Kamis, 12 April 2012

Amendemen UUD 1945 untuk Bubarkan DPR, suatu analisa



Amendemen UUD 1945 untuk Bubarkan DPR
 Posted by TM. Dhani Iqbal Bernala Thursday, April 7th, 2011 TM. 

Dhani Iqbal Gagasan mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945 untuk kelima kalinya kembali mengemuka. Dalam upaya pencarian bentuk ideal, perlu kiranya untuk memikirkan sesuatu secara lebih mendalam, yakni membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Bukan karena ia warisan Belanda, atau karena tingkah polah banyak anggotanya, tetapi ia menjadi sesuatu yang tak diperlukan dan tak efisien dalam semangat desentralisasi. Dewan Perwakilan Rakyat dapat ditelusuri keberadaannya sejak zaman penjajahan Belanda. Saat itu, ia bernama Volksraad. Dibentuk pada penghujung 1916, ia berfungsi untuk mengurusi segala macam persoalan, seperti perlawanan petani kulit coklat, persoalan produksi, atau hal ihwal komoditas yang timbul di tanah jajahan.

 Keberadaan lembaga itu juga menandai munculnya keinginan memberikan otonomi dari Kerajaan Belanda di tanah jajahan yang mereka namai sendiri sebagai Hindia Belanda. Seiring kedatangan Jepang dan hancurnya Belanda, Volksraad bubar. 

Saat Jepang hengkang, Indonesia segera mendirikan Komite Nasional Indonesia Pusat untuk membuat segala macam peraturan (sebagaimana Volksraad). Komite ini lahir pada 29 Agustus 1945, dua belas hari sejak proklamasi Indonesia, di Jakarta. Ia beranggotakan 137 orang yang berasal dari banyak kawasan. Pada 15 Februari 1950, Komite dibubarkan. Indonesia memasuki masa Federasi; Republik Indonesia Serikat, meski negara bagian sebetulnya sudah mulai muncul pada akhir 1946. Sebagaimana pengertian serikat, Indonesia memang himpunan dari beberapa negara, umumnya berbentuk kerajaan, yang terlebih dahulu ada. 

Sebut saja Aceh, Siak, Ngajogjakarta Hadiningrat, Kutai, Ternate, Bone, dan seterusnya. 
Pada negara-negara ini, konsepsi persatuan menjadi Indonesia dimulai dari adanya penjajahan oleh bangsa Eropa (pernyataan ini sebetulnya simplistis, karena beberapa tak mengalami penjajahan atau peperangan).

 Slogannya adalah to become free they become one. 

Argumen penyatuan ini, dikatakan oleh YB Mangunwijaya dalam bukunya Menuju Republik Indonesia Serikat (1998), dipicu oleh rasa senasib sependeritaan, solidaritas karena dijajah, dihisap, dan dihancurkan oleh bangsa yang sama. Identitas-identitas berbeda yang menghimpun dalam satu negara menjadi dasar dari federasi. 

Identitas-identitas itu bak lain lubuk lain ikannya. Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi satu. Berdasarkan watak federasi, maka unsur legislatif pun dibuat dua, yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Negara atau Senat. 

 Saat itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat berjumlah 146 orang yang mewakili negara-negara bagian.

 Negara bagian tersebut adalah : sejumlah 16 Negara Bagian, 

1-Negara Bangka (2 orang), 
2-Negara Banjar (3 orang), 
3-Negara Belitung (2 orang),
4-Negara Dayak Besar (2 orang), 
5-Negara Indonesia Timur (17 orang), 
6-Negara Jawa Tengah (12 orang), 
7-Negara Jawa Timur (15 orang), 
8-Negara Kalimantan Barat (4 orang), 
9-Negara Kalimantan Tenggara (2 orang), 
10-Negara Kalimantan Timur (2 orang), 
11-Negara Madura (5 orang), 
12-Negara Pasundan (21 orang), 
13-Negara Republik Indonesia (49 orang), 
14-Negara Riau (2 orang), 
15-Negara Sumatera Selatan (4 orang), 
16-dan Negara Sumatera Timur (4 orang). 

 Untuk Senat, keanggotannya berjumlah 32 orang. 

