Harapan muncul pada 4 Oktober 1934 ketika upaya persatuan dan
perdamaian masyarakat Arab di Indonesia diinisiasi oleh seorang wartawan dan
nasionalis muda peranakan Arab yang bernama Abdurrachman (AR) Baswedan (Kakek
dari Anies Baswedan, rektor Universitas Paramadina dan pendiri Indonesia
Mengajar).
Abdurrahman Baswedan ( AR Baswedan )
Saat itu AR Baswedan mengumpulkan seluruh pemuka keturunan Arab Indonesia dan mengikrarkan ‘Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab’. Isi ikrar itu antara lain (peranakan Arab) mesti mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka, menjauhi sifat mengisolasi diri (tidak berbaur dengan masyarakat non Arab), memenuhi kewajiban sebagai warga negara Indonesia, serta membela kepentingan seluruh rakyat Indonesia
Ikrar Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab ini kemudian
melahirkan Partai Arab Indonesia (PAI) di tahun 1940 yang setahun kemudian
diakui sebagai bagian dari Gabungan Partai-Partai Politik Indonesia (GAPPI) dan
menuntut agar Indonesia berparlemen. Persoalan tafadul yang didasarkan pada
keturunan di kalangan masyarakat Arab Hadrami di Indonesia ini akhirnya
berhasil diakhiri.
Tidak ada lagi pertentangan antara ‘Partai Syekh’ dan
‘Partai Sayyid’. Sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab, kaum
peranakan Arab di Indonesia diharuskan untuk memanggil sesamanya dengan Al-Akh, yang artinya ‘saudara’. Sejak saat itu pula, gelar Sayyid
untuk kelompok Alawiyyin tidak lagi populer digunakan lagi di Indonesia.
Meskipun perjuangan PAI untuk tidak lagi mempersoalkan kearaban
muwallad Arab di Indonesia, kenyataannya, baik keluarga Arab dari golongan
sayyid maupun non-sayyid, tetap jarang menikahkan anak-anak mereka dengan orang
pribumi atau ahwal. Mereka tetap menikahkan putera-puteri mereka dengan sesama
mereka sendiri yang berketurunan Arab. Hanya sedikit aktivis PAI yang mau
menerima orang Indonesia sebagai menantu. Hamid Al-Gadri adalah diantaranya.
Meskipun demikian, kini telah terjadi banyak perubahan dimana keluarga Arab
Hadrami secara terang-terangan dan berani menikahkan puteri mereka dengan
lelaki non-Arab.
Justifikasi dan Penjelasan Historis Eksklusifme Arab Hadrami
Eksklusifme Arab Hadrami menyandarkan diri pada justifikasi
agama yang kebanyakan dianut oleh para pengikut Salafi. Seperti contohnya yang
saya sebutkan sebelumnya diatas. Tapi ada beberapa pertimbangan lain yang dapat
menjelaskan kenapa eksklusifitas ini begitu kenyal dipertahankan oleh komunitas
Arab Hadrami:
Pertama, masyarakat Indonesia pada umumnya dibangun di atas
fondasi feodalisme yang sangat kuat. Dimana status sosial seseorang lebih
banyak dinilai dari given status dibandingkan achieved status. Contohnya, di masyarakat tradisional, orang yang
bergelar ‘Raden’ akan cenderung lebih dihormati oleh penduduk setempat karena
status kebangsawanannya, meskipun secara riil ia tidak berbuat banyak untuk
pembangunan masyarakatnya.
Sama halnya dengan gelar Sayyid, pada masa kolonial Belanda,
gelar Sayyid merupakan gelar yang sangat disegani di masyarakat di Indonesia.
Selain itu, pemerintah kolonial Belanda memberlakukan hukum yang didasarkan
pada latar belakang ras penduduknya, yaitu (1) kelompok Eropa sebagai kelompok
tertinggi (2) Timur Asing, diantaranya Cina, Arab, dan India sebagai kelompok
tertinggi kedua, dan yang terendah, ialah (3) kelompok pribumi. Sederhananya,
mana ada orang yang tadinya berada pada posisi teratas dalam hirarki sosial
kemudian mau berubah untuk berada pada posisi terbawah?
Kedua, eksklusifisme kaum Arab di Indonesia sangat berkenaan
erat dengan konstruksi ide yang rasis yang dibangun oleh kolonialisme Eropa di
Yaman. Eropa yang pada masa kejayaan kolonialnya (1700-1800an)
mengklasifikasikan peradaban dunia berdasarkan kategori ras dimana orang kulit
putih lebih tinggi dibandingkan orang yang berkulit gelap. John M. Hobson
(2005) dalam bukunya yang berjudul The
Eastern Origins of Western Civilization menjelaskan
bagaimana bangsa Eropa mengklasifikasikan bangsa-bangsa di dunia kepada 3
jenis: (1) ‘Beradab’ (Civilized), (2) ‘Barbar’ (Barbaric), dan
(3) ‘Biadab’ (savage). Melalui pembenaran agama (kristen) dan sains (scientific
racism) yang mereka buat, bangsa-bangsa non-Eropa dimasukkan kepada
kategori kedua dan ketiga (barbar dan biadab). Dan diantara mereka, barangsiapa
yang semakin gelap kulitnya, maka ia termasuk pada kategori ras yang paling
‘biadab’.
