By : SAY Qadrie , Reportase Online
tempo.co.id : Verrianto Madjowa
Targedy Sambas Berdarah ; 1997
-" Kerusuhan itu memasuki babak kedua yang lebih
seram dan berkepanjangan ketika pada 29 Januari 1997 ada pihak yang
memanfaatkan momentum tersebut dengan merusak kantor dan koperasi Yayasan Karya
Sosial Pancur Kasih (YKSPK) di Pontianak yang dimiliki oleh 30 sub suku Dayak. - "
MALAM Minggu, 22 Februari 1997,
beberapa karyawan Kantor Wilayah Kehutanan
Kalimantan Barat (Kalbar) dengan riang gembira bermobil dari Pontianak. Mereka
akan menghadiri acara halalbihalal yang akan diadakan di Singkawang, hari
Minggu pagi. Tak ada kekhawatiran apa-apa ketika mereka meninggalkan Pontianak.
Sudah berulang kali aparat mengatakan: keadaan saat ini sudah aman.
Sekitar tengah malam, mereka baru meninggalkan Mempawah. Beberapa aparat keamanan menghentikan mobil. Mereka diminta tidak meneruskan perjalanan dan kembali ke Pontianak. Ada kerusuhan kembali di Sungairuk yang terletak antara Mempawah dan Singkawang. Mereka pun terpaksa memutar haluan.
Kejadian itu menunjukkan kerusuhan antar etnis Dayak dan Madura masih terus
berlangsung, meskipun hanya secara sporadis. Tampaknya, itulah yang membuat
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saat itu,Jendral R. Hartono tetap memerintahkan 3.000 personel
ABRI dari Kalbar maupun Jakarta tetap bersiaga penuh di sana.
Tapi,
karena sekian aparat harus dibagi dalam empat kabupaten, kerap kali mereka
kecolongan bila ada kerusuhan baru. Dengan adanya kerusuhan itu, ditambah letak
daerahnya yang strategis bagi pertahanan, ABRI malah berniat menambah personel
keamanan. "Satuan kaveleri, misalnya," ujar KSAD.
Penambahan personel keamanan memang amat
dibutuhkan di provinsi yang luasnya lebih dari 146 ribu kilometer persegi itu
(lebih besar sedikit dari Pulau Jawa plus Madura). Apalagi bila ada perkelahian massal di antara
kedua etnis di atas yang sudah terjadi sejak tahun 1950 dan kali ini sudah
terjadi delapan kali.
Meski upacara adat Nyaru' Samangat -- upacara
adat Dayak untuk mengembalikan semangat dari rasa ketakutan -- sudah diadakan
di beberapa kecamatan, bukan tak mungkin pertikaian meledak kembali.
Kerusuhan kali ini, meski sempat dipotong
jeda perdamaian, sudah berlangsung hampir dua bulan. Tak ada yang bisa, atau
mau, menjelaskan berapa banyak kerugian yang sudah diderita kedua suku itu.
Penyerbuan ke kompleks perumahan dan tempat
penampungan warga Madura (di beberapa tempat terjadi sebaliknya) terjadi hampir
setiap hari. Rumah-rumah dibakar dan penghuninya dihabisi.
Media-media asing mengatakan: jumlah korban
sampai ribuan. Adapun Asisten Pengamanan KSAD saat itu, Mayjen Zacky Anwar
Makarim, hanya mengangguk ketika ditanya apakah jumlah korban sekitar 300
orang. "Almost the same, dari kedua belah pihak," ujar
Makarim.
Tapi, Pangab Feisal Tanjung bilang, jumlah
korban masih dihitung, jangan sembarang menyebut jumlah. Padahal, penyebab
kerusuhan itu hanya masalah sepele ketika terjadi senggolan antar pemuda dalam
arena joget di Sanggau ledo, sekitar 235 kilometer dari Pontianak, pada 30
Desember 1996.
Bakrie, anak pasangan Dayak dan Madura itu,
tersinggung dan menclurit Yokundus dan Rakim, pemuda-pemuda Dayak hingga harus
masuk rumah sakit. Teman-teman Yokundus mengamuk dan menyerang daerah
transmigrasi sosial Lembang dan Marabu.
