Kamis, 25 Juni 2020

Polemik Seputar SH II, Dalam lintasan Sejarah

Dirangkum dari berbagai sumber digital ,:



PONTIANAK, KOMPAS.TV -

 Laporan Keluarga Besar Sultan Hamid II terhadap mantan Kepala Badan Intelijen Negara, AM Hendropriyono, diwakili oleh Syarif Mahmud Alkadrie ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kalbar. Syarif Mahmud datang didampingi Tim Kuasa Hukum Keluarga Sultan Hamid II.

Dalam laporannya, keluarga Sultan Hamid II membawa sejumlah barang bukti, satu di antaranya rekaman video ucapan Hendropriyono tentang Sultan Hamid II yang tidak pantas mendapat gelar pahlawan nasional.

Hendropriyono juga menganggap Sultan Hamid II sebagai penghianat bangsa.

"Saya atas nama keluarga besar, apa yang dikatakan dalam video Hendropriyono, kami merasa sangat kecewa, dan sangat mengecam tindakan tersebut. Yang saya jelaskan dalam pemeriksaan, bahwa atas dasar apa saudara Hendropriyono mengatakan Sultan Hamid II sebagai penghianat? Itu sangat melukai hati kami," tutur Syarif Machmud Alkadrie, Keluarga Sultan Hamid II.

Dalam kasus ini, Keluarga Besar Sultan Hamid II menyiapkan 23 kuasa hukum. Selain melaporkan AM Hendropriyono, mereka  juga melaporkan pemilik dan penyebar video tersebut.

"Sesuai dengan yang disampaikan, prosedur hukum akan kita jalani. Kita sudah lapor, selanjutnya kami serahkan ke pihak kepolisian," ucap Daniel Tangkau, Kuasa Hukum Keluarga Besar Sultan Hamid II.

Keluarga Besar Sultan Hamid II meminta kepolisian untuk segera memproses laporan tersebut. Keluarga pun menyerahkan sepenuhnya kasus ini pada pihak kepolisian.

Simak informasi lain dari Kota Pontianak dan Kalimantan Barat di channel YouTube KompasTV Pontianak.



SULTAN ABDUL HAMID II AL-QADRIE:
STRATEGI POLITIK DAN KETERSINGKIRAN

Syarif  Ibrahim Alqadrie


Sambungan dari bagian 5 a.
Bagian ke-5b dari enam tulisan

Strategi Politik vs Tuduhan Pengkhinatan

Sejarah berulang kembali di Kesultanan Al-Qadriyah dalam Era Kolonialisme Belanda, sekitar 240 tahunan lalu. Kalau ayah, kakek dan moyang SAHIIA, para sultan di kesultanan itu, tidak memberi perlawanan berarti terhadap VOC [sejak 1780-an-- 9 tahun setelah kesultanan itu berdiri, 1771, sampai dengan sekitar 1940 sebelum Tentara Jepang masuk di Kal-Bar], itu berdasarkan pertimbangan kesultanan kalah dalam persenjataan. Namun, pihak kesultanan mempraktekkan strategi politik dikenal sebagai ‘Strategi Kampung Dalam’ dengan melakukan pendekatan dan perundingan. 

Namun, di luar wilayah itu, melalui ‘Strategi Kampung Luar,' :

(1)  perlawanan   militer dan Perang Gerilya terus dilakukan dipimpin baik oleh Pangeran Hamid bin/putra Sultan Abdurrahman Al-Qadrie (Sultan I), maupun oleh 

(2)  Pangeran Hussein (Gelar Pangeran Pati Tua) bin Sultan Hamid I Al-Qadrie (Sultan V) 
(Iwan Mahmoed Al-Fatah, 2018, h. vi-xxxiii).

Kalaupun, ada anggapan selama ini bahwa Kesultanan Al-Qadriyah “tidak serius” melawan bahkan “bersekutu” dengan VOC, sehingga dicap “pengkhianat,” anggapan itu sama sekali tidak benar, dan ini lebih disebabkan oleh tidak ada pemahaman terhadap sejarah. Tuduhan itu bermotif rasisme dan merupakan pembunuhan karakter. 

