Senin, 19 April 2021

Habib Husein dan anak cucunya di Sulawesi

Keturunan Sayyid Muhdar Mandar di Sulawesi 

By : SAY Qadrie : 

Pustaka Sejarah

Bagian Ke Empat ( IV )


Syarif Muhdar bin Ali Al Muhsen  bin Abubakar 
. Makam di Mandar. Sulawesi Barat. 
Gelar :" Puang Sayye Layo Malinggato Ke keramatan Mandar"
( Tuan Sayyid Yang Mulia  Keramat Mandar ) 
Tahun : 1900 - 1952 M 



Catatan Hidup dan Perjuangan Da"wah :  

Cucu Habib Husein Tuan Besar Mempawah

Syarif Muhdar bin Ali Al Muhsen, bin Abubakar 

Di Daratan Pulau Sulawesi  dalam 3 zaman

Belanda, Jepang, Transisi Kemerdekaan  : 1937 - 1950 M )



1. Keturunan Asal usul, Kelahiran dan Masa Kecil,  Syarif Muhdar bin Ali, 


      Berdasarkan keterangan dari Maulana Syarif Husein, PPU dan Catatan Nan Gq 1857 M, Pangeran Bendahara Syarif Ja Far bin Sultan Hamid.I, Pontianak


      Syarif Muhdar bin Ali Al Muhsen, Lahir sekitar 1900- 1902 M, dari Ibu : Syarifah Khadijah binti SirajudienSyah, bin Sayyid Ibrahim, bin Sayyid Abubakar, bin Habib Husein. Dan, Sayyid Muhdar Mandar wafat pada  tahun 1952.M, dalam usia 52 tahun. Makam beliau ditemukan di Mandar. Sulawesi Barat.  


     Susunan lengkap nasabnya sbb :  Syarif Muhdar, bin Ali Al Muhsen, bin Abu Bakar, bin Pangeran Syarif Ja Far, bin Sultan Hamid I, bin Sultan Usman, bin Sultan Abdurrahman, bin Habib Husein Tuan Besar Mempawah.  


      Ayah beliau Syarif Ali Al Muhsen, merupakan keturunan dari : Sayyid Abubakar, bin Pangeran Syarif Ja Far, Sedangkan Ibu beliau, : Syarifah Khadijah binti SirajudienSyah, bin Sayyid Ibrahim, bin Sayyid Abubakar, bin Habib Husein. 


    Sayyid SirajudienSyah : bin Ibrahim Panglima Paku Alam Segeram, lahir dari ibu  Syarifah Aminah binti Pangeran Syarif Ali Alidrus Sabamban.  Karena cucu Pangeran Syarif  Ali Sabamban, beliau mendapat gelar "Pangeran Sabamban". 


     Cucu Habib Husein Tuan Besar Mempawah ini, hidup  se zaman dengan berkuasanya Sultan Syarif Yusuf, yang kemudian dilanjutkan oleh Sultan Syarif Muhammad, hingga tahun : 1944.M, dan di gantikan oleh Sultan Hamid.II. sebelum kemudian di hapuskan pada tahun 1950.M. oleh pemerintahan Sukarno.  



Sayyid Muhdar bersama salah satu istri Beliau


    Sepanjang hayat nya, Syarif Muhdar bin Ali Al muhsen, menikahi 13 wanita. Zaman itu adalah dimana banyak wanita dinikahi diusia belia, bahkan pada haid pertama mereka, dengan tujuan diselamatkan dari incaran Belanda, dan Jepang 


    Masa itu juga banyak usia yang dituakan dari tanggal kelahiran sebenarnya, dengan tujuan agar bisa dinikahi, dan menikah bagi laki - lakinya. 


    Banyak laki-laki yang menikah usia 12,13.14 tahun. Dan banyak wanita yang dinikahi pada usia: 10,11,12 tahun, dengan mengubah tanggal lahir mereka. 


    Dari 13 istrinya, Sayyid Muhdar Mandar mendapatkan karunia keturunan anak , laki - laki dan perempuan sejumlah : 23,  Rata - rata mereka lahir sekitar tahun 1920 an, karena Sayyid Muhdar ini  menikah pertama kali di usia 17 tahun saat itu, sekitar tahun 1917 - 1919 M. 


