Bagian Pertama dari 3 tulisan , ( lihat bagian akhir halaman)
By Hikmawan Saefullah -
Orang Arab Hadrami dari Tegal
Tulisan ini pernah saya buat ketika saya
tertarik dengan ‘ilmu nasab’ yang digunakan untuk mencari asal muasal leluhur
keluarga saya. Beberapa serpihan sejarah tentang kaum Arab Hadrami ini pernah
dibahas dalam konferensi internasional bertajuk ‘The Yemen-Hadramis in
Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation?’ di International Islamic
University Malaysia (IIUM) di Kuala Lumpur, pada 26-28 Agustus 2005.
Tulisan ini juga pernah dimuat di blog
Community for Middle Eastern Studies (Conformeast) (sekarang R.I.P). Kini saya
tambahkan beberapa hal yang sempat terlewatkan di tulisan sebelumnya.
Pendahuluan: Awal Diaspora
Pendahuluan: Awal Diaspora
L. VanRijck Vorsel dalam bukunya, “Riwayat Kepulauan Hindia
Timur” menjelaskan bahwa orang-orang Arab Hadrami (berasal dari Hadramaut,
Yaman) datang jauh terlebih dahulu ke wilayah Nusantara dibandingkan
orang-orang Belanda. Sebagaimana para pedagang dari Cina, orang-orang Arab
telah bermigrasi dan tinggal di kepulauan Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
Setidaknya sejak abad ke-13 M, diperkirakan aktivitas penyebaran
ajaran Islam mulai dilakukan oleh berbagai pendatang (kebanyakan pedagang) dari
Maghribi, Arabia, Asia Selatan, dan Timur Jauh. Para pendatang ini kebanyakan
berasal dari keluarga kelas menengah ke atas yang hendak melakukan perdagangan
di kawasan Asia Selatan dan Nusantara. Di saat yang sama mereka menyebarkan keyakinan
mereka (Islam) dan mempengaruhi penguasa-penguasa lokal untuk tertarik memeluk
Islam.
Meskipun syiar Islam ini dalam beberapa kasus tidak merubah
keyakinan penguasa lokal (contohnya Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi
dari Kerajaan Padjadjaran, Jawa Barat dan raja-raja Majapahit), para penyiarnya
diberikan posisi penting dalam pemerintahan kerajaan lokal. Terlebih lagi, oleh
raja-raja Hindu ini mereka diperbolehkan menyebarkan ajaran Islam di wilayah
kekuasaannya.
Kedatangan di Nusantara
Perjalanan orang-orang Arab Hadramaut ke wilayah Nusantara
dilakukan menggunakan kapal-kapal kayu yang mirip bentuknya dengan perahu
pinisi. Bertolak dari pelabuhan Al-Mukalla atau Al-Syhir, mereka kemudian
berlayar hingga ke Malabar di India Selatan. Dari India Selatan, mereka
kemudian melanjutkan perjalanan ke Sri Langka, ke Melayu Aceh, Malaysia,
Singapura, hingga pada akhirnya sebagian besar menetap di Sumatera. Ini
sebabnya banyak di Sumatera, seperti di Aceh, Deli, dan Palembang terdapat
warga keturunan Arab yang cukup banyak. Sedangkan sebagian rombongan lain
meneruskan perjalanan ke wilayah yang lebih jauh seperti Kalimantan, Jawa, dan
Sulawesi.
Berdasarkan sebuah catatan sejarah, pada abad ke-9 M di pulau
Sela dekat Sulawesi terdapat keluarga Alawiyyin (kaum keturunan Rasulullah SAW
& Ali bin Abi Thalib melalui Al-Hasan dan Al-Husain) yang menetap dan
beranak pinak hingga wafatnya.
Mereka datang ke pulau tersebut karena berusaha
untuk melarikan diri dari kejaran Bani Umayyah dan Bani Abbas yang memusuhi mereka
faksi politik Ahlul Bait (keluarga Rasulullah SAW). Konon sejak wafatnya
Rasulullah, banyak di kalangan sahabat seperti Mu’awiyyah bin Abu Sufyan yang
memusuhi Ahlul Bait. Kedua cucu Rasululah, Hasan dan Husain, terbunuh karena
konflik politik dengan klan Mu’awiyyah (Bani Umayyah).