Sekitar 240 tahunan kemudian, pada 2020, SAHIIA, sebagai putra, cucu dan cicit dari masing-masing Sultan Muhammad bin Yusuf Al-Qadrie, Sultan Yusuf bin Hamid I Al-Qadrie dan Sultan Hamid I bin Sultan Usman Al-Qadrie, :  mengalami tuduhan, bahkan fitnahan serupa sebagai “pengkhianat.” Dalam enam generasi Al-Qadriyah, yang pernah besar dengan membangun Kesultanan termuda di Dunia, serta SAHIIA, putra Indonesia kelahiran Kal-Bar yang satu-satunya berpangkat Mayor Jenderal pada saat itu  dan menjadi Ajudan pribadi Ratu Belanda pada 1946, juga difitnah sebagai pengkhianat. 

Keduanya – Kesultanan Al-Qadriyah dan SH.II—bernasib serupa: pembunuhan karakter, difitnah sebagai pengkhianat, disingkirkan dan dihapus dalam sejarah nasional, 



Kekuatan Ketiga 1 945 -1950 - Diskusi Online - 



Padahal, kurangnya perlawanan Kesultanan Al-Qadriyah terhadap VOC pada saat itu,  mulai dari Sultan I sampai VI, merupakan strategi politik kesultanan. Agar istana dan rakyat tidak mengalami kehancuran menyeluruh,  mereka menggunakan ‘Strategi Kampung Luar (KL)’ dengan menciptakan "bensin” dan “korek api” dalam melawan baik VOC (2) maupun tentara Jepang, tanpa kompromi. 

Sebaliknya, mereka mengunakan ‘strategi Kampung Dalam Bugis (KDB)’ sebagai “anak baik” bagi Kolonialisme Belanda. Strategi ini mendahulukan perundingan dan kompromi. 

Hampir 2 ½ Abad kemudian, penggabungan Daerah Istimewa Kalimantan (DIKB), yang dipimpin oleh SAHIIA sebagai Sultan VII pada Kesultanan Al-Qadriyah, ke dalam FBO, dan penerimaan beliau sebagai Ajudan pribadi Ratu Weheilmina (lihat https://id.wikipedia.org/wiki/ Syarif_Hamid_II _dari Pontianak), 

merupakan strategi politik SAHIIA. Strategi menjadi anggota FBO bertujuan tidak saja untuk membujuk negara-negara federal lain agar mau berunding dengan wakil dari negara kesatuan (unitary state). Tujuan lain adalah juga untuk membantu Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta memperlancar diplomasi politik dengan Pemerintah Belanda dalam memperoleh kemerdekaan RI.

Kedudukan sebagai Ajudan Ratu Belanda memungkinkan SAHIIA memiliki akses dan memperlancar komunikasi politik dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya (Alqadrie, 2017, h. 82-107). 

  Akan tetapi strategi politik yang cerdas itu harus dibayar mahal oleh SAHIIA dengan tuduhan keliru sebagai pengkhianat bahkan oleh seorang akademisi melalui kata-katanya: “selagi kita dikejar-kejar dan dibunuh tentara Belanda, SAHIIA menjadi anggota KNIL dan Ajudan Pribadi Ratu.”  

Salahkah Kalau SAHIIA menjadi KNIL dan Ajudan Ratu? 

Tuduhan pengkhianat terhadap SAHIIA sangat menyakitkan bagi seluruh dinasti, generasi Al-Qadriyah dan masyarakat Kal-Bar. Itu merupakan fitnah didasarkan motif politik kotor dan tidak dapat dibuktikan dalam sejarah yang obyektif. 

Tiga di antara tuduhan sebagai pengkianat itu adalah bahwa SAHIIA ialah anggota KNIL, menjadi Ajudan Ratu negara musuh dan makar.   

Adakah yang salah kalau SAHIIA menjadi anggota KNIL? 

Bukankah tidak sedikit perwira tingi TNI professional merupakan mantan anggota KNIL seperti antara lain : A.H. Nasution, Jenderal TB. Simatupang, Samuel, Oerip Soemojardjo dan Mohammad Soedibio.  Mengapa hanya SAHIIA dituduh pengkhianat? 

 Ketika SAHIIA menjadi Ajudan Ratu Belanda 1946, Apa yang salah? : 

Pada saat itu beliau sedang menjadi Kepala DIKB dan Ketua BFO yang belum terikat pada pemerintahan NKRI. Soekarno tidak punya wewenang sama sekali memerintah nya dan menjatuhkan hukuman terhadap beliau, karena DIKB punya hukum dan wewenang sendiri. 

