Ada apa dengan Yaman?
Sebaiknya kita lihat dulu petanya.
Di peta terlihat bahwa
Yaman berbatasan darat dengan Arab Saudi, dan menguasai perairan strategis Bab
el Mandab dan Teluk Aden, dan bahkan menguasai pulau Socotra yang kini menjadi
pangkalan militer AS. Jalur perairan ini sangat penting karena menjadi tempat
lewatnya kapal-kapal tanker pembawa minyak dari Teluk Persia ke Eropa (melewati
Terusan Suez). AS sangat berambisi mengontrol jalur minyak ini dan di saat yang
sama, secara ekonomi Iran pun terancam bila AS sampai menguasai jalur tersebut.
Selain itu, meski saat ini produksi minyak Yaman hanya 0,2% dari total produksi
minyak dunia, negeri ini menyimpan cadangan minyak yang sangat sangat besar.
Kelompok-kelompok
Utama dalam Konflik Yaman:
1. Ikhwanul Muslimin vs Imam Yahya (Syiah Zaidiyah)
Yaman tadinya berada
di bawah kekuasaan Imperium Ottoman. Kemudian, setelah Ottoman kalah dalam
Perang Dunia I, Inggris menguasai Yaman selatan (terutama wilayah Aden yang
menguasai jalur laut); sementara Yaman utara dikuasai oleh Imam Yahya yang
bermazhab Syiah Zaidiah, yang membentuk Kerajaan Yaman. Italia mengakui
pemerintahan Imam Yahya, sementara Inggris menentangnya karena tekad Imam Yahya
adalah mengusir Inggris dan menyatukan Yaman.
Inggris (dan Mesir)
membacking gerakan “Free Yemenis” yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin.
Gerakan ini pada tahun 1962 berhasil menggulingkan pemerintahan Imam Yahya dan
memproklamasikan “Republik Arab Yaman.”
Pemerintahan baru ini
memperluas gerakan untuk menguasai Yaman selatan (yang dikuasai Inggris),
dengan meminta bantuan militer dari Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser yang
mengirim 70.000 tentara ke Yaman (1962-1965).
Inggris, yang memusuhi
Nasser akibat aksinya menasionalisasi Terusan Suez tahun 1956, menggunakan
konflik internal Yaman untuk melemahkan Nasser, dengan bantuan Mossad, CIA,
intelijen Arab Saudi, dan SAVAK (intel Iran zaman Syah Pahlevi). Selama tahun
1960-an, AS menyuplai perlengkapan militer Arab Saudi senilai 500 juta Dollar
(agar Arab Saudi semakin kuat dan memegang kendali dalam konflik di Yaman).
Tahun 1968, Nasser mundur dari Yaman, dan setahun sebelumnya, Inggris juga
angkat kaki dari negara itu.
Namun, kelompok pro
Naser masih eksis hingga sekarang dan menjadi salah satu aktor utama politik
Yaman, yaitu the Nasserite Unionist People’s Organization.
2.
Partai Sosialis vs
Ikhwanul Muslimin
Tahun 1967, the
National Liberation Front (NLF) yang berhaluan Marxis menguasai Yaman selatan
dan membentuk negara independen (Republik Rakyat Demokratik Yaman). Sementara
itu, sejak tahun 1978, Republik Arab Yaman dipimpin oleh Presiden Ali Abdullah
Saleh.
Runtuhnya Uni Soviet
pada tahun 1990 membuat kedua pemerintahan Yaman yang memang lemah memutuskan
memulai negosiasi untuk bersatu. Pada Mei 1990, terbentuklah pemerintahan
persatuan dengan nama Republik Arab Yaman, dengan Ali Abdullah Saleh sebagai
presiden dan Ali Salim Beidh (semula Presiden Yaman selatan, berasal dari
partai sosialis) menjadi wakil presiden. Untuk menundukkan orang-orang
sosialis, Saleh bekerja sama dengan anasir Ikhwanul Muslimin (Partai Islah atau Partai Reformasididirikan 13 Sept 1993. Menurut pendirinya,
Syekh Abdullah bin Hasan al-Ahmar, tujuan utama didirikannya partai ini adalah
untuk melawan orang-orang sosialis). Saleh harus menggunakan tangan Partai
Islah, karena partainya sendiri (the General People’s Congress) terikat
perjanjian unifikasi dengan Partai Sosialis.
Namun belakangan, IM
dan Sosialis (dan Nasserite) justru bergabung untuk melawan Saleh; mereka
membentuk Joint Meeting Parties (JMP).
3.
Rezim Saleh vs
Ikhwanul Muslimin
Kekuasaan Ikhwanul
Muslimin (IM) di Yaman sangat besar sejak mereka berhasil menggulingkan Imam
Yahya. Mereka menguasai separuh institusi pendidikan di Yaman (dan mendapatkan
dana yang besar dari Arab Saudi). Tokoh IM juga menjadi pejabat di Dinas Intel
dan berperan besar dalam membungkam kelompok kiri dan komunis. Empat menteri
penting juga dijabat orang IM (menkeu, mendagri, mendiknas, dan menkeh).