Pelabuhan Al-Mukalla di Yaman,
salah satu titik awal diaspora
Arab Hadrami ke Asia Tenggara.Sumber:
http://www.flickriver.com/places/Yemen/Hadramawt/Al+Mukalla/
Karena latar belakang konflik sejarah ini para keturunan Ahlul
Bait melakukan hijrah ke berbagai wilayah di Timur Tengah, ada yang ke wilayah
Afrika Utara, Persia, dan ada yang ke Arabia Selatan (sekarang Yaman dan Oman).
Tempat hijrah yang paling terkenal di wilayah Arabia Selatan ini adalah
Hadhramaut. Keturunan Nabi yang melakukan diaspora ke daerah ini antara lain
Ahmad bin Isa al-Muhajir.
Keturunan Nabi Muhammad yang ada di Asia Tenggara,
khususnya Indonesia biasanya bersambung silsilahnya ke Ahmad bin Isa. Di banyak
tempat keturunan Nabi Muhammad ini diberi gelar ‘Sayyid’ yang artinya ‘Tuan’.
Kaum Sayyid ini kemudian melakukan diaspora ke luar Arabia bersama dengan kaum
Arab lainnya yang sebagian dikenal sebagai kaum ‘Masyaikh’. Bersama-sama,
mereka disebut sebagai kaum Arab-Hadrami (karena berasal dari Hadhramaut).
Adapun masuknya kaum Arab Hadrami ke Nusantara dalam jumlah yang
cukup besar dapat dibagi kepada dua gelombang utama:
Gelombang pertama terjadi pada abad 13, 14 dan 15 M.
Orang-orang Arab Hadrami yang
datang pada periode ini kebanyakan sudah berasimilasi penuh dengan penduduk
pribumi. Mereka terdiri dari kaum laki-laki yang kemudian menikahi
wanita-wanita setempat dan mempunyai keturunan yang sangat banyak. Baik itu
keturunan yang laki-laki, maupun perempuan, yang pada akhirnya menikahi orang-orang
pribumi lainnya. Saking asimilasinya sudah ‘sempurna’, sulit bagi kebanyakan
orang untuk bisa menemukan silsilahnya yang bersambung ke mereka. Karena
kebanyakan keturunannya, sudah tidak lagi menggunakan nama-nama Arab dan
familinya dan menggunakan nama-nama lokal seperti yang ada di Sunda ataupun
Jawa.
Tapi silsilah yang bersambung ke kaum Arab Hadrami dari periode
ini akan mudah ditemukan bagi mereka yang mempunyai hubungan darah dengan
keluarga kerajaan yang ada di Nusantara.
Konon kaum Arab-Hadrami pada masa ini
banyak yang menikahi puteri-puteri raja setempat agar mendapatkan kekuasaan
atau posisi penting di kerajaan. Diantara mereka adalah para wali yang
menyebarkan ajaran Islam di berbagai penjuru di Nusantara. Para wali ini
kebanyakan adalah kaum Sayyid Alawiyyin keturunan Rasulullah SAW dari
Hadramaut.
Diantara para wali ini antara lain Sunan Gunung Jati (Syarif
Hidayatullah, pendiri Kerajaan Cirebon), Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Giri
(Pendiri Kerajaan Giri), Sunan Bonang, Sunan Ampel (Penasihat penting kerajaan
Demak), Maulana Malik Ibrahim, Sunan Waliyullah, Sunan Puger, Sunan Kalimanyat,
Sunan Pakuan, Sunan Tembayat, Sunan Pakala Nagka, Sunan Geseng, dan lain-lain.
Sedangkan mengenai Sunan Kalijaga, terdapat dua versi.
Ada yang
bilang bahwa ia itu keturunan Jawa asli, dan ada juga yang bilang bahwa ia
merupakan keturunan Arab yang bersambung pada paman Nabi, Abbas bin Abdul
Muthalib. Para wali dan penguasa keturunan Alawiyyin ini memiliki banyak sekali
anak, cucu, dan cicit yang keturunannya masih hidup hingga sekarang. Saking
banyaknya, banyak orang-orang Indonesia yang tidak sadar atau tidak tahu bahwa
mereka masih bagian dari keturunan Alawiyyin diatas.