Ia diisi oleh negara-negara bagian yang masing-masing diwakili oleh dua orang. Tiap wakil ditunjuk oleh pemerintah masing-masing negara bagian atas anjuran Badan Perwakilan Rakyat Negara Bagian. Namun, wakil yang dianjurkan itu tidak boleh berasal dari anggota Badan Perwakilan Rakyat Negara Bagian. Sementara, Majelis Permusyawaratan merupakan sidang gabungan antara Dewan dan Senat tersebut. Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat ini sesuai dengan hasil akhir yang disepakati dalam Konferensi Inter Indonesia pada akhir Juli hingga awal Agustus 1949.

 Di sini, kekuasaan Senat cukup signifikan. Ia tak hanya dapat memberi pertimbangan dalam semua hal, tetapi juga berkuasa untuk pembentukan undang-undang tentang hal-hal yang terkait perhubungan pemerintah pusat Republik Indonesia Serikat dan negara-negara bagian atau antara negara-negara bagian dengan negara-negara bagian lainnya. R.Z. Leirissa dalam bukunya Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (2006) mencatat bahwa apabila penentuan tersebut dilakukan oleh pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, atau Senat, maka rancangan undang-undang tersebut harus diperundingkan dahulu oleh Senat. 

Senat pun dapat menolak rancangan undang-undang yang sudah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jikapun tetap hendak diterima sebagai undang-undang, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukannya sekali lagi dengan dua pertiga dari jumlah suara. 

 Jika di masa sekarang ada tarik ulur kewenangan antara Dewan Perwakilan Daerah atau Senat, sesungguhnya itu bukanlah hal baru. Di Konferensi Inter Indonesia tersebut, sebelum mencapai hasil akhir, ada perdebatan mengenai bagaimana Senat harus berupa. Adu pandangan itu berlangsung antara Negara Republik Indonesia yang meliputi Yogyakarta dan Jakarta dengan Perhimpunan Musyawarah Federal (Bijeenkomst Federaal Overleg, BFO) yang meliputi Negara Banjar, Negara Bangka, Negara Biliton, Negara Dayak Besar, Negara Indonesia Timur (Timur Raya), Negara Jawa Timur, Negara Jawa Tengah, Negara Kalimantan Barat, Negara Kalimantan Tenggara, Negara Kalimantan Timur, Negara Madura, Pasundan, Negara Sumatera Selatan, dan Negara Sumatera Timur. 

 Negara Republik Indonesia menginginkan agar Senat hanya berwenang untuk memberi nasihat, tak punya kewenangan membuat undang-undang. Namun, sebaliknya, BFO justru menginginkan agar selain dapat memberi pertimbangan, Senat juga dapat membuat undang-undang. Perdebatan ini alot, sebelum akhirnya pandangan BFO-lah yang disepakati. 

 Akan tetapi, kala Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada 17 Agustus 1950, yang berarti Negara Republik Indonesia memperluas diri, Senat turut melenyap. Sejak itu, tak ada lagi mekanisme konstitusional untuk mengkoreksi ketidakadilan pembangunan yang merebak di banyak daerah di luar Jakarta. Yang melakukan pengawasan terhadap pemerintah pusat hanyalah Dewan Perwakilan Rakyat, yang diisi oleh partai-partai yang datang dan pergi. 

 Pada sepanjang 1950-an, Indonesia lalu diwarnai oleh gejolak-gejolak di banyak daerah akibat kehidupan yang berjalan timpang. Pembangunan di Jakarta, ibukota negara, berlangsung lancar, sementara pulau-pulau lain terjerembab.

 Padahal, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, atau Maluku, menghasilkan ekspor bahan mentah yang jumlahnya mencapai sekitar tiga perempat dari devisa Indonesia seluruhnya. Namun, pemerintah Jakarta hanya mengalokasikan seperempat untuk daerah-daerah tersebut dan sisanya dibawa ke Jakarta.

 Gejolak terus terjadi, dan pada sekitaran 1958 hingga 1961, Indonesia terbelah oleh perang saudara, antara Sumatera-Sulawesi, juga Kalimantan, di satu pihak, dengan Jakarta di pihak lain. 

