Kamis, 13 Oktober 2011

Epistemologi.III




Epistemologi: Prinsip ‘Badahah’, Moyang Semua Pengetahuan ‘Hushuli’ (3)
Posted on 11/10/2011
This entry is part 4 of 4 in the series Epistemologi

Epistemologi

* Epistemologi: Prinsip “Hudhur”, Moyang Semua Pengetahuan (2)
* Epistemologi: Ambiguitas Antara “Tahu” dan “Ada” (1)
* Epistemologi: Prinsip Badahah, Moyang Semua Pengetahuan Hushuli (4)
* Epistemologi: Prinsip ‘Badahah’, Moyang Semua Pengetahuan ‘Hushuli’ (3)



Setelah menjadilkan prinsip “hudhur” sebagai moyang semua pengetahuan, tanpa pengecualian, sebagai konskuensi logis, Epistemologi Islam menegaskan, dengan argumentasi yang mirip, bahwa pengetahuan hushuli mesti berpijak pada prinisp “kegamblangan” (ashl al-badahah).

Menurut Mohammad Taqi Meshbah Yazdi, sebelum memastikan nilai (dan manfaat) akal manusia, segenap praduga yang diajukan sebagai pemecahan aktual atas pelbagai masalah di atas akan menjadi tuna-makna dan tak dapat diterima, lantaran akan selalu menyulut timbulnya pertanyaan yang menyangkut kemampuan akal manusia dalam menyediakan solusi tepat atas pelbagai masalah tersebut.

Peran pengetahuan badihi sangat sublim, karena penolakannya berimplikasi secara negatif terhadap peradaban, sebagaimana dialamai oleh Barat, setelah terjerumus dalam skpetisisme, setelah mengandalkan Positivisme, yang merupakan buah pemikiran Empirisme dan sintesisnya dengan Rasionalisme.

Persis pada titik inilah para tokoh terkenal dari kalangan filosof Barat seperti tokoh Empirisme-Sketisisme, David Hume (1711-1776), figur sintetikus Empirisme-Rasionalisme, Immanuel Kant (1724-1804), kampiun Positivisme, Auguste Comte (1798-1857), dan para pewaris Positivisme setelahnya terjebak blunder. Dengan pandangan-pandangan mereka yang rancu itulah basis-basis kebudayaan masyarakat Barat dibangun. Kalangan ilmuwan, terutama kaum behavioris dalam disiplin psikologi, juga terjerat dalam pandangan-pandangan rancu tersebut—yang disayangkan, gelombang bertubi-tubi dan destruktif dari ajaran-ajaran ini telah meruyak ke berbagai penjuru dunia. Kecuali bangunan filsafat ketuhanan yang menjulang tinggi dengan kekar, stabil, dan kokoh, hampir semua aliran pemikiran tergerus arus Positivisme. Inilah celah besar, ungkap Muhammad Taqî Misbâh Yazdî, untuk memasukkan kembali peran rasio murni sebagai induk pengetahuan, termasuk sains. Menurutnya, tanpa berpusat pada al-badahah, pengetahuan yang selama ini dibanggakan sebagian besar pemikir Barat hanya berujung pada nihilisme, karena terjebak dalam continuum ad infinitum (tasalsul).

Boleh jadi faktor yang mendorong kalangan pemikir untuk bersibuk dengan pokok masalah ini ialah tersingkapnya berbagai kekurangan dan kekeliruan pancaindra dalam mengungkap hakikat kejadian-kejadian eksternal (di luar pikiran). Sikap skeptis pada kemampuan pancaindra, sejauh bukti-bukti literer yang tersedia, pernah didengungkan aliran Eleatik. Aliran ini benar-benar meragukan kemampuan pencerapan indrawi (sensory perception) dan lebih mempercayai penalaran rasional. Namun kemudian, timbul perbedaan di kalangan pemikir menyangkut masalah-masalah rasional dan adanya pertentangan bukti-bukti untuk mendukung dan meneguhkan suatu gagasan dan pandangan. Kondisi ini lantas memberi celah lebar bagi kaum Sophis untuk menolak mentah-mentah semua nilai cerapan rasional. Lebih dari itu, kaum Sophis juga meragukan, bahkan menyangkal, (keberadaan) realitas eksternal.

Sejak itulah, masalah tersebut menjadi bahan perdebatan serius. Jasa Aristoteles mengumpulkan dan merumuskan prinsip-prinsip logika sebagai standar berpikir benar dan menilai kesahihan suatu bukti rasional, terasa sangat besar. Setelah sekian puluh abad, prinsip-prinsip ini masih tetap berguna. Kalangan Marxis yang semula habis-habisan menentangnya, akhirnya mengakui kebutuhan pada bagian tertentu dari logika.