Pejabat-pejabat penting di pemerintahan pun banyak yang dipegang tokoh IM.
Pengaruh besar IM ini
membuat khawatir Presiden Saleh dan sejak tahun 2001, ia mulai melucuti
kekuasaan IM dengan cara merombak sistem pendidikan. Sejak itu konflik antara
kedua faksi ini semakin meluas. Bila pada pilpres 1999, IM (Partai Islah/Partai
Reformis) mencalonkan Saleh sebagai kandidat presiden, tahun 2006 mereka
mendukung lawan Saleh, Faisal Bin Shamlan (namun Saleh tetap menang pilpres).
4.
Rezim Saleh vs
Sosialis dan Suku Houthi (Ansarullah)
Meskipun memiliki
cadangan minyak yang kaya dan posisi yang sangat strategis, Yaman adalah negara
miskin, menghadapi krisis pangan, dan ketidakadilan ekonomi. Berbagai gerakan
pemberontakan terhadap Rezim Saleh bermunculan. Tahun 1994, Wapres Ali Salim Beidh
(sosialis) mundur dan kelompok sosialis kemudian angkat senjata dan terjadilah
perang sipil. Presiden Saleh, dibantu oleh Arab Saudi (dan Partai
Islah/Ikhwanul Muslimin) akhirnya menundukkan pemberontakan itu.
Sejak tahun 2004, suku
Houthi yang bermazhab Syiah Zaidiyah menuntut otonomi khusus di wilayah Saada
sebagai protes atas diskriminasi dan penindasan dari rezim Saleh. Tuntutan ini
dihadapi dengan senjata oleh Saleh (lagi-lagi dibantu Arab Saudi), dan
meletuslah perang sipil yang menewaskan lebih dari 5000 tentara dan rakyat
sipil (suku Houthi) pada rentang 2004-2008.
5.
Rezim Saleh – Amerika
– Al Qaida – Kelompok Salafi
Tahun 2009, kelompok
Salafi (Gerakan Yaman Selatan/ al Hirak al Janoubi) yang dipimpin kelompok
Tareq Al Fadhli angkat senjata melawan rezim Saleh. Al Fadhli adalah alumnus
jihad Afganistan yang berperan membantu Saleh dalam membungkam faksi sosialis.
Al Fadhli dan iparnya, Jenderal Mohsen Al Ahmar, kemudian menjadi tokoh penting
dalam pemerintahan Saleh. Mohsen adalah pelindung utama Saleh dalam menghadapi
berbagai pemberontakan, termasuk dalam upaya membungkam suku Houthi. Namun
bulan madu Saleh-Mohsen mulai buyar sejak tahun 2000, karena kekhawatiran Saleh
bila kubu Mohsen kelak akan merebut kekuasaan dari kubu Saleh. Kekuasaan Mohsen
kemudian dilucuti satu demi satu. Mohsen pun bersekutu dengan keturunan Husein
Al Ahmar (pendiri Partai Islah/Reformis) untuk menggulingkan Saleh.
Di masa ini, muncul
aktor baru di Yaman, yaitu Al Qaida Arab Peninsula (AQAP) yang memproklamasikan
diri pada tahun 2009. Dua tokoh utama AQAP, anehnya, adalah dua warga Arab
Saudi alumni Guantanamo, Abu-Sayyaf al-Shihri dan Abu-al-Harith Muhammad
al-Awfi. William Engdahl menyebut fakta ini memunculkan kecurigaan bahwa tujuan
utama CIA dan Pentagon melakukan teknik brutal kepada tawanan Guantanamo sejak
September 2001 adalah untuk mentraining ‘sleeper terrorists’ (teroris tidur)
yang sewaktu-waktu bisa diaktifkan sesuai komando intelijen AS. Di saat yang
hampir bersamaan, Presiden Saleh membebaskan 700 narapidana teroris dengan
alasan ‘mereka sudah berkelakuan baik’.
Mengingat donatur
utama Al Qaida adalah Arab Saudi, dan pembentukan Al Qaida memang didalangi AS
dan Arab Saudi (hal ini sudah diakui oleh Hillary Clinton), tentu kemunculan Al
Qaida di Yaman adalah demi kepentingan AS.
Meski Al Fadhli
menolak tuduhan bahwa dia bekerja sama dengan Al Qaida, namun AS tetap
membombardir Yaman dengan alasan mengejar Al Qaida. Antara 2009-2011, korban
serangan bom yang diluncurkan pesawat tempur AS (dengan seizin Presiden Saleh)
telah menewaskan ratusan rakyat sipil Yaman, termasuk anak-anak.
Atas alasan untuk
menumpas Al Qaida pula, pada tahun 2010, Presiden Saleh dan Jenderal Petraeus
dari AS bertemu. Petraeus menjanjikan bantuan “dana keamanan” 14 kali lipat
lebih besar (dana total sejak 2008 hingga 2010 yang diterima Saleh dari AS
mencapai 500 juta dollar), dan imbalannya, Saleh mengizinkan Pulau Socotra
untuk dipenuhi dengan berbagai peralatan militer canggih AS.
