Pustaka Sejarah Kadriah
By : STTS
Pihak BFO segera menyetujui, bahwa TNI akan
merupakan intisari dari APRIS yang akan dibentuk. Di sini saya kutip bagian
yang penting bagi perkara ini dari keputusan konperensi Antar-Indonesia babakan
ke-2 mengenai ketentaraan (hal. 82):
“Dalam pembentukan Angkatan Perang RIS itu dipergunakan Angkatan
Perang Republik Indonesia (TNI) sebagai intisari (kern) bersama-sama dengan
bangsa Indonesia yang ada dalam KNIL, ML, KM, VB, Terr-Bat, bekas anggota KNIL
dan lain-lain kesatuan dengan syarat-syarat yang akan ditentukan lebih lanjut.”
Pada akhir pembicaraan mengenai soal yang begitu
delicaat itu, saya mendapat kesan, bahwa bukan saja pihak BFO, tetapi juga
pihak RI merasa puas akan hasil-hasil yang tercapai.
Terdorong oleh hasil-hasil pembicaraan yang
memuaskan itu, di Jakarta saya berusaha sekeras-kerasnya supaya sebanyak-banyak
anggota KNIL bangsa Indonesia masuk ke dalam APRIS.
Saudara Ketua,
Bagi
saya sebagai putera Indonesia dan sebagai militer tak ada keadaan yang paling
sempurna daripada persatuan yang seerat-eratnya antara TNI dengan semangat
perjuangannya dan KNIL dengan pengalamannya dan kecakapannya teknis.
Dan segala sesuatu tadi dimungkinkan, karena
hasil-hasil dari Konperensi Antar-Indonesia, yang diadakan oleh dan antara
bangsa Indonesia sendiri di dalam suasana yang penuh dengan keselarasan (in een sfeer van volkomen harmonie).
Saudara Ketua,
Apakah saya memang pandir (onnozel), oleh karena saya mendapat keyakinan yang
mutlak, bahwa kita bangsa Indonesia juga dalam hal ini bersatu?
Apakah perkiraan sayalah yang salah, yang
menimbulkan keyakinan, bahwa persetujuan yang dicapai oleh delegasi dari kedua
belah pihak itu tidak hanya merupakan kertas sobekan?
Salahkah saya, bahwa saya menaruh kepercayaan
100% kepada bangsa sendiri?
Saudara Ketua,
Saya segera menyetujui, bahwa TNI merupakan
intisari APRIS karena saya pandang, bahwa yang demikian itu memang sudah
selayaknya. Akan tetapi seujung rambut pun tak pernah timbul pikiran akan
adanya kemungkinan, bahwa APRIS hanya akan terdiri dari intisari semata-mata,
sebagai yang praktis terjadi sekarang ini.
Timbullah
pertanyaan pada hati saya: Apakah perlunya mengelabui BFO? Apakah di
belakangnya ada rasa ketakutan, bahwa KNIL pada suatu saat akan merobohkan RI?
Apabila
memang ada maksud demikian, tak akan saya kiranya kerja bersama dengan RI.
Di
dalam hal demikian saya akan mengumpulkan semua bekas KNIL untuk menyerang RI.
Saya tidak akan mengatakan, bahwa di dalam
pergulatan itu saya akan ada dalam pihak yang menang, akan tetapi pasti ialah,
bahwa RI oleh karenanya akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak terhingga.
Berhubung dengan ini, saya ingat akan pernyataan
pimpinan tentara kita mengenai pemberontakan Batalion 426.
Dikatakan, bahwa untuk
menaklukkan batalion yang berontak itu diperlukan delapan batalion. Kalau saya
tidak salah yang memberontak tidak seluruh batalion, akan tetapi hanya dua
kompi saja dari batalion itu, dan hingga sekarang sisa-sisa dari yang berontak
itu masih juga berkeliaran.
Saudara Ketua,
Jadi sesudah Konperensi Antar-Indonesia, saya
berkeyakinan teguh, bahwa kerja sama antara RI dan BFO di lapangan ketentaraan
sudah sejelas-jelasnya, tak ada sesuatu apa pun yang dapat merintanginya.
Saya terus terang akui, bahwa dalam kabinet RIS
yang akan dibentuk, saya mengharapkan portofolio Pertahanan. Akan tetapi
serenta pada pembentukan pemerintah RIS saya mengetahui, bahwa dari pihak RI
ada keberatan-keberatan yang tak mungkin dihindarkan terhadap pengangkatan saya
sebagai Menteri Pertahanan, saya dapat mengerti dan menerima keberatan-keberatan
itu.
Kemudian saya mengadakan pembicaraan dengan Sultan Hamengkubuwono IX
yang akan diangkat menjadi Menteri Pertahanan. Pembicaraan ini
mengenai pembentukan staf APRIS.
Hasil pembicaraan ini memuaskan kedua belah
pihak.
Sultan Hamengkubwono menyanggupkan, bahwa dalam
staf APRIS akan ditempatkan tiga orang opsir TNI dan tiga opsir bekas KNIL.
