Kamis, 29 Agustus 2013

Pledoi.SH.II ( Bagian.3)

Pustaka Sejarah Kadriah 

By : STTS 






Pihak BFO segera menyetujui, bahwa TNI akan merupakan intisari dari APRIS yang akan dibentuk. Di sini saya kutip bagian yang penting bagi perkara ini dari keputusan konperensi Antar-Indonesia babakan ke-2 mengenai ketentaraan (hal. 82):


“Dalam pembentukan Angkatan Perang RIS itu dipergunakan Angkatan Perang Republik Indonesia (TNI) sebagai intisari (kern) bersama-sama dengan bangsa Indonesia yang ada dalam KNIL, ML, KM, VB, Terr-Bat, bekas anggota KNIL dan lain-lain kesatuan dengan syarat-syarat yang akan ditentukan lebih lanjut.”


Pada akhir pembicaraan mengenai soal yang begitu delicaat itu, saya mendapat kesan, bahwa bukan saja pihak BFO, tetapi juga pihak RI merasa puas akan hasil-hasil yang tercapai.


Terdorong oleh hasil-hasil pembicaraan yang memuaskan itu, di Jakarta saya berusaha sekeras-kerasnya supaya sebanyak-banyak anggota KNIL bangsa Indonesia masuk ke dalam APRIS.


Saudara Ketua,
Bagi saya sebagai putera Indonesia dan sebagai militer tak ada keadaan yang paling sempurna daripada persatuan yang seerat-eratnya antara TNI dengan semangat perjuangannya dan KNIL dengan pengalamannya dan kecakapannya teknis.


Dan segala sesuatu tadi dimungkinkan, karena hasil-hasil dari Konperensi Antar-Indonesia, yang diadakan oleh dan antara bangsa Indonesia sendiri di dalam suasana yang penuh dengan keselarasan (in een sfeer van volkomen harmonie).


Saudara Ketua,
Apakah saya memang pandir (onnozel), oleh karena saya mendapat keyakinan yang mutlak, bahwa kita bangsa Indonesia juga dalam hal ini bersatu?

Apakah perkiraan sayalah yang salah, yang menimbulkan keyakinan, bahwa persetujuan yang dicapai oleh delegasi dari kedua belah pihak itu tidak hanya merupakan kertas sobekan?

Salahkah saya, bahwa saya menaruh kepercayaan 100% kepada bangsa sendiri?


Saudara Ketua,
Saya segera menyetujui, bahwa TNI merupakan intisari APRIS karena saya pandang, bahwa yang demikian itu memang sudah selayaknya. Akan tetapi seujung rambut pun tak pernah timbul pikiran akan adanya kemungkinan, bahwa APRIS hanya akan terdiri dari intisari semata-mata, sebagai yang praktis terjadi sekarang ini.


Timbullah pertanyaan pada hati saya: Apakah perlunya mengelabui BFO? Apakah di belakangnya ada rasa ketakutan, bahwa KNIL pada suatu saat akan merobohkan RI?

Apabila memang ada maksud demikian, tak akan saya kiranya kerja bersama dengan RI. 

Di dalam hal demikian saya akan mengumpulkan semua bekas KNIL untuk menyerang RI.

Saya tidak akan mengatakan, bahwa di dalam pergulatan itu saya akan ada dalam pihak yang menang, akan tetapi pasti ialah, bahwa RI oleh karenanya akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak terhingga.

Berhubung dengan ini, saya ingat akan pernyataan pimpinan tentara kita mengenai pemberontakan Batalion 426. 

Dikatakan, bahwa untuk menaklukkan batalion yang berontak itu diperlukan delapan batalion. Kalau saya tidak salah yang memberontak tidak seluruh batalion, akan tetapi hanya dua kompi saja dari batalion itu, dan hingga sekarang sisa-sisa dari yang berontak itu masih juga berkeliaran.


Saudara Ketua,
Jadi sesudah Konperensi Antar-Indonesia, saya berkeyakinan teguh, bahwa kerja sama antara RI dan BFO di lapangan ketentaraan sudah sejelas-jelasnya, tak ada sesuatu apa pun yang dapat merintanginya.


Saya terus terang akui, bahwa dalam kabinet RIS yang akan dibentuk, saya mengharapkan portofolio Pertahanan. Akan tetapi serenta pada pembentukan pemerintah RIS saya mengetahui, bahwa dari pihak RI ada keberatan-keberatan yang tak mungkin dihindarkan terhadap pengangkatan saya sebagai Menteri Pertahanan, saya dapat mengerti dan menerima keberatan-keberatan itu.


Kemudian saya mengadakan pembicaraan dengan Sultan Hamengkubuwono IX yang akan diangkat menjadi Menteri Pertahanan. Pembicaraan ini mengenai pembentukan staf APRIS.

Hasil pembicaraan ini memuaskan kedua belah pihak.