Mengenai tuduhan Makar,: 

 SAHIIA tidak terlibat sama sekali sesuai dengan keputusan MA pada saat itu bahwa beliau tidak terlibat (Persatuan Djaksa/Persaja, 1955).

Sebaliknya bukan berdasarkan tindakan murni hukum, SAHIIA dipenjarakan. Namun, tuduhan itu lebih merupakan masalah persaingan pribadi antar para elit politik, karakter single fighter (tak boleh ada saingan) dalam pemerintahan  dan motif politik dalam arti sempit pada saat itu. 

Tuduhan pengkhianat terhadap SAHIIA sekarang ini lebih merupakan sasaran antara (intermediate target) – sebagai “keturunan” Arab.

 Sasaran utama (main target) adalah berkaitan dengan PILPRES 2024, empat tahun mendatang yaitu pada kampanye 2023. AB, Gubernur DKI,(2) dikhawatirkan oleh kelompok  yang anti padanya, akan menjadi kuda hitam Troya yang tak terbendung. Karena itu, seharusnya target antara perlu dihancurkan, dan efeknya sekaligus meluluh-lantakkan target utama, AB.

CATATAN AKHIR (END NOTE)

(1) Kampung Luar (KL) secara fisik geogafis berada di bagian luar lingkaran luar Kampung Dalam dan Kampung Bugis (KD&B). Kawasan KL terletak di sepanjang tepi Sungai Kapuas (SK) mulai dari kawasan Simpang tiga SK dan Sungai Landak (SL) sampai di Kampung Banjar (KB). 

Namun, strategi perlawanan rakyat Kesultanan Al-Qadriyah dengan ‘Strategi KL’ meluas meliputi beberapa kampung sepanjang kiri kanan SK, seperti Kampung Kuantan, Kamboja, Melayu, Bansir, Bangka, Belitung, Banjar, Serasan dan Kampung Arang Limbung. 

Kesetiaan rakyat terhadap kesultanan dalam melawan VOC Belanda meningkatkan kesetiakawanan rakyat dengan menggabungkan diri mereka pada persekutuan Kampung Luar meluas sampai ke kawasan jauh dari SK dan SL yaitu Kawasan Kecamatan Sungai Kakap (SKK) [sekarang] seperti Kampung Punggur (KP), Tanjung Saleh (KTS), dan Sepuk Laut (KSL) serta Kampung Jungkat (KJ), wilayah Kabupaten Mempawah (sekarang) (Alqadrie, 1990). 

  Kawasan KL diidentikkan dengan orang-orang yang ‘dikeluarkan’ dari lingkaran istana. 

Hal itu bukan saja disebabkan oleh pembangkangan mereka terhadap kesultanan tetapi juga oleh perlawanan tanpa kompromi terhadap VOC dan Jepang. Pangeran Hussein (Gelar Patih Tua) bin Sultan Hamid I Al-Qadrie, gugur di tangan VOC di KTS adalah salah seorang dari sejumlah pejuang Al-Qadriyah yang keras dan konsisten dalam melawan Kolonialisme Belanda dan Jepang. 

‘Strategi KL’ ini selain berhasil menahan gempuran VOC dan meningkatkan marwah Kesultanan Al- Qadriyah dan masyarakat Kal-Bar pada umumnya. 

Namun, strategi itu juga mempersembahkan martir-martir gagah perkasa seperti antara lain tidak saja Pangeran Syarif Hamid bin Sultan Abdurrahman yang ditangkap dan diasingkan VOC ke Batavia.

 Di sana beliau gugur dalam melanjutkan perjuangannya bersama dengan para pejuang Betawi dan dimakamkan di halaman Masjid Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat (Iwan M. Al-Fatah, 2018, jilid I, h. 385-88). 

 Namun, sejumlah tokoh masyarakat Kal-Bar juga gugur baik di tangan VOC seperti antara lain Pangeran Patih dan Pangeran Hamid sebagaimana disebut di atas, maupun di tangan tentara Jepang.