    Karena  dikejar - kejar Belanda, yang menganggap beliau bekerjasama dengan Jepang, ketika Jepang masuk tahun 1942 di Tarakan, beliau melarikan diri ke Sulawesi. Dalam pelariannya, beliau beberapa kali mengganti nama, dan sempat menikah  di beberapa tempat di daratan Sulawesi.


    Itulah kenapa keturunan beliau banyak  ditemukan di Sulawesi, hingga hari ini, 2020 Masehi. 


        Salah satu keturunan ini bernama : Syarif Noeh bin Muhdar, bin Ali Al Muhsen, bin Abubakar, makam beliau ( Syarif Noeh bin Muhdar ) ditemukan di Pulau Sepanjang. Daerah Kepulauan Madura. 




Sayyid Noeh bin Muhdar Al Qadri
Makam di Pulau Sepanjang Madura
Lahir pada tahun : 1921 M



2. Masa Remaja, dan Dewasa, 


      Syarif Muhdar tumbuh besar di bawah asuhan orang tua beliau, diperkirakan di sekitar wilayah Kalimantan bagian selatan saat itu.  Dimasa remaja diperkirakan pada zaman itu, karena sebagian besar masyarakat menggunakan perahu layar sebagai sarana transportasi dari satu tempat ketempat lainya, kemungkinan Syarif Muhdar ini juga sudah terbiasa dan akrab dengan lautan. 


     Bekal inilah yang kemudian di gunakannya untuk berniaga sambil berda"wah dari satu pulau kepulau lainya, ketika sudah mulai dewasa, nantinya.  



##, Peristiwa Perairan Lombok,  


Ketika peristiwa terjadi,: Ali Al Muhsen, memerintahkan anak buah Kapal untuk melepas bendera Kesultanan Pontianak dan bendera Belanda dengan mengganti bendera hitam, sebab pada saat itu terjadi gelombang tinggi dan angin ribut,


Bendera hitam tersebut di maksudkan untuk tanda perdamaian dengan laut, sehingga ombak dan angin  kencang mereda, saat itu mereka sedang melewati laut Lombok dan di lihat tentara dan residen Belanda,


      Karena Suasana kabut tanpa memberi peringatan mereka langsung saja menembaki seluruh body kapal dengan meriam dan akhirnya mengakibatkan bocor kemudian tenggelam    


Setelah kapal tenggelam mereka mendekati kapal tersebut.


Maka di ketahuilah bahwa kapal yang di tenggelamkan adalah utusan Sultan Pontianak, sebab mereka juga menemukan serdadu Belanda sebagai pengawal di dalam kapal yang sudah meninggal semuanya


Mendengar berita ini Sultan Pontianak menjadi murka kepada Belanda dan memutuskan hubungan dagang hampir 1 tahun


Sedang 2 orang syahid, Abdurrahman dan Abdullah, diperintahkan agar jenazah beliau di bawa ke rumah keluarga nya masing masing


4 orang Syahid di temukan nelayan di laut Lombok dan di makamkan di pinggiran laut Lombok tanpa nama, sehingga sampai saat ini baru makam Alwi dan Shaleh yang baru di temukan,


Sementara makam  *Ali* dan *Ali Al - Muhsen* tidak di temukan, sebenarnya makam beliau  ada di daerah pinggiran pantai lombok



##, Keturunan Al Al Muhsen bin Abubakar, :


Ketika meninggal , Ali Al Muhsen  meninggalkan anak anak :


Dari Istri  Syarifah Khadijah  binti Sirajudin Syah, bin Ibrahim Al Qadri lahirlah  Sayyid Muhdar ini. Saudaranya diantaranya : 


1. Shaleh bin Ali  Al - Muhsen

2. Muhdhar  bin Ali  Al - Muhsen, Lahir 1900 - 1902 M, 

3.Yusuf  bin Ali  Al - Muhsen

4. Hasan bin Ali  Al - Muhsen

5. Husein  bin Ali  Al - Muhsen


Dari istri lain, : 

6. Ibrahim  bin Ali  Al - Muhsen

7. Syech bin Ali  Al - Muhsen

8. Ismail  bin Ali  Al - Muhsen

9. Misna binti  Ali  Al - Muhsen

10. Munawaroh  binti  Ali  Al - Muhsen


3. Pengembaraan di Lautan: antara Pontianak, Banjarmasin, Lombok dan Ujung Pandang


    Mereka para keturunan Ali Al Muhsen ini, 


   Meneruskan kegiatan  berdagang ke daratan Makassar  dengan membawa hewan dan palawija. Setelah perahu sampai di pelabuhan Paotere dagangan di bongkar kemudian Syarif Muhdar yang di tinggal untuk menawarkan dagangannya..