Saudara Ketua,
Perhatikanlah sekarang caranya pelaksanaan
kesanggupan tadi.
Dengan kepercayaan sepenuhnya saya mengira bahwa
Sri Sultan Jogja akan menunaikan kesanggupannya itu. Memang, olehnya dipenuhi
kesanggupannya, akan tetapi bagaimana caranya?
Memang benar olehnya diangkat dalam staf
beberapa bekas opsir KNIL akan tetapi, sedang opsir-opsir Angkatan Darat,
Angkatan Udara dan Angkatan Laut RI dengan sekaligus diangkat menjadi chief staff darimasing-masing
bagian angkatan perang, opsir-opsir KNIL hanya diberi tugas di belakang meja tulis, dengan
tidak diserahi pertanggunganjawab komando.
Saudara Ketua,
Demikianlah akhirnya nasib hasil-hasil
pembicaraan antara RI dan BFO mengenai kerjasama di lapangan ketentaraan yang
semula oleh BFO dikirakan akan dikerjakan dengan persatuan yang seerat-eratnya.
Sekali lagi saya kemukakan di sini bahwa Sri
Sultan Jogja telah memenuhi janjinya dengan sewajarnya (lettelijk), akan tetapi pada siapa yang mengikuti
perkara saya ini dengan seksama, tak luput akan timbul pertanyaan: Bagaimanakah
jika BFO bertindak sedemikian pula terhadap RI?
Saudara Ketua,
Tiap kali didengung-dengungkan, bahwa kita harus
mempertimbangkan adanya sentiment. Saya setuju sepenuhnya akan hal ini.
Akan tetapi, kalau kita melihat segala sesuatu
di dalam negara dan masyarakat kita pada dewasa ini, timbullah pertanyaan:
Apakah sentiment itu hanya menjadi monopolinya RI?
Dan apabila memang begitu,
apakah yang demikian beralasan? Apakah orang lain tidak boleh mempunyai sentiment juga? Dan tidak perlukah sentiment ini
diperhatikan dan dipertimbangkan pula?
Saya tidak akan menyangkal sedikitpun hak RI
untuk memegang komando dari ketiga bagian Angkatan Perang.
Akan tetapi mengherankanlah, apabila opsir-opsir
bekas KNIL yang tadinya dengan penuh antusiasme mau menggabungkan diri dalam
APRIS akan merasa ragu-ragu terhadap diri saya, serenta mereka dalam APRIS hanya diserahi komando atas
meja tulis?
Dan hingga kini rupanya sentiment masih meliputi suasana. Yang demikian itu
dapat saya ambil sebagai kesimpulan dari pengangkatan opsir-opsir anggota untuk
Mahkamah Tentara.
Dari nama-nama yang diangkat tak terdapat seorangpun
bekas opsir KNIL dari BFO entoh saya berkeyakinan, bahwa di antara mereka tentu
ada yang cakap dan berpengalaman untuk menjadi anggota Mahkamah Tentara Agung.
Apakah dengan keadaan demikian mungkin kerjasama
yang seerat-eratnya antara opsir-opsir TNI dan opsir-opsir bekas KNIL? Adapun
kepentingan negara menuntut persesuaian paham dan kerjasama antara kedua
golongan itu!
Juga mengenai anggota rendahan dari KNIL, saya
mengalami kesukaran-kesukaran yang dalam hakekatnya sama kesukaran-kesukaran
yang dialami oleh opsir-opsir bekas KNIL.
Hasil anjuran saya supaya mereka masuk APRIS
sama sekali tidak memuaskan. Yang mau masuk akhirnya hanya sedikit sekali. Dan
yang demikian itu, tidak oleh karena mereka tidak ada minat untuk menggabungkan
diri dalam APRIS, akan tetapi oleh karena kekecewaan yang dialami oleh mereka
yang telah menggabungkan diri.
Salah satu akibat dari segala kekecewaan ialah
antara lain peristiwa-peristiwa RMS dan Andi Azis, peristiwa-peristiwa mana
sangat saya sesalkan.
Siapa Pengkhianat ?
Saudara Ketua,
Saya mempunyai keyakinan sepenuhnya, bahwa
peristiwa-peristiwa tadi tak akan terjadi, apabil RI baik di lapangan politik,
maupun di lapangan ketentaraan tidak melanggar dasar-dasar fair play.
Saudara Ketua,
Sampai sekian saya akhiri peninjauan saya
mengenai kejadian-kejadian di lapangan ketentaraan, yang menimbulkan rasa
tidak puas dalam hati saya.
Marilah sekarang kita meninjau pelaksanaan
hasil-hasil Konperensi Antar-Indonesia di lapangan politik dan ketatanegaraan.
Sebagai
telah dikemukakan di atas, adalah merupakan persesuaian paham dan persetujuan
yang bulat, bahwa negara kita negara demokrasi yang berbentuk federasi. Dan ide federasi ini di-koncenteer dalam UUD Sementara RIS, yang juga
merupakan hasil pembicaraan antara kita dengan kita.