Setelah abad-abad mekarnya filsafat Yunani, timbul kekisruhan dalam menakar nilai pengetahuan indrawi dan rasional manusia. Sedikitnya, dua kali Eropa dilanda krisis Skeptisisme. Baru setelah masa Renaisans (Renaissance) dan perkembangan sains-sains empiris, secara bertahap Empirisme diterima oleh kalangan yang lebih luas. Sampai dewasa ini, Empirisme tetap menjadi aliran paling dominan, meski dari waktu ke waktu, muncul sejumlah pemikir rasionalis kawakan untuk menggugatnya.

Penyelidikan sistematis pertama dalam bidang epistemologi dilakukan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) di dataran Eropa dan John Locke (1632-1704) di Inggris. Dengan cara itulah, epistemologi menjadi salah satu cabang filsafat yang bersifat otonom. Hasil-hasil penyelidikan Locke lalu dimanfaatkan para penerusnya, yakni George Berkeley (1685-1753) dan David Hume. Empirisme kedua filosof ini menemukan momentum kemasyhuran luar biasa dan berangsur-angsur memperlemah posisi kalangan rasionalis sedemikian, sehingga Kant yang rasionalis sekalipun, menjadi sangat terpengaruh dan “terbangun dari tidur dogmatisnya” oleh ide-ide Hume.

Kant berpendapat bahwa tugas filsafat yang paling penting ialah mengukur nilai pengetahuan manusia dan bahwa akal mampu memikul tugas tersebut. Akan tetapi, ia mengakui nilai kesimpulan-kesimpulan akal teoretis hanya berada di sekitar lingkaran sains empiris, matematika, dan bidang-bidang yang menjadi cabang semua ilmu tersebut. Dengan demikian, satu pukulan berat dari kalangan rasionalis ditujukan pada metafisika Hume, seorang figur Empirisme terpandang. Jauh sebelum itu, pukulan yang mematikan telah dilancarkan pada metafisika, yang kemudian dilanjutkan dalam intensitas yang lebih serius oleh kalangan positivis. Dengan demikian, jelas sudah, besarnya pengaruh epistemologi terhadap segenap ilmu pengetahuan, sekaligus penyebab terjadinya involusi filsafat Barat.

Muhammad Taqî Misbâh Yazdî menanggapi Positivisme dengan menyatakan bahwa sebagian besar pemikir Barat menampik ide-ide universal. Jadi, wajar saja bila mereka tidak mengakui kemampuan yang dengannya ide-ide itu dicerap, yakni ‘intelek’ atau ‘akal’. Kaum positivis zaman ini tidak hanya mengembangkan selera yang sama, melainkan justru bertindak lebih jauh. Mereka berpendapat bahwa fungsi persepsi hanya terbatas pada persepsi indrawi, yang dihasilkan dari sentuhan pancaindra dengan fenomena bendawi.

Setelah terputusnya persentuhan dengan alam eksternal (material), persepsi itu akan bertahan dalam kadar yang lebih lemah. Kaum positivis percaya bahwa manusia merajut sejumlah simbol verbal untuk objek-objek persepsi yang sama. Ketika berbicara atau berpikir, alih-alih menghadirkan kembali seluruh kasus yang serupa, manusia cenderung menggunakan simbol-simbol verbalnya. Dan sebetulnya, kegiatan berpikir mirip dengan percakapan mental. Jadi, menurut kalangan positivis, apa yang disebut para filosof sebagai ide-ide universal itu sejatinya tidak lain dari kosakata mental. Jika kosakata ini dapat secara langsung mewakili objek-objek persepsi indrawi dan contoh-contohnya mampu dicerap pancaindra, barulah dapat dianggap bermakna dan dapat diversifikasi. Dan semua itu sebelumnya hanyalah kata-kata tuna-makna (meaningless).

Kenyataannya, kaum positivis hanya menerima sebagian konsep ke-mahiyyah-an (whatish concept). Itupun hanya sebatas kosakata mental yang maknanya merujuk pada contoh-contoh partikular indrawi. Adapaun berkenaan dengan objek-objek kawruhan sekunder, terlebih konsep-konsep metafisika, mereka menganggapnya sebagai kata-kata mental yang tidak bermakna secuil pun. Atas dasar ini, kaum positivis memandang wacana-wacana metafisika mutlak bersifat tidak ilmiah dan tuna-makna.

Di lain sisi, kaum positivis membatasi pengalaman hanya pada ihwal indrawi (sensory), dan sama sekali mencapak pengalaman-pengalaman batin (inner experiences) yang diperoleh melalui “pengetahuan dengan kehadiran” (knowledge by presence). Setidak-tidaknya, pengalaman-pengalaman itu dianggap tidak ilmiah, lantaran “ilmiah” itu sendiri menurut mereka hanya dapat diterapkan pada perkara-perkara yang dapat dibuktikan pihak lain melalui pancaindra. (Bersambung)