Syarif Ali bin  Shaleh bin Ali bin Abubakar


      Terkadang perahunya masuk di daerah keraton Sadurangas tanah grogot sebab di kraton Sadurangas ada satu orang putra Paduka yang muliya Sultan Syarif Abdurrahman Alqadry *Syarif Achmad bin Sultan Syarif Abdurrahman Alqadry  menikah dengan putri Raja Paser blengkong (Ratu Putri Petung) Aji awang meter.  (  Makam dan keturunan beliau ini masih dicari ) 



4. Berdagang dan Berda"wah ke Ujung Pandang


    Sebenarnya peristiwa ini dikenal dengan Tragedi Perairan Lombok

    tercatat di Kesultanan Pontianak


      Setelah beberapa tahun perjalanan ekspedisi ke daratan Kalimantan, Lombok,  Makassar, Sumba, perahu yg ditumpangi dua bersaudara putra dari Syarif Abubakar  tersebut  ( Ali Al Muhsen ) di tembak oleh serdadu Belanda di karenakan sebelumnya beliau melepas bendera kesultanan dan bendera Belanda, menggantinya dengan bendera hitam, guna menjinakkan badai dan gelombang saat itu,  


     Dalam peristiwa itu "Syarif Ali Al Muhsen Alqadry" sebagai komandan kapal layar itu,  tertembak sehingga terputuslah hubungan antara Lombok dengan Makassar, Pontianak, dan Sumba. 


         Perjuangan ayah mereka dilanjutkan oleh ke 2 dua putranya masing - masing bernama Shaleh dan Muhdar,: bin Ali Al Muhsen, bin Abubakar,  dengan di dampingi salah satu kerabat mereka bernama : Ali bin Muhammad. 


1. Syarif Shaleh bin Ali Al Muhsen, bin Abubakar Al qadri , ( Makam di Sumba )  

2. Syarif Muhdar bin Ali al Muhsen ,  bin  Abubakar  Alqadri, ( Makam di Mandar )  

3. Syarif Ali bin Muhammad ( Makam di Menado ) bin  Pangeran Abdullah (Gelar  Pangeran Jaya ) bin Sultan Usman bin Sultan Abdurrahman bin Habib Husein Tuan Besar Mempawah. 

     Tiga orang keturunan cucu Habib Husein Tuan Besar Mempawah ini, membawa misi menyebarkan agama Islam, Da"wah, sambil berdagang, ditengah situasi pergolakan  zaman penjajahan Belanda . 


       Di Makassar, mereka berpisah, :  


#Syarif Shaleh  bin Ali  Al Muhsen Alqadri berangkat ke pulau Sumba NTT,

#Syarif Muhdar bin Ali Al Muhsen  Alqadri bertahan  di Makassar Sulawesi Selatan,


        #Syarif Ali bin Muhammad bin Abdullah Pangeran Jaya alqadri, berangkat ke Toli Toli, kemudian menyeberang ke Menado, karena di Manado ditemukan makam  dan anak cucu keturunan ini, termasuk Habib Faqir Mohammad Alqadri. 





Makam leluhur keturunan 
 Sayyid Muhdar bin Ali Al Muhsen 
Sayyid Abubakar bin Pangeran Syarif Ja Far al Qadri



5. Zaman Penjajahan  Belanda di Pulau Sulawesi


    Selang beberapa waktu kemudian "Syarif Muhdar bin Ali Al Muhsen bin Abubakar",  yang tinggal di Makassar menjadi bulan bulanan dikejar kejar serdadu VOC Belanda saat itu sekitar tahun 1937 M, - 1942 M, 


Dan nantinya, 

      Ketika pasukan Jepang  mendarat di Tarakan pada  11 Januari 1942 M, beliau ini juga dicurigai bekerjasama dengan Belanda, saat ketika pasukan Jepang mencapai Sulawesi.  