Sultan Hamengkubwono menyanggupkan, bahwa dalam staf APRIS akan ditempatkan tiga orang opsir TNI dan tiga opsir bekas KNIL.






Saudara Ketua,
Perhatikanlah sekarang caranya pelaksanaan kesanggupan tadi.

Dengan kepercayaan sepenuhnya saya mengira bahwa Sri Sultan Jogja akan menunaikan kesanggupannya itu. Memang, olehnya dipenuhi kesanggupannya, akan tetapi bagaimana caranya?

Memang benar olehnya diangkat dalam staf beberapa bekas opsir KNIL akan tetapi, sedang opsir-opsir Angkatan Darat, Angkatan Udara dan Angkatan Laut RI dengan sekaligus diangkat menjadi chief staff darimasing-masing bagian angkatan perang, opsir-opsir KNIL hanya diberi tugas di belakang meja tulis, dengan tidak diserahi pertanggunganjawab komando.


Saudara Ketua,
Demikianlah akhirnya nasib hasil-hasil pembicaraan antara RI dan BFO mengenai kerjasama di lapangan ketentaraan yang semula oleh BFO dikirakan akan dikerjakan dengan persatuan yang seerat-eratnya.


Sekali lagi saya kemukakan di sini bahwa Sri Sultan Jogja telah memenuhi janjinya dengan sewajarnya (lettelijk), akan tetapi pada siapa yang mengikuti perkara saya ini dengan seksama, tak luput akan timbul pertanyaan: Bagaimanakah jika BFO bertindak sedemikian pula terhadap RI?


Saudara Ketua,
Tiap kali didengung-dengungkan, bahwa kita harus mempertimbangkan adanya sentiment. Saya setuju sepenuhnya akan hal ini.

Akan tetapi, kalau kita melihat segala sesuatu di dalam negara dan masyarakat kita pada dewasa ini, timbullah pertanyaan: Apakah sentiment itu hanya menjadi monopolinya RI?

 Dan apabila memang begitu, apakah yang demikian beralasan? Apakah orang lain tidak boleh mempunyai sentiment juga? Dan tidak perlukah sentiment ini diperhatikan dan dipertimbangkan pula?


Saya tidak akan menyangkal sedikitpun hak RI untuk memegang komando dari ketiga bagian Angkatan Perang.


Akan tetapi mengherankanlah, apabila opsir-opsir bekas KNIL yang tadinya dengan penuh antusiasme mau menggabungkan diri dalam APRIS akan merasa ragu-ragu terhadap diri saya, serenta mereka dalam APRIS hanya diserahi komando atas meja tulis?


Dan hingga kini rupanya sentiment masih meliputi suasana. Yang demikian itu dapat saya ambil sebagai kesimpulan dari pengangkatan opsir-opsir anggota untuk Mahkamah Tentara.

Dari nama-nama yang diangkat tak terdapat seorangpun bekas opsir KNIL dari BFO entoh saya berkeyakinan, bahwa di antara mereka tentu ada yang cakap dan berpengalaman untuk menjadi anggota Mahkamah Tentara Agung.


Apakah dengan keadaan demikian mungkin kerjasama yang seerat-eratnya antara opsir-opsir TNI dan opsir-opsir bekas KNIL? Adapun kepentingan negara menuntut persesuaian paham dan kerjasama antara kedua golongan itu!


Juga mengenai anggota rendahan dari KNIL, saya mengalami kesukaran-kesukaran yang dalam hakekatnya sama kesukaran-kesukaran yang dialami oleh opsir-opsir bekas KNIL.


Hasil anjuran saya supaya mereka masuk APRIS sama sekali tidak memuaskan. Yang mau masuk akhirnya hanya sedikit sekali. Dan yang demikian itu, tidak oleh karena mereka tidak ada minat untuk menggabungkan diri dalam APRIS, akan tetapi oleh karena kekecewaan yang dialami oleh mereka yang telah mengga­bungkan diri.


Salah satu akibat dari segala kekecewaan ialah antara lain peristiwa-peristiwa RMS dan Andi Azis, peristiwa-peristiwa mana sangat saya sesalkan.


Siapa Pengkhianat ?


Saudara Ketua,
Saya mempunyai keyakinan sepenuhnya, bahwa peristiwa-peristiwa tadi tak akan terjadi, apabil RI baik di lapangan politik, maupun di lapangan ketentaraan tidak melanggar dasar-dasar fair play.


Saudara Ketua,
Sampai sekian saya akhiri peninjauan saya mengenai kejadian-kejadian di la­pangan ketentaraan, yang menimbulkan rasa tidak puas dalam hati saya.


Marilah sekarang kita meninjau pelaksanaan hasil-hasil Konperensi Antar-Indonesia di lapangan politik dan ketatanegaraan.


Sebagai telah dikemukakan di atas, adalah merupakan persesuaian paham dan persetujuan yang bulat, bahwa negara kita negara demokrasi yang berbentuk federasi. Dan ide federasi ini di-koncenteer dalam UUD Sementara RIS, yang juga merupakan hasil pembicaraan antara kita dengan kita.