 Mereka yang gugur  dalam Peristiwa Mandor itu adalah,:  Sultan Muhammad beserta sejumlah besar keluarga Al-Qadriyah seperti antara lain Pangeran Adipati bin Sultan Muhammad, Pangeran Agung Al-qadrie;  Goesti Saoenan (Panembahan Ketapang, Mohammad Ibrahim Tsafioeddin (Sultan Sambas), serta para tokoh Kal-Bar berjumlah 57 diantaranya Syarif Achmad bin Muhammad Alqadrie – Ayah penulis, dari jumlah 21.037 jumlah korban seluruhnya 

(lihat Peristiwa Mandor dalamhttps://id.wikipedia.org/ wiki/ Peristiwa_Mandor [diakses 06007020];  Rahman dan Ja’Achmad, 2000).  

(2) Sejak Kampanye Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 sudah banyak bermunculan para buzzers yang melaksanakan kampanye hitam dengan menyudutkan dan menzalimi keturunan Arab. Padahal sejak Pemerintahan  B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid, isu-isu warga negara asli vs tidak asli dan pribumi vs non-pribumi sudah dihapus sejak diterbitkannya Instruksi Presiden RI Nomor 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi oleh Presiden Habibie untuk mengakhiri polemik rasialisme terhadap kelompok Tionghoa (termasuk kelompok keturunan Arab) di Indonesia pada masa itu.

   Penggunaan istilah “pribumi” dalam pidato publik juga melanggar semangat penghapusan diskriminasi rasial dan etnis yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial sebagaimana telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999.

    Sejak kampanye Pilpres 2019 sampai sekarang di media sosial dan on-line, bermunculan istilah-istilah Kadal Gurun (Kadrun) dimunculkan oleh buzzers terorganisasi yang mendiskreditkan dan menzalimi AB, Gubernur DKI Jakarta terhadap apapun yang ia lakukan. Kemudian, HP, mantan Ketua BIN, muncul minimal tiga kali dengan pernyataan yang mendiskreditkan dan berbau rasisme terhadap keturunan Arab. HP mengatakan bahwa orang keturunan Arab tidak layak menjadi pejabat negara apalagi presiden. Kemudian terakhir ia menyatakan SAHIIA tidak mungkin menjadi Pahlawan Nasioanal karena bukan saja ia keturunan Arab tetapi juga ia pengkhianat. Jadi SAHIIA merupakan sasaran antara dan AB menjadi sasaran utama.  

REFERENSI.

Alqadrie, Syarif  Ibrahim. 1990. Ethnicity and Social Change in Dyaknese Society of West Kalimantan. Ph. D Dissertation. Lexinton, Kentucky: Department of Sociology, University of Kentucky. Not yet published. 

------------. 1991. “Kepercayaan Nenek Moyang dalam Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat” [h.1 – 15], dalam Suara Almamater, Jurnal Resmi Universitas Tanjungpura, Nomor 3 Juli.

-----------. 1994. “Messianisme Dalam Masyarakat Dayak Kalimantan Barat” [h. 18-39], dalam Paulus Florus, Stepanus Djuweng, John Bamba, dkk., Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta: Diterbitkan atas Kerja Sama LP3S – IDRD dengan PT. Gramedia Widia-sarana Indonesia.

----------. 2017. “Pola Tingkah Laku Politik Lokal pada Kesultanan Al-Qadriyah Pontianak sampai dengan Masa 1950” [h. 82-107], dalam Syarif  I. Alqadrie, Ketidakadilan, Kemiskinan, Keterpurukan dan Terorisme. Pontianak/Yogyakarta: Al-Qadrie Center Publisher (ACP). 

Al-Fattah, Iwan Mahmoed. 2018, Wisata Ziarah di Jakarta. Jakarta: Lintas Nalar, 
At-Tijani,  Abdul Qadir Hamid, 2001. ‎Islam and politics. Diiterjemahkan oleh Anshary al-Abd al-Hamid Ismail. Bahasa Politik Islam. Bandung: Mizan.

Kartodirdjo, Sartono. 1984. Ratu Adil. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Peristiwa Mandor Berdarah dalam Peristiwa Mandor dalamhttps://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Mandor [diakses 06007020].

Persatuan Jaksa (Persaja). 1955. Proses Peristiwa Sultan Hamid II. Jakarta: Fasco.
Rachman, Ansar dan Ja’Achmad. 2000. Syarif Abdurrahman Alkadri. Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak. 
Pontianak: Romeo Grafika atas nama Pemkot Pontianak. 