     Dari peristiwa itu, dalam pelarian nya dari kejaran Belanda, dan Jepang,  sehingga Syarif Muhdar terpaksa gonta ganti nama demi kelanjutan misi dakwah mereka.


    Di Makassar, Syarif Muhdar sempat di tahan tentara Belanda di penjara Benteng Rotterdam (pantai losari) sekarang. Akan tetapi, Syarif Muhdar  bisa meloloskan diri beserta 4 (empat) orang  rekan nya meski dengan harus menghabisi petugas penjara (sipir) dan serdadu Belanda lain nya. 


     Karena kejadian ini, Syarif Muhdar menjadi buronan Belanda, 

     dan dikejar - kejar kemana-mana, antara tahun 1937 - 1942 itu,  



6. Masa pelarian dari kejaran Penjajah Belanda : 1937 - 1942 M


    Selama dalam masa pelarian, antara tahun 1937 - 1950 M, Dalam penyamaranya Syarif Muhdar terpaksa berganti ganti nama orang tuanya menjadi : "Muhdar bin Muhsen", kadang "Andi Muri bin Said", dll


          Sambil tetap ber Da"wah secara bergerilya beberapa tahun kemudian Syarif Muhdar di ketahui keberadaan nya di daerah Wajo Sengkang, beliau  kemudian berganti nama "Andi Muri bin Sa'id" dan sempat menikah dengan "Siti Maimunah" dan melahirkan dua orang putra di berinya nama sbb:


1.Sayyid Khatib Alqadry

2.Sayyid Hamzah Alqadry.


      Kemudian menikah lagi dalam pelarian nya dengan keturunan Raja Bone "Andi tjaparu" dan melahirkan Syarifah Siti Khadijah Alqadry ( puang sitti ) 

Sepanjang hayat nya,

      Syarif Muhdar bin Ali, menikahi 13 wanita, dan mendapatkan karunia keturunan anak anak , laki - laki dan perempuan sejumlah : 23 putra dan putri. 



Syarif Kadri bin Muhdar bin Ali Al Muhsen bin Abubakar 



##, Kehidupan Syarif Muhdar di Mandar, dan sekitarnya, 


   Salah satu kebiasaan masyarakat di daratan Sulawesi khusus nya di tanah Mandar menyebut habaib dgn panggilan/julukan "puang sayye' artinya "Tuwan sayyid. "


    Karena memiliki kedudukan yang terhormat, Tinggi disebutnya : Malinggato' atau Malayo sehingga Syarif Muhdar Alqadri di sebut oleh masyarakat di sana adalah:  "Pussayye' layo" artinya Tuwan Sayyid tinggi 


   Mereka tidak perbah menyebut nama apa lagi terhadap ulama dan orang dewasa yang telah memiliki anak maka nama anaknyalah di sebutkan nya terlebih dahulu. contoh; Abdullah punya anak perempuan nama nya Hadijah maka dipanggil nya Bapaknya Hadijah.


 Seperti itulah cara penghormatan suku Sulawesi Selatan Bugis dan Mandar sampai saat ini.


       Jadi nama Syarif Muhdar Alqadri itu di daerah Mandar adalah: " Puang assayye' layo kekeramatan sayye' layo " di Mandar.


   Pernah pada suatu saat rombongan mereka bertiga dengan santri nya menempuh perjalanan  melalui hutan ada salah satu santri nya kehausan yang kebetulan pada saat itu mereka melintasi kebun kelapa.  Salah satu santri nya ingin memanjat pohon kelapa dilarang oleh Syarif Muhdar Alqadri. 


      Beliau menghimbau agar bisa menemui pemiliknya untuk meminta halal dan ridlo nya.


       Setelah ada izin dari yang empunya pohon kelapa tsb, Syarif Muhdar langsung berdo'a sehingga pohon kelapa itu  merunduk sampai buahnya bisa di petik dengan mudah.