Juga dalam kalangan RI sendiri ide federalisme
ini hidup. Yang menarik perhatian berhubung dengan ini, ialah salah satu
pertimbangan dalam keputusan sela (interlocutoir vonnis) Mahkamah Agung Tentara RI tanggal 4 Maret
1948 di dalam perkara Peristiwa 3 Juli (hal. 11).
Sesudah mempertimbangkan sahnya Negara Republik
Indonesia, Mahkamah Agung selanjutnya memberi pertimbangan yang bunyinya
sebagai berikut:
“Linggarjati dan Renville tidak dapat mengubah keadaan itu dan
souvereiniteit Belanda yang dimaksudkan dalam perjanjian itu tidak mempengaruhi
kedudukan Republik Indonesia sebagai Negara dalam bentuk, sifat dan kekuasaan
yang sekarang telah tercapai dengan perjuangan lebih kurang 2,5 tahun
setelahnya proklamasi kemerdekaan kita 17-08-1945, sedang tujuannya ialah mendirikan
Negara Indonesia Serikat yang berdaulat kedalam dan keluar selekas mungkin.”
Demikian bunyinya pertimbangan itu. Apabila kita
mengetahui, bahwa pada waktu itu belum ada BFO, mau tidak mau harus diakui,
bahwa federalisme itu bukan suatu ciptaan Belanda semata-mata.
Perlu dicatat rasanya di sini, bahwa saudara
Ketua Mahkamah Agung, yang sekarang memegang pimpinan sidang ini, turut ambil
bagian dalam mengambil keputusan tadi sebagai anggota Mahkamah Agung tentara
tersebut. Juga jika saya tidak salah aliran federalisme di luar dan di dalam
parlemen sekarang tampak dengan jelas.
Saudara Ketua,
Bagaimanakah sekarang pelaksanaan segala sesuatu
tersebut?
Sekembali saya dari negeri Belanda, segera saya
melihat tendens-tendens yang menuju ke arah penghapusan
negara-negara bagian secara ilegal untuk melaksanakan negara kesatuan
selekas-lekasnya.
Sebagai
diketahui, dari dulu hingga sekarang saya seorang yang berkeyakinan
federalisme. Akan tetapi di atasnya itu, saya seorang putera Indonesia dan
apabila rakyat saya menghendaki negara kesatuan dan menyatakan kehendaknya itu
dalam suatu referendum atau pemilihan umum, sayalah yang pertama-tama akan
tunduk kepada kehendak rakyat itu.
Saya sesalkan benar bahwa aliran-aliran yang
menghendaki negara kesatuan itu mengambil jalan yang inkonstitusionil untuk menghapuskan
negara-negara bagian.
Akan tetapi yang lebih-lebih menyinggung perasaan saya
ialah,
bahwa saya merasa telah terperdaya oleh wakil-wakil bangsa saya sendiri.
Apakah gunanya Konperensi Antar-Indonesia? Apakah arti perkataan-perkataan dan
ucapan-ucapan yang muluk-muluk dari para pemimpin RI?
Buat apakah RI me-ratificeer UUD Sementara RIS?
Apakah semua itu hanya merupakan sandiwara
belaka?
Pertanyaan-pertanyaan serupa itulah yang selalu
meliputi pikiran saya, serenta melihat perkembangan politik dan ketatanegaraan
dalam negara kita, tidak lama setelah penyerahan kedaulatan.
Kecuali dari itu, oleh karena caranya bekerja
dari aliran, yang menghendaki selekas mungkin dihapuskannya negara-negara
bagian, pada saya timbul kekhawatiran kalau-kalau di negara kita akan timbul
kekacauan yang tak terhingga.
Dalam sidang Mahkamah Agung saya mendengar
celaan, karena saya, katanya tak turut serta dalam usaha untuk mencegah atau
mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah.
Akan tetapi, usaha apa yang harus saya jalankan
sebagai Menteri Negara, yang tak mempunyai tugas yang tertentu. Sekali-kali
saya mau turut campur untuk memecahkan soal ketentaraan dengan sebaik-baiknya,
yang demikian itu tidak dapat penghargaan, bahkan dikatakan, bahwa saya usah
turut campur dalam urusan orang lain.
Tidak satu kali saja, akan tetapi berkali-kali
saya mempersoalkan keadaan dalam negeri dengan kawan-kawan menteri negara
lainnya.
Apakah yang harus saya kerjakan? Tindakan apakah
yang saya dapat ambil?
Sebagai menteri negara saya hanya diserahi tugas
menyiapkan gedung parlemen dan membikin rencana buat lambang negara. Sampai
saya ditangkap dan kemudian ditahan tak ada lain tugas saya!
Dengan terus terang saya dapat mengatakan di
sini, bahwa saya sebagai menteri negara makan gaji buta sebesar Rp. 1.000
sebulan.
Bersambung ke Bagian IV
Klik >> : Pledoi Bagian akhir