Sultan Abdul Hamid II Al-Qadrie diangkat sebagai Ajudan pribadi Ratu Weheilmina dalam https://id.wiki pedia.org/wiki/ Syarif_Hamid_II _dari Pontianak [diakses 06007020]



SH II, Dimasa awal kemerdekaan dan perjuangan nya.

Kiprah Sultan Hamid II Perjuangkan Kemerdekaan RI.


NUSANTARANEWS.CO – Kiprah Sultan Hamid II Perjuangkan Kemerdekaan RI. 

 Suara bergemuruh terdengar mengiringi acara seremonial Konferensi Meja Bundar (KMB) atau Ronde Tafel Conferentie (RTF) di Gedung Parlemen Belanda, Den Haag, 23 Agustus 1949. Kegiatan itu, merupakan ajang pengakuan kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara merdeka oleh Belanda.
Perundingan dilakukan oleh tiga pihak, yakni Kerajaan Belanda, BFO (Bijeenkomst Voor Federaal Overleg) atau Majelis Negara-negara Federal, dan Republik Indonesia. Delegasi Belanda dipimpin oleh J.H. Van Maarseveen, delegasi Republik Indonesia (RI) dipimpin oleh Perdana Menteri Moh. Hatta, dan delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II sebagai Ketua Majelis Negara-negara Federal. Hadir pula delegasi PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) yang dipimpin oleh Crittchlay.

Setelah persetujuan KMB dan terpilihnya Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri – Sultan Hamid II kemudian ditunjuk sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dalam Kabinet RIS. Dengan Surat Keputusan Presiden RIS No. 1 Tahun 1949, Sultan Hamid II beserta tokoh lainnya juga ditunjuk sebagai Dewan Formatur kabinet RIS.

Bersama tim perumus lain, Sultan Hamid II terlibat aktif merancang Konstitusi Republik Indonesia Serikat termasuk membuat Lambang Negara. Dalam kancah politik nasional, sosok perancang Lambang Garuda Pancasila ini dikenal sebagai tokoh kontroversial dengan gagasan Negara Federalis. Prinsip itulah yang kemudian membuatnya berbenturan dengan kaum Unitaris, para penganut paham negara Kesatuan yang menginginkan adanya dominasi atau sentralisasi kekuasaan.

Sedangkan di sisi lain, muncul paradoks sistem negara seperti pada Sila ke-3 Pancasila, yakni “Persatuan Indonesia” (Federalisme), dan bukan “Kesatuan Indonesia” (Unitarisme). Sultan Hamid II dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia menganggap bahwa negara federal lebih realistis dalam mewujudkan makna keadilan dan kesejahteran sebagaimana Pembukaan UUD 1945. Sultan Hamid melihat bahwa sistem federasi lebih dapat menjawab berbagai macam persoalan internal negara yang baru berdiri itu.

Gagasan Sultan Hamid salah dipahami, bahkan dia dianggap sebagai ‘pengkhianat’ dengan sikap dan pemikiran yang lebih moderat terhadap bangsa asing. Dan dinamika sikap dan pemikiran Sultan Hamid II yang begitu kontroversial itu masih terasa sampai hari ini.

Terlepas dari itu semua, peran Sultan Hamid II dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak mungkin dihapus dari sejarah. Ia adalah seorang founding fathers dari Kalimantan Barat yang berperan penting dalam menentukan perjuangan kemerdekaan Indonesia dan Pemersatu Bangsa Indonesia bersama Tan Malaka, Soekarno, Mohammad Hatta, Ide Anak Agung Gde Agung, Moh. Yamin, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Tengku Mansoer, dan tokoh lainnya pada masa transisi kemerdekaan. Mereka berperan penting dalam menentukan arah langkah Indonesia. (Ed. Banyu)


Anhar Gonggong: Pilih Presiden Berdasar Idealisme, 

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sejarawan Anhar Gonggong menyebutkan untuk menjadi Presiden bukan usia muda atau tua yang seharusnya diperdebatkan. Pusat perdebatan utama harusnya terletak pada idealisme dan program.

Anhar mencontohkan sejumlah nama pemimpin muda Indonesia. Seperti Soekarno yang menjadi presiden pada usia 44 tahun, Hatta menjadi wakil presiden pada usia 43 tahun, dan Syahrir jadi perdana menteri pada usia 32 tahun. Tetapi usia muda untuk menjadi pemimpin bukanlah prestasi.