Selain persoalan ketimpangan sebagai pokok, kemelut yang terjadi di tubuh militer juga mewarnai, selain ideologi-ideologi yang turut beladu. “Soekarno tampaknya tidak pernah menyadari implikasi politik yang memperkuat perasaan anti-Jakarta di daerah-daerah yang menganggap kebijakan pusat itu sebagai Jawa-sentris,” tulis Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin dalam bukunya Subversif Sebagai Politik Luar Negeri (1997). 

 Tak berhenti di situ, kepentingan daerah, kelak di rezim Jenderal Suharto, malah dianggap cukup diwakili oleh apa yang disebut utusan daerah; seolah daerah itu adalah satu buah. 

 Namun, pada 1998, angin reformasi muncul dan merobohkan Jenderal Suharto. Bersamaan dengan itu, menyeruak suara-suara merdeka dari berbagai penjuru tanah air. Indonesia hendak mengalami nasib seperti negara kesatuan lain, yakni Negara Kesatuan Republik Sosialis Soviet. Banyak daerah yang sudah berpikir bahwa Indonesia betul-betul menggantikan Belanda: sama-sama menghisap dan menjajah. 

Di masa reformasi ini, Timor Timur merdeka. Masih dalam masa reformasi, pada 21 November 2001, Dewan Perwakilan Daerah dihidupkan. Tentu saja, dewan macam ini taklah asing. Ia dapat dilacak asal usulnya pada masa Republik Indonesia Serikat, yakni Senat, yang merupakan perwujudan dari eksistensi negara-negara yang berhimpun dalam satu negara yang amat besar, yang jarak panjangnya setara antara Inggris hingga Iran. 

 Gagasan dasar pembentukan Dewan Perwakilan Daerah ini tertulis jelas di situs resmi lembaga tersebut, yakni untuk mengakomodir aspirasi sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilankeputusan politik di republik ini. Gagasan ini otomatis mengkonfirmasi bahwa memang telah ada penghisapan di masa pemerintahan sebelum reformasi 1998. Dan ketimpangan itu mengancam keutuhan negara Indonesia dan persatuan bangsa-bangsa di dalamnya. Apakah pembentukan Dewan Perwakilan Daerah menunjukkan Indonesia kembali pada federasi? Jawabnya tak mudah. 

Di satu sisi, ia masih bernama negara kesatuan, macam otoritarianisme, yang ditandai dengan masih banyaknya kekuasaan yang tersentral di Jakarta – betapapun tarik menarik kewenangan antara pusat dan daerah itu hingga kini masih tak jelas rupa. Indikasi serupa juga dikuatkan oleh beberapa pengusaha media massa televisi yang masih dapat menggunakan frekuensi publik di seluruh wilayah Indonesia. Namun, di sisi lain, ia sudah kembali memasuki federalisme. Konsep-konsep federasi yang kini sudah ada, selain Dewan Perwakilan Daerah atau Senat, diantaranya, adalah adanya pemilihan umum kepala daerah, gubernur dan bupati/walikota, secara langsung oleh rakyat di tiap-tiap daerah. Pemilihan umum langsung untuk pimpinan daerah dan adanya wakil daerah tentu saja tak bisa ditemui di negara kesatuan macam Negara Kesatuan Republik Sosialis Soviet.

 Dalam konsep campur-campur ini, posisi Dewan Perwakilan Daerah menjadi tak bertaring dibanding Dewan Perwakilan Rakyat yang sebetulnya perwakilan partai. Keberadaannya kerap hanya menjadi penunjang dari Dewan Perwakilan Rakyat. Bambang Kesowo, dalam artikel “Amendemen UUD 1945 Lagi?” (Harian Kompas, 19/3), pun mensinyalir bahwa fungsi-fungsi kedua lembaga tak memiliki titik temu, bahkan di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Orang memetakan, dalam sistem perwakilan, bahwa Dewan Perwakilan Daerah merupakan perwakilan teritorial dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai perwakilan politik. 

Dalam banyak narasi, yang paralel dengan pandangan orang Jakarta, pun media-medianya, terhadap orang non-Jakarta, Dewan Perwakilan Daerah seringkali dikecilkan. Padahal, justru disitulah eksistensi rakyat Indonesia. Jika reformasi berarti desentralisasi, maka keberadaan Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat sejatinya berada dalam dua kutub yang berlawanan, yakni desentral dan sentral. 