Karena
tak menemukan warga Madura yang sudah keburu mengungsi, mereka pun merusak dan
membakar rumah-rumah dan menjalar dengan cepat ke empat kecamatan lain.
Gara-gara kerusuhan itu, ribuan rumah
terbakar dan puluhan orang dikabarkan tewas. Yang lain mengungsi ke kota-kota
lain atau masuk ke dalam hutan. Bagaimanapun, dengan ikrar perdamaian dan
bantuan aparat keamanan, pertikaian itu bisa diredakan.
Kerusuhan itu memasuki babak kedua yang lebih
seram dan berkepanjangan ketika pada 29 Januari 1997 ada pihak yang
memanfaatkan momentum tersebut dengan merusak kantor dan koperasi Yayasan Karya
Sosial Pancur Kasih (YKSPK) di Pontianak yang dimiliki oleh 30 sub suku Dayak.
Dini
hari, sekitar 35 orang bertopeng (ada yang bilang muka mereka ditutup kain
seperti ninja, jadi bukan topeng) menyerang yayasan yang membawahi SMP dan SMU
Santo Fransiskus Asisi itu.
Siapa dan bagaimana wujud manusia misterius
itu?
Berikut ini adalah cerita Verico Marcel dan
Samuel Angkouw dari Forum Petaupan Katouwan Sulawesi Utara yang sedang
mengikuti pemetaan partisipatif di Kantor YKSPK saat mereka menyerang.
"Walau kami sudah mendengar isu Kantor YKSPK termasuk salah satu sasaran,
tapi karena ada alat-alat yang kami butuhkan, pada 27 Januari kami menginap di
sana," ujar mereka.
Dalam asrama itu ada 36 wanita dan enam
laki-laki. Siswa laki-laki bergantian piket sampai pukul 03.00. Ketika mereka
akan tidur, terjadilah pernyerbuan sekitar pukul 04.15. Ketika Verico yang tidur di rumah
penjaga sekolah mengintip ke kantor, tampak api sudah membesar dari salah satu
ruangan. Juga terdengar bunyi ledakan, pecahan kaca, dan teriakan
"Bunuh... bunuh.... Mana mandau?"
"Ketika kami mengintip, tampak seorang
lelaki sedang berjalan. Di tangannya ada jerigen putih ukuran lima liter.
Lelaki itu berjaket jins, berambut pendek, dan bertubuh agak gempal. Ia tidak
bertopeng, tapi raut wajahnya tidak jelas karena jarak kami cukup jauh,"
cerita Verico.
Manusia bertopeng itu juga menyerang sebuah rumah kos sehingga dua karyawati, Natalia dan Sena Eva, luka-luka.
Beredar kabar: mereka meninggal dan kerusuhan
pun meletup lagi. Kali ini, kerusuhan itu dalam intensitas yang lebih besar.
Warga Dayak menyerang permukiman Madura. Sebaliknya, penduduk Madura pun
melakukan serangan dalam bentuk lain.
Mereka
menyetop kendaraan yang menuju ke Sanggauledo. Kalau di antara penumpang itu
ada warga Dayak, tak ada ampun, langsung diclurit. Lanun, seorang supir Kijang,
dan penumpang bus bernama Djalan tewas akibat aksi yang terjadi pada akhir
Januari lalu.
Namun, yang membuat kemarahan warga Dayak
berkobar adalah insiden terbunuhnya Martinus Nyangkot dalam pencegatan yang
dilakukan warga Madura di Desa Peniraman, pada 31 Januari 1997.
Nyangkot adalah Kepala Desa Maribas, Kecamatan
Tebas, yang juga ketua adat setempat.
Kala itu, ia hendak pulang ke kampungnya bersama anaknya Maria Ulfa, yang baru
saja diwisuda di Universitas Tanjungpura, Pontianak. Maria, lulusan Fakultas
Ekonomi Untan, bisa selamat dalam penyegatan tersebut.
Maka, kerusuhan pun marak di Kabupaten
Sanggau, yaitu di Kota Sanggau, Sosok, dan Tayan. Di Kabupaten Pontianak,
konflik terjadi di kecamatan Ngabang, Sengah temila, Mandor, Toho, Mempawah
Hulu, dan Sungai Pinyuh.