Maulana Syarif Husein bin Noeh bin Muhdar Al Qadri
Salah satu cucu Syarif Muhdar Mandar
Menetap di Penajam Paser Utara ( PPU ),- 2021 


7. Masa Perjuangan di zaman Penjajahan Jepang : 1942 - 1945


    Kemudian setelah hijrah ke tanah Mandar dengan meninggalkan 3 ( tiga)  orang anak dari dua istrinya di wajo *Da'asi dengan Andi Caparu di Sengkang, tepatnya pada tahun 1946 beliau ditangkap dan di penjarakan oleh tentara jepang (Nippon) di Mamuju, Sulawesi Barat, sebab dianggap tidak mendukung politik penjajah..


   Tiba tiba datang gelombang besar setinggi 7 (tujuh) meter menutupi kota Mamuju sehingga banyak menimbulkan kerugian yang berdampak kepada masyarakat sipil sebab sawah ladang bahkan ternak ikut ter seret arus gelombang dahsyat menghantam pemukiman dan meluluh tantakkan daerah pada saat seketika itu.


    Menurut penuturan putra nya, yang merupakan Paman Saya : Sayyid Kadri bin Muhdar Alqadri kepada saya,: " Saat dalam perjalanan dari Bugis pun Syarif Muhdar Alqadri tidak terlepas dari ancaman pembunuhan sehingga beliau harus menempuh perjalanan nya pada malam hari melalui hutan belantara dan pantai," 


    Sebab daerah itu sudah di blokir oleh serdadu bahkan mata mata (intel) penjajah mengintai manusia yang bernama Syarif Muhdar. 


        Sesampainya di daerah Pinrang, Sulawesi Selatan, pada saat itu Syarif Muhdar tengah melaksanakan shalat ashar langsung di kepung oleh serdadu jepang. 


      Dengan tenang Syarif Muhdar melaksanakan sholat ashar nya sampai selesai 4, raka'at. Setelah beliau salam serdadu hendak menangkapnya, ternyata kaki kaki mereka tidak bisa diangkatnya bedilpun sia sia di tangannya semuanya menjadi kaku..


  Sampai Syarif Muhdar lolos naik kuda putihnya bersama putranya menyeberangi sungai sa'dang di Kabupaten Pinrang sekarang...


       "Saya tidak habis fikir kenapa kuda itu bisa melintasi sungai yang airnya dalam dan arus nya deras/" :  kata Sayyid Kadri Alqadri takjub


  Syarif Muhdar tidak pernah makan nasi selama dalam perjalanan yang dia bawa hanya telur ayam kampung dengan garam dan perlengkapan ransum lain nya. 



Makam Syarif Muhdar bn Ali Al Muhsen bin Abubakar Alqadry
 di Desa Dara' Polman Sulbar.
Leluhur Maulana



8.  Keturunan Sayyid Muhdar bin Ali Al Muhsen Mandar : 


    Istri, Keturunan dan Sebaran anak cucu : 

   Syarif Muhdar bin Ali Al Muhsen, bin Abubakar,  bin Pangeran Syarif Ja Far, bin Sultan Hamid I, bin Sultan Usman, bin Sultan Abdurrahman, bin Habib Husein Al Qadri :


    Sayyid Muhdhar pertama kali menikahi : tahun 1917 M

   Syarifah Aminah binti Syarif Abubakar, bin Abdullah, bin Sayyid Abubakar Panglima Laksamana Pertama, bin Habib Husein. Ketika berusia sekitar 17 tahun, atau sekitar tahun 1917 - 1919 M,  : Mertua beliau Syarif Abubakar bin Abdullah  menjabat sebagai Panglima Laksamana III, Kesultanan Pontianak, saat itu.  


Kemudian menikah lagi dengan : 


