari kekuatan, pihak kerajaan jauh lebih kuat.


            Syarif Tua mengumpulkan seluruh umat Muslim dari pedesaan-pedesaan ke benteng Fathimah, Loloan Timur, begitu juga di sekitar Puri Negara dan Jembrana telah penuh sesak dengan pengawalan pasukan yang siaga perang.


             Peperangan tidak bisa dihindari, dimana I Gusti Agung Made Rai mencabut keris “Tastas” pusaka kerajaan,  dan I Gusti Made Pasekan mencabut keris pusaka Buleleng “Ki tunjung Tutus”. 

Di lapangan Puri Jembrana dan Puri Negara penuh sesak oleh prajurit pembela kerajaan.

Karena tidak ditemukan jalan keluar, peperangan tidak dapat di hindarkan lagi. 


Sayyid Abdurrahman Al Qadry 
Ranai, Natuna 
Anak cucu Syarif Yusuf bin Abubakar bin Habib Husein 


Syarif Tue, Datuk Tahal  dan  I Gusti Ngurah Pasekan  merapatkan barisan dan memobilisasi  dukungan guna berhadapan dengan pihak kerajaan, : 


Raja I Gusti Anak Agung Putu Ngurah,  yang telah melakukan kezaliman ini. 

Tiba-tiba berdentumlah meriam-meriam Syarif Tua  

           dari Benteng Fathimah di Loloan Timur,!

Begitu juga meriam-meriam Pan Kelab dari dekat arah Desa Pemedilan.

         Pasukan Syarif Tua juga dibantu oleh Panglima Datuk Tahal yang terdiri dari orang - orang Melayu, Bugis, Jawa, Madura, dan ummat Islam lain nya di zaman itu.

 Pertempuran sangat sengit, terjadi, .....


Di Benteng Fathimah,  

        Syarif Tua mengibarkan bendera Pusaka berwarna Hijau bertuliskan kalimat Syahadat dan Panji-panji berwarna hitam bergambar harimau berhuruf arab hadiah Sultan Kedah dahulu yang berisikan ayat Suci Al-Qur’an.  ( **Perhatikan bahwa beliau pernah berlayar ke negeri Kedah, Tanah Melayu  yang dekat dengan Trengganu ? ) 

 Karena gempuran-gempuran dari Benteng Fatimah sehingga Puri jatuh.


Suasana ketika kecamuk peperangan - Ilustrasi

         Pada malam hari Syarif Tua melakukan siasat kurungan terhadap Puri Negara dengan laskar pilihan. Masing-masing membawa meriam tiruan dari batang-batang pepaya yang dicat warna hitam untuk menakut-nakuti prajurit kerajaan, seraya meminta suaka perundingan dengan tuanku Raja Anak Agung Putu Ngurah.

           Syarif Tua selaku utusan umat Islam di Jembrana di kawal oleh panglima Datuk Tahal.


 Syarif Tua membuka pembicaraan:  


 “Maaf Paduka Tuanku Yang Mulia,  

        -" Kami selaku utusan umat Islam dan rakyat, memohon membuka musyawarah perihal kekuasaan yang mulia yang di ambang pintu keruntuhan. Sesungguh nya kami terlarang membunuh orang-orang yang menyerah kalah.

Demikianlah ajaran agama kami.

           Kami mengangkat senjata bukan untuk merebut kekuasaan, melainkan untuk menyebarkan agama sambil berniaga dan menolak sekeras- keras nya perbuatan-perbuatan dholim yang menghambat agama kami. 

          Demi nama Allah kami menasehatkan berangkatlah besok pagi-pagi sebelum fajar dengan segenap keluarga menyelamatkan diri untuk meminta perlindungan Hukum kepada Gubernur Hindia Belanda"  :-" pungkas Syarif tua,    

      Tuanku Raja terdiam bingung menghayati pembicaraan Syarif Tua sambil menimbang-nimbang, dan diputuskan Raja beserta keluarganya meninggalkan Puri Negara menuju Buleleng.   

        Raja juga memerintahkan kepada Hulubalang-hulubalang supaya peperangan dihentikan, karena kekuasaan kerajaan telah diserahkan secara damai kepada Syarif Tua dan punggawa I Gusti Ngurah Made Pasekan.

     Keesokan hari nya Raja beserta keluarganya dan Anak Agung Made Rai menuju Buleleng.