“Yang benar apa dia punya idealisme, punya program untuk melihat Indonesia ke depan? Itu yang terpenting dan bukan persoalan usia.” katanya dalam Diskusi Tokoh Muda di Pentas Politik 2014 di Gallery Café Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada Jum’at (14/3).

Dia kembali mencotohkan tentang sosok Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan yang menjadi presiden pada usia 72 tahun. Walau Reagan menjadi presiden di usia tua tetapi merupakan salah satu presiden paling sukses dalam menciptakan ekonomi Amerika Serikat bersama Perdana Menteri Inggris Thatcher saat itu.

Anhar juga menambahkan pemimpin itu juga harus terdidik dan tercerahkan. Hal itu dikaitkannya dengan kondisi saat ini.

“Sekarang banyak profesor dan doktor galau. Karena yang masuk penjara ada professor dan ada doktor. Otaknya cerdas tetapi hatinya beku,” kata Anhar.

Anhar menyebutkan pula untuk memilih presiden maka seseorang harus mengenal benar rekam jejaknya.  

”Usahakanlah mendorong orang menjadi presiden dengan catatan-catatan yang anda kenal dan anda yakin orang itu akan membuat Indonesia ke depan lebih baik. Itu yang terpenting. Itu catatan utama saya,” kata Anhar.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


Ibnu Hadjar Yang Tersisih, Bangkit Bersama Rakyat Tertindas

Jejakrekam 15 Apr 2018

 SOSOK Ibnu Hadjar begitu melegenda di benak rakyat Kalimantan Selatan. Pejuang sekaligus dicap pemberontak di era revolusi fisik kemerdekaan Republik Indonesia ini selalu melahirkan sebuah perdebatan panjang. Padahal, Ibnu Hadjar adalah teman seperjuangan pahlawan nasional revolusi Kalimantan, Brigjen TNI Hassan Basry yang turut mengharumkan para kesuma bangsa.

SISI gelap dan terang seorang Ibnu Hadjar pun dikupas dalam perspektif sejarah sosial, dengan menghadirkan sejarawan kawakan nasional, Prof DR Anhar Gonggong dan sejarawan Banjar FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Yusliani Noor di Gedung Serba Guna Unlam, Banjarmasin, Kamis (26/10/2017).

Diceritakan Anhar Gonggong, pasca merdeka justru militer Indonesia mengalami masa yang sulit dan rumit. Menurutnya, saat itu, tentara tak didirikan dengan susunan yang rapi, namun terlahir dari sebuah revolusi nasional. “Setidaknya, dalam tubuh ketentaraan Indonesia pasca kemerdekaan itu terdiri dari unsur bekas KNIL, PETA, dan kelompok laskar yang dibentuk dari berbagai latar belakang ideologi.  Untuk menyeimbangkan dana dan administrsi TNI itu, Kabinet Hatta pun mengadakan reorganisasi dan rasionalisasi,” tutur Anhar.

Doktor ilmu sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas  Indonesia mengakui dari program ala Hatta ini membuat para pejuang yang tergabung dalam berbagai laskar akhirnya tersisih. Mereka dinyatakan tak memenuhi syarat, padahal sedari awal turut berjuang bagi kemerdekaan Republik Indonesia.

“Mereka tersisih dan akhirnya kecewa. Ini pula yang dialami Ibnu Hadjar. Sebagai pejuang yang turut bertarung dalam mempertahankan kemerdekaan, tapi kemudian merasa dicampakkan,” tutur Anhar.

Dia pun menduga kuat para pejuang yang melakukan pemberontakan kepada pemerintahan Jakarta, akibat faktor psikologi, yakni kecewa dan frustasi. “Dalam mempelajari sejarah, kita harus melihat dan berusaha memahami kondisi ketika peristiwa itu terjadi. Bagaimana konteks politik dan masyarakat, saat peristiwa itu terjadi,” bebernya.

Termasuk Ibnu Hadjar. Menurut Anhar, saat itu masih berusia 22 tahun, sehingga faktor usia juga berpengaruh dalam pengambilan keputusan, meski Ibnu Hadjar sadar akan menghadapi situasi yang sulit ketika harus berhadapan dengan pemerintahan yang sah.