1. Maimunah dari Wajo, putri dari Andi Muri bin Mahmud, keturunan : 

1.1. Syayyid Khatib bin Sayyid Muhdhar Mandar

1,2, Sayyid Hamzah bin Sayyid Muhdhar Mandar 


2. Andi Caparu dari dari Sengkang, keturunan : 

2.1. Syarifah Khadijah binti Sayyid Muhdhar Mandar


3. La" Birannah dari Mandar,  keturunan : 

3.1. Syarifah Sami binti Sayyid Muhdhar Mandar

3.2. Syarifah Mahliah  binti Sayyid Muhdhar Mandar

3.3. Sayyid Rajeng bin Sayyid Muhdhar Mandar

3.4. Sayyid Mahmud bin Sayyid Muhdhar Mandar 

3.5. Syarifah Bas'se  binti Sayyid Muhdhar Mandar

3.6. Sayyid Abdullah bin Sayyid Muhdhar Mandar 


4. Sa'i dari Mandar Lombong, keturunan : 

4.1. Sayyid Noeh bin Sayyid Muhdhar Mandar 


5. Siti Aishah , dari Mandar Limboro, keturunan : 

5.1. Syarifah Intan binti Sayyid Muhdhar Mandar

5.2. Sayyid Abubakar bin Sayyid Muhdhar Mandar 

5.3. Sayyid Kadri  bin Sayyid Muhdhar Mandar 


6. Yatani dari Maje"ne, Sulawesi  Barat, keturunan : 

6.1. Sayyid Alwi  ( dot )  bin Sayyid Muhdhar Mandar 

6.2. Syarifah Aminah binti Sayyid Muhdhar Mandar 


7. Angga dari Maje"ne, keturunan : 

7.1. Sayyid Umar bin Sayyid Muhdhar Mandar 

7.2. Sayyid Usman bin Sayyid Muhdhar Mandar 


8. Inche Padang  dri Tappalang Mamuju, keturunan : 

8.1. Sayyid Habibi bin Sayyid Muhdhar Mandar 


9. Inche Tappalang , keturunan :

9. 1. Syarifah Baiduri binti Sayyid Muhdhar Mandar


10. Siti Aishah. dari Polmas, keturunan : 

10.1. Syarifah Dewi binti Sayyid Muhdhar Mandar

10.2. Syarifah Jamilah  binti Sayyid Muhdhar Mandar

10.3. Syarifah Jauhari  binti Sayyid Muhdhar Mandar

10.4. Syarifah Cayya  binti Sayyid Muhdhar Mandar


11. Inche Matang" Nga  dari Polman, tidak dapat keturunan. 


12. Tengku Syarifah Aminah dari Aceh , dinikahi di Kalsel, - tidak dapat keturunan


13. Syarifah Saidah Al Qadri, binti  Syarif Syafarudin Najamudin, bin Sultan Abdurrahman, yang berdiam di sekitar Kalimantan bagian selatan ini, -  tidak dapat keturunan 

 

SAYYID NOEH BIN SAYYID MUHDAR MANDAR  

Pada tahun 1930 syarif  Muhdar mengirim putra nya Sayyid Nuh 


       Kemudian Sayyid Muhdar bin Ali Al muhsen ini, Mengirim salah satu  Putra nya Sayyid Noeh bin Muhdar , ke Pulau Sepanjang dengan tujuan Da"wah :  


     Pada tahun 1930 syarif  Muhdar mengirim putra nya Sayyid Nuh bin Muhdar Alqadri ke kepulauan Sapeken daerah timur pulau Madura guna menyebar agama disana.   Sayyid Noh bin Muhdar bin Ali,  lahir di desa lombong kecamatan Malunda pada tahun 1921, 


     Setelah menyelesaikan tugas belajarnya di "Desa Pambusuang Mandar" Beliau di kirim ke Kepulauan Sapeken pada tahun 1931, di usia sekitar 10 tahun, ikut keluarga dari ibu nya yang bernama "Muhammad Hafiz" 


        Setelah beberapa tahun tinggal di pulau sepanjang Noeh yang masih terhitung remaja itu, ditugaskan mengajar mengaji alqur'an oleh "Muhammad Hafiz" terhadap anak anak sebayanya..


      Alhasil banyak yang sudah faham mengeja lafaz alqur'an Noeh pun beranjak dewasa kemudian ditingkatkan mata pelajaran terhadap para santri nya untuk menghafal kitab barzanji dan kitab parukunan (fiqhi). 



Hj.Syarifah Khadijah binti Syarif Muhdhar Alqadri
Puang Sitti


       Kemudian datang perintah dari serdadu Belanda untuk menangkap anak gadis guna di kirim ke markas mereka....segeralah orang tua Siti Jamilah mencarikan jodoh anak gadis keasayangan nya untuk dinikahkan daripada di bawa serdadu untuk dijadikan pemuas nafsu syahwat mereka di markas nya.