Jika dikaitkan dengan kasus kolonialisme di Indonesia, dapat
dipahami bagaimana masyarakat pribumi yang saat itu secara umum berkulit gelap,
dikategorikan oleh Belanda sebagai masyarakat kelas terendah, setelah bangsa Eropa,
Arab, dan Cina. Penting untuk dipikirkan secara baik-baik dan kritis mengapa
kaum Arab Hadrami dari generasi pertama (sebelum abad ke-18) mempunyai sikap
yang berbeda dengan generasi kedua (setelah abad ke-18) berkenaan dengan
asimilasi. Dimana yang pertama lebih terbuka dibandingkan yang kedua. Jika
dilihat dari rentang waktunya, kaum Arab Hadrami dari generasi kedua melakukan
diaspora pada saat Imperium Inggris menguasai Yaman.
Pada awal abad ke-19 Hadramaut sebagai bagian dari Yaman dijajah
oleh Imperium Inggris. Inggris adalah salah satu imperium Eropa yang sangat
rasis. Inggris melakukan invasi ke wilayah Yaman Selatan (Aden) tepatnya pada
awal tahun 1830an dan terus melakukan ekspansi ke seluruh wilayah Yaman hingga
akhir abad ke-19. Selama Inggris berkuasa, seluruh warga negara Yaman yang saat
itu berada dibawah ‘protektorat’ Inggris harus tunduk kepada sistem hukum yang
dibuat dan diterapkan oleh pemerintahan kolonial. Diantara hukum yang
diberlakukan ialah klasifikasi warga negara berdasarkan kelas sosial seperti
yang dipaparkan oleh Hobson diatas.
Begitupun dalam hubungan sosialnya, perlakuan negara terhadap
warga negaranya didasarkan pada kelas sosial yang dimilikinya. Karena kaum
Sayyid/Alawiyyin saat itu dikenal sebagai kelompok yang paling elit di tengah
masyarakat Yaman, maka mereka menduduki posisi terpenting setelah warga Eropa
dalam struktur sosial modern yang dibuat dan diterapkan pemerintahan kolonial.
Dan tradisi kolonial yang rasis ini tentunya mempengaruhi
orang-orang Arab yang melakukan diaspora ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke
Asia Tenggara, khususnya Nusantara. Tradisi ini kemudian disakralkan dan wajib
ditaati oleh para pengikutnya, khususnya oleh kaum Sayyid/Alawiyyin. Demikian
untuk dijadikan strategi untuk menjaga otentisitas kearaban mereka yang
‘sepaket’ dengan prestise yang terkandung di dalamnya.
Terakhir, Muhammad Hasyim Assagaf (2000) menegaskan bahwa
justifikasi agama atas tradisi yang rasis ini sebenarnya tidak jelas asal
muasal dalilnya, seperti yang ia kutip dari al-Shan’aani. Di bagian penutup
bukunya, Assagaf mengatakan bahwa salah satu penyebabnya bersifat historis:
dimana kebiasaan pernikahan tertutup kafa’ah syarifah ini dibentuk oleh sejarah
permusuhan antara kaum Alawiyyin (keturunan Ali) dengan kaum Khawarij.
Dalam
konteks konflik, demi alasan agama dan (juga) keamanan, kelompok Alawiyyin
terpaksa melakukan pernikahan terhadap sesama anggota kelompoknya sendiri.
Selain itu juga, Assagaf (Assagaf 2000: 274) menyandarkan penjelasannya pada
kitabBughyat al-Mustarsydin yang
ditulis oleh Abdurrahman bin Husain al-Masyhur al-Hadrami, bahwa hukum
diharamkannya Syarifah untuk menikah dengan non-Sayyid itu baru dipopulerkan
melalui berbagai publikasi setelah kaum Sayyid di Mekah pada awal abad ke-20
berdemonstrasi agar pernikahan Syarifah yang menikah dengan non-Sayyid agar di-fasakh-kan
(karena prestise kaum Sayyid terancam).
Terlepas dari dinamika ini, kebanyakan warga pribumi sejak
dahulu melihat tradisi kaum Arab Hadrami yang hanya menikahkan anggota keluarganya
dengan kelompoknya sendiri sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak adil
(untuk si wanitanya). Sekarang pun tradisi ini masih dipandang sama oleh
masyarakat Indonesia yang bukan keturunan Arab.