Dengan
mandau tergantung di pinggang, ratusan warga Dayak berkeliling dengan truk
untuk membakar rumah; dan bila menemukan warga Madura langsung diserbu.
Meski pasukan Kostrad dari Jakarta ditambah,
mereka yang sedang marah tak kenal takut. Mereka tetap mengejar warga Madura
yang diungsikan ke asrama tentara. Terpaksa, aparat menembak pemuda Dayak yang
ingin merangsek warga Madura di markas Kodim Sanggau kapuas. Insiden penembakan
serupa terjadi di beberapa lokasi lain.
Tak
jelas, berapa korban yang jatuh.
Aparat keamanan memang bertindak keras,
termasuk kepada Zainuddin Isman, koresponden Kompas di sana. Sejak
3 Februari Zainuddin, 41 tahun, ditahan
karena dalam razia senjata tajam oleh aparat keamanan di Pontianak, ia
menyimpan sebilah mandau dan pisau dalam mobilnya. "Padahal, itu mandau
hiasan yang dibeli ketika ada orang berjualan di kantornya," kata
pengacaranya Djafar Oesman.
Kabarnya, calon anggota legislatif dari PPP,
nomor 2, dari Kalbar, itu juga ditahan karena membuat kronologi kejadian yang
dianggap bisa memanaskan keadaan. Penahanan untuk Zainuddin itu kini
diperpanjang hingga 3 April.
Kerusuhan itu, tampaknya, membuat aparat
terkesan bingung dan asal menuding pihak-pihak yang dicurigai. Termasuk di
antaranya dua ulama kondang dari Madura, yang salah satu di antaranya pernah
mengunjungi Kalbar untuk menenangkan warga Madura di sana.
Namun,
dalam pertemuan dengan KSAD itu, para ulama mengatakan isu tersebut dikipasi oleh
seorang pedagang besar asal Madura yang tinggal di sana. Kini,
pihak-pihak Dayak dan Madura mengeluarkan imbauan kepada warganya untuk
mematuhi peraturan agar kerusuhan bisa reda.
Di tengah upaya tersebut, terjadi lagi
penyerbuan orang Dayak ke perkampungan Madura di Dusun Sekim I dan II, Desa
Sungai kunyit Hulu, Kecamatan Sungai kunyit, 18 Februari 1997.
Dengan bersenjata mandau, tombak, panah, dan
senjata lantak, tewaslah 17 orang warga. Kali ini, aparat sigap. Sejumlah 68
pelaku dengan senjatanya bisa ditangkap dan oleh aparat digolongkan dalam 13 kategori
tindak pidana.
Beberapa perusuh masih muda usia, seperti
Jisen, 13 tahun, yang oleh Komandan Kodim Mempawah Letkol Bambang Ismoyono
kemudian dijadikan anak angkatnya. "Kerusuhan di Sekim itu terjadi
karena para perusuh belum mengetahui kalau kedua belah pihak telah menyatakan kebulatan
tekadnya," tutur Pangdam VI Tanjungpura Mayjen Namoeri Anoem saat itu.
Padahal, katanya, instansi terkait sudah berbuat yang terbaik untuk
mengembalikan kondisi seperti semula, misalnya dengan menyebarluaskan informasi
melalui edaran, selebaran, radio, maupun koran.
Hingga kini, upacara Nyaru' Samangat yang
diharapkan bisa meredakan gelegak kemarahan warga sudah dilakukan di beberapa
kecamatan, seperti Kecamatan Sungai Ambawang, Air Besar, Desa Maribas Kecamatan
Tebas (tempat tinggal Martinus Nyangkot), dan pada hari Minggu lalu diadakan di
Sungai Pinyuh. Disusul, pada hari Senin, di Mandor dan seterusnya. Sebagian
orang pesimistis, sekadar ritual formal tak menyelesaikan masalah. Tampaknya,
harus selalu ada pemantauan; dan masing-masing pemimpin etnis diharapkan untuk
selalu bertemu. Mudah-mudahan.
Laporan Verrianto Madjowa dan Koresponden Pontianak
*)D&R,1Maret1997,sumber:
http://www.tempo.co.id/ang/min/01/53/nas5.htm