      Konon ceritanya "Noeh alqadri" menikah pada umur 15 tahun dan istrinya umur 11 tahun". beberapa bulan "Siti Jamilah binti  Abdurrahman" di sembunyikan diatas plafon rumahnya agar tidak di dapat oleh serdadu 


       Setiap hari rumah mereka di kosongkan dengan kesan rumah tanpa penghuni sehingga jika serdadu datang mendobrak dobrak pintu, tak seorang pun yang melayaninya sebab orang tuanya bersembunyi di dalam lubang yang telah mereka buat sendiri...


      Menurut cerita yang bersangkutan "Siti Jamilah" sempat  ketakutan, sampai  gemetaran  jika penjajah itu datang memukul mukul tiang rumah terkadang melepaskan tembakan..


Setelah ada pasangan, serdadu pun tidak mau mengganggunya lagi,  


         Noeh di anugrahi momongan pertama pada tahun 1942 di berinya nama "Syarifah Siti"Keturunan nya sampai saat ini sebahagian di kepulauan . 


        Makam Sayyid Nuh Alqadri berada di pulau Sepanjang , Keturunan nya sebahagian ada di Kaltim...termasuk Maulana Syarif Husein Alqadri di Penajam Paser Utara ( PPU ) 


 Sayyid Noeh hanya di karuniahi 3 (tiga) orang anak laki laki..


1.Sayyid Muhammad Yasin Alqadri (wafat) di pulau sepanjang, 

2.Sayyid Muhammad Zein Alqadri, (Menetap di Penajam Pasir Utara, Kalimantan Timur) 

3.Maulana Syarif Husein Alqadri (Menetap di Penajam Pasir Utara, Kalimantan Timur)   


       Dalam catatan Nan Gq 1857 M, keturunan ini memang banyak menikah muda. Bahkan Pangeran Syarif Ja Far, leluhur mereka, menikah di usia 14 tahun.


      Zaman dan masa itu, banyak putri yang dinikahkan dikala haid pertama, usia 10 - 12 tahun, agar tidak dirampas Belanda dijadikan gundik, atau ditangkap Jepang ( ketika Jepang masuk pada 11 Januari 1942, di Tarakan ) dijadikan pemuas nafsu pasukan mereka, disebut : "Jugun Ianfu "   


     Untuk keperluan ini, banyak usia anak perempuan yang dituakan,: 5  sampai 10 tahun, Agar bisa menikah. Karena kalau sudah menikah, aman dari "perampasan penjajah ! Belanda maupun Jepang" 



Sayyid Ibnu Ikbal bin Maulana Syarif Husein 
bin Noeh Al Qadri, 2021


##, Putri Syarif Muhdar, 


           Hj.Syarifah Khadijah binti Syarif Muhdhar Alqadri lahir di Sengkang Sulawesi Selatan dari pasangan istri kedua  dari Syarif Muhdhar Alqadri dengan Andi Chaparu 


Alhamdulillah Maulana sempat menemui beliau pada tahun 1986 


       Beliau menuturkan bahwa YM. Sultan Syarif Hamid.II. sering berkunjung kerumah nya dan beliaupun sering berkunjung ke asrama dimana YM. Sultan Hamid Alqadri II bersekolah di Jln. Rappocini,  bersama abah beliau Syarif Muhdar Alqadri .


          Antara YM.Sultan Hamid II dengan Syarif Muhdhar Alqadri mereka sangat akrab beliau bercerita bahwa Sultan Hamid itu besar tinggi dan orangnya berperawakan seperti orang Belanda kalau sekarang seperti orang (barat).


        Sosok Hj.Syarifah Khadijah Alqadri (Puang Sitti) berturur sangat lembut dengan logat bahasa Bugis kadang beliau berbahasa Indonesia kepada saya. sempat beliau bertanya kepada abah, mengertikah dia berbahasa Bugis, saya menimpalinya:" iye puang uissemmoa" artinya, "iya halati saya mengerti**



Keluarga Maulana Syarif Husein bin Noeh Al Qadri PPU



** Sumber : Narasi dari Maulana Syarif Husein bin Noeh, Penajam Paser Utara ( PPU ) dari catatan yang beliau kumpulkan sejak tahun 1984 

** Catatan Pangeran Syarif Ja Far bin Sultan Hamid I, tahun 1870 kode Nan Gq 1857 M