Di Jembrana : 

        Raja I Gusti Anak Agung Putu Ngurah dengan kemauannya sendiri melepaskan hak kerajaan kepada Gouvernement Hindia Belanda, kemudian oleh Belanda VOC dijadikan  Landschap Gouvernement di bawah seorang Regent, bertitel Raja :  dijabat oleh  I Gusti Ngurah Made Pasekan. 





Klik > Bersambung ke Bagian III

----------------------------

Referensi Utama :

====  Diantara berbagai sumber adalah : 

1. Kitab Almausuah Li Ansabil Imam Al-Husaini . Pustaka Azmatkhan 

2. Asy-syajarah Al-Alawiyyah. Pustaka Azmatkhan

3. Asy-Syajarah Al-Husainiyyah Al Mausuah li  Al Imam Husein, Pustaka Azmatkan

4. Berdasarkan Manaqib singkat tulisan Pengeran Bendahara  Syarif Ahmad bin Sultan Abdurrahman, dan dokumentasi Belanda tahun 1827 M, yang menyebutkan tentang nama Ki Sauki atau Syaugi Yusuf, makam nya ditemukan di kepulauan Natuna, wilayah kepulauan Riau, dan hingga hari ini banyak ditemukan  keluarga Al Qadri di Serasan, Terempa, Midai, Letung, Sedanau, Bunguran Besar, Natuna, Ranai, Sarawak, dll.Koleksi keluarga Al Qadri

5. Berdasarkan Data Tua Nomor buku 763 s/ 770  halaman 336, angka tahun : 1857 M Tulisan Pangeran Bendahara Tua, Syarif Ja far bin Sultan Hamid I Alqadri, : Koleksi Pribadi keluarga AlQadri


Daftar  Pustaka : 

Sejarah Abdullah bin Yahya Maulana Al Qadry  ( Syarif TUE )

— Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde (1855:569).[1] Dokumen Belanda

Agung, A.A. Gde Putra. 2001.“Teknik Penulisan Biografi”. Makalah disampaikan Pada Forum Evaluasi dan Pembahasan Proposal Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Denpasar bekerjasama dengan Fakultas Sastra Universitas Udayana dan UNHI di Denpasar, 20 Pebruari.

Agung, Anak Agung Ktut. 1991. Kupu-Kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok: Lintasan Sejarah Kerajaan karangasem 1660 – 1950. Denpasar: PT. Upada Sastra.

Buda, I Made. 1990. “Hubungan Antar Etnik di Jembrana 1856 – 1942”. Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar (Skripsi).

Damanhuri, A. 1993. “Sejarah Kelahiran Kota Negara”. Makalah Seminar yang disampaikan dalam seminar lahirnya Kota Negara.

Damanhuri, H. Achmad. 1993. “Sejarah Kelahiran Kabupaten Jembrana”. Makalah diajukan untuk Bahan Seminar Sejarah Lahirnya Kabupaten Jembrana dan Kota Negara.

Ginarsa, Ketut, Suparman Hs. 2002. “Umat Islam di Buleleng”. Dalam Shaleh Saidi, Yahya Anshori (penynting). Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali. Denpasar: Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali.

Jays, I Nyoman, I Ketut Suwentra. 1993. “Babad Tanah Jembrana”. Makalah diajukan untuk Seminar Sejarah Lahirnya Kabupaten Jembrana dan Kota Negara.

Kada, Thomas. 1982. Kepemimpinan Dalam Teori dan Praktek Serta Masalah-Masalahnya. Kupang: FKIP Undana.

Kantor Informasi Komunikasi dan Pelayanan Umum Kab. Jembrana. 2002. Feature Mozaik Jembrana. Jembrana: Seksi Humas Kantor Inkom dan Yanum Kab. Jembrana.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kelurahan Loloan Timur. 2008. Laporan Bulanan Desa/Kelurahan. Negara.

Nyoka.1990. Sejarah Bali. Denpasar: Penerbit dan Toko Buku RIA.

Panitia Pelaksana Kuliah Kerja Lapangan. 1996. “Laporan Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 1996 Jurusan Pendidikan Sejarah”. Jakarta: Fakultas Pendidikan ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Jakarta.

Parisada Hindu Dharma. 1975. Pemargan Danghyang Nirartha di Bali (Dwi Jendra Tatwa/Riwayat Danghyang Nirartha). Denpasar: Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung.

