Senin, 29 Februari 2016

Keturunan Arab & Hadrami di Indonesia.III

Harapan muncul pada 4 Oktober 1934 ketika upaya persatuan dan perdamaian masyarakat Arab di Indonesia diinisiasi oleh seorang wartawan dan nasionalis muda peranakan Arab yang bernama Abdurrachman (AR) Baswedan (Kakek dari Anies Baswedan, rektor Universitas Paramadina dan pendiri Indonesia Mengajar).

Abdurrahman Baswedan ( AR Baswedan )

Saat itu AR Baswedan mengumpulkan seluruh pemuka keturunan Arab Indonesia dan mengikrarkan ‘Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab’. Isi ikrar itu antara lain (peranakan Arab) mesti mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka, menjauhi sifat mengisolasi diri (tidak berbaur dengan masyarakat non Arab), memenuhi kewajiban sebagai warga negara Indonesia, serta membela kepentingan seluruh rakyat Indonesia
Ikrar Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab ini kemudian melahirkan Partai Arab Indonesia (PAI) di tahun 1940 yang setahun kemudian diakui sebagai bagian dari Gabungan Partai-Partai Politik Indonesia (GAPPI) dan menuntut agar Indonesia berparlemen. Persoalan tafadul yang didasarkan pada keturunan di kalangan masyarakat Arab Hadrami di Indonesia ini akhirnya berhasil diakhiri. 
Tidak ada lagi pertentangan antara ‘Partai Syekh’ dan ‘Partai Sayyid’. Sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab, kaum peranakan Arab di Indonesia diharuskan untuk memanggil sesamanya dengan Al-Akh, yang artinya ‘saudara’. Sejak saat itu pula, gelar Sayyid untuk kelompok Alawiyyin tidak lagi populer digunakan lagi di Indonesia.

Meskipun perjuangan PAI untuk tidak lagi mempersoalkan kearaban muwallad Arab di Indonesia, kenyataannya, baik keluarga Arab dari golongan sayyid maupun non-sayyid, tetap jarang menikahkan anak-anak mereka dengan orang pribumi atau ahwal. Mereka tetap menikahkan putera-puteri mereka dengan sesama mereka sendiri yang berketurunan Arab. Hanya sedikit aktivis PAI yang mau menerima orang Indonesia sebagai menantu. Hamid Al-Gadri adalah diantaranya. Meskipun demikian, kini telah terjadi banyak perubahan dimana keluarga Arab Hadrami secara terang-terangan dan berani menikahkan puteri mereka dengan lelaki non-Arab.
Justifikasi dan Penjelasan Historis Eksklusifme Arab Hadrami
Eksklusifme Arab Hadrami menyandarkan diri pada justifikasi agama yang kebanyakan dianut oleh para pengikut Salafi. Seperti contohnya yang saya sebutkan sebelumnya diatas. Tapi ada beberapa pertimbangan lain yang dapat menjelaskan kenapa eksklusifitas ini begitu kenyal dipertahankan oleh komunitas Arab Hadrami:
Pertama, masyarakat Indonesia pada umumnya dibangun di atas fondasi feodalisme yang sangat kuat. Dimana status sosial seseorang lebih banyak dinilai dari given status dibandingkan achieved status. Contohnya, di masyarakat tradisional, orang yang bergelar ‘Raden’ akan cenderung lebih dihormati oleh penduduk setempat karena status kebangsawanannya, meskipun secara riil ia tidak berbuat banyak untuk pembangunan masyarakatnya.