Penutup
Ada sedikit kasus yang berbeda terjadi di kalangan Arab Hadrami
di Kedah, Malaysia. Sharifah Zaleha binte Syed Hassan, dalam presentasinya di
konferensi internasional bertajukThe
Yemen-Hadrami in Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation? di
International Islamic University Malaysia (IIUM) 25-26 Agustus 2004, mengatakan
bahwa warga keturunan Arab di Kedah kini lebih suka disebut sebagai orang
Melayu daripada orang Arab (Hassan 2004).
Tapi sebagaimana yang juga terjadi di belahan lain di Malaysia,
di Indonesia banyak kaum Arab Hadrami yang masih dan ingin terus menjaga
tradisi otensitas kearabannya/kesayyidannya. Salah satunya yaitu dengan
menerapkan tradisi kafa’ah Syarifah dimana pernikahan hanya tertutup bagi
kalangan mereka saja. Bagi yang melanggar tradisi ini, biasanya akan diberikan
sanksi secara sosial, baik oleh keluarga mereka sendiri maupun kerabat lain.
Akan tetapi kini semakin banyak kaum Arab Hadrami yang telah
berani mengubah tradisi ini. Mereka berasimilasi penuh dengan orang-orang
non-Arab. Orangtuanya menikahkan putera-puteri mereka dengan orang-orang
non-keturunan Arab dan non-Sayyid. Seperti pada tahun 2008 ketika saya pernah
mendatangi sebuah undangan pernikahan di Depok, dimana mempelai wanitanya
adalah seorang keturunan arab syarifah dan laki-lakinya non-Sayyid.
Jika membaca kembali apa yang dipaparkan oleh Assagaf tentang
bagaimana hukuman yang memilukan yang diberikan kepada syarifah yang melanggar
tradisi (seperti tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka sendiri),
dari pengalaman ini saya justru saya menemukan hal yang sebaliknya. Dalam
prosesi pernikahan tersebut, saya lihat baik keluarga dari kalangan si mempelai
wanita maupun pria, hadir dan larut dalam kebahagiaan menyambut pernikahan
putera puteri mereka yang
sedang bersanding di pelaminan.
Bagaimanapun juga, sikap dan pendapat mengenai
tradisi menjaga kemurnian identitas kaum Arab di Indonesia akan selalu
beraneka ragam. Dinamikanya akan selalu bersentuhan dengan dimensi sejarah yang
berbeda dari masa ke masa. Sekarang, pro dan kontra mengenai asimilasi kaum
peranakan Arab Hadrami di Indonesia seperti yang terjadi pada masa Syeikh
Syurkati pada tahun 1913 dapat dikatakan sudah hampir tidak terdengar. Namun,
dalam kenyataannya, perdebatan ini masih terus terjadi secara internal di
kalangan mereka sendiri.
Baca juga bagian pertama dan kedua nya disini :
2. Bagian Kedua
Bibliografi
1. Affandi, Bisri (1999): Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943),
Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia, Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
2. Al-Husaini, Al-Hamid (1996). Pembahasan
Tuntas Perihal Khilafiyah. Penerbit Yayasan Al-Hamidy.
3. Alattas, Alwi (2005): Pan-Islamism and Islamic Resurgence in the
Netherlands East Indies: The Role of Abdullah ibn Alwi Al-Attas (1840-1928).
International Conference Proceeding The
Yemen–Hadrami in Southeast Asia: Identity Maintenance or
Assimilation? Kuala
Lumpur: International Islamic Universiy Malaysia (IIUM).
4. Al-Kaff, Seggaff bin Ali. 1992. Diraasat
fi Nasab as-Saadat banii ‘alawii: Dzuriyyat al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn ‘Isaa. Kuala Lumpur: Utusan Printcorp Sdn. Nhd.
5. Assagaaf, M. Hasyim (2000) Derita
Putri-putri Nabi: Studi Historis Kafa’ah Syarifah.Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
6. Ensiklopedi Islam (1994) PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta Hassan, Sharifah Zaleha binte Syed (2004). ‘History and
Indigenization of the Arabs in Kedah, Malaysia’. International Conference Proceeding The Yemen–Hadrami in Southeast
Asia: Identity Maintenance or Assimilation? Kuala Lumpur: International Islamic Universiy Malaysia (IIUM).
7. Hisyam, Muhammad (1984) ‘Sayyid Jawi: Studi Kasus Jaringan
Sosial di Desa Cikoang Kecamatan Mangara Bombang, Kabupaten Takelar, Sulawesi
Selatan.’ Dalam M. Hasyim Assagaf (2000) Derita
Putri-Putri Nabi: Studi Historis Kafa’ah Syarifah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
8. Van den Berg, L.W. C. (1886/2010) Orang
Arab di Nusantara. Jakarta:
Komunitas Bambu.