Juga dalam kalangan RI sendiri ide federalisme ini hidup. Yang menarik perhatian berhubung dengan ini, ialah salah satu pertimbangan dalam keputusan sela (interlocutoir vonnis) Mahkamah Agung Tentara RI tanggal 4 Maret 1948 di dalam perkara Peristiwa 3 Juli (hal. 11).


Sesudah mempertimbangkan sahnya Negara Republik Indonesia, Mahkamah Agung selanjutnya memberi pertimbangan yang bunyinya sebagai berikut:


“Linggarjati dan Renville tidak dapat mengubah keadaan itu dan souvereiniteit Belanda yang dimaksudkan dalam perjanjian itu tidak mempengaruhi kedudukan Republik Indonesia sebagai Negara dalam bentuk, sifat dan kekuasaan yang sekarang telah tercapai dengan perjuangan lebih kurang 2,5 tahun setelahnya proklamasi kemerdekaan kita 17-08-1945, sedang tujuannya ialah mendirikan Negara Indonesia Serikat yang berdaulat kedalam dan keluar selekas mungkin.”


Demikian bunyinya pertimbangan itu. Apabila kita mengetahui, bahwa pada waktu itu belum ada BFO, mau tidak mau harus diakui, bahwa federalisme itu bukan suatu ciptaan Belanda semata-mata.


Perlu dicatat rasanya di sini, bahwa saudara Ketua Mahkamah Agung, yang sekarang memegang pimpinan sidang ini, turut ambil bagian dalam mengambil keputusan tadi sebagai anggota Mahkamah Agung tentara tersebut. Juga jika saya tidak salah aliran federalisme di luar dan di dalam parlemen sekarang tampak dengan jelas.




Saudara Ketua,
Bagaimanakah sekarang pelaksanaan segala sesuatu tersebut?
Sekembali saya dari negeri Belanda, segera saya melihat tendens-tendens yang menuju ke arah penghapusan negara-negara bagian secara ilegal untuk melaksanakan negara kesatuan selekas-lekasnya.


Sebagai diketahui, dari dulu hingga sekarang saya seorang yang berkeyakinan federalisme. Akan tetapi di atasnya itu, saya seorang putera Indonesia dan apabila rakyat saya menghendaki negara kesatuan dan menyatakan kehendaknya itu da­lam suatu referendum atau pemilihan umum, sayalah yang pertama-tama akan tunduk kepada kehendak rakyat itu.


Saya sesalkan benar bahwa aliran-aliran yang menghendaki negara kesatuan itu mengambil jalan yang inkonstitusionil untuk menghapuskan negara-negara bagian. 

Akan tetapi yang lebih-lebih menyinggung perasaan saya ialah, 

bahwa saya merasa telah terperdaya oleh wakil-wakil bangsa saya sendiri. Apakah gunanya Konperensi Antar-Indonesia? Apakah arti perkataan-perkataan dan ucapan-ucapan yang muluk-muluk dari para pemimpin RI? 

Buat apakah RI me-ratificeer UUD Sementara RIS?

Apakah semua itu hanya merupakan sandiwara belaka?

Pertanyaan-pertanyaan serupa itulah yang selalu meliputi pikiran saya, serenta melihat perkembangan politik dan ketatanegaraan dalam negara kita, tidak lama setelah penyerahan kedaulatan.


Kecuali dari itu, oleh karena caranya bekerja dari aliran, yang menghendaki selekas mungkin dihapuskannya negara-negara bagian, pada saya timbul kekhawatiran kalau-kalau di negara kita akan timbul kekacauan yang tak terhingga. 


Dalam sidang Mahkamah Agung saya mendengar celaan, karena saya, katanya tak turut serta dalam usaha untuk mencegah atau mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah.


Akan tetapi, usaha apa yang harus saya jalankan sebagai Menteri Negara, yang tak mempunyai tugas yang tertentu. Sekali-kali saya mau turut campur un­tuk memecahkan soal ketentaraan dengan sebaik-baiknya, yang demikian itu ti­dak dapat penghargaan, bahkan dikatakan, bahwa saya usah turut campur dalam urusan orang lain.


Tidak satu kali saja, akan tetapi berkali-kali saya mempersoalkan keadaan da­lam negeri dengan kawan-kawan menteri negara lainnya.


Apakah yang harus saya kerjakan? Tindakan apakah yang saya dapat ambil?

Sebagai menteri negara saya hanya diserahi tugas menyiapkan gedung parlemen dan membikin rencana buat lambang negara. Sampai saya ditangkap dan kemudian ditahan tak ada lain tugas saya!

Dengan terus terang saya dapat mengatakan di sini, bahwa saya sebagai men­teri negara makan gaji buta sebesar Rp. 1.000 sebulan.




Bersambung ke Bagian IV