Sama halnya dengan gelar Sayyid, pada masa kolonial Belanda, gelar Sayyid merupakan gelar yang sangat disegani di masyarakat di Indonesia. Selain itu, pemerintah kolonial Belanda memberlakukan hukum yang didasarkan pada latar belakang ras penduduknya, yaitu (1) kelompok Eropa sebagai kelompok tertinggi (2) Timur Asing, diantaranya Cina, Arab, dan India sebagai kelompok tertinggi kedua, dan yang terendah, ialah (3) kelompok pribumi. Sederhananya, mana ada orang yang tadinya berada pada posisi teratas dalam hirarki sosial kemudian mau berubah untuk berada pada posisi terbawah?
Kedua, eksklusifisme kaum Arab di Indonesia sangat berkenaan erat dengan konstruksi ide yang rasis yang dibangun oleh kolonialisme Eropa di Yaman. Eropa yang pada masa kejayaan kolonialnya (1700-1800an) mengklasifikasikan peradaban dunia berdasarkan kategori ras dimana orang kulit putih lebih tinggi dibandingkan orang yang berkulit gelap. John M. Hobson (2005) dalam bukunya yang berjudul The Eastern Origins of Western Civilization menjelaskan bagaimana bangsa Eropa mengklasifikasikan bangsa-bangsa di dunia kepada 3 jenis: (1) ‘Beradab’ (Civilized), (2) ‘Barbar’ (Barbaric), dan (3) ‘Biadab’ (savage). Melalui pembenaran agama (kristen) dan sains (scientific racism) yang mereka buat, bangsa-bangsa non-Eropa dimasukkan kepada kategori kedua dan ketiga (barbar dan biadab). Dan diantara mereka, barangsiapa yang semakin gelap kulitnya, maka ia termasuk pada kategori ras yang paling ‘biadab’.
Jika dikaitkan dengan kasus kolonialisme di Indonesia, dapat dipahami bagaimana masyarakat pribumi yang saat itu secara umum berkulit gelap, dikategorikan oleh Belanda sebagai masyarakat kelas terendah, setelah bangsa Eropa, Arab, dan Cina. Penting untuk dipikirkan secara baik-baik dan kritis mengapa kaum Arab Hadrami dari generasi pertama (sebelum abad ke-18) mempunyai sikap yang berbeda dengan generasi kedua (setelah abad ke-18) berkenaan dengan asimilasi. Dimana yang pertama lebih terbuka dibandingkan yang kedua. Jika dilihat dari rentang waktunya, kaum Arab Hadrami dari generasi kedua melakukan diaspora pada saat Imperium Inggris menguasai Yaman.


Pada awal abad ke-19 Hadramaut sebagai bagian dari Yaman dijajah oleh Imperium Inggris. Inggris adalah salah satu imperium Eropa yang sangat rasis. Inggris melakukan invasi ke wilayah Yaman Selatan (Aden) tepatnya pada awal tahun 1830an dan terus melakukan ekspansi ke seluruh wilayah Yaman hingga akhir abad ke-19. Selama Inggris berkuasa, seluruh warga negara Yaman yang saat itu berada dibawah ‘protektorat’ Inggris harus tunduk kepada sistem hukum yang dibuat dan diterapkan oleh pemerintahan kolonial. Diantara hukum yang diberlakukan ialah klasifikasi warga negara berdasarkan kelas sosial seperti yang dipaparkan oleh Hobson diatas.
Begitupun dalam hubungan sosialnya, perlakuan negara terhadap warga negaranya didasarkan pada kelas sosial yang dimilikinya. Karena kaum Sayyid/Alawiyyin saat itu dikenal sebagai kelompok yang paling elit di tengah masyarakat Yaman, maka mereka menduduki posisi terpenting setelah warga Eropa dalam struktur sosial modern yang dibuat dan diterapkan pemerintahan kolonial.
Dan tradisi kolonial yang rasis ini tentunya mempengaruhi orang-orang Arab yang melakukan diaspora ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Asia Tenggara, khususnya Nusantara. Tradisi ini kemudian disakralkan dan wajib ditaati oleh para pengikutnya, khususnya oleh kaum Sayyid/Alawiyyin. Demikian untuk dijadikan strategi untuk menjaga otentisitas kearaban mereka yang ‘sepaket’ dengan prestise yang terkandung di dalamnya.

