Kamis, 13 Oktober 2011

Epistemologi.IV




Epistemologi: Prinsip Badahah, Moyang Semua Pengetahuan Hushuli (4)
Posted on 12/10/2011
This entry is part 3 of 4 in the series Epistemologi

Epistemologi

* Epistemologi: Prinsip “Hudhur”, Moyang Semua Pengetahuan (2)
* Epistemologi: Ambiguitas Antara “Tahu” dan “Ada” (1)
* Epistemologi: Prinsip Badahah, Moyang Semua Pengetahuan Hushuli (4)
* Epistemologi: Prinsip ‘Badahah’, Moyang Semua Pengetahuan ‘Hushuli’ (3)



Dalam pada itu, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî melontarkan sejumlah kritik terhadap Positivisme. Pertama, mengikuti kecenderungan tersebut, asas-asas pengetahuan paling kukuh, yaitu “pengetahuan dengan kehadiran” dan proposisi-proposisi yang terbukti secara rasional, lenyap sudah. Dengan demikian, tidak ada lagi argumen intelektual yang dapat diajukan untuk menopang kebenaran pengetahuan dan kesesuaiannnya dengan realitas. Kaum positivis berupaya mendefinisikan kebenaran dengan cara berbeda, yaitu pengetahuan yang dapat diterima pihak lain dan dibuktikan melalui pengalaman indrawi. Tentu saja perubahan terminologi ini tidak memecahkan masalah seputar nilai pengetahuan. Penerimaan atau persetujuan pihak-pihak yang tidak mencermati persoalan juga tidak bernilai dan tak berarti apa-apa.

Kedua, kaum positivis mengandalkan persepsi indrawi yang sebenarnya merupakan titik pengetahuan paling limbung dan rapuh. Lebih dari tipe pengetahuan lainnya, pengetahuan indrawi paling mudah terdistorsi. Mengingat bahwa pengetahuan indrawi pada hakikatnya terjadi dalam sukma manusia, kalangan positivis sesungguhnya telah menutup jalan bagi bukti logis tentang alam eksternal dan kehilangan cara untuk mematahkan keraguan kaum idealis mengenainya.

Ketiga, klaim bahwa konsep-konsep metafisika tidak punya makna, nyata-nyata absurd dan keliru. Bila kosakata yang mengacu pada konsep-konsep itu dianggap omong-kosong, perbedaan antara konsep-konsep itu dan omong-kosong menjadi nihil, sehingga disangkal ataupun tidak, hasilnya tetap sama. Padahal, konsep api sebagai penyebab bahang tidak sama dengan konsep api sebagai akibat bahang. Lebih dari itu, orang yang mengingkari hukum kausalitas niscaya mengerti betul makna hukum itu¾ penyangkal kausalitas sesungguhnya mustahil menganggap kausalitas sebagai omong-kosong tak bermakna.

Keempat, menurut kaum positivis, tidak mungkin menganggap hukum-hukum ilmiah sebagai universal, konstan, dan niscaya, lantaran ketiga ciri itu mustahil dibenarkan secara indrawi. Suatu perkara dapat mereka terima jika dan hanya jika diperoleh lewat pengalaman indrawi (tentunya dengan menutup mata pada kemungkinan menyusupnya kekeliruan dalam persepsi indrawi yang merembesi seluruh perkara lainnya). Jadi, dalam perkara yang tidak dapat dialami secara indrawi, orang seharusnya berdiam diri dan tidak sekali-kali menyangkal atau membenarkannya.

Kelima, kebuntuan utama yang menghadang kaum positivis berkenaan dengan subjek matematika yang (hanya dapat) dijabarkan dan dipecahkan melalui konsep-konsep intelektual, yaitu konsep-konsep yang serupa dengan yang mereka asumsikan sebagai omong-kosong. Padahal, tak ada orang bijak yang nekat memandang proposisi-proposisi matematika sebagai omong-kosong dan tak ilmiah. Karuan saja, sekelompok neo-positivis terpaksa menerima sejenis pengetahuan mental tentang konsep-konsep logika dan berupaya menggabungkan konsep-konsep matematis ke dalamnya. Inilah salah satu penyebab bersengkarutnya konsep-konsep logika dengan konsep-konsep lainnya. Untuk menunjukkan kerancuan mereka, cukup dikatakan bahwa konsep-konsep matematis memiliki sejumlah contoh di alam ekstrenal. Bahasa teknis, atribusi, dan karakterisasi konsep-konsep matematis berlangsung di alam eksternal, sedangkan ciri-khas konsep-konsep logika tidak bersesuaian kecuali dengan konsep-konsep mental lainnya.

Dengan penjelasan itu, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî ingin membuktikan bahwa tidak ada jalan untuk membangun sebuah anatomi ilmu yang valid dan dapat dijustifikasi secara logis kecuali rasio yang bermuara pada prinsip al-badahah.

Para filosof Muslim dan ahli logika memaknakan “tanpa pembuktian” yang terdapat diakhir definisi pengetahuan badihi dengan dua pengertian: 1) ‘Tanpa pembuktian’ ialah tanpa “perlu” pembuktian 2) ‘Tanpa pembuktian’ ialah “tidak mungkin” dibuktikan. Dengan demikian, jika pengetahuan assentual badihi hendak dibuktikan (dengan pengetahuan assentual lainnya) niscaya berakhir pada dua implikasi absurd; sirklus dan tasalsul (suksesi). Oleh karena itu, pengetahuan badihi mustahil dibuktikan.

‘Ekstemporalitas’ (al-badahah) berdiri di atas beberapa prinisp. 1) Teori ini membagi rangakaian pengetahuan-pengetahuan manusia menjadi dua. Bagian pertama adalah pengetahuan badihi (ekstemporal, aprior), sedangkan bagian kedua adalah pengetahuan nazhari (non ekstemporal, aposterior); 2) Pengetahuan-pengetahuan badihi terbagi dua. Bagian pertama adalah pengetahuan ekstemporal primer (al-badihiyat al-awwaliyah). Bagian kedua adalah pengetahuan ekstemporal sekunder yang terbagi lima atau enam. Pengetahuan badihi mencakup pengetahuan subjektif dan objektif.; 3) Pengetahuan badihi tidak mengalami kekeliruan. Seandainya pengetahuan badihi bisa salah, padahal ia sumber semua pengetahuan manusia, maka kebenaran semua pengetahuan manusia tidak bisa dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya ialah bahwa pengetahuan-pengetahuan manusia bermacam dua; pengetahuan yang bisa keliru, yaitu pengetahuan aposterior (al-kasbiyat) dan pengetahuan yang tidak bisa keliru, yaitu pengetahuan aprior (al-badihiyat).

Selanjutnya, persoalannya beralih pada cara mengidentifikasi badahah. Menurut M. Taqi Fa’ali, Pengetahuan badihi dapat dikenali beradasarkan ciri-ciri khasnya. 1) Pengetahuan-pengetahuan badihi tidak meleset atau keliru; 2) Pengetahuan-pengetahuan badihi secara kuantitatif sedikit, namun memiliki urgensi sangat besar; 3) Pengetahuan-pengetahuan badihi tidak memelukan justifikasi dan pembenaran, bahkan ia merupakan bahan dan alat justifikasi bagi pengetahuan-pengetahuan manusia yang aposterior.