Namun, akhirnya pada
Juni 2014, Al Fadhli menyatakan bergabung dengan Al Qaida. Dan sejak 2015, ISIS menyatakan
ikut bergabung dengan Al Qaida Yaman. Pada 21 Maret 2015, ISIS mengebom sebuah masjid di Sanaa (ibu
kota Yaman), yang jamaahnya sebagian besar muslim Syiah Zaidiah yang tengah
menunaikan sholat Jumat (142 tewas, 351 lainnya terluka).
Era
Arab Spring
Melihat track record
Presiden Saleh yang selalu berperang dengan rakyatnya sendiri dan kemiskinan
yang semakin mencekik rakyat, tentu tidak mengherankan bila pada tahun 2011,
seiring dengan gelombang Arab Spring, rakyat Yaman (dari berbagai suku dan
mazhab) bangkit berdemo menuntut pengunduran dirinya. Masifnya gerakan demo di
Yaman akhirnya berujung pada tergulingnya Saleh yang telah berkuasa 33 tahun.
Ia melarikan diri pada November 2011 ke Arab Saudi, dan digantikan oleh Mansur
Hadi. Namun, tahun 2012, Saleh kembali ke Yaman dan dilindungi oleh Mansur
Hadi. Anak Saleh, Jenderal Ahmed Ali, bahkan tetap memiliki kekuasaan penting
di militer. Dalam situasi ini, Al Qaida melakukan aksi-aksi pengeboman,
termasuk mengebom istana kepresidenan, menambah kacau situasi di Yaman.
Singkat kata, pasca
keberhasilan rakyat menggulingkan Saleh, yang berkuasa di Yaman adalah
elit-elit lama, termasuk anasir Al Qaida. Faksi-faksi yang banyak berjuang
dalam upaya penggulingan Saleh justru disingkirkan, termasuk suku Houthi
(gerakan Ansarullah). Ini memunculkan ketidakpuasan rakyat yang semula berharap
terjadinya reformasi.
Gerakan Ansarullah
bahkan berhasil menggalang demo besar-besaran (rakyat umum, tidak sebatas suku
Houthi) sejak Agustus 2014, menuntut diturunkannya harga BBM dan dilakukannya
reformasi politik. Menyusul aksi demo ini, Perdana Menteri Salim Basindwa
mundur dari jabatannya dan Presiden Mansur Hadi bersedia menandatangani
perjanjian dengan Ansarullah, yang isinya Mansur bersedia membentuk
pemerintahan baru dengan melibatkan Ansarullah dan semua partai politik yang
ada. Perjanjian ini menandai semakin meluasnya pengaruh Ansarullah (Syiah
Houthi) di pusat kekuasaan Yaman. Namun kemudian, Mansur Hadi memilih lari ke
Arab Saudi dan meminta bantuan militer dari Saudi. Sejak 26 Maret 2015, Arab
Saudi dibantu negara-negara Teluk dan Israel, serta didukung oleh AS
membombardir Yaman.
Kesimpulan
saya, suku Houthi
(Ansarullah) hanyalah satu dari sekian banyak aktor yang terlibat konflik di
Yaman dan awalnya tidak dominan. Yaman sejak awal telah dilanda konflik internal
yang ruwet, melibatkan sangat banyak suku, ‘aliran agama’, kelompok bisnis, dan
dinasti/keluarga (yang saya tulis di atas hanya ringkasan saja). Namun,
kesolidan dan strategi Ansarullah dalam membangkitkan kekuatan rakyat tertindas
rupanya berhasil membawa mereka naik ke permukaan melawan dominasi elit yang
berkuasa selama 37 tahun terakhir. Dan ‘gara-gara’ kelompok ini bermazhab
Syiah, dengan segera isu yang dimainkan adalah isu mazhab.
Namun yang perlu
dicatat, lihat lagi peta di awal tulisan ini, potensi ekonomi dan geopolitik
yang sangat besarlah yang menjadi pivotal factor bagi negara-negara kuat untuk menggelontorkan
dana sangat besar untuk membiayai faksi-faksi yang berseteru di Yaman.
Aktor asing terkuat di
Yaman, tentu saja AS, yang sejak 2001 menggelontorkan ratusan juta dollar
(triliunan rupiah) untuk rezim Saleh. AS juga menginvestasi dana dan
perlengkapan militer tercanggihnya di Pulau Socotra. Di saat yang sama, AS
meraup untung besar dari perdagangan senjata ke negara-negara Arab dan Teluk.
Kemudian ketika pemerintahan boneka terbentuk, perusahaan-perusahaan AS pula
yang dipastikan akan mendapatkan berbagai kontrak infrastruktur dan minyak
(seperti yang terjadi di Libya dan Irak).
[ditulis oleh Dina Y.
Sulaeman untuk http://www.ic-mes.org]
Ref:
dll.