Beberapa silsilah keluarga kerajaan di Indonesia yang bersambung
ke silsilah kaum Arab Harami dari Alawiyyin antara lain Kerajaan Aceh, Kerajaan
Deli (dari Al-Mahdeli), Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, Kerajaan Pontianak
(dari raja Syarif Abdu al-Rahman al-Qadri), Kerajaan Sumedanglarang (dari Prabu
Geusan Ulun bin Pangeran Santri bin Syekh Muhammad bin Syekh Abdurachman),
Kerajaan Mataram, dan Kerajaan Giri.
Gelombang kedua diaspora Arab Hadrami ialah pada abad ke-17, 18, hingga awal
abad ke-20
(lebih banyak di akhir dan awal abad ke-19). Berbeda dengan generasi
sebelumnya, pada frekuensi yang kedua ini, kedatangan mereka lebih banyak
dipacu oleh keinginan untuk berdagang dan mencari tempat tinggal baru. Meskipun
disaat yang sama terdapat diantara mereka yang melakukan syiar Islam juga.
Bisri Affandi (1999) dalam bukunya yang berjudul ‘Syaikh Ahmad
Syurkati (1874-1943): Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia’ secara
menerangkan bahwa arus migrasi besar-besaran kaum Hadrami ke Nusantara ini
disebabkan oleh tiga faktor:
(1) faktor kesulitan ekonomi di Hadramaut,
(2)
faktor mudahnya sarana transportasi karena revolusi industri, dan terakhir
(3),
faktor kebijakan ekonomi yanhg dikeluarkan pemerintah Belanda yang menjadikan
kaum minoritas Arab dan Cina sebagai perantara perdagangan internasional di
kawasan Nusantara. Ini alasannya mengapa pada masa kolonialisme Belanda
pemerintah kolonial meletakkan orang-orang Arab dan Cina lebih tinggi statusnya
dibandingkan kaum pribumi.
Meskipun mempunyai pola integrasi sosial yang sama dengan
periode sebelumnya (13-15M) yaitu dengan menikahi wanita-wanita pribumi, kaum
Arab Hadrami pada periode kolonial ini lebih eksklusif dimana mereka ingin
menjaga ‘keutuhan’ identitas mereka sebagai kaum Arab Hadrami.
Hal ini terutama dilakukan oleh mereka yang bestatus sebagai
golongan Sayyid (sekarang lebih dikenal dengan sebutan ‘Habib’). Di tempat
asalnya Hadramaut, golongan Sayyid atau Alawiyyin ini menempati kedudukan
sosial yang tinggi karena berasal dari keturunan Ahlul Bait.
Maka dari itu
mereka mengembangkan tradisi yang disebut ‘Pernikahan Kafa’ah/Syarifah’. Dalam
tradisi ini kaum Sayyid melarang anak-anak perempuan mereka (disebut Syarifah)
untuk menikahi laki-laki yang bukan dari golongan Sayyid (dengan kata lain: pribumi).
Hal ini
dijustifikasikan oleh mereka melalui dalil-dalil agama (baca kitab karya Segaff
Ali Al-Kaff yang membahas tentang Bani Alawi) yang mengatakan bahwa kedudukan
nasab (kafa’ah nasab) wanita Alawiyyin itu sangatlah tinggi dibandingkan
laki-laki non-Sayyid.
Pasangan yang paling setara, menurut mereka, adalah
laki-laki dari golongan Sayyid saja. Contohnya, Imam Syafi’i bahkan
mengharamkan pernikahan Syarifah dengan non-Sayyid.
Terlepas dari norma diatas, tradisi pernikahan Syarifah ini ini
sering menimbulkan konflik di masyarakat. Sebagaimana yang akan saya jelaskan
nanti, konflik yang muncul pertama kali di abad ke-20 ialah mengenai konflik
antara Syaikh Akhmad Syurkati yang berbeda pendapat dengan Ulam-ulama Alawiyyin
dari Jami’at Khayr tentang halal atau haramnya pernikahan Syarifah dengan
non-Sayyid….
Baca juga bagian ke dua :
Bagian ke tiga :