Dewan Perwakilan Daerah diisi oleh wakil-wakil daerah tanpa ada daerah pusat, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat diisi oleh wakil partai-partai yang tersentral. Dan inilah alasan kenapa kedua lembaga tersebut tak akan pernah punya titik temu. Sentralisme partai membuat watak perwakilan dari Dewan Perwakilan Rakyat tak lagi sesuai dengan namanya. Saat ini, lebih dari 70 persen anggotanya justru berasal atau berdomisili dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan bukan perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia. 

Mayoritas anggota itu adalah orang-orang Jakarta dan sekitarnya yang dicalonkan oleh dan atas izin sentral partai untuk daerah-daerah di Indonesia. Adanya wacana pemecatan atas anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Partai Kebangkitan Bangsa baru-baru ini kian menegaskan wataknya yang memang bukan wakil rakyat. 

 Tak hanya itu, kasus skandal Bank Century juga sebetulnya sudah mengingatkan kita bahwa lembaga Dewan Perwakilan Rakyat sesungguhnya entitas yang aneh. Berhari-hari menghabiskan waktu dan uang, namun di ujung tak bisa berbuat lebih. Belakangan, mereka hendak melakukan hal yang sama untuk kasus mafia pajak. Keganjilan Dewan Perwakilan Rakyat akan lebih lengkap jika menyimak tingkah polah anggotanya. Sejumlah anggotanya ditangkap untuk kasus-kasus tak terhormat, entah itu soal porno atau korupsi. Belakangan, puluhan dari mereka ditangkap untuk kasus dugaan suap menyuap terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. 

Ketidaksensitifan pun terasa kala Dewan Perwakilan Rakyat ngotot membangun gedung mewah untuk dirinya. Dalam semangat desentralisasi, pun efisiensi, penguatan Dewan Perwakilan Daerah justru jauh lebih penting ketimbang Dewan Perwakilan Rakyat, yang notebene perwakilan partai politik. Jika saat Republik Indonesia Serikat dibubarkan yang berimbas pada peniadaan lembaga Senat, kini Dewan Perwakilan Rakyat-lah yang tidak diperlukan. Jikapun keterwakilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat betul-betul dibuat proporsional, sesuai daerah masing-masing, itu hanya membuatnya mirip dengan Dewan Perwakilan Daerah. Dan tetap saja, ia akan lebih sebagai kepanjangan tangan sentral partai ketimbang sesuatu yang berasal dari bawah. 

 Di sinilah amendemen Undang-Undang Dasar 1945 dapat bermakna secara signifikan. Apakah Indonesia melenyap jika tak ada Dewan Pewakilan Rakyat? Tentu saja tidak. Indonesia akan tetap ada pada aras supralokal yang cukup dihuni oleh pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan inilah yang semestinya merebut peran-peran legislatif yang selama ini dimainkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 

 Jika ada masyarakat adat, nelayan, petani, sekompok masyarakat, atau siapapun merasa dirugikan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat, tentulah Dewan Perwakilan Daerah dapat menjadi ujung tombak yang jauh lebih mengakar. Apalagi, setiap kasus tentu terjadi di daerah-daerah di Indonesia; tak ada yang di luar Indonesia. Alih-alih di tingkat pusat, keberadaan (dan penguatan) Dewan Perwakilan Rakyat justru lebih diperlukan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Di sini, Aceh dapat menjadi pilot project bagi bangunan sistem politik Indonesia. 

Aceh adalah inspirasi tentang bagaimana Indonesia harus dibangun berdasarkan sejarah. Jika konsepsi Aceh dan kedaulatan Yogyakarta, pun konsepsi kepemimpinan (asli) Papua, diformulasikan sedemikian rupa, Bhinneka Tunggal Ika, yang selama ini cuma slogan, mendapatkan perwujudannya yang kongkret. Jikapun ada tentangan, tentulah itu dikarenakan adanya hasrat untuk mengusung sebuah sistem tunggal berskala nasional di luar pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Daerah, yang biasanya diusung oleh partai politik Jakarta yang selama ini mengangkang. 

Jika kita punya komitmen pada desentralisasi, penghormatan terhadap lokalitas dan identitasnya, tentu ia memang akan menabrak pola-pola yang selama ini ada.