Berbeda dengan Anhar, sejarawan FKIP ULM, Yusliani Noor mengungkapkan ditolaknya Ibnu Hadjar dalam kesatuan tentara yang mengarah modern, akibat tak bisa membaca dan menulis huruf latin.  “Ibnu Hadjar hanya pandai membaca dan menulis Arab Melayu. Makanya, ketika Ibnu Hadjar dikirim ke Pulau Jawa untuk sekolah dengan beberapa pejuang lainnya, justru sekolah yang ditunjuk pemerintah itu sudah tutup,” beber Yusliani Noor.

Ia mengatakan kondisi itu membuat Ibnu Hadjar dan kawan-kawan merasa dibohongi pemerintah.  “Ketika kembali ke Balikpapan, Ibnu Hadjar juga mendengar keluhan dari kawan seperjuangannya yang diperlakukan tak adil oleh pemerintah saat itu. Dia pun bangkit dan terpanggil untuk membela kawan-kawan seperjuangan dari rakyat Banjar dan Dayak Bukit yang tertindas,” kata Yusliani Noor.

Untuk merespon gerakan pemberontakan Ibnu Hadjar dan kelompoknya di Kalimantan Selatan, pemerintah Indonesia memerintahkan Hassan Basr untuk menangkapnya. “Justru, Hassan Basry tak tega menangka teman seperjuangan. Makanya, Hassan Basry mengajak Ibnu Hadjar agar menghentikan gerakan perlawanannya,” kata dosen sejarah ini.

Penolakan datang dari Ibnu Hadjar dan kelompoknya. Tuntutan mereka hanya satu, menuntut keadilan dari pemerintah karena selama ini tak diperlakukan dengan adil.  Menurut Yusliani Noor, pasca Divisi IV ALRI Pertahanan Kalimantan dihancurkan, Ibnu Hadjar bersama kelompoknya bernama Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT) harus berhadapan dengan Hassan Basry,yang sama-sama besar dalam ALRI Divisi IV Pertahanan A (Kalsel). “Ironis memang, sang komandan harus menumpas anak buah sendiri. Namun, karena perintah negara, Hassan Basry mau tak mau harus melaksanakan dan tak bisa mengabaikannya,” katanya.

Rupanya tugas yang diemban Hassan Basry itu dianggap gagal oleh Soekarno di Jakarta. Akhirnya, Mayor Sitompul mengambilalih misi penumpasan terhadap para gerilyawan yang dikomando Ibnu Hadjar.

“Tak salah, ketika Ibnu Hadjar akhirnya menerima tawaran Kartosuwirjo yang menawar kursi di Negara Islam Indonesia yang telah dideklarasikannya. Makanya, nama markas Ibnu Hadjar pun berubah menjadi Istana Islam Merdeka,” katanya.

Sikap Ibnu Hadjar tak pernah kalah dan menyerah itu membuat kharismanya makin mengakar dan menjadi tokoh legendaris di tengah masyarakat Kalsel. Bujukan dan iming-iming dari Hassan Basry, sempat ditolak Ibnu Hadjar. Hingga akhirnya, Ibnu Hadjar menyerahkan diri.  “Saat itu, Hassan Basry menjanjikan akan meminta pengampunan bagi Ibnu Hadjar kepada pemerintah pusat. Termasuk,janji untuk naik haji ke Tanah Suci Makkah,” beber Yusliani Noor.

Makanya, Ibnu Hadjar yang dikenal dengan sosok Haderi yang lugu akhirnya keluar dari tempat persembunyian dari pedalaman Kalsel. Dia disambut bak pahlawan oleh masyarakat dan anak buahnya. Bahkan, anak buahnya yang merasa perjuangan sang komandan itu memberi rasa adil, menggelar pesta dengan memotong 20 ekor kerbau.

Janji tinggal janji. Menurut Yusliani Noor, begitu sampai ke Banjarmasin, justru Ibnu Hadjar ditangkap dan dibawa ke Pengadilan Militer di Jakarta, hingga dihukum dalam penjara bawah tanah. “Makanya, bagi masyarakat yang berempati kepada Ibnu Hadjar, tetap menganggapnya seorang pahlawan. Sebab, Ibnu Hadjar merupakan sosok pejuang yang setia kepada republik ini,” imbuhnya.(jejakrekam)



Film Pangeran Diponegoro