Parwata, I Putu. 1994. “Sejarah Kota Negara 1958 – 1992”. Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar (Skripsi).

Puspawati, Ni Nyoman Suhendra. 1990. “Perkembangan Kesenian Jegog, Kendang Mebarung, Bungbung Gebyog dan Atraksi Makepung di Kabupaten Jembrana Tahun 1944 – 1979”. Fakultas Sastra Universitas Udayana (Skripsi).

Putra, Ida Bagus Rai. 1991. Babad Dalem. Denpasar: PT. Upada Sastra.

Raka, I Gusti Gede. 1955. Monografi Pulau Bali. Djakarta: Bagian Publikasi Pusat DJawatan Pertanian Rakjat.

Reken, I Wayan. 2002. Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali. Denpasar: MUI Bali.

Sjafei, Suwadji. 1984. Pemikiran Biografi dan Kesejarahan, Suatu Kumpulan Prasaran pada Berbagai Lokakarya Jilid III. Jakarta: Depdikbud Ditjarahnitra, Proyek IDSN.

Soebantardjo, R. M.1983. Pemikiran Biografi dan Kesejarahan, Suatu Kumpulan Prasaran pada Berbagai Lokakarya, Jilid I. Jakarta: Depdikbud Proyek IDSN.

Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Sumerta, I Made, dkk. 2000. Tatakrama Suku Bangsa Loloan di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali. Denpasar: Depdiknas, Proyek P2NB Daerah Bali.

Suprayogo, Imam.1988.“Patron Klien Dalam Kepemimpinan”. Seluk Beluk Perubahan Sosial. Surabaya: Usaha nasional.

Suryawati, Cok Istri. 2003. “Biografi Tokoh Pejuang I Nyoman Mantik”. Dalam Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional, Edisi Kesebelas No. 11/III/2003. Denpasar: BKSNT Denpasar.

Suwita, I Putu Gede. 1997. “Loloan Bandar Laut, dan Hubungan Antara Budaya”. Dalam Depdikbud RI. Kongres Nasional Sejarah 1996 Sub Tema Dinamika Sosial Ekonomi III. Jakarta: Depdikbud RI.

Swarsi, S. dkk. 1998/1999. “Sejarah Kerajaan Tradisional Bali (Kerajaan Karangasem)”. Denpasar: Depdikbud, Proyek Iventarisasi dan dokumentasi Sejarah Nasional.

Tim Penulis. 1997. “Sejarah Jembrana dan Lahirnya Ibukota Negara”. Jembrana: Bagian Pemerintahan Pemda Tinkkat II Kabupaten Jembrana.

Toetoer Lambangkawi (transkripsi). Koleksi Gedong Kirtya Singaraja, No. 1339/Va.

Wirawan, A.A.B., Dian Arriegalung. 2002. Umat Islam di Badung”. Dalam Saleh Saidi, Yahya Anshori. Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali. Denpasar: Majelis Umat Islam Bali.


Referensi  tambahan : 

Syarif Abdullah  bin Yahya , Sejarah Habib Husein bin Ahmad , Sultan Pontianak  ke.I. 

Biografi Sayyid Yahya Al Qadri, Biografi Abdullah bin Yahya, Sultan Osman Pontianak, Sultan Kasim Pontianak, Syarif Tue  dalam PDF, Sejarah Loloan , Bandar Pancoran Jembrana, Sejarah Jembrana 

Kampung Loloan , Toleransi di loloan , Syarif Tua PDF, Silsilah Alqadri Loloan  hal.304, Awal mula Muslim di Bali, Between harmony and discrimantion, Merawat Pluralisme, Muslim di Bali hal. 300


Referensi Perang Lombok : 

 1. Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East ..., Volume 3 by Keat Gin Ooi p.790ff

2.  Colonial collections revisited By Pieter ter Keurs p.190ff

 3. Priests and programmers by John Stephen Lansing p.20

4.  The rough guide to Bali & Lombok By Lesley Reader, Lucy Ridout p.494

 5. Bali handbook with Lombok and the Eastern Isles: the travel guide by Liz Capaldi, Joshua Eliot p.300

 6. The rough guide to Bali & Lombok by Lesley Reader, Lucy Ridout p.298

7. Sayyid Abubakar Jeranjang Bagian Pertama 

8.Sayyid Abubakar Jeranjang Bagian Kedua

9. Monogram Pontianak dan Mempawah

10. Monogram kekerabatan Raja Raja Kalimantan