Terakhir, Muhammad Hasyim Assagaf (2000) menegaskan bahwa justifikasi agama atas tradisi yang rasis ini sebenarnya tidak jelas asal muasal dalilnya, seperti yang ia kutip dari al-Shan’aani. Di bagian penutup bukunya, Assagaf mengatakan bahwa salah satu penyebabnya bersifat historis: dimana kebiasaan pernikahan tertutup kafa’ah syarifah ini dibentuk oleh sejarah permusuhan antara kaum Alawiyyin (keturunan Ali) dengan kaum Khawarij. 
Dalam konteks konflik, demi alasan agama dan (juga) keamanan, kelompok Alawiyyin terpaksa melakukan pernikahan terhadap sesama anggota kelompoknya sendiri. Selain itu juga, Assagaf (Assagaf 2000: 274) menyandarkan penjelasannya pada kitabBughyat al-Mustarsydin  yang ditulis oleh Abdurrahman bin Husain al-Masyhur al-Hadrami, bahwa hukum diharamkannya Syarifah untuk menikah dengan non-Sayyid itu baru dipopulerkan melalui berbagai publikasi setelah kaum Sayyid di Mekah pada awal abad ke-20 berdemonstrasi agar pernikahan Syarifah yang menikah dengan non-Sayyid agar di-fasakh-kan (karena prestise kaum Sayyid terancam).
Terlepas dari dinamika ini, kebanyakan warga pribumi sejak dahulu melihat tradisi kaum Arab Hadrami yang hanya menikahkan anggota keluarganya dengan kelompoknya sendiri sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak adil (untuk si wanitanya). Sekarang pun tradisi ini masih dipandang sama oleh masyarakat Indonesia yang bukan keturunan Arab.
Penutup
Ada sedikit kasus yang berbeda terjadi di kalangan Arab Hadrami di Kedah, Malaysia. Sharifah Zaleha binte Syed Hassan, dalam presentasinya di konferensi internasional bertajukThe Yemen-Hadrami in Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation? di International Islamic University Malaysia (IIUM) 25-26 Agustus 2004, mengatakan bahwa warga keturunan Arab di Kedah kini lebih suka disebut sebagai orang Melayu daripada orang Arab (Hassan 2004).
Tapi sebagaimana yang juga terjadi di belahan lain di Malaysia, di Indonesia banyak kaum Arab Hadrami yang masih dan ingin terus menjaga tradisi otensitas kearabannya/kesayyidannya. Salah satunya yaitu dengan menerapkan tradisi kafa’ah Syarifah dimana pernikahan hanya tertutup bagi kalangan mereka saja. Bagi yang melanggar tradisi ini, biasanya akan diberikan sanksi secara sosial, baik oleh keluarga mereka sendiri maupun kerabat lain.
Akan tetapi kini semakin banyak kaum Arab Hadrami yang telah berani mengubah tradisi ini. Mereka berasimilasi penuh dengan orang-orang non-Arab. Orangtuanya menikahkan putera-puteri mereka dengan orang-orang non-keturunan Arab dan non-Sayyid. Seperti pada tahun 2008 ketika saya pernah mendatangi sebuah undangan pernikahan di Depok, dimana mempelai wanitanya adalah seorang keturunan arab syarifah dan laki-lakinya non-Sayyid.
Jika membaca kembali apa yang dipaparkan oleh Assagaf tentang bagaimana hukuman yang memilukan yang diberikan kepada syarifah yang melanggar tradisi (seperti tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka sendiri), dari pengalaman ini saya justru saya menemukan hal yang sebaliknya. Dalam prosesi pernikahan tersebut, saya lihat baik keluarga dari kalangan si mempelai wanita maupun pria, hadir dan larut dalam kebahagiaan menyambut pernikahan putera puteri mereka yang sedang bersanding di pelaminan.
Bagaimanapun juga,  sikap dan pendapat mengenai tradisi  menjaga kemurnian identitas kaum Arab di Indonesia akan selalu beraneka ragam. Dinamikanya akan selalu bersentuhan dengan dimensi sejarah yang berbeda dari masa ke masa. Sekarang, pro dan kontra mengenai asimilasi kaum peranakan Arab Hadrami di Indonesia seperti yang terjadi pada masa Syeikh Syurkati pada tahun 1913 dapat dikatakan sudah hampir tidak terdengar. Namun, dalam kenyataannya, perdebatan ini masih terus terjadi secara internal di kalangan mereka sendiri.
Baca juga bagian pertama dan kedua nya  disini : 



Bibliografi
1. Affandi, Bisri (1999): Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943), Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia, Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
2. Al-Husaini, Al-Hamid (1996). Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah. Penerbit Yayasan Al-Hamidy.
3. Alattas, Alwi (2005): Pan-Islamism and Islamic Resurgence in the Netherlands East Indies: The Role of Abdullah ibn Alwi Al-Attas (1840-1928). International Conference Proceeding The YemenHadrami in Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation? Kuala Lumpur: International Islamic Universiy Malaysia (IIUM).
4. Al-Kaff, Seggaff bin Ali. 1992. Diraasat fi Nasab as-Saadat banii ‘alawii: Dzuriyyat al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn ‘Isaa. Kuala Lumpur: Utusan Printcorp Sdn. Nhd.
5. Assagaaf, M. Hasyim (2000) Derita Putri-putri Nabi: Studi Historis Kafa’ah Syarifah.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
6. Ensiklopedi Islam (1994) PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta Hassan, Sharifah Zaleha binte Syed (2004). ‘History and Indigenization of the Arabs in Kedah, Malaysia’. International Conference Proceeding The YemenHadrami in Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation? Kuala Lumpur: International Islamic Universiy Malaysia (IIUM).
7. Hisyam, Muhammad (1984) ‘Sayyid Jawi: Studi Kasus Jaringan Sosial di Desa Cikoang Kecamatan Mangara Bombang, Kabupaten Takelar, Sulawesi Selatan.’ Dalam M. Hasyim Assagaf (2000) Derita Putri-Putri Nabi: Studi Historis Kafa’ah Syarifah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
8. Van den Berg, L.W. C. (1886/2010